yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Written by Administrator Monday, 03 December :37 - Last Updated Monday, 28 January :28

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

BAB I PENDAHULUAN. masih tersebar diseluruh Nusantara. Menurut Kodirun (dalam Koentjaranigrat,

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (dalam Maryaeni 2005) mengatakan bahwa kebudayaan daerah

1. Abstrak. 2. Peluang bisnis. Nama ; MUKHLISON HAKIM

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

Data kongkrit tentang lahir asal usul wayang sedikit jumlahnya. Perbedaan adanya disiplin ilmu untuk mendekati masalah dan konsep tentang maksud

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering

I. PENDAHULUAN. kebudayaan. Perkembangan seni dan budaya didalamnya terdapat kesenian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

UNIVERSITAS DIPONEGORO

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Wayang Kulit

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. 1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Wayang Rumput (Wayang Suket) Menurut berbagai sumber, pada mulanya Wayang Rumput (Wayang

I PENDAHULUAN. Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman kesenian tradidisional adalah salah satu potensi budaya yang

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tari sebagai ekspresi jiwa manusia dapat diwujudkan dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Seni Dzikir Saman Di Desa Ciandur Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang Banten

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asti Purnamasari, 2013

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. menarik. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keindahan, manusia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Budaya adalah hasil budi

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Indonesia merupakan negara di dunia ini yang memiliki ragam budaya

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

2015 PERTUNJUKAN KESENIAN EBEG GRUP MUNCUL JAYA PADA ACARA KHITANAN DI KABUPATEN PANGANDARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB VI P E N U T U P. A. Kesimpulan. purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono dalam acara Tirakatan

Bab VI Simpulan & Saran

3. Karakteristik tari

BAB I PENDAHULUAN. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar yang terdapat di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan

RAGAM WAYANG DI NUSANTARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada akhirnya dapat membangun karakter budaya

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan. Menurut kodratnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh: Alief Baharrudin G

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Pagelaran Wayang Ringkas

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan masyarakat Jawa yang bermigrasi ke Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di daerah yang memiliki beraneka ragam budaya, adat istiadat, norma

BAB I PENDAHULUAN. adat istiadat, agama dan kesenian. Namun di era globalisasi ini banyak budayabudaya

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan

2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu unsur kebudayaan dan sebagai salah satu perantara sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

48. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA SMA/MA/SMK/MAK

BAB I PENDAHULUAN. Seni terlahir dari ekspresi dan kreativitas masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

Transkripsi:

BAB II ASAL-USUL WAYANG A. Sejarah Wayang Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya dengan budaya. Di antara sekian banyak seni budaya yang ada, wayang dan seni pedalangan yang bertahan dari masa ke masa. Wayang memberi pelajaran penting bagi masyarakat dalam menjalani kehidupannya, karena dalam wayang menceritakan segala kehidupan manusia dari lahir sampai kembali kepada sang pencipta. Berdasarkan sejarah kebudayaan Indonesia, pada zaman prasejarah nenek moyang kita percaya bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya mempunyai kekuatan ghoib atau memiliki roh yang berwatak baik maupun jahat. Mereka juga percaya bahwa roh tersebut lebih kuat atau lebih berkuasa daripada waktu masih hidup, serta beranggapan bahwa roh-roh tersebut berada didekat atau sekelilingnya seperti di pohon-pohon besar, dan gunung-gunung. Kepercayaan nenek moyang itulah yang mempengaruhi cara-cara pembuatan bayang-bayang (Mulyono, 1989: 44-45). Sebenarnya ada beberapa pendapat tentang asal-usul wayang, misalnya yang di ungkapkan oleh Dr. G.A.J. HAZEU dalam Disertasinya yang diselesaikan di Leiden tahun 1897 berpendapat bahwa wayang berasal dari Jawa. Beliau melihat dari istilah-istilah sarana pertunjukan yang di gunakan pada pertunjukan wayang seperti kelir, blencong, kepyak,

dalang, kotak dan cempala. Istilah-istilah tersebut hanya ada di Pulau Jawa, kecuali kata cempala (-capala berasal dari bahasa sanskerta). Menurutnya untuk mengetahui asal-asul wayang harus mengetahui pokok pikirannya terlebih dahulu, salah satunya yaitu dengan di cari bahasa asal dan mengetahui dari mana datangnya istilah sarana pertunjukan wayang tersebut (Mulyono, 1989: 8). Sedangkan menurut Dr. W.H. RASSERS yang berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan bahwa pertunjukan wayang di Jawa bukan ciptaan asli dari Orang Jawa. Menurutnya pertunjukan wayang di Jawa merupakan tiruan dari India, karena di India telah lama diketahui ada permainan bayangan yang mirip dengan pertunjukan bayangan di Jawa. Selain itu, Dr. N.J. Krom juga berpendapat bahwa di India Barat juga ada pertunjukan wayang Hindu yang awal mulanya di dimainkan dikalangan istana dan lama-kelamaan merembes ke rakyat. Maka dari itu pertunjukan wayang harus menyesuaikan upacara ritual yang ada, dengan tetap mempertahankan bahannya, akan tetapi dalam bentuknya mendapat pengaruh dari Jawa. Oleh karena itu, ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa (Mulyono, 1989: 23-28). Dalam buku Pathokan Pedalangan gagrag Banyumasan asal-usul wayang itu bersumber dari perabot-perabot maupun sarana-sarana yang digunakan dalam pertunjukan wayang. Selain itu, ada sumber lain seperti naskah kuno yang menjadi asal-usul wayang. Sumber itu dibagi menjadi

beberapa zaman (Sungging Suharto, wawancara Kamis 11 April 2013) yaitu: 1. Zaman Dyah Balitung (898-910 M) Bersumber dari naskah Ramayana Mataram Hindu dalam bahasa sansekerta yang berasal dari India, yang ditulis dengan bahasa Jawi kuno. 2. Zaman Prabu Darmawangsa (991-1016 M) Bersumber dari serat Mahabarata dalam bahasa sansekerta yang memiliki 18 bab atau parwa, kemudian ditulis menggunakan bahasa Jawa menjadi 9 bab atau parwa. 3. Zaman Prabu Airlangga (1019-1042 M) Bersumber dari cerita kasustraan Jawa yang berkembang pesat yaitu serat Arjunawiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa dan selesai tahun 1030. 4. Zaman Kediri (1042-1222 M) Pada zaman kediri Prabu Jayabaya mengembangkan seni pedalangan melalui kasustraan Jawa pada tahun 1135-1157. Selain itu, juga terdapat seorang pujangga yang menulis serat Bharatayuda yaitu Mpu Sedah yang kemudian diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Sedangkan menurut serat Centini, pada masa Prabu Jayabaya sudah ada yang membuat gambar wayang menggunakan daun lontar.

5. Zaman Majapahit (1293-1528 M) Bersumber pada serat Centini yaitu pada zaman awal Majapahit wayang purwa digambar menggunakan kertas Jawa. Kemudian berkembang sampai ada seorang putra yang bernama Raden Sungging Prabangkara yang pandai menggambar serta mendalang dengan cara menyungging atau ditata. 6. Zaman Demak (1500-1550 M) Zaman ini lebih dikenal dengan zaman Kerajaan Islam, wayang purwa sudah mulai berwujud manusia. Pada masa pemerintahan Raden Patah, wayang sudah tidak lagi digambar diatas kain (wayang beber) tetapi disungging dengan menggunakan kulit kerbau. Dasar kulit binatang yang berwarna putih (berasal dari tulang yang dibuat tepung), di beri pakaian yang digambar dengan tinta warna, wayang dibuat miring, tangan dibuat panjang, kemudian digapit dan disumping. Pada masa ini, yang membuat sumpingan untuk wayang tersebut adalah sunan Bonang, Sedangkan sunan Kalijaga yang menyarankan menggunakan kelir, blencong, peti/kotak dan kekayon atau gunungan. Pada zaman demak ini wayang digunakan oleh para wali sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam. Misalnya yang dilakukan oleh sunan Kalijaga, beliau melakukan pertunjukan wayang diberbagai daerah dengan menyesuaikan adat yang ada tetapi tetap menggunakan syariat Islam. Jika masyarakat ingin melihat atau

menonton pertunjukan wayang tersebut maka harus membeli tiket. Tiket tersebut tidak dibeli dengan uang tetapi dengan membaca dua kalimat syahadat, sehingga dengan tidak langsung maka masyarakat tersebut sudah masuk agama Islam. Itulah alasannya kenapa Islam mudah diterima oleh masyarakat. 7. Zaman Pajang (1568-1586 M) Pada zaman ini pembuatan wayang purwa maupun wayang gedhog sudah ditata ke arah dalam bentuk wayang atau menyempurnakan dan memberi pakaian wayang, misalnya tokoh Ratu memakai mahkota, para satria rambutnya ditata rapi, dan sudah memakai kain atau celana. Pada masa sunan Kudus membuat wayang golek dari kayu, sedangkan sunan Kalijaga membuat cerita wayang topeng dari wayang gedhog yaitu cerita panji. 8. Zaman Mataram Islam Pada zaman perkembangan wayang lebih berkembang pesat dan mencapai puncak kejayaannya, banyak muncul tokoh-tokoh binatang yang disesuaikan dengan zamannya, misalnya: pada Kerajaan Hindu (zaman Kediri, Singosari dan Majapahit). Dari uraian diatas itulah, pembagian zaman yang menjadi sumber asal-usul atau sejarah wayang yang ada di Indonesia. Dalam sejarah pewayangan di Indonesia juga sangat berpengaruh terdapat perkembangan wayang gagrag Banyumasan. Pada umumnya pertunjukan wayang menggunakan bahasa Jawa, tetapi adapula yang

dipengaruhi oleh bahasa daerahnya sendiri salah satunya yaitu wayang gagrag Banyumasan. B. Macam-macam Wayang Berdasarkan perkembangan wayang yang terus-menerus bertahan sampai akhir zaman. Wayang menempati sejarah yang panjang sehingga dunia wayang semakin hari semakin dikenal masyarakat dunia. Indonesia memiliki beberapa jenis wayang yang terbuat dari berbagai macam bahan dan sampai saat ini masih sangat eksis di tengah masyarakat Jawa. Bahkan ada beberapa wayang yang mengalami perubahan format serta dikolaborasikan dengan musik modern sehingga wayang itu mampu berbicara lebih jauh tentang modernitas yang berkaitan dengan sosial, politik, dan budaya. Berikut ini ada berbagai ragam jenis wayang yang masih dilestarikan yaitu sebagai berikut. 1. Wayang Purwa Pada mulanya purwa merupakan bahasa sansekerta yang berarti pertama, yang terdahulu, yang dulu. Sesuai istilah tersebut Wayang purwa adalah wayang zaman dulu atau wayang yang mempertunjukan cerita zaman dulu. Secara umum pementasan wayang purwa bersumber dari cerita Mahabarata atau Ramayana, karena kata Purwa (Parwa) merupakan bagian dari cerita Mahabarata atau Ramayana (Mulyono, 1989: 149).

Wayang ini merupakan wayang yang sangat populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang purwa terbuat dari kulit lembu tetapi ada juga yang terbuat dari kulit kerbau. Sunan Kalijaga merupakan seorang wali yang pertama kali menciptakan wayang dari kulit lembu. Bentuk wayang purwa (kulit) ini berbeda dengan tubuh manusia pada umumnya, karena diukir dengan sistem tertentu sehingga perbandingan antar bagian menjadi seimbang. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan para pesinden. Pada perkembangannya, bentuk bangun wayang kulit mengalami perkembangan dan pergeseran dari tradisi menjadi kreasi baru, misalnya, Ki Entus Susmono dari Tegal telah banyak membuat kreasi wayang kulit, mulai dari wayang planet, wayang tokoh kartun seperti batman, superman, satria baja hitam, robot, dinosaurus, dan wayang rai-wong (bermuka wong), tokoh George Walker Bush, Saddam Husain, sampai pada tokoh-tokoh pejabat pemerintah (Wibisana, 2010: 29). 2. Wayang Beber Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran-lembaran (beberan), dalam teknik pertunjukan dilaksanakan dengan cara membeberkan atau menggelar gulungan gambar wayang pada kain

atau lembaran. Wayang beber terbuat dari kain atau kertas jawa (kertas ponorogo) yang kuat, warnanya seperti kertas layang-layang. Wayang beber dimainkan bukan dengan gerak, melainkan drama suara yang dibantu dengan sederet lukisan adegan wayang diatas kain memanjang. Lukisan-lukisan yang dibuat itu dipertunjukan dengan maksud yaitu untuk pemujaan kepada roh nenek moyang, serta pengaruhnya menolak setan jahat (Herawati, 2006: 39). Pada dewasa ini wayang Beber sudah mengalami kepunahan. Akan tetapi, Wayang Beber asli sampai sekarang masih bisa dilihat di daerah Pacitan, Donorojo, Jawa Timur. Di daerah tersebut masih percaya bahwa itu merupakan sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan, wayang juga dimainkan di dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul (Mulyono, 1989: 151). 3. Wayang Golek Wayang golek adalah seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang sangat populer di daerah Pasundan. Wayang ini terbuat dari kayu yang dipahat dan diukir serta berpakaian jubah (baju panjang), kain serta slendang tanpa digeraikan secara bebas. Pertunjukan wayang golek tidak menggunakan kelir seperti wayang kulit. Alur cerita pewayangannya bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana

dengan menggunakan bahasa Sunda dan iringan gamelan Sunda (Wibisana, 2010: 21) Sesuai dengan keputusan Pengurus Yayasan Pedalangan Jawa Barat pada Seminar Pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari di Bandung, memutuskan bahwa wayang Golek baru disebut wayang pakuan. Dalam pementasannya wayang pakuan juga menceritakan tentang Babad Padjajaran, penyebaran Islam di Jawa Barat serta datangnya bangsa asing (Barat) di Indonesia, sehingga tidak heran jika kelompok wayang golek pakuan terdapat tokoh-tokoh seperti Prabu Siliwangi, Sultan Agung, dan Djoko Tarub(Haryanto, 1988: 61). 4. Wayang Orang Wayang orang adalah cerita wayang purwa yang dipentaskan oleh orang dengan busana seperti wayang. Perkumpulan yang terkenal dengan wayang orang ini diantaranya Ngasti Pandawa (Semarang), Sriwedari (Surakarta), Sedangkan di daerah Banyumas lebih dikenal dengan dalang jemblung. Pertunjukan wayang orang sangat terbatas, karena hanya bisa dinikmati oleh kalangan keraton, sehingga masyarakat belum bisa bebas menonton secara terbuka. Namun, seiring berkembangnya zaman pertunjukan itu mulai memasyarakat, rakyat bebas menontonnya tanpa harus membayar mahal.

Pertunjukan wayang orang berbeda dengan wayang kulit. Dalam wayang kulit seorang dalang berperan penting dalam menjalankan wayang, sedangkan dalam dalang wayang orang hanya memberikan pengaturan adegan yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Orang atau aktor yang menjadi wayang mempelajari jalan ceritanya sendiri sehingga dalang tidak terlalu terfokus di dalamnya. Pakaian yang digunakan para wayang orang sangat sederhana sesuai dengan pakaian adatnya (Ra uf. 2010: 174). 5. Wayang Suket Wayang suket ini terbuat dari suket tetapi bukan suket biasa, melainkan suket kasuran. Untuk memetik suket tersebut hanya setiap bulan sekali yaitu pada bulan sura. Wayang suket ini biasanya juga sebagai alat permainan atau penyampaian cerita pewayangan pada anak-anak di desa. Perkembangan wayang suket sudah sangat merakyat, seiring berkembangnya zaman, Seperti yang di komandoi oleh Ki Slamet Gundono dari Tegal. Beliau sudah menampilkan wayang ini ke beberapa negara dan dalam pertunjukannya, beliau mengkolaborasikan dengan alat-alat modern yang berkembang sekarang ini. Ada beberapa yang ditampilkan dengan cara kontemporer misalnya media wayang yang terbuat dari rumput,

tetapi alat musik yang digunakan sudah modern seperti gitar dan drum (Ra uf, 2010: 178). Dalam pertunjukan wayang suket Ki Slamet tidak terpaku pada sebuah naskah kuno. Tetapi beliau memadukan antara wayang yang memiliki gagasan tradisional dengan pemahaman keagamaan, politik yang berkembang serta berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa ini. C. Fungsi Pertunjukan Wayang Wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia yang berkembang di Jawa. Dalam setiap pertunjukan wayang yang dilambangkan dalam bentuk simbol memiliki banyak makna bagi kehidupan manusia. Salah satunya menceritakan kehidupan manusia dari lahir, tumbuh dewasa sampai mati. Setiap pertunjukan wayang pada dasarnya memiliki banyak fungsi yang sangat berguna bagi masyarakatnya. Ada beberapa fungsi pertunjukan wayang yang juga termasuk wayang kulit gagrag Banyumasan yaitu: 1. Fungsi ritual Pada awalnya seni pertunjukan tradisional terutama wayang digunakan untuk upacara keagamaan atau ritual. Seni yang berbentuk simbol itu digunakan untuk berkomunikasi kepada Yang Maha Kuasa atau yang di agungkan, misalnya, pada zaman prasejarah wayang

berfungsi untuk mendatangkan roh-roh leluhur yang dianggap keramat, karena mereka beranggapan bahwa Roh-roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat melindunginya. Dalam perkembangannya, seni pertunjukan wayang juga masih dapat memperlihatkan fungsi ritual. Pertunjukan wayang kulit di daerah pedesaan masih banyak ditampilkan untuk keperluan-keperluan seperti sedekah bumi, sedekah laut, dan pernikahan, misalnya, pementasan wayang dalam upacara sedekah bumi, dari persiapan sebelum pertunjukan sampai akhir pertunjukan biasanya masih berpijak pada aturan-aturan yang berlaku. Sebelum pertunjukan dimulai harus disajikan sajen berupa hasil bumi. Begitu pula dengan lakon juga harus disesuaikan dengan keperluan atau hajatannya. Tujuan diadakannya pertunjukan wayang biasanya, karena ungkapan rasa syukur kepada yang maha kuasa atau untuk memenuhi suatu janji atau hajat (wawancara Dalang Tarjono, Selasa 14 Mei 2013). Menurut Rassers (1959) pertunjukan wayang kulit oleh orang Jawa digunakan untuk ruwatan, yaitu agar manusia dibebaskan dari kesialan atau ancaman kekuatan yang supranatural. Ada beberapa wong sukerta yang menurut adat orang Jawa perlu di ruwat, yaitu: (1) anak tunggal, (2) bocah pancuran kapit sendhang (tiga anak saudara, seorang laki-laki diapit oleh dua anak perempuan), (3) bocah uger-uger lawang (dua anak bersaudara laki-laki semua), (4) bocah kembang sepasang (dua anak bersaudara perempuan semua) (5) dua anak kembar, (6) tiga

anak bersaudara, dan seorang perempuan diapit ditengah oleh dua anak laki-laki (Soedarsono, 1998: 85). Biasanya pertunjukan wayang itu di laksanakan pada malam hari, tetapi untuk acara ruwatan pertunjukan wayang bisa dilaksanakan pada siang hari. Selain itu, beberapa sajen yang harus dipersiapkan seperti ada pakaian baru, beberapa nasi tumpeng, alat keperluan rumah tangga dan sebagainya. Salah satunya yang dilaksanakan oleh keluarga Bapak Kasbiri pada tanggal 15 Mei 2013. Beliau memiliki seorang anak tunggal yang akan menikah, tetapi sebelum acara akad nikah anak tersebut di ruwat terlebih dahulu dengan tujuan untuk membersihkan kotoran maupun najis-najis serta dijauhkan dari mara bahaya (wawancara Bapak Kasbiri, Rabu 15 Mei 2013). Dalang yang melakukan ruwatan juga harus memiliki syarat tertentu. Salah satunya yaitu merupakan dalang turunan, maksudnya keturunan dari dalang yaitu anak laki-laki dari dalang (ayah) yang menjadi dalang bukan mantu dalang atau adik dalang. Selain itu, dalang tersebut hanya memiliki satu istri saja tidak boleh lebih dari satu (wawancara Dalang Sugito Purbocarito, 11 April 2013). 2. Fungsi pendidikan sebagai media tuntutan Salah satu fungsi pertunjukan wayang yang tak kalah pentingnya yaitu sebagai media pendidikan atau sebagai tuntunan bagi para penontonnya. Dalam pertunjukan wayang yang serba simbol mengandung banyak nilai-nilai filsafat. Salah satunya tentang nasihat

atau ajaran-ajaran luhur dalam menjalani kehidupan serta cara bagaimana menyikapinya. Selain itu, terdapat juga nilai-nilai pendidikan seperti kepahlawanan, kejujuran, dan kesetian. Sebagai media transformasi nilai-nilai budaya, maka seorang seniman atau dalang betul-betul dituntut untuk dapat berperan semaksimal mungkin atas peran yang diembannya. Seni pertunjukan wayang kulit sebagai media pendidikan hakekatnya sudah terkandung dalam perwatakan tokoh-tokoh, kayon atau gunungan maupun ceritanya yang utuh. Misalnya tentang peperangan antara kedua belah pihak yaitu sifat baik yang diwakili oleh pihak ksatria dan buruk oleh pihak raksasa, maka akhir dari peperangan tersebut dimenangkan oleh sifat baik atau ksatria, sehingga hidup manusia akan menjadi aman dan tentram. Dalam pementasannya, dalang memainkan ksatria dengan menggunakan tangan kanan sedangkan tangan kiri untuk memainkan raksasa sehingga oleh orang Jawa diidentikan bahwa kanan adalah simbol kebaikan dan kiri merupakan simbol kejahatan (Sujarno, 2003: 51). Nilai pendidikan juga terkandung dalam makna simbolis kayon atau gunungan. Dalam pertunjukan wayang kulit, pada hakekatnya dibagi 3 babak yaitu pathet 6 yang ditandai dengan kayon miring ke arah kiri, pathet 9 ditandai dengan kayon yang diletakkan tegak, dan pathet manyura merupakan babak terakhir yang ditandai dengan kayon yang miring ke arah kanan. Dari ketiga babak tersebut

secara langsung menggambarkan kehidupan manusia yaitu dari lahir, tumbuh dewasa dan mati (wawancara Dalang Gendroyono, Senin 2 April 2013). Pada bagian pertama, melambangkan pendidikan dasar yang disebut wulangan. Wulangan ini merupakan ajaran yang bersumber dari piwulang yang diajarkan kepada anak-anak. Oleh karena itu, gamelan dan lagu dalam pathet nem ini ditandai dengan kayon (gunungan) yang cenderung ditancapkan ke kiri. Pada bagian phatet nem ini dibagi menjadi 6 bagian adegan, yaitu: jejer pertama adegannya membahas mengenai persoalan yang dihadapi oleh negara atau tokoh utama, hal ini merupakan masalah yang dihadapi manusia. Karena dalam kehidupan selalu ada permasalahan yang harus dihadapi bukan untuk dihindari. Pasebatan jawi yang melambangkan kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar. Adegan jaranan yang menampilkan pasukan binatang melambangkan watak anak bahwa anak yang belum dewasa memiliki sifat-sifat seperti halnya binatang yang belum tahu tentang aturan-aturan yang berlaku. Adegan perang ampyak dilambangkan sebagai perjalanan kehidupan anak yang sudah beranjak dewasa, mulai menghadapi banyak kesulitan dan hambatan. Setelah itu, adegan sabrangan melambangkan anak yang sudah dewasa, namun mempunyai watak-watak yang dominan dalam kemurkaan, emosional dan nafsu. Adegan terahir dalam pathet nem adalah perang gagal yaitu suatu perang yang melambangkan suatu tataran kehidupan yang belum

mantap karena belum mempunyai tujuan yang pasti serta melawan hawa nafsu yang belum berahir. Bagian kedua, adegan ini ditandai dengan gunungan yang tegak di tengah-tengah kelir. Pathet sanga ini meliputi: adegan gorogoro yang diartikan keadaan atau kejadian alam yang terjadi, sehingga manusia dapat belajar dan mengambil hikmah atau makna dari kejadian tersebut dan tidak berputus asa dalam menjalani hidupnya. Adegan ini juga merupakan adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan pandita merupakan pertemuan antara pandita dan kesatria yang melambangkan bahwa suatu saat manusia akan membutuhkan seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Kemudian, adegan perang kembang merupakan adegan perang yang melambangkan suatu tataran dimana manusia sudah mulai mampu dan berani memenangkan atau mengalahkan hawa nafsu angkara murka. Yang terahir, adegan sintren melambangkan bahwa manusia sudah memilih jalan hidupnya untuk mencapai tujuan. Bagian terakhir ditandai dengan gunungan condong ke kanan. Pada periode ini, terdiri dari jejer manyura, perang brubuh dan tancep kayon. Dalam jejer manyura diceritakan bahwa tokoh utama dalam lakon sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia, dimana manusia berhasil menentukan pilihan dalam hidupnya serta bertekad untuk menggapai tujuan tersebut. Adegan perang bubruh,

adegan ini melambangkan tatanan manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala hambatan hingga berhasil mencapai tujuan. Kemudian dilanjutkan dengan tancep kayon atau penutup pagelaran wayang. Pada bagian terahir ini, diadakan tarian Bima atau Bayu yang berarti angin atau nafas. Kemudian gunungan atau kayon ditancepkan ditengah-tengah kelir lagi, hal ini melambangkan proses maut meninggalkan alam fana menuju alam baka yang kekal dan abadi. Dari uraian tersebut banyak sekali tuntunan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia harus melalui beberapa tahapan-tahapan yang penuh lika-liku dan bila tiba masanya, manusia akan mati. Oleh karena itu, sebaiknya manusia dalam berperilaku selalu senantiasa menanamkan kebaikan. 3. Propaganda Politik (Dalang Sigit, wawancara Sabtu 08 Juni 2013) Dalam masa pembangunan nasional seperti sekarang ini, seni pertunjukan wayang sangat berperan penting dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan, khususnya bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat secara umum. Pesan yang disampaikan dalam pertunjukan wayang kulit biasanya melalui tokoh Punakawan. Tokoh Punakawan inilah yang menggambarkan figur-figur rakyat serta memberikan kritikkritik sosialnya. Pesan-pesan pembangunan yang disampaikan disesuaikan dengan topik atau keinginannya. Adapun topik tentang kepahlawanan, kebersamaan, kesetiaan, kepatuhan, serta topik yang berupa kritik sosial

tentang masyarakat maupun pemerintahan masa kini. Misalnya topik tentang pemberantasan KKN, dan penegakan hukum. Sebagai media penerangan atau kritik sosial, pertunjukan wayang sangat berperan penting, karena melalui tokoh-tokoh wayang yang diperankan dapat mengkritik pemerintahannya tanpa mengkritik secara langsung. Misalnya menyindir atau mengkritik pimpinan yang terkena kasus KKN maupun mengkritik aparat desa yang sewenangwenang dalam menjalankan tugasnya. 4. Fungsi hiburan atau tontonan Pertunjukan wayang juga berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Wayang merupakan kesenian klasik yang adiluhung, maksudnya kesenian tradisional yang indah dan menarik serta mengandung ajaran moral manusia dalam hidupnya. Pertunjukan wayang yang berkualitas serta penyajian wayang yang disuguhi dengan nilai estetika, etika dan filsafat. Maka pertunjukan wayang secara nyata dan simbolik berfungsi sebagai tontonan, tatanan dan tuntunan. Seni pertunjukan wayang sebagai media hiburan begitu lepas dan tidak dikaitkan dengan upacara ritual. Pertunjukan ini diselenggarakan untuk memperingati suatu peristiwa atau hanya sebagai sarana hiburan. Meskipun demikian, dalam pertunjukannya wayang tetap mengaandung ajaran, tuntutan maupun nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat (Sujarno, 2003: 56).

Seiring perkembangan zaman, pertunjukan wayang lebih menonjolkan hiburannya daripada tuntunannya. Para seniman atau dalang lebih banyak berorientasi komersial (mengejar materi), yang penting penonton senang tanpa memperhatikan nilai-nilai pendidikannya. Terkadang dalam pementasan wayang kulit juga digunakan sebagai arena perjudian, mabok-mabokan, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan perkelahian.