BAB II LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN. A. Perjanjian Kepemilikan Apartemen Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

Pembebanan Jaminan Fidusia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan mengenai Kajian Yuridis Atas Doktrin Caveat Venditor. Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB II UPAYA HUKUM KREDITOR ATAS KELALAIAN MEMPERPANJANG HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 04 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN UMUM AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DAN OVERMACHT

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

Transkripsi:

BAB II LANDASAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KEPEMILIKAN APARTEMEN. A. Perjanjian Kepemilikan Apartemen Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dinyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya.sedangkan menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 8 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Beberapa hal yang terkandung di dalam suatu perikatan antara lain: 1. Adanya hubungan hukum. 2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda. 3. Antara dua orang/ pihak atau lebih. 4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditor. 5. Meletakan kewajiban para pihak yang lain, yaitu debitur. 8 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-20. (Jakarta: Intermasa, 2004), hal. 1.

6. Adanya prestasi. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masingmasing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.bentuk perjanjian berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.subjek perjanjian adalah orang dan badan hukum, yang terdiri dari kreditor dan debitur. Sedangkan objek perjanjian adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksud disebut dengan prestasi. Perjanjian dapat mengikat dan berlaku seperti Undang-Undang bagi para pihak apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer. Pasal 1320 KUHPer mengatur mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian adalah: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3) Mengenai suatu hal tertentu. 4) Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, karena bersangkutan dengan orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan

perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif, karena bersangkutan dengan perjanjiannya sendiri. Batalnya suatu perikatan dapat diakibatkan karena beberapa sebab, dimana penyebabnya adalah: a)wanprestasi Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. 9 Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang debitur dapat berupa empat macam: (1) Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukannya; (2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; (3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; (4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 10 Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam, yaitu: (a) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi. (b) Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. (c) Peralihan risiko. (d) Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. 11 Berdasarkan Pasal 1239 KUHPer dikatakan bahwa tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban 9 M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-2. (Bandung: Alumni, 1986), hal. 60. 10 Subekti, Op.Cit., hal. 45. 11 Ibid

memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga. Biaya yang dimaksud adalah segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Sedangkan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Kemudian yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.jadi ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan langsung dari wanprestasi. b) Hapusnya Perikatan Berdasarkan Pasal 1381 KUHPer, perikatan hapus dapat disebabkan oleh: (1) Pembayaran Pembayaran adalah pemenuhan suatu perikatan sesuai dengan perjanjian atau pelaksanaan suatu kesepakatan. (2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan Jika pembeli menolak suatu pembayaran karena pembeli ingin mengakhiri perikatan dengan penjualan atau mungkin penjual tidak mengetahui siapa pembelinya, maka penjual agar tidak dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak membayar, penjual dapat melakukan upaya hukum penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan atau di negara common law dikenal dengan deposit in court. (3) Pembaharuan utang Pembaharuan utang ada 3 (tiga) macam, yaitu: (a) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seseorang yang berutang (debitur) membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghubungkan kepadanya dan ini menggantikan utang yang lama yang hapus karenanya. Dalam common law keadaan ini tidak disebut sebagai pembaharuan utang tetapi hanya merupakan hapusnya perikatan karena adanya perikatan yang baru.

(b) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seseorang berutang baru (penjual baru) ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama (penjual lama) yang oleh si pembeli dibebaskan dari perikatannya. (c) Pembaharuan utang yang terjadi dalam hal seorang berpiutang baru (pembeli baru), karena adanya perjanjian yang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berpiutang lama (pembeli lama) yang membebaskan penjual dari perikatan kepadanya. (4) Perjumpaan utang Perjumpaan utang atau bahasa Latinnya Compensantio (set off) adalah dua orang/ pihak yang saling berutang satu sama lainnya dan perikatan-perikatan itu satu sama lain saling menghapuskan. (5) Percampuran uang Percampuran uang terjadi apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (pembeli) dan orang yang berutang (penjual) berkumpul pada satu orang. (6) Pembebasan utang Pembebasan suatu utang harus dibuktikan dengan suatu pernyataan tertulis atau lisan yang menyatakan maksudnya untuk menghapuskan pihak lain dari kewajibannya. (7) Musnahnya barang yang terutang Jika suatu barang tertentu yang menjadi bahan atau objek perjanjian musnah tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada maka hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya penjual dan sebelum ia lalai menyerahkannya. (8) Batal/ Pembatalan Perikatan hapus dengan sendirinya jika terjadi pembatalan antara salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian. (9) Berlakunya suatu syarat batal Syarat batal ada 2 (dua) jenis, yaitu: (a) Syarat batal mutlak (Pasal 1265 KUHPer) (b) Syarat batal relatif (Pasal 1266 KUHPer) Syarat batal mutlak adalah syarat yang bila terpenuhi akan menghentikan perikatan secara otomatis/ langsung atau batal demi hukum dan peristiwa yang dapat menjadi syarat batal mutlak adalah peristiwa yang bukan merupakan suatu kewajiban.

Sedangkan dalam syarat relatif, penghentian perikatan tidak terjadi secara otomatis/ langsung melainkan harus dimintakan pada Hakim untuk pembatalannya itu atau juga dapat minta terus berjalannya perikatan itu.jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang harus dimintakan pembatalannya kepada Pengadilan adalah dalam hal pembatalan itu tidak disetujui oleh satu pihak, sedangkan bila kedua belah pihak menyetujui, maka jelaslah bahwa perjanjian itu dapat diakhiri. (10) Lewatnya waktu Perikatan dengan sendirinya hapus karena telah lewat dari batas waktu yang telah ditentukan (Pasal 1381 KUHPer). B. Hukum Jaminan Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. 1. Istilah dan pengertian Hukum Jaminan Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. 12 Menurut J. Satrio, Hukum jaminan diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalahhukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. 13 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perumusan hukum jaminan, yaitu: a. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumber dari ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. b. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor). c. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitur kepada kreditor. 12 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 1. 13 Ibid

d. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan tertentu. Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat ditemukan dalam: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Dalam hukum jaminan. Penggolongan jaminan yang lahir karena perjanjian merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti hipotek, gadai (pand), dan hak tanggungan. a) Hipotek Pengaturan ketentuan lembaga jaminan hipotek terdapat di dalam Buku Kedua Titel Kedua puluh Satu Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer, kecuali beberapa Pasal yang sejak semula belum diberlakukan dengan Staatblad Tahun 1848 Nomor 10. Perumusan pengertian hipotek dalam Pasal 1162 KUHPer dinyatakan bahwa: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas

benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Sebagai hak kebendaan yang memberikan jaminan atas kebendaan tidak bergerak, maka sifat-sifat yang melekat pada hipotek itu adalah: (1) Bersifat acessoir pada perjanjian pokok tertentu. (2) Tidak dapat dibagi-bagi. (3) Tetap mengikuti kebendaannya. (4) Bersifat terbuka. (5) Mengandung pertelaan. (6) Mengenal pertingkatan. (7) Mengandung hak didahulukan. (8) Mengandung hak untuk pelunasan piutang tertentu. 14 Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1164 KUHPer, pada dasarnya objek hipotek itu kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap), baik kebendaan tetap karena sifatnya, peruntukannya dan undang-undang. Selain itu, diluar KUHPer terdapat benda yang dalam perspektif KUHPer merupakan benda bergerak, berhubung dapat dipindah-pindah atau dipindahkan, namun ketika benda itu hendak dibebankan menjadi jaminan utang, maka pembebanannya dilakukan dengan hipotek, yaitu terhadap kapal-kapal yang ukuran volume kotornya paling sedikit 20 m 3 sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 314 ayat (3) dan ayat (4) KUHD.Subjek hipotek yaitu mereka yang membentuk perjanjian penjaminan hipotek, yang terdiri atas pihak yang memberikan benda jaminan hipotek yang dinamakan dengan Pemberi Hipotek dan pihak yang menerima benda jaminan hipotek yang dinamakan pemegang hipotek. 14 Ibid., hal. 249.

b)gadai (Pand) Gadai yang pengertian dan persyaratannya sebagai pand merupakan lembaga hak jaminan kebendaan bagi kebendaan bergerak yang diatur didalam KUHPer. Perumusan gadai dalam Pasal 1150 KUHPer dinyatakan bahwa: Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orangorang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikannya, biaya-biaya mana harus didahulukan. Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUHPer dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152 bis, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUHPer, jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak gadai sebagaimana juga diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/248/UUPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/248/UUPK/PK tanggal 16 Maret 1972 tersebut, tidak semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebankan dengan gadai, terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia. c)hak Tanggungan (1) Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahului dari kreditor-kreditor lainnya bagi kreditor (Pemegang Hak Tanggungan). 15 Ciri-ciri dari hak tanggungan, sebagai berikut: (a) Hak Tanggungan merupakan hak jaminan kebendaan. (b) Hak jaminan kebendaan yang dimaksud adalah jaminan kebendaan atas tanah, baik berikut maupun tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah, yang berada diatas maupun dibawah permukaan tanah sepanjang benda benda lain tersebut mempunyai kaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. (c) Pembebanan hak tanggungan yang dimaksud adalah sebagaimana jaminan pelunasan utang tertentu. (d) Hak tanggungan memberikan kedudukan istimewa, yang diutamakan, atau hak mendahulu kepada pemegang Hak Tanggungan dalam mengambil pelunasan utang tertentu yang bersangkutan. 16 Hak tanggungan merupakan salah satu lembaga hak jaminan kebendaan yang lahir dari perjanjian. Dalam hak tanggungan terdapat benda tertentu, yaitu hak-hak atas tanah yang dijanjikan secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, sehingga hak tanggungan merupakan hak jaminan khusus pula. 17 Pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atau preference dan dengan sendirinya mempunyai hak preferensi terhadap kreditor- 15 Ibid., hal. 332. 16 Ibid., hal. 332. 17 Ibid., hal. 334.

kreditor lain (droit de preference). Kedudukan sebagai kreditor preferent berarti kreditor yang bersangkutan didahulukan didalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi benda pemberi jaminan tertentu yang dalam hubungannya dengan hak tanggungan secara khusus diperikatkan untuk menjamin tagihan kreditor. 18 (2) Asas-Asas Hukum dan Sifat-Sifat Hak Tanggungan Asas-asas hukum dari Hak Tanggungan dapat ditemukan dalam Pasal- Pasal Batang Tubuh maupun Penjelasan UUHT. Adapun asas-asas hukum Hak Tanggungan, yaitu: a. Ketentuan Hak Tanggungan bersifat memaksa (Droit de preference), dalam UUHT tidak secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai suatu ketentuan yang bersifat memaksa, namun demikian dari ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam UUHT dapat diketahui bahwa UUHT ini bersifat memaksa. Beberapat ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 6, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UUHT. b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) atau tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaarheid), berdasarkan Pasal 2 UUHT No. 4 Tahun 1996dinyatakan bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan. Ini berarti bahwa, dengan dilunasinya sebagian hutang tidak berarti bahwa benda dapat dikembalikan sebagian. c. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapapun berada, dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak 18 Ibid., hal. 336.

Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji. d. Hak Tanggungan membebani Hak Atas Tanah Tertentu (Asas Spesialitas), maksudnya dari Hak Atas Tanah Tertentu adalah benda-benda mana sajakah yang dijadikan sebagai jaminan. e. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (Asas Publisitas), wajib didaftarkan agar terbuka untuk umum. f. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut: Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain: 1) Janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji; 4) Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji; 6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa, objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; 7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untukpelunasan piutangnya apabila objekhak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; 9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan; 10) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. (3) Objek Hak Tanggungan Menurut UUPA, hak tanggungan dapat dibebankan di atas tanah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA). Mengacu pada Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan undang-undang, yaitu UUHT. Dengan adanya pengaturan tersebut, terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan didalam Pasal 51 UUPA tersebut. 19 Dalam Pasal 4 UUHT dijelaskan bahwa atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha 19 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan. (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 51.

c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut sifatnya dapat dipindah tangankan e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya. 20 (4) Subjek Hak Tanggungan Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut: 21 a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang dijaminkan. 20 Ibid., hal. 53. 21 Ibid., hal. 54.

Dalam UUHT diatur pula mengenai subjek Hak Tanggungan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 dam Pasal 9 UUHT. Pasal 8 UUHT menyatakan bahwa, Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 9 UUHT menyatakan bahwa Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. (5) Pemberian Hak Tanggungan (a) Janji untuk Memberikan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Utang Piutang sebagai Dasar Pembebanan Hak Tanggungan. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: 1] Tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam tahap ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan: Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggugngan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui, bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan

terlebih dahulu dan janji tersebut telah dipersyaratkan harus dituangkan didalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Dapat disimpulkan bahwa, sebelum adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan janji pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accesoir. 2] Tahap pendaftaran Hak Tanggungan, yang dilakukan di Kantor Pertanahan. Mengacu pada Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Berdasarkan bunyi Pasal 13 ayat (1) maka setiap pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor Pertanahan akan asas publisitas dapat terealisasikan. (b)pemberian Hak Tanggungan Dilakukan dengan Perjanjian Tertulis yang Dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisikan pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

Pasal 10 ayat (2) bahwa: Pemberian Hak Tanggungna dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUHT, jelasbahwa setelah pemberian Hak Tanggungan tersebut harus dilakukan atau diberikan dengan dituangkan dalam suatu akta tertentu yang dibuat oleh PPAT, yaitu Akta Pemberian Hak Tanggungan, sehingga pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan secara atau dengan perjanjian tertulis. 22 (6)Akta Pemberian Hak Tanggungan Agar tepenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subjek, objek, maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, dalam suatu APHT wajib dicantumkan hal-hal dibawah ini: a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan b. Domisili para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih 22 Rachmadi Usman,Op.Cit., hal. 401.

c. Penunjukan utang secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1) d. Nilai tanggungan e. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. (7)Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit, harus ada persetujuan atau perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah penerima kredit sebagai debitur yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit pada masyarakat, bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya beserta bunganya dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh bank dan nasabah yang oleh bank dan nasabah yang bersangkutan dalam perjanjian kredit. 2. Asas-asas Hukum Jaminan a. Asas Publicitiet Asas publicitiet adalah asas yang menyebutkan bahwa semua hak baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan supaya diketahui umum. Pengertian dari hak-hak tersebut adalah:

1) Hak tanggungan Objek benda jaminan adalah tanah berikut atau tidak berikut dengan apa yang ada diatasnya maka aturan hukum yang mengaturnya adalah hak tanggungan. 2) Hak fidusia Objek jaminan adalah benda bergerak, benda yang akan menjadi jaminan masih tetap dikuasai. Aturan hukum yang mengaturnya disebut lembaga Fidusia.Benda yang akan menjadi jaminan tapi tidak dikuasainya maka aturan hukum yang mengaturnya disebut pegadaian. 3) Hipotik Hipotik digunakan apabila benda yang sebagai jaminan berupa kapal yang berbobot minimal 20 ton.hak-hak yang dijadikan sebagai jaminan wajib didaftarkan yaitu dimasing-masing instansi yang berwenang terhadap benda tersebut.kegunaan didaftarkan adalah supaya pihak ketiga tahu bahwa benda tersebut sedang dijaminkan untuk sebuah hutang atau dalam pembebanan hutangasaspublicitiet untuk melindungi pihak ketiga yang beritikat baik. b. Asas Specialitiet Bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hipotik hanya dapat dibebankan atas persil (satuan tanah) atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas

nama orang tertentu. Secara ringkasbahwa sesuatu benda yang akan dijaminkan sudah didaftarkan. c. Asas tidak dapat dibagi Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. d. Asas inbezittsteling Barang jaminan gadai harus berada pada penerima gadai. e. Asas horizontal Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, hak guna bangunan. Dalam asas ini apartemen/ rusun termasuk kedalamnya. Untuk apartemen/ rusun maka ketika dijadikan sebagai jaminan sebuah hutang maka lembaga jaminannya adalah Fidusia. C. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kepemilikan Apartemen Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam peraturan perundang-udangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pasal 1 angka 2 UUPK menyatakan bahwa, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. 23 Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberitahukan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). 1. Kedudukan Konsumen Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip yang termasuk dalam kelompok ini adalah prinsip let the buyer beware (caveat emptor), the due care theory, the privity of contract, dan prinsip kontrak bukan merupakan syarat. 24 23 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi. (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 60. 24 Ibid., hal. 61.

a. Let the Buyer Beware Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib berhatihati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati). b. The Due Care Theory Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. c. The Privity of Contract Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu harus dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortuous liability).

d. Prinsip Kontrak Bukan Merupakan Syarat Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa. 2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Prinsip tentang tanggungjawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. 25 Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggungjawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 26 25 Ibid., hal. 72. 26 Ibid.

a. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Secara common sense, asas tanggungjawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain. b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban permbuktian ada pada tergugat. c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

d. Prinsip Tanggungjawab Mutlak Prinsip tanggungjawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab atas kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). e. Prinsip Tanggungjawab dengan Pembatasan Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci/ cetak itu hilang atau rusak (termasuk kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru,

seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. 3. Product Liability; Professional Liability Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasikan adalah tanggungjawab produk dan tanggungjawab professional. Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-prinsip tentang tanggungjawab, tetapi dibahas terpisah karena perlu diberikan penguraian tersendiri. 27 Tanggungjawab produk sebenarnya mengacu sebagai tanggungjawab produsen, yang dalam istilah bahasa jerman disebut produzentenhafting. Agnes M. Toar mengartikan tanggungjawab produk sebagai tanggungjawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. 28 Tanggungjawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggungjawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir. Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggungjawab professional, perlu ada ukuran yang jelas. Indikator itu ditetapkan tidak dalam 27 Ibid., hal. 80. 28 Agnes M Toar, Tanggungjawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara. (Ujung Pandang: Makalah Penataran Hukum Perikatan, 1989), hal.1-2.

undang-undang, tetapi oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib diberikana kepada klien dan setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi itu. Standar profesi ini bersifat sangat teknis, tetapi dapat pula berupa aturan-aturan moral yang dimuat dalam kode etik profesi. Sekalipun berupa kode etik, bukan berarti para penyandang profesi tidak terbebani untuk mengikutinya. Jikat organisasi profesi berwibawa dan solid, organisasi itu dapat menerapkan sanksi-sanksi organisatorisnya kepada anggota yang melanggar. Sanksi ini sering lebih disegani para anggota karena langsung berkaitan dengan kelangsungan pekerjaan mereka. Sebab, organisasi ini dapat saja mencabut rekomendasi atau memecat anggota itu sehingga yang bersangkutan kehilangan izin praktiknya.