BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

JURNAL. N P M Program Program Hukum FAKULTAS

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana bersikap, bertutur kata dan mempelajari perkembangan sains yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. secara terperinci menyatakan sebagai berikut :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga pemasyarakatan atau disingkat ( LAPAS) merupakan institusi dari

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. barang siapa yang melanggar larangan tersebut 1. Tindak pidana juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

BAB I PENDAHULUAN. atau ditaati, tetapi melalui proses pemasyarakatan yang wajar dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

BAB I PENDAHULUAN. sanksi atau nestapa sebagaimana diatur dalam hukum pidana (Strafrecht) dan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Setelah adanya Keputusan Konferensi Dinas Para

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema berpendapat

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. membentuk norma yang hidup di masyarakat. Sebagai ultimum remedium,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJALANI PIDANA PENJARA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. pemasyarakatan di Indonesia. (Lapas) di Indonesia telah beralih fungsi. Jika pada awal

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, artinya

HAK ANAK DIDIK SEBAGAI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MENURUT UU NO. 12 TAHUN Oleh : Refly Mintalangi 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penduduk Indonesia yang sangat besar jumlah pertumbuhan penduduknya yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB II. Perlindungan Hukum Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Lembaga. Pemasyarakatan Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Presiden sebagai kepala negara Republik Indonesia (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan prinsip pemasyarakatan : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA Oleh: M. Fahmi Al Amruzi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

III. METODE PENELITIAN. memperoleh data empiris melalui penelitian (Didi Atmadilaga,1997: 125).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi. Pada dasarnya, Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok saja, akan tetapi akan dikembangkan lebih luas lagi dengan aturan-aturan dan ketentuanketentuan yang termuat dalam bentuk peraturan dan ketetapan lainnya baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 1 Dari bentuk-bentuk peraturan maupun ketetapan, baik yang tertulis atau tidak tertulis inilah dapat ditemukan istilah yang disebut dengan Hukum Positif Indonesia. Hukum Positif Indonesia, salah satunya mengatur mengenai Hukum Pidana, baik yang hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus. Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu jenis dari tindak pidana khusus, akan tetapi bentuk perumusan jenis dari sanksi tindak pidana narkotika ini sejalan dengan ketentuan hukum pidana umum, yaitu ketentuan Pasal 10 KUHP berupa pidana mati, pidana penjara, denda, dan kurungan. 2 1 Joeniarto, 1974, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 38. 2 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 213. 1

2 Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. 3 Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana. 4 Pemidanaan disini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Pemidanaan harus pula mengandung unsur-unsur yang bersifat yakni (1) kemanusiaan, dalam arti pemidanaan dimaksud menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang, dan (2) edukatif, dalam arti pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya dari perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 5 Mengenai pidana penjara ini, diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang disertai dengan peraturan pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pemasyarakatan merupakan suatu kegiatan pembinaan warga binaan masyarakat berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sebelum adanya sistem pemasyarakatan, di Indonesia dikenal adanya sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan itu sendiri sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, serta secara berangsur-angsur tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, oleh karena itu, sejak tahun 1964 3 Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 3. 4 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.13. 5 M. Zen Abdullah, 2009, Pidana Penjara Eksistensi dan Efektivitasnya dalam Upaya Resosialisasi Narapidana, Hasta Cipta Mandiri, Yogyakarta, hlm.3.

3 sistem pemenjaraan berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri. Saharjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Alasannya: tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak. 6 Dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan ini, diatur hal-hal yang berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan, dan salah satunya mengenai Hak- Hak Narapidana, yaitu: a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, dan atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hak-hak tersebut di atas, terdapat salah satu hak berupa mendapatkan pengurangan masa pidana atau yang sering disebut dengan remisi. Remisi merupakan pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana 6 Loc. Cit.

4 dengan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tertentu yang dimaksud tersebut adalah narapidana berkelakuan baik selama menjalani masa pidananya. Pada tanggal 28 Juli 2006, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaludin. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, terdapat perubahan mengenai ketentuan persyaratan pemberian remisi. Dengan adanya perubahan tersebut, dapat diketahui bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ini, pemberian remisi pun diperketat. Pada awalnya, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, narapidana semua diperlakukan sama dalam hal pemberian remisi, akan tetapi setelah munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, mulai terlihat adanya pembedaan dalam pemberian remisi bagi narapidana umum dengan narapidana narkotika. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian remisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dipandang belum mencerminkan seutuhnya kepentingan mengenai keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan. Pada tanggal 12 November 2012, terdapat perubahan kembali terhadap peraturan pelaksana dari Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

5 Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Amir Syamsudin, selaku Menteri Hukum dan HAM. Peraturan pemerintah terbaru ini, justru menimbulkan permasalahan baru. Salah satunya adalah pengajuan gugatan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung oleh Yusril Ihza Mahendra karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 7 Sementara itu, Priyo Budi Santoso yang merupakan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR), mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meneruskan aspirasi 109 narapidana korupsi yang keberatan atas munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. 8 Dalam surat tersebut, berisi gugatan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dianggap telah bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) yang berarti melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta pun menjadikan bukti bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dinilai tidak manusiawi, tidak adil, tidak rasional, dan tidak sejalan dengan konsep pemasyarakatan yang merupakan lembaga pembinaan bagi pelaku kejahatan agar siap kembali terjun dalam masyarakat. 9 7 http://indonesaya.wordpress.com/tag/diskriminatif-dalam-implementasi-peraturan-pemerintahpp-nomor-99-tahun-2012/, Fransisca Tambunan, Diskriminatif dalam Implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dalam hal Pengetatan Remisi, 26 Februari 2014. 8 Ibid. 9 Ibid.

6 Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis membahas lebih mendalam, dalam penelitian yang berjudul Pengetatan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka penulis mengajukan rumusan masalah: Bagaimanakah prosedur pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk memperoleh data tentang prosedur pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan dalam perkembangan peradilan serta penyelesaian sengketa hukum pada khususnya. 2. Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi: a. Penulis sebagai persyaratan dalam penulisan skripsi.

7 b. Aparat penegak hukum di Indonesia agar lebih memahami bahwa remisi merupakan hak yang dimiliki oleh narapidana dalam masa pemidanaannya. c. Narapidana yang dipidana karena tindak pidana narkotika, agar mendapat tambahan pengetahuan tentang pemberian remisi baginya dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. d. Masyarakat, agar memiliki tambahan pengetahuan mengenai pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. E. Keaslian Penelitian Penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis dengan judul Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 merupakan hasil karya asli dan bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil penulis lain. Sepanjang pengetahuan penulis, judul ini belum pernah diteliti oleh penulis lain. Apabila ditemukan penulisan yang mengacu judul yang sama, penulisan ini dapat dijadikan sebagai pelengkap. F. Batasan Konsep 1. Pengetatan Pengetatan adalah proses, cara, perbuatan mengetatkan. 2. Pemberian Pemberian adalah sesuatu yang diberikan.

8 3. Remisi Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 4. Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pelaku tindak pidana narkotika adalah produsen dan bandar narkotika. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 merupakan perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Hukum Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yang merupakan penelitian hukum positif berupa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengetatan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang memerlukan data sekunder sebagai data utama yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer

9 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif Indonesia yang berupa peraturan perundangundangan, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 junto Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012. 6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. 7) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

10 b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari segala sumber seperti pendapat hukum, pendapat non hukum, buku-buku ilmiah, hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet, serta hasil wawancara dengan narasumber. c. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan menyangkut penelitian yang kegiatannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum, pendapat non hukum, buku-buku ilmiah, hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan tanya-jawab kepada narasumber untuk memperoleh jawaban mengenai permasalahan yang diteliti. Narasumber adalah individu yang berwenang dan mempunyai keterkaitan dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian, yaitu keterkaitan dengan pengetatan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012, yang dalam hal ini adalah Ibu

11 Desy Afneliza, A.Md., IP., selaku Kasubsi Registrasi Lapas Kelas IIA Wirogunan. 4. Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada penelitian hukum normatif yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Proses penalarannya dengan menarik kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni pengambilan kesimpulan yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum menuju pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus. H. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan ini disusun secara sistematis dalam bab per bab agar penulisan hukum ini menghasilkan keterangan yang jelas dan sistematis. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini terdiri dari tiga bab yang meliputi: BAB I: PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini di dalamnya menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Batasan Konsep, dan Metode Penelitian. BAB II: PEMBERIAN REMISI TERHADAP BANDAR DAN PENGEDAR NARKOTIKA

12 Bab II (dua) ini berisi pembahasan, yang membahas tentang pertama, tinjauan tentang remisi sebagai hak dari narapidana yang terdiri dari pengertian remisi, jenis-jenis remisi, pihak-pihak yang berhak mendapatkan remisi, syarat-syarat remisi, dan tata cara pemberian remisi. Kedua, tinjauan tentang pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang terdiri dari pengertian tindak pidana narkotika, pengertian pelaku tindak pidana narkotika, dan syarat pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana narkotika. Ketiga, tinjauan tentang pengetatan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang terdiri dari pengertian Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, perbandingan tentang syarat pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, dan tata cara pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. BAB III: PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat dalam pembahasan yang dilakukan oleh penulis di dalam Bab II (dua) dan saran yang merupakan tindak lanjut dari kesimpulan yang dibuat oleh penulis setelah melakukan penelitian hukum.