BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING. A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

dokumen-dokumen yang mirip
A. MAKNA DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING

PENERAPAN SISTEM OUTSOURCING DI PERUSAHAAN SWASTA DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK PEKERJA KONTRAK

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT.

PERLUNYA PEMAHAMAN PENYEDIA DAN PENGGUNA BARANG/JASA TERHADAP PERJANJIAN PEMBORONGAN. Oleh: Taufik Dwi Laksono. Abstraksi

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014) Copyright 2014

BAB I PENDAHULUAN. maupun antar negara, sudah sedemikian terasa ketatnya. 3

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING (Alih Daya) PADAA PT. SUCOFINDO CABANG PADANG SKRIPSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

BAB I PENDAHULUAN. dengan memperkerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh:

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. organisasi pekerja melalui serikat pekerja/serikat buruh. Peran serikat

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BENTUK-BENTUK PRAKTIK OUTSOURCING DALAM UNDANG- UNDANG KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas (PT) Telkom Cabang Solo merupakan salah satu badan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang sangat

BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara

BAB I PENDAHULUAN. efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan outsourcing (= alih daya) di Indonesia. Bahkan aksi ini disambut aksi serupa

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ekonomi global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Setelah kemerdekaan, Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

Lex et Societatis, Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB I PENDAHULUAN. Hukum ketenagakerjaan merupakan keseluruhan peraturan baik tertulis

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat". untuk kebutuhan sendiri atau untuk masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGERTIAN, DASAR HUKUM PENANAMAN MODAL ASING DAN KESEJAHTERAAN TENAGA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. terperinci dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar baik dalam

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA

BAB I PENDAHULUAN. penyedia jasa outsourcing atau penyedia tenaga kerja. 1. Meningkatkan konsentrasi bisnis. Kegiatan operasional telah

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran, guna menunjang

SERI PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SERI 3 OUTSOURCING. Bahasa Indonesia. Muzni Tambusai

Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. maka manusia harus bekerja. Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon)

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Salah satunya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang semakin cepat

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

BAB II KAJIAN PUSTAKA

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja alih daya (outsourcing) merupakan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI INDONESIA. Oleh :

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II BENTUK KERJASAMA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PENGAMANAN PT. GARDA BHAKTI NUSANTARA DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA PENGAMANAN

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk

ANALISIS PERMASALAHAN OUTSOURCING (ALIH DAYA ) DARI PERSPEKTIF HUKUM DAN PENERAPANNYA

Bernat Panjaitan ISSN Nomor

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

BAB III PENUTUP. Upaya hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dalam. negosiasi terhadap atasan atau pengusaha PT. Vidya Rejeki Tama.

BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA. jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi

JURNAL PEMENUHAN HAK PEKERJA OUTSOURCING YANG BEKERJA MELEBIHI WAKTU KERJA NORMAL DI PT TRAKINDO UTAMA BALIKPAPAN

Transkripsi:

BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Kecenderungan beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost production). Dengan menggunakan sistem outsourcing ini, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. 45 Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam prakteknya, ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan di atas akhirnya memunculkan pula istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan). 45 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.217.

Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti alih daya. Outsourcing mempunyai nama lain yaitu contracting out merupakan sebuah pemindahan operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain. Di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, pemanfaatan outsourcing sudah sedemikian mengglobal sehingga menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada core businessnya sehingga lebih fokus pada keunggulan produk servisnya. Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan Indonesia. Berbagai manfaat dapat dipetik dari melakukan outsourcing, seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan. Salah satu kunci kesuksesan dari outsource adalah kesepakatan untuk membuat hubungan kerja jangka panjang (long term relationship), tidak hanya kepada proyek jangka dekat. Alasannya sangat sederhana, yaitu outsource harus memahami proses bisnis dari perusahaan. Perusahaan juga akan menjadi sedikit tergantung kepada outsourcer. Namun ternyata hal ini tidak mudah dilakukan di Indonesia. Terlebih-lebih lagi di Indonesia ada banyak masalah dalam menentukan partner outsourcing ini. Di industri milik pemerintah, seperti BUMN, pemilihan penyedia layanan harus dilakukan dengan melalui tender. Akibatnya pemegang tender sulit untuk diramalkan. Demikian pula perpanjangan layanan mungkin harus

ditenderkan lagi. Hubungan baik antara pengguna jasa outsourcing dan penyedia jasa outsourcing sulit terjadi. Beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang mengkritik sistem outsourcing, karena secara legal formal perusahaan pemberi kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak karyawan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan tersebut ditentukan beberapa syarat untuk meminimalisasi dampak negatif dari sistem outsourcing. Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja maupun perusahaan pemberi kerja, agar pekerja/buruh yang bersangkutan tetap terlindungi hak-haknya dan tidak mengalami eksploitasi secara berlebihan. Syarat-syarat yang wajib dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang berwenang 2. Pekerja/karyawan yang ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi 3. Adanya hubungan kerja yang jelas antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan 4. Hubungan kerja harus dituangkan dalam perjanjian secara tertulis yang memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lingkungan. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul kecenderungan outsourcing yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan. 46 Berikut akan dicoba untuk menguraikan sedikit mengenai pemborongan pekerjaan sebagai latar belakang, sebelum memasuki definisi dari outsourcing. Tentang isi perjanjian yaitu bahwa pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkannya dalam suatu jangka waktu yang ditentukan, dengan menerima suatu jumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan tersebut. Perjanjian pemborongan diwajibkan memberikan bahannya 46 Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing dari Aspek Hukum Naker, http://www.nakertrans.go.id/250604/html. Diakses Tanggal 26 Juni 2009.

untuk pekerjaan tersebut, dan si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. 47 Pasal 1601b mengartikan pemborongan kerja sebagai suatu persetujuan. Pihak pemborongan mengikatkan diri kepada pihak pemberi borongan untuk menyelesaikan suatu borongan tertentu, dan sebagai imbalan atas penyelesaian tersebut, pihak pemborong mendapat prestasi harga tertentu sebagai upah. Upah tertentu dalam pemborongan ini tidak hanya dimaksudkan semata-mata hanya upah yang telah ditentukan lebih dahulu. Tidak itu saja maksudnya, tetapi harus diartikan lebih luas dari pada itu yaitu, meliputi upah yang dapat ditentukan kemudian. 48 Prestasi upah yang diterima pemborong dalam pemborongan kerja tergantung pada objek kerja yang diborongkan. Bisa saja si pemborong hanya menyediakan bahan-bahan atau barang-barang borongan. Namun bisa juga sekaligus pemborong itu sendiri yang menyediakan bahan dan menyiapkan kerja borongan. Seperti memborong bangunan rumah. Seorang pemborong hanya ditugaskan untuk menyediakan bahan bagunan saja, sedangkan pembangunan rumah diserahkan kepada pemborong lain. Tetapi bisa juga sekaligus alat bangunan dan pembangunan rumah diserahkan kepada seorang pemborong. 49 Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal dan tanggung jawabnya. Pemborong atas hasil pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam halnya si pemborong 47 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.65. 48 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua, (Jakarta: Alumni, 1986), hlm.258. 49 Ibid.,

diwajibkan memberikan bahannya, dan pekerjaannya dengan cara bagaimanapun musnah sebelumnya diserahkan kepada pihak yang memborongkan. Maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan pekerjaannya musnah, maka hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606). Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundak pihak yang memborongkan ini. Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian itu, hal mana harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan. Maka si pemborong dapat dipertanggung jawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. 50 Kemudian, dalam halnya si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, Pasal 1607 KUHPerdata dituturkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi di luar sesuatu kelalaian dari pihaknya pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya. Maka si pemborong tidak berhak atas harga yang 50 Subekti, Op.cit.,

dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya. 51 Dari ketentuan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tidak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu, pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan, sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan. Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila dapat membuktikan adanya kesalahan dari si pemborong. Sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut harga yang dijanjikan apabila ia berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak lawannya itu mengandung cacat-cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya. 52 Jika suatu pekerjaan dikerjakan sepotong demi sepotong (sebagian demi sebagian) atau seukuran demi seukuran, maka pekerjaan itu dapat diperiksa sebagian demi sebagian. Pemeriksaan tersebut dianggap terjadi (dilakukan) untuk semua bagian yang telah dibayar apabila pihak yang memborongkan tiap-tiap kali membayar si pemborong menurut imbangan dari apa yang telah selesai dikerjakan (Pasal 1608). Ketentuan ini mengandung maksud bahwa bagian pekerjaan yang sudah dibayar itu 51 Ibid., hlm.66. 52 Ibid.,

menjadi tanggungan pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa (di luar kesalahan salah satu pihak) yang memusnahkan bagian pekerjaan itu. 53 Mengenai pemborongan pembangunan gedung terdapat suatu ketentuan sebagai berikut: jika suatu gedung yang telah diborongkan dan dibuat untuk suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian musnah disebabkan karena suatu cacat dalam penyusunannya atau bahkan karena tidak sanggup tanahnya, maka para ahli pembangunannya serta para pemborongnya adalah bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh tahun (Pasal 1609). Ketentuan ini meletakkan kepada ahli pembangunan dan pemborongan suatu kewajiban untuk menjamin mutu pekerjaan yang telah mereka lakukan. Apabila tanahnya tidak cukup kuat untuk didirikan gedung di atasnya, maka hal itu sepantasnya harus diketahui oleh ahli pembangunan dan pemborong dan karena itu mereka juga dipertanggung jawabkan atas runtuhnya gedung akibat kurang kuat tanahnya. Dan adalah pantas pula dalam hal pemborongan pembangunan suatu gedung untuk meletakkan kewajiban menanggung hasil karya mereka itu selama sepuluh tahun. 54 Kemudian dalam hal pemborongan pembangunan gedung itu didapatkan juga ketentuan sebagai berikut: jika seorang ahli pembangunan atau seorang pemborong telah menyanggupi untuk membuat suatu gedung secara memborong menuntut suatu penambahan harga, baik dengan dalih telah dibuatnya perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana, jika perubahan-perubahan 53 Ibid., 54 Ibid., hlm.67.

atau tambahan-tambahan itu tidak telah disetujui secara tertulis dan tentang harganya tidak telah diadakan persetujuan dengan si pemilik (Pasal 1610). Ketentuan tersebut sudah tepat, karena naiknya upah buruh dan harga bahan bangunan turun, itu adalah untungnya pemborong. 55 Pihak yang memborongkan jika menghendaki demikian, boleh menghentikan pemborongannya, meskipun pekerjaan telah dimulai. Asalkan memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada si pemborong untuk segala biaya yang telah dikeluarkan guna pekerjaannya serta untuk keuntungan yang terhilang karenanya. Demikianlah diterangkan oleh Pasal 1611. Di sini diberikan kemungkinan pengakhiran secara sepihak dengan segala konsekwensinya, yaitu pembayaran ganti rugi kepada pemborong yang tidak saja terdiri atas segala biaya yang telah dikeluarkan. Tetapi juga atas kehilangan keuntungan yang sedianya akan diperoleh si pemborong apabila dapat menyelesaikan pekerjaannya. 56 Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong. Namun pihak yang memborongkan diwajibkan untuk membayar kepada para ahli waris. Harga pekerjaan yang sudah dikerjakan menurut imbangan terhadap harga pekerjaan yang telah dijanjikan dalam perjanjian. Serta harga bahan bangunan yang telah disediakan, asal pekerjaan atau bahan-bahan tersebut dapat mempunyai sesuatu manfaat baginya (Pasal 1612). Tukang-tukang batu, tukang-tukang kayu, tukangtukang besi, dan lain-lain tukang yang telah dipakai untuk mendirikan sebuah gedung 55 Ibid., 56 Ibid., hlm.68.

atau untuk membuat sesuatu pekerjaan lain yang diborongkan. Tidak mempunyai tuntutan terhadap orang untuk siapa pekerjaan-pekerjaan itu telah dibuatnya, selainnya untuk suatu jumlah yang orang ini berutang kepada si pemborong pada saat mereka mengajukan tuntutan mereka (Pasal 1614). 57 Sebenarnya prinsip-prinsip outsourcing telah dijalankan sejak dulu. Pada waktu itu, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur pada peperangan mereka serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota beserta istana. Dengan perkembangan sosial yang ada, prinsip outsourcing mulai diterapkan dalam dunia usaha. 58 Definisi outsourcing sendiri adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (pengusaha penyedia jasa outsourcing) dengan tujuan untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk masalah ketenagakerjaan. 59 Sedangkan secara terminology, dalam KUHPerdata telah diatur mengenai masalah tersebut, dengan istilah pemborongan pekerjaan, yaitu Pasal 1601b KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak 57 Ibid., 58 Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003), hlm.2. 59 Ibid.,

yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. 60 Pada lingkungan persaingan global, outsourcing dapat sangat membantu suatu organisasi atau malah membuat organisasi yang terorganisasi dengan baik menjadi stabil. Kuncinya adalah menemukan dan memelihara kestabilan. Penstabilan kembali melibatkan suatu penilaian kembali kekuatan, kelemahan dan tantangan dari organisasi di pasar. Dalam menghadapi tantangan yang tetap, manajemen harus menentukan fungsi-fungsi yang merupakan kemampuan inti dari organisasi dan mempertahankannya. Setelah mempertahankan inti organisasi, pertahankan kemampuan inti tersebut dengan melakukan outsourcing guna meminimalkan investasi dan resiko pada organisasi. 61 Keberhasilan suatu outsourcing harus dilakukan melalui langkah-langkah tepat. Kekeliruan yang diambil akan menyebabkan outsourcing tidak efektif, bahkan dapat mengahsilkan akibat yang membahayakan perusahaan. Melakukan implementasi outsourcing bukanlah hal yang sederhana. Berbagai pertimbangan harus diperhitungkan dan diputuskan. Kesalahan dapat mengakibatkan masalah, bahkan kehancuran pada perusahaan. Agar efektif, implementasi outsourcing harus dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat seperti dapat diuraikan berikut: a. Mendefinisikan tujuan outsourcing b. Indentifikasi fungsi-fungsi yang harus di outsourcing 60 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan. 61 Chandra Suwondo, Op.cit., hlm.148.

c. Memperhitungkan resiko d. Mengajukan permintaan tertulis (kepada penyedia jasa outsource) e. Menyeleksi vendor yang ada pada daftar permintaan proposal f. Mengevaluasi proposal g. Menegosiasi harga akhir Dalam melakukan implementasi outsourcing, tidak semua fungsi dapat di outsourcingkan dengan segera. Sebelum melakukan outsourcing, setiap operasi/proses bisnis harus dianalisa dan dievaluasi dalam ketentuan kualitas, efektifitas biaya dan efisiensi secara keseluruhan. Selain itu, diperlukan juga perhitungan dan kalkulasi akurat dalam setiap operasi dan layanan yang akan di outsourcing. Fungsi-fungsi awal yang harus di outsourcing sangat bergantung pada jenis perusahaan, kondisi perusahaan, tujuan perusahaan, serta situasi dan kondisi makro ekonomi yang melingkupi perusahaan tersebut. 62 Dalam praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena apabila dilihat dari hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain sehingga memang benar dalam keadaan seperti itu 62 Ibid., hlm.119.

dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. 63 Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, mungkin Permen Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT), yang hanya merupakan salah satu aspek outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan. 64 Praktik outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut: 1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis 2. Bagian pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat: 63 Muzni Tambusai, Op.cit., 64 Ibid.,

a. Apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama b. Bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung, dan c. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan 65 Semua persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di outsourcingkan. Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan. 66 Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kuragnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi kerja. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama 65 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Peluang dan Tantangan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Pihak Ketiga (Outsourcing), Jurnal Hukum Vol. 3 Tahun VII, 2005. 66 Soedardji, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hlm.65.

terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerja karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam perjanjian kerja secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap dan bukan kontrak, tetapi dapat pula dilakukan perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak apabila memenuhi persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu. 67 Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labour Supplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37, dan 38 UU Ketenagakerjaan, yaitu apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut. Dalam penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan 67 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.221.

yang berhubungan dengan proses produksi. Dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman atau satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan, dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. B. Status Hukum Tenaga Kerja Outsourcing 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601b KUHPerdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. 68 Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHPerdata, yakni sebagai berikut: 69 a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan. 68 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit., 69 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi revisi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2009), hlm.188-189.

b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborongg, namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan. c. Si pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang yang telah dipekerjakan olehnya. d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu sampai biaya dan upahupah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut. 2. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang diapakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa buruh/pekerja. Ketentuan yang mengatur outsourcing ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh

yang dibuat secara tertulis. Dari perumusan Pasal 64 tersebut di atas, dalam kaitan ini terdapat 2 macam perjanjian, yaitu: 70 1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu suatu perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. 2. Perjanjian Penyediaan Jasa Buruh/Pekerja, yaitu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menyediakan pekerja/buruh kepada perusahaan yang akan menggunakan pekerja/buruh yang disediakan oleh perusahaan penyedia pekerja/buruh. Selanjutnya perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut di atas diatur dalam Pasal 65. Pengaturan perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Pasal 65 ini terdapat kejanggalan. Hal ini tercermin dalam Pasal 65 (2b) yang menentukan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. 71 Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi dipersyaratkan: 72 a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja 70 Aloysius Uwiyono, Op.cit., 71 Ibid., 72 Adrian Sutedi, Op.cit., hlm.226.

b. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi taanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.KEP-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Buruh/Pekerja disebutkan bahwa apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat: a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaan buruh dari perusahaan penyedia jasa. b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana maksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Trend outsourcing pada saat ini dikalangan pengusaha dan pekerja sangat banyak sekali dijumpai. Hampir setiap perusahaan sekarang ini lebih banyak

menggunakan tenaga kerja outsourcing, karena outsourcing pada praktiknya banyak dilakukan dengan sengaja dengan tujuan untuk menekan biaya produksi, dengan memberikan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga dirasakan sangat merugikan pekerja/buruh. Tetapi pada saat sekarang ini para pekerja/buruh hanya bisa menerima pelaksanaan outsourcing tersebut, hal itu dikarenakan banyaknya angka pengangguran di Indonesia ini. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Keberatan kalangan buruh terhadap sebagian substansi UU Ketenagakerjaan mengenai outsourcing. Misalnya, diijinkannya pengusaha melakukan praktek outsourcing dapat berimplikasi buruk terhadap serikat buruh perusahaan yang besangkutan. Outsourcing dapat mengurangi kekuatan serikat buruh karena pekerjaannya tidak bisa menjadi anggota serikat buruh. 73 Walau telah diatur dalam Pasal 66 ayat (2) butir a dimana dijelaskan bahwa adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha penyedia jasa pekerja/buruh. Namun dalam Pasal 1 ayat (15) dengan tegas dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan 73 Aloysius Uwiyono, UU No. 25 Tahun 1997 dan Kepmenaker No. 150/2000 Masih Berlaku, http://www.hukumonline.com/berita/090403/html. Diakses Tanggal 26 Juni 2009.

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Bila dilihat pada bentuk perjanjian kerja outsourcing pada praktik umumnya dapat diketahui bahwa dalam perjanjian kerja tersebut memang sudah memenuhi adanya unsur pekerjaan, dan upah namun tidak terdapat unsur perintah, karena perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing, sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk memberikan perintah. Hal tersebut dapat dilihat secara de facto bahwa kewenangan untuk memberi perintah terletak pada perusahaan pengguna jasa pekerja outsourcing tersebut, yaitu dimana pekerja outsourcing itu dipekerjakan. Dengan keadaan tersebut dapat dikatakan terdapatnya inkonsistensi dalam pengaturan masalah outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan. Pada Pasal 52 ayat (1) butir a, terdapat unsur kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian kerja yang dibuat antara penyedia jasa kerja dengan tenaga kerja outsourcing. Dalam unsur kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian kerja yang dibuat juga tidak terpenuhi unsur hukum secara keseluruhan karena pada dasarnya kesepakatan yang dibuat berdasarkan keterpaksaan si tenaga kerja outsourcing tersebut. Hal itu dikarenakan susahnya mencari pekerjaan pada saat sekarang ini, sehingga mengakibatkan angkatan kerja muda pada saat sekarang ini mau saja menerima peraturan-peraturan yang diajukan oleh perusahaan, walaupun hal tersebut sangat merugikan bagi mereka. Dari penjelasan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat sudah batal demi hukum. Oleh karena itulah status hukum bagi tenaga kerja outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak diatur secara tegas bahkan dapat disimpulkan status hukum bagi para tenaga kerja outsourcing tidak ada, karena masih banyaknya unsur-unsur perjanjian yang belum terpenuhi secara hukum.