BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. empat dekade mendatang, proporsi jumlah penduduk yang berusia 60 tahun. 10% hingga 22% (World Health Organization, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis (Maramis, 2009). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan bahwa jumlah penduduk lanjut usia (lansia) dari tahun ke. baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Stanley, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang mulai memasuki tahap lanjut usia dimulai saat memasuki usia 60

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah

BAB I PENDAHULUAN. periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk-bentuk dukungan keluarga terhadap lansia (

BAB I PENDAHULUAN. Lanjut usia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa

I. PENDAHULUAN. (Nugroho, 2008). Lanjut usia bukanlah suatu penyakit. Lanjut usia adalah

BAB I PENDAHULUAN. terapi lingkungan untuk pasien dengan depresi yaitu Plant therapy di mana tujuan dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Proporsi dan jumlah usia lanjut dalam populasi dunia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat, menyebabkan jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat. dan cenderung bertambah lebih cepat (Nugroho, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan di RS Islam Surakarta, pada tahun 2013 pasien kanker

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemui

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO akan mengalami peningkatan lebih dari 629 juta jiwa, dan pada tahun 2025

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada. tahun 2025 berada di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Batasan lansia yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World

BAB I PENDAHULUAN. dibedakan menjadi 3 yakni young old (70-75 tahun), old ( laporan PBB, populasi lansia meningkat sebesar dua kali lipat hanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan bangsa, sesuai Undang Undang Nomor 13 tahun 1998 Bab I pasal 11 ayat 11

BAB I PENDAHULUAN. lansia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fungsi kehidupan dan memiliki kemampuan akal dan fisik yang. menurun. Menurut World Health Organization (WHO) lansia

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AGAMA DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. tercatat paling pesat di dunia dalam kurun waktu Pada tahun 1980

BAB 1 : PENDAHULUAN. berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat hingga tiga kali

BAB 1 PENDAHULUAN. berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 62 tahun pada negara berkembang dan 79 tahun pada negara maju (WHO, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. upaya memperbaiki taraf hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara, karena angka harapan hidup merupakan salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. semakin berkembangnya anggapan bahwa menjadi tua itu identik dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti. diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yakni setelah Cina (200 juta), India (100 juta) dan menyusul

BAB I PENDAHULUAN. baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapi. sebagai persepsi individu mengenai keberfungsian mereka di dalam

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal-hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan

BAB I PENDAHULUAN. berstruktur lanjut usia karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. lain. Keadaan tersebut sangat berpotensi menimbulkan masalah secara

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan farmakologis dan psikoterapeutik sudah sedemikian maju. Gejalagejala

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun. Pada tahun 2010, diprediksi jumlah lansia sebesar 23,9 juta jiwa dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. aspek psikologis, biologis, fisiologis, kognitif, sosial, dan spiritual yang akan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PADA LANJUT USIA DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI KOTA SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. membedakan menjadi dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung. Keluarga mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu,

BAB Ι PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah

BAB 1 PENDAHULUAN. terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh

BAB I PENDAHULUAN. psikososial seperti bencana dan konflik yang dialami sehingga berdampak. meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa(keliat, 2011).

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. umur harapan hidup tahun (Nugroho, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. hidup penduduk Indonesia merupakan salah satu negara yang. angka kesakitan karena penyakit degeneratif (Kemenkes RI, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. lansia di Indonesia yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,56%. Gorontalo

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya (Padila, 2013). Pada tahun 2012, UHH penduduk dunia rata rata

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat. Hasil survey tahun 2012, prevalensi kejadian penyalahgunaan

HUBUNGAN ANTARA STATUS INTERAKSI SOSIAL DAN TIPE KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA DARMA BHAKTI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mulus sehingga tidak menimbulkan ketidakmampuan atau dapat terjadi sangat nyata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penitipan orang tua ke panti jompo menjadi alternatif pilihan

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN DOSEN PEMULA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan

Priyoto Dosen S1 Keperawatan STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. di atas 65 tahun (7,79 % dari seluruh jumlah penduduk). Bahkan, Indonesia. paling cepat di Asia Tenggara (Versayanti, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan promotif dan preventif baik sehat maupun sakit.

BAB I PENDAHULUAN. fisilogis organ tubuhnya (Wahyunita, 2010). Banyak kelainan atau penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KECENDERUNGAN INSOMNIA PADA LANSIA DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut organisasi kesehatan dunia (WH O), ada empat tahapan batasan-batasan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Seseorang yang melewati fase dewasa usia 60 tahun ke atas dalam kehidupannya dikatakan sebagai lanjut usia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Adanya keberhasilan dalam program kesehatan dan pembangunan. sosial ekonomi dapat dilihat dari peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH)

BAB 1 PENDAHULUAN. ditandai dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduknya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2007 sebesar 18,96 juta dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk Indonesia mencapai usia 66,2 tahun, tahun 2008 UHH penduduk

BAB I PENDAHULUAN. menandakan jumlah lansia dari tahun ke tahun akan bertambah. Di negara maju

BAB I PENDAHULUAN. masa hidup manusia yang terakhir. Lanjut usia atau yang lazim disingkat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Proyeksi dan data-data yang ditemukan tentang lansia menjadi perhatian yang menarik bagi seluruh dunia karena terjadinya peningkatan jumlah populasi lansia. Pada tahun 2013 jumlah penduduk lansia diseluruh dunia diperkirakan ada 500 juta jiwa dengan usia rata-rata 60 tahun dan pada tahun 2025 diperkirakan jumlah lansia akan mencapai 1,2 milyar jiwa (Padila, 2013). Hal ini menunjukan bahwa populasi penduduk di dunia dari tahun ke tahun semakin bergeser ke arah usia lanjut yang pertumbuhannya semakin meningkat. Tahun 2005, di Indonesia terdapat 16,80 juta lansia (7,78%) dan terjadi peningkatan pada tahun 2007 menjadi 18,96 juta lansia (8,42%). Pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 19,32 juta lansia (8,37%) dari jumlah penduduk (BPS RI Susenas 2009 dalam Profil lansia, 2010). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah lansia mencapai hampir 8,9 % dari total jumlah penduduk dan diperkirakan pada tahun 2050, jumlah lansia yang ada di Indonesia mencapai 21,4% (UN, World Population Prospects, the 2012 Revision dalam Situasi dan Analisis Lanjut Usia). Kondisi peningkatan jumlah penduduk lansia tersebut menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 setelah Cina, India dan Amerika (Profil lansia, 2010). Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan 1

penduduk lansia di Indonesia sangat pesat sehingga melebihi dari angka pertumbuhan penduduk lansia di dunia terutama pada tahun 2100 dimana prediksi jumlah lansia di Indonesia mencapai 41 % dari jumlah penduduk, sedangkan di dunia sendiri jumlah lansia pada tahun tersebut diprediksi hanya 35,1% dari jumlah penduduk (UN, World Population Prospects, the 2012 Revision dalam Situasi dan Analisis Lanjut Usia). Pertumbuhan penduduk lansia di Indonesia terdistribusi di seluruh provinsi. Dimana proporsi penduduk lansia di tiap-tiap provinsi bervariasi antara 2,16% sampai 14,02%. Sumatera Barat sendiri menduduki provinsi dengan jumlah lansia ke-6 terbanyak setelah DI Yogyakarta, Jawa tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Selatan dengan jumlah lansia sebesar 8,74% dari total penduduk (BPS RI, Susenas 2014). Batasan lansia menurut World Health Organization (WHO) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Kozier, 2011). Sama dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia dan peraturan pemerintah RI nomor 43 tahun 2004 yang mengatakan bahwa usia yang digolongkan ke dalam lansia adalah usia di atas 60 tahun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dikatakan lansia apabila berusia 60 tahun ke atas. Memasuki masa lansia berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun psikologis. Menurut UU No. 23 tahun 1992, Manusia lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan

sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatan. Perubahan tersebut terjadi pada tahap akhir tumbuh kembang manusia. Erikson dalam theory of psychosocial development (teori perkembangan psikososial) mengatakan bahwa lansia merupakan tahap ke delapan perkembangan psikososial yang terjadi pada usia sekitar 60 atau 65 tahun ke atas, dimana pada usia tersebut terjadi konflik antara Integritas versus Keputusasaan (integrity vs despair). Setiap individu mengalami delapan tingkatan perkembangan dalam hidupnya dan setiap tahapan mempunyai tugas perkembangan yang harus dicapai. Tugas perkembangan lansia menurut Havighurst, dalam Stanley 2005 adalah : menyesuaikan diri tehadap penurunan kekuatan fisik dan psikis, menyesuaikan diri tehadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan dan orang penting lainnya, membentuk gabungan eksplisit dengan kelompok yang seusia dengannya, memenuhi kewajiban-kewajiban sosial, menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga, membentuk kepuasan pengaturan kehidupan fisik. Proses perkembangan lansia merupakan proses alamiah sesuai dengan peningkatan usia seseorang. Dalam proses perkembangan lansia ini dapat terjadi beberapa perubahan alamiah atau normal yang menyangkut beberapa aspek yaitu perubahan biologis, perubahan psikologi dan perubahan sosial (Stuart & Laraia 2005).

Perubahan yang terjadi pada lansia ini menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Belum lagi lansia harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai (Padila, 2013). Hal ini merupakan suatu proses yang normal yang terjadi pada semua orang, tetapi dalam derajat yang berbeda dan tergantung pada lingkungan kehidupan lansia (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan teori Erik Erikson individu yang sukses melampaui tahap perkembangan ke-delapan ini akan dapat beradaptasi dengan baik, menerima berbagai perubahan yang terjadi dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya serta bertambah bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal maka akan melewati tahap ini dengan penuh stress, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang dihadapinya. Semua kondisi tersebut menuntut kemampuan lansia untuk beradaptasi dan menyikapinya secara bijak. Kemampuan lansia dalam beradaptasi dengan perubahannya ini dipengaruhi oleh maturitas kepribadian fase perkembangan sebelumnya, adanya dukungan dari lingkungan terutama keluarga dan pengalaman menghadapi kondisi stres (Padila, 2013). Masyarakat Indonesia sendiri masih menepatkan lansia pada kedudukan yang terhormat seperti menjadi ketua adat dengan tugas sosial tertentu sehingga para lansia masih bisa berpartisipasi dalam masalah kemasyarakatan. Dengan diikutsertakan lansia tersebut untuk berpartisipasi dalam masalah

kemasyarakatan, akan membuat lansia mempunyai aktivitas dan merasa masih dibutuhkan oleh masyarakat sekitar lingkungan terutama kelurga. Ditinjau dari sisi sosial budaya, masyarakat Indonesia menganggap bahwa lansia adalah tanggung jawab anak. Sehingga merawat orang tua itu menjadi bakti anak kepada orang tua yang telah membesarkannya selama ini. Tetapi dengan efek dari globalisasi dan moderenisasi menyebabkan keluarga dan masyarakat sibuk dengan aktifitasnya masing-masing sehingga perhatian dan tanggung jawab kepada lansia menjadi berkurang akibatnya lansia sering merasa kesepian dan merasa tidak berguna. Terutama pada lansia yang tidak mempunyai pasangan hidup, tidak mempunyai anak atau lansia yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga hidup mereka menjadi terlantar. Hal ini turut menjadi perhatian pemerintah khususnya Departemen Sosial seperti yang tercantum dalam keputusan Menteri Sosial RI No. 234 M tahun 1996 tentang pola dasar pembangunan kesejahteraan sosial yang berisikan pola pembinaan kesejahteraan sosial pada lansia. Dimana pola perawatan lansia yang semulanya berada dikeluarga berkembang menjadi perawatan di panti jompo (Putri, 2012). Panti jompo adalah tempat dimana para lansia berkumpul, baik secara sukarela maupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya dimana tempat tersebut dikelola oleh pemerintah atau swasta (Jhon, 2008). Menurut Commerford dan Reznikoff (1996) dalam Wahyuni (2007) lansia yang hidup di panti jompo adalah lansia yang memiliki penurunan fungsi fisik,

lansia yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah kehidupannya serta lansia yang tidak mempunyai dukungan sosial sehingga untuk mengatasi urusan kehidupannya lansia tersebut ditempatkan di panti jompo. Dari data yang didapatkan di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat terdata bahwa sebanyak 180 orang lansia menghuni 2 panti jompo yang ada di Sumatera Barat. Perubahan lingkungan tempat tinggal dimana pada awalnya lansia berada ditengah-tengah keluarga kemudian pindah ketempat yang baru dengan lingkungan yang baru dan jauh dari keluarga akan membuat lansia tersebut merasa dikucilkan dan tidak dibutuhkan lagi oleh lingkungannya terutama oleh keluarga. Perasaan dikucilkan dan tidak dibutuhkan lagi juga diperparah oleh makna konotatif dari panti jompo. Dimana didalam sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa panti jompo itu merupakan suatu tempat tinggal bagi lansia yang tidak dibutuhkan atau dianggap merepotkan bagi keluarganya. Dengan adanya perubahan-perubahan fisik, psikologis dan sosial yang terjadi mengakibatkan perasaannya menjadi tidak berharga, tidak berdaya, malu dengan kondisi fisik saat ini dan perasaan bersalah seperti yang diuraikan diatas maka diagnosa keperawatan yang paling sesuai dengan karakteristik gejala tersebut adalah harga diri rendah kronik (Nanda, 2005). Gangguan konsep diri : harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau beresiko mengalami evaluasi diri negatif kemampuan atau diri

(Carpenito, 2007). Harga diri rendah adalah evaluasi atau perasaan yang negatif terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (Nanda, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni didapatkan bahwa di PSTW Khusnul Khatimah Pekanbaru terdapat 29 orang lansia mengalami harga diri rendah dan di PSTW Tunas Bangsa terdapat 23 orang lansia yang mengalami harga diri rendah. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh seorang perawat dalam mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah dimulai dengan intervensi keperawatan generalis sampai dengan spesialis yang ditujukan untuk individu, keluarga dan kelompok (Stuart dan Laraia, 2005). Bentuk terapi spesialis yang dapat digunakan pada lansia harga diri rendah adalah terapi kognitif, terapi kognitif dan perilaku, terapi penghentian pikiran, logoterapi, terapi suportif, terapi sistem keluarga, psikoedukasi dan Assertive Community Therapy (Workshop Keperawatan Jiwa ke-8, 2014) Penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahayuningsih (2007) tentang pengaruh terapi kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian klien dengan kanker payudara menunjukan bahwa ada perbedaan yang sangat bermakna pada harga diri sebelum dan sesudah dilakukan terapi kognitif. Dimana terdapat peningkatan harga diri yang cukup signifikan pada klien yang telah mendapatkan terapi kognitif. Hal ini juga sejalan dengan penelitian dilakukan oleh Kristyaningsih (2007) tentang pengaruh terapi kognitif terhadap perubahan harga diri dan kondisi depresi pasien gagal ginjal kronik

(GGK) di ruang haemodialisa RSUP Fatmawati Jakarta yang menyatakan bahwa tingkat harga diri meningkat lebih bermakna dan kondisi depresi menurun lebih bermakna pada kelompok pasien gagal ginjal kronik yang mendapatkan terapi kognitif dibanding kelompok pasien gagal ginjal kronik yang tidak mendapatkan terapi kognitif. Rupke, Blecke dan Renfrow (2006) dalam modul terapi keperawatan jiwa menyatakan bahwa terapi kognitif efektif untuk mengatasi klien yang memiliki emosi negatif yang disebabkan oleh interprestasi yang keliru terhadap peristiwa-peristiwa yang mengganggu. Terapi kognitif adalah salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada konsep proses patologi jiwa, dimana fokus dari tindakannya berdasarkan modifikasi dari distorsi kognitif dan perilaku maladaptif (Townsend, 2009). Menurut Nevid, Rathus dan Greene (2006) dalam modul terapi keperawatan jiwa mengatakan bahwa terapi kognitif juga fokus untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengkoreksi pikiran maladaptif, jenis pikiran otomatis dan mengubah perilaku sendiri yang disebabkan oleh berbagai masalahmasalah emosional. Townsend (2009) mengungkapkan tujuan dari terapi kognitif adalah sebagai monitor pikiran otomatis negatif, mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan perilaku, mengubah penalaran yang salah menjadi penalaran yang logis dan membantu pasien mengidentifikasi dan mengubah kepercayaan yang salah sebagai pengalaman negatif internal

pasien. Dengan terapi kognitif lansia akan belajar bagaimana cara menyadari dan memperbaiki pikiran-pikiran negatif yang otomatif ini. Dengan semakin meningkatnya populasi lansia dan adanya resiko harga diri rendah terhadap lansia yang tinggal dipanti jompo, memotivasi peneliti untuk mengetahui pengaruh terapi kognitif terhadap peningkatan harga diri pada klien lansia dengan harga diri rendah di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar. Hal ini disebabkan karena menurut salah seorang perawat yang juga merupakan pengasuh di Panti Sosial Tresna Wreda Kasih Sayang Ibu hampir separuh lansia mengalami harga diri rendah yang ditandai dengan banyaknya lansia yang merasa tidak berharga dan tidak bisa berbuat apa-apa sehingga lansia tersebut tidak percaya diri untuk melakukan kegiatan. Alasan lain penelitian ini dilakukan di PSTW Kasih Sayang Ibu karena akses yang mudah untuk menjangkau tempat tersebut dan merupakan tempat praktik mahasiswa keperawatan sehingga akan memungkinkan dilaksanakannya aplikasi dalam jangka panjang. 1.2 Rumusan Masalah Perubahan fisik, psikososial dan seksualitas pada lansia, perpisahan dengan orang yang dicintai, kehilangan peran diri serta dukungan yang kurang dari lingkungan terutama keluarga beresiko mengakibatkan lansia mengalami harga diri rendah. Jika hal tersebut tidak ditangani dengan segera bisa menyebabkan lansia akan menarik diri dari lingkungan karena merasa tidak berharga dan tidak diakui keberadaannya. Salah satu terapi yang bisa

diberikan kepada lansia yang mengalami gangguan harga diri rendah adalah terapi kognitif tetapi hal ini belum pernah dilaksanakan karena asuhan keperawatan yang dilakukan belum optimal, hanya sebatas pemeriksaan kesehatan secara fisik yang rutin dijalankan setiap hari Selasa. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitiannya adalah: Apakah terapi kognitif dapat meningkatkan harga diri pada lansia dengan harga diri rendah di Panti Sosial Tresna Wreda Kasih Sayang Ibu Batusangkar?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kognitif terhadap peningkatan harga diri lansia dengan harga diri rendah di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik responden di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar. 1.3.2.2 Diketahuinya tingkat harga diri responden di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar sebelum mendapat terapi kognitif. 1.3.2.3 Diketahuinya tingkat harga diri responden di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar sesudah mendapat terapi kognitif.

1.3.2.4 Diketahuinya perbedaan tingkat harga diri responden di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar sebelum dan sesudah mendapat terapi kognitif. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan pelayanan keperawatan. Manfaat penelitian ini meliputi: 1.4.1 Manfaat Aplikatif 1.4.1.1 Menambah wawasan dan pengetahuan perawat khususnya perawat spesialis jiwa dalam menerapkan terapi kognitif pada lansia. 1.4.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa terhadap lansia yang mengalami harga diri rendah sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dan harga diri. 1.4.2 Manfaat Keilmuan 1.4.2.1 Sebagai data dasar untuk pengembangan intervensi lanjut khususnya intervensi yang diberikan oleh perawat spesialis jiwa. 1.4.2.2 Sebagai masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan jiwa. 1.4.3 Manfaat Metodologi 1.4.3.1 Secara metodologi penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk mengaplikasikan teori dan terapi yang baik dalam

meningkatkan kesehatan jiwa khususnya pada lansia dengan harga diri rendah. 1.4.3.2 Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya untuk menurunkan harga diri rendah serta meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku.