SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

dokumen-dokumen yang mirip
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan mencapai tataran kualitas tertentu.

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PERAN MANAJER RUMAH TANGGA SEBAGAI STRATEGI DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PESISIR DI KABUPATEN SITUBONDO

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

Upaya Pemberantasan Kemiskinann Masyarakat Pesisir MEMBERI NELAYAN KAIL, BUKAN UMPANNYA

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

PENGUATAN KAPASITAS LEMBAGA SIMPAN PINJAM RUKUN LESTARI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

BAB II KERANGKA TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : Veteran Jawa Timur

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. 1 Monitoring dan Evaluasi dalam Program Pemberdayaan

STRATEGI KEMITRAAN DALAM DINAMIKA SOSIAL EKONOMI SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH. Merza Gamal

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

Rumusan dan Penentuan Prioritas Strategi Program Pemberdayaan Ekonom i Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Bengkulu

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PENGUATAN KAPASITAS YAYASAN PRIMARI DALAM PENCEGAHAN ORANG DENGAN HIV / AIDS DI KELURAHAN KARANG TUMARITIS KABUPATEN NABIRE GERSON RAMANDEY

Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAM BM) 1. Pedoman umum

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

STUDI TENTANG UPAYA UPT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

Transkripsi:

ANALISIS DAMPAK PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT PEMANFAAT (KMP) DI KABUPATEN SUBANG DAN CIREBON R. DRAJAT SUBAGIO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun, Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis.ini.. Bogor, September 2007 R. Drajat Subagio C.551020064

ABSTRAK R. DRAJAT SUBAGIO, 2007. Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakar Pesisir (PEMP) Terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon dibimbing oleh JOHN HALUAN dan VICTOR PH. NIKIJULUW. Propinsi Jawa Barat dengan 10 kabupaten berpesisir merupakan lokasi sasaran program PEMP dan telah melaksanakan program tersebut selama tahun 2001-2003 yang dinilai berhasil. Namun demikian sampai saat ini belum ada penelitian mengenai dampak pelaksanaan program tersebut secara mendalam yang dikaitkan dengan aspek peningkatan taraf hidup sosial ekonomi masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak program PEMP terhadap pendapatan anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat atau peserta program. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Subang dan Cirebon dengan tujuan menganalisis dampak program ini terhadap kelompok sasaran dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Responden yang diambil adalah 60 untuk setiap kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan program PEMP memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pendapatan. Faktor-faktor yang mempengaruh peningkatan pendapatan adalah persepsi dan kecakapan berbisnis target /sasaran program. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan. Program PEMP dimasa yang akan datang tidak hanya fokus pada pemberian modal usaha. Kata kunci: Program PEMP, Pemberdayaan Masyarakat Pesisir,

ABSTRACT R. DRAJAT SUBAGIO, 2007. Impact Analysis of Economic Empowerment Program for Coastal Community in Subang and Cirebon Regencies. Supervised by JOHN HALUAN and VICTOR PH. NIKIJULUW West Java Province consists of 10 coastal regencies that have been area for Economic Empowerment for coastal community during 2001-2003. Although the program was reported successfully implemented, scientific evaluation have been done so far to find on economic impact of the program This study was conducted in Subang and Cirebon regencies to understand program impact on income of target beneficiearies and its determinan factor. Based on 60 samples in each regency it was found the program has given significant and positive impact on beneficiaries income. Factor that affect the income were bussines perseption and skill of the target beneficiaries Based on the fundings it was recommended that future empowerment program should not only focus on providing capital and financial assistance to the beneficiaries, but also to other aspects Keyword: PEMP program, coastal community, capital empowerment

Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tijauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS DAMPAK PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT PEMANFAAT (KMP) DI KABUPATEN SUBANG DAN CIREBON R. DRAJAT SUBAGIO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis : Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon N a m a : R. Drajat Subagio NRP : C 551020064 Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Prof.Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw. M.Sc. Anggota Diketahui,. Program Studi Teknologi Kelautan Ketua, Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof..Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 1 September 2007 Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi syarat dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada penelitian ini terdapat pemikiran-pemikiran dalam Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Terhadap Pedapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon. Tulisan ini memang membatasi soal Pendapatan hanya pada peningkatan pendapatan sebelum dan sesudah mengikuti program PEMP. Namun demikian, hasil yang tersurat maupun yang tersirat justru mampu menghadirkan pandangan kritis terhadap program PEMP. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada: - Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr.Ir. Victor PH.Nikijuluw M.Sc. selaku komisi pembimbing. - Bapak Dr. Sudirman Saad SH.M.Hum selaku Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Ditjen KP3K-DKP. - Bapak Ir. Juhendi Tajudin MM. - Drs. Riyanto Basuki. M.Si. selaku Kasubdit AKSES IPTEK - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon dan Subang - Rekan-Rekan di PS. TKL/PPKP Rian, Taufan, Any, Daeng, Harinto, Syarif, Uus, Badrudin. Azmar, Zulkifli, Krisna, Bambang Sutejo: - Rekan-Rekan Subdit Akses IPTEK, Anton, Heri Daulay, Dewi, Dodik - Istriku tercinta Eko Herowati, anak-anaku tersayang Annisa dan Fajar - Seluruh staf pengajar di Departemen PSP, IPB - Semua pihak yang telah membantu tetapi tidak tersebut namanya Semoga tulisan ini, mampu memberikan manfaat, atau sekurangkurangnya menjadi ilham bagi kemunculan pikiran lain yang lebih sempurna. Terimakasih. September 2007 R. Drajat Subagio

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwokerto pada tanggal 9 September 1962, merupakan anak ke tiga dari enam bersaudara dari pasangan R. Parnoto Subardjo BA dengan Sri Kusmiyati, pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Jakarta dan Depok, yaitu pada SD Karet Dukuh II pagi (1968-1974), SMP Negeri XL Jakarta (1975-1978), SMA DEPOK (1978 1981). Pada tahun, 1982 bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Melalui jalur Pendidikan Crash Program di Akademi Usaha Perikanan Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Pada tahun 1992-1995 mengikuti tugas belajar pada Akademi Penyuluhan Pertanian Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor, Menyelesaikan Sarjana Pertanian pada Universitas IBNU CHALDUN Jakarta tahun 1999, pada tahun 2007, mengikuti Seminar and Visit on Coastal Community Empowerment di ASIA INSTITUTE Of TECHNOLOGY Bangkok Thailand. Riwayat pekerjaan, Penulis bekerja di Laboratorium Mikrobiologi BBPMHP Jakarta, (1983-1988), bekerja pada Development Support Information (UNDP-FAO/INS 021) (1989-1992), Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan (1995-1999). Pada tahun 2000 hingga saat ini bekerja pada Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta, Pada tahun 2005 hingga saat ini sebagai Dosen Luar Biasa di Sekolah Tinggi Perikanan Pada tahun 2002 Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi strata 2, Program Studi Teknologi Kelautan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, atas biaya sendiri dinyatakan lulus dan memperoleh gelar Magister Sains IPB, dalam ujian tesis yang dilaksanakan pada tanggal 1 September 2007, dengan judul Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Terhadap Pedapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon. Pada tahun 1995 penulis menikah dengan Dra. Eko Herowati Martoharjo dan saat ini telah dikaruniai 2 orang anak Annisa Devi Rakhmawati dan Muhamad Fajar Dwi Prasetio.

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR. Halaman xi xii DAFTAR LAMPIRAN.. xiii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.. 7 1.3 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir.. 8 1.4 Organisasi dan Kelembagaan PEMP. 10 1.5 Perumusan Masalah 11 1.6 Tujuan Penelitian 12 1.7 Manfaat Penelitian.. 12 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pemberdayaan... 14 2.2 Masyarakat Pesisir.. 18 2.3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir... 21 2.4 Pembangunan Wilayah... 22 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran.. 25 3.2 Hipotesis... 25 3.3 Disain Penelitian..... 27 3.4 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data...... 27 3.4.1 Jenis dan sumber data... 27 3.4.2 Pengumpulan dan pengolahan data... 27 3.4.3 Definisi dan pengukuran variabel... 28 3.5 Lokasi Penelitian... 29 3.6 Waktu Penelitian... 30 3.7 Metode Analisis 30 3.7.1 Analisis Deskriptif Univariat 30

3.7.2 Wilcoxon signed rank test 30 3.7.3 Analisis regresi berganda 32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi 4.1.1. Kabupaten Subang 4.1.1.1 Pelaksanaan PEMP 2001... 4.1.1.2 Pelaksanaan PEMP 2002....... 4.1.1.3 Pelaksanaan PEMP 2003.. 35 36 37 37 4.1.2. Kabupaten Cirebon 4.1.2.1 Pelaksanaan PEMP 2001... 4.1.2.2 Pelaksanaan PEMP 2002...... 4.1.2.3 Pelaksanaan PEMP 2003.. 4.1.2.4 Pelaksanaan PEMP 2004.. 38 41 41 41 41 4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Peningkatan pendapatan.. 43 4.2.2 Kontribusi tambahan modal... 45 4.2.3 Sebaran tingkat pendidikan 48 4.2.4 Persepsi pada prospek Usaha.. 48 4.2.5 Persepsi pada kemampuan berbisnis. 49 4.2.6 Umur Proyek 50 4.3 Dampak Program PEMP 4.3.1 Agregat Subang dan Cirebon... 50 4.3.2 S u b a n g. 51 4.3.3. Cirebon. 52 4.4 Faktor Determinan Pendapatan 4.4.1 Model utuh.. 53 4.4.2 Model hasil iterasi 1 55 4.4.3 Model hasil iterasi 2... 55 4.5 Pembahasan 4.5.1 Kelompok sasaran 58 4.5.2 Persepsi kecakapan berbisnis.. 60 4.5.3 Pedagang 61 4.5.4 Korelasi inflasi terhadap pendapatan 61 xiii

4.6 Implikasi Pada Kebijakan 4.6.1 Kebijakan yang afirmatif 63 4.6.2 Bukan berpusat pada modal.. 65 4.6.3 Revitalisasi program pendampingan... 66 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 69 5.2 Saran Saran 70 DAFTAR PUSTAKA 71 LAMPIRAN 74 xiii

DAFTAR TABEL 1. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun Anggaran. 2000-2006... Halaman 2. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan... 16 3. Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang Tahun 2003 4. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) dan Rumah Tangga Budidaya Perikanan (RTBP) Kabupaten Subang, Tahun. 2003 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon Tahun 2003.. 39 6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon Tahun.2004... 7. Produktifitas Menurut Jenis Alat Tangkap Kabupaten Cirebon, Tahun2004... 8. Potensi dan Pemanfaatan Tambak Kabupaten Cirebon Tahun 2004... 9. Unit Pengolahan Ikan Tradisional Kabupaten Cirebon 2004 42 10. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang.. 11. Kontribusi Tambahan Modal. 47 12. Nisbah Pendapatan Terhadap Modal. 47 13. Sebaran Tingkat Pendidikan.. 48 14. Skor Persepsi Pada Prospek Usaha 49 15. Skor Persepsi Pada Kemampuan Berbisnis 49 16. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Partisipasi dalam PEMP. 17. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Agregat Lokasi Proyek 51 18. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Subang.. 52 19. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Cirebon.. 53 20. Hasil Analisis Regresi Seluruh Variabel 54 21. Hasil Analisis Regresi Iterasi 1.. 56 22. Hasil Analisis Regresi Iterasi 2. 57 23. Laju Inflasi Indonesia Tahun 2001 sampai 2006... 62 24. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang (Dikoreksi Inflasi)... 62 4 36 36 39 40 40 43 50 xiii

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran 26 2. Peta Kabupaten Subang... 35 3. Peta Kabupaten Cirebon... 38 4. Pendapatan Nominal Responden Cirebon Sebelum dan Sesudah Program PEMP... 5. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Cirebon... 6. Pendapatan Nominal Responden Subang Sebelum dan Sesudah Program PEMP... 44 44 45 7. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Subang... 45 8. Presentase Tambahan Modal Cirebon.... 46 9. Presentase Tambahan Modal Subang..... 47 xiii

DAFTAR LAMPIRAN 1. Kuisioner Peserta Program, Evaluasi Dampak Program PEMP (Anggota KMP/ Pedagang Ikan (Bakul))... 2. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP (Anggota KMP /Budidaya Rumput Laut)... 3. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP (Anggota KMP (Petambak))... 4. Kuisioner Peserta Program Evalusi Dampak Program PEMP (Anggota KMP (Nelayan))... 5. Kuisioner Peserta Program Evaluasi Dampak Program PEMP (Anggota KMP (Pengolah))... Halaman 74 80 86 92 98 6. Hasil Uji Wilcoxon... 104 7. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dengan Trammel Net di Kabupaten Subang.. 121 8. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dengan Jaring Kejer / Jaring Insang Hanyut di Kabupaten Cirebon. 9 Petunjuk Teknis Identifikasi Sarana Perikanan Tangkap Jaring Insang (Gill Net)... 10 Petunjuk Teknis Identifikasi Sarana Perikanan Tangkap Jaring Tiga lapis (Trammel Net) 122 123 142 xiii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta km 2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km 2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km 2. Panjang garis pantai 81.000 km dan memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil. Hampir 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan sebagian besar bekerja pada sektor yang berbasiskan pendayagunaan sumberdaya pesisir dan kelautan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat secara alami Indonesia merupakan negara kelautan dengan potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang melimpah ruah, baik kuantitas maupun keragamannya. Namun demikian, pengelolaan dan pemanfaatannya saat ini belum dapat dilakukan secara optimal (produktifitas rendah), cenderung mengancam kelestarian lingkungan, serta yang terpenting belum dapat mengangkat kesejahteraan hidup sebagian besar masyarakat pesisir (khususnya masyarakat nelayan). Hasil penelitian dan evaluasi dari berbagai departemen yang terkait dengan kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan, bahwa tingkat taraf hidup sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan lainnya. Berbagai faktor ikut berperan dalam mendukung ketidakmampuan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal. Secara umum faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal yaitu minimnya partisipasi masyarakat dalam manajemen program pemerintah, ketidakmampuan dan kelemahan aparat birokrasi serta terjadinya moral hazard, aturan hukum yang tidak melindungi dan berpihak kepada masyarakat pesisir, kegagalan integrasi dalam kenegaraan dan kemasyarakatan, adanya keterbatasan sumberdaya untuk pembangunan dan tidak transparannya iklim usaha 1

Faktor internal yang berpengaruh adalah keterbatasan modal dan akses pembiayaan, keterbatasan organisasi dan manajemen yang profesional, keterbatasan akses ke pasar input dan pasar output, keterbatasan teknologi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, serta pola hidup konsumtif di kalangan masyarakat pesisir. Kedua faktor di atas secara bersama telah menimbulkan persoalan ketidakberdayaan masyarakat pesisir. Namun berdasarkan analisis, faktor internal lebih mendominasi penyebab ketidak-berdayaan masyarakat pesisir, seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam penguasaan teknologi. Secara nyata hal itu menjadi penyebab ketidak-mampuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal. Selain itu rendahnya kualitas SDM dalam penguasaan teknologi telah memicu pengembangan cara pemanfaatan dan ekploitasi sumberdaya secara tidak bertanggung-jawab dan cenderung tidak ramah lingkungan yang menyebabkan rusaknya sumberdaya. Sedangkan rendahnya akses masyarakat pesisir terhadap pasar dan lembaga permodalan (keuangan) memaksa masyarakat pesisir berhubungan dengan lembaga permodalan (keuangan) non formal yang justru semakin memperburuk keadaan perekonomian masyarakat pesisir. Kondisi masyarakat pesisir, sebagaimana telah disebutkan di atas, membutuhkan intervensi pemerintah melalui program pembangunan sesuai dengan kondisi yang ada. Namun demikian pada umumnya program pembangunan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Selain model program yang bersifat cuma-cuma (bantuan murni), pelaksanaannya tidak dibarengi dengan pendampingan; sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di masyarakat. Hal ini sudah disadari pemerintah sehingga perlu dirumuskan sebuah program yang bersifat pemberdayaan masyarakat (community development). Masyarakat pesisir tidak dapat dilepaskan dari identitas utamanya sebagai kelompok masyarakat nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara penangkapan ikan di laut dan perairan umum lainnya. Pada umumnya nelayan tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. 2

Selain usaha orang-orang yang melakukan pekerjaan membuat perahu, ada pembudidaya ikan, mengangkut ikan, pedagang ikan, dan bahkan isteri nelayan dan anak nelayan yang secara praktikal tidak termasuk dalam kategori nelayan. Karena kedua kategori tersebut tinggal di pesisir, maka keduanya disebut dalam satu komunitas, yaitu Masyarakat Pesisir. Jumlah masyarakat pesisir sangat besar, karena terkait dengan garis pantai Indonesia yang tergolong nomor dua terpanjang di dunia yaitu 82.000 km dan sekitar 9.261 desa masuk dalam kategori desa pantai. Dalam sensus pekerjaan, nelayan dimasukkan dalam kategori petani, sementara beberapa literatur menyebutkan bahwa nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat tergolong miskin, terutama buruh nelayan dan nelayan tradisional jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian. Dalam konteks tersebut buruh nelayan dan nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin. Sebagaimana diketahui, bahwa nelayan bukanlah suatu entitas tunggal. Mereka terdiri dari beberapa kelompok, terutama apabila dilihat dari segi kepemilikan perahu (kapal) ikan, yaitu: nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Pada umumnya nelayan juragan tidak miskin, sebaliknya kemiskinan cenderung hanya dialami oleh nelayan buruh dan nelayan perorangan. Oleh karena kedua kelompok tersebut memiliki jumlah yang paling besar, maka citra kemiskinan melekat pada kehidupan nelayan dan juga masyarakat pesisir. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di wilayah pesisir dan dalam rangka pengembangan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis pada sumberdaya lokal tersebut, maka Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah melaksanakan Program Pemberdaya Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program PEMP, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 di 26 Kabupaten (Kota) yang menyebar di 7 Propinsi, merupakan bagian dari Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Daerah (PEMD) sektor Jaring Pengaman Sosial (JPS). Hasil kegiatan ini dinilai cukup berhasil, sehingga pada tahun-tahun berikutnya dilanjutkan pelaksanaannya (Tabel 1). 3

Tabel 1. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun Anggaran. 2000-2006 Tahun Jumla.h Peserta (Kab/Kota) Propinsi Pelaksana Program Sumber Dana 2000 26 7 BAPPENAS JPS-PK 2001 125 30 DKP PPD-PSE 2002 90 30 DKP PKPS-BBM 2003 126 30 DKP PKPS-BBM 2004 160 30 DKP APBN 2005 206 33 DKP APBN Sumber : Ditjen KP3K-DKP, 2006 Keterangan, JPS-PK : Jaring Pengaman Sosial Penanggulangan Kemiskinan. PPD-PSE : Program Penanggulangan Dampak- Pengurangan Subsidi Enerji. PKPS-BBM : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak. APBN : Anggaran Pendapatan & Belanja Negara Program PEMP yang bersifat jangka panjang ini diarahkan pada peningkatan kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan skala usaha dan diversifikasi kegiatan ekonomi. Untuk itu diperlukan upaya-upaya peningkatan kualitas SDM, mendorong partisipasi masyarakat sejak identifikasi potensi dan masalah, penyusunan rencana program dan proposal rencana pengembangan usaha sampai dengan pelaksanaannya. Program PEMP memfasilitasi akses masyarakat terhadap sumber permodalan, memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir, meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan, serta pengembangan kemitraan masyarakat pesisir dengan lembaga swasta dan pemerintah. Secara spesifik, tujuan program PEMP adalah: (1) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat; (2) Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung pembangunan daerah; (3) Memicu usaha ekonomi produktif di desa pesisir; (4) Mendorong terlaksananya mekanisme manajemen pembangunan masyarakat yang partisipatif dan transparan; (5) Meningkatkan kemampuan aparat dan masyarakat pesisir dalam mengelola 4

pembangunan di wilayahnya; dan (6) Mereduksi pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak melalui penciptaan dan peningkatan usaha ekonomi produktif secara berkesinambungan. Adapun sasaran program PEMP adalah: (1) Terbentuknya kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan di kalangan masyarakat pesisir; (2) Terciptanya proses pembelajaran masyarakat serta partisipasi sebagai wujud upaya pemberdayaan masyarakat setempat; (3) Terbentuk lembaga keuangan mikro di daerah pesisir; (4) Berkurangnya dampak kenaikan harga bahan bakar minyak karena adanya tambahan pendapatan melalui penciptaan lapangan kerja dan perluasan usaha. Sejalan dengan otonomi daerah yang diiringi dengan menguatnya tuntutan demokratisasi, peningkatan partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta perhatian pada potensi dan keanekaragaman daerah; maka pembangunan kelautan harus memperhtikan upaya pemberdayaan daerah, peningkatan kemampuan pemerintah daerah, dan percepatan pembangunan ekonomi daerah yang ditopang dengan upaya-upaya pengembangan masyarakat seperti yang telah diamanatkan oleh GBHN 1999. Proses pemberdayaan masyarakat hendaknya disusun dalam bingkai pendekatan yang harmonis dengan memperhatikan sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat setempat, sumber-sumber potensi lokal seperti keterampilan, dan unit-unit usaha masyarakat. Pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir yang berbasis pada sumberdaya lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir. Dengan demikian, akan lebih menjamin kesinambungan peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian sumberdaya kelautan dan pesisir. Salah satu faktor strategis dari penyebab utama kemiskinan (ketidakberdayaan) masyarakat di kawasan pesisir adalah lemahnya kemampuan mereka dalam manajemen usaha. Rendahnya kemampuan manajemen itu, selain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, juga berkaitan dengan 5

aksesibilitas mereka untuk memperoleh kesempatan melihat, mencoba dan mempraktekkan prinsip-prinsip manajemen yang lebih maju. Mereka juga mengalami keterbelakangan pendidikan, pengetahuan dan keterampilan serta miskinnya informasi yang diperoleh masyarakat pesisir. Karena itu perlu adanya sosialisasi yang intensif dari kebijakan pemerintah. Proses sosialisasi hendaknya mengarah pada percepatan kemandirian masyarakat dalam memperoleh informasi tentang kebijakan pemerintah dan kemudahan dalam mengakses informasi tersebut. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan upaya untuk menjawab permasalahan di atas. Melalui PEMP masyarakat pesisir (dengan wadah kelompok) mempunyai kebebasan untuk memilih, merencanakan, dan menetapkan kegiatan ekonomi yang dibutuhkan berdasarkan musyawarah. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki dan bertanggung-jawab atas pelaksanaan, pengawasan, dan keberlanjutannya. Program PEMP dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: periode inisiasi (2001-2003), periode institusionalisasi (2004-2006), dan periode diversifikasi (2007-2009). Periode inisiasi merupakan periode membangun, memotivasi, dan memfasilitasi masyarakat pesisir agar mampu memanfaatkan kelembagaan ekonomi (LEPP-M3). Periode institusionalisasi merupakan periode yang ditandai dengan upaya menjadikan LEPP-M3 menjadi lembaga yang berbadan hukum (koperasi), sehingga dengan legalitas yang ada diharapkan dapat memperluas usaha ekonominya. Periode diversifikasi merupakan periode perluasan unit usaha Koperasi LEPP-M3, sehingga diharapkan dapat mengurangi beban sosial ekonomi masyarakat pesisir. Propinsi Jawa Barat dengan 10 kabupaten berpesisir merupakan lokasi sasaran program PEMP dan telah melaksanakan program tersebut selama 3 tahun berturut-turut yang dinilai berhasil secara kualitatif. Namun demikian sampai saat ini belum ada penelitian mengenai dampak pelaksanaan program tersebut secara mendalam yang dikaitkan dengan soal peningkatan taraf hidup sosial ekonomi masyarakat pesisir. 6

Selama ini Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam melaksanakan Analisis terhadap Program PEMP menggunakan indikator 3 T (tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah). Penelitian BPKP lebih menekankan pada evaluasi pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana. Sementara itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak program PEMP terhadap pembangunan dan kesejahteraan anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) peserta program PEMP setelah menerima Dana Ekonomi Produktif (DEP). Hal ini selanjutnya menjadi dasar pemikiran untuk melaksanakan penelitian mendalam mengenai analisis dampak program PEMP terhadap kesejahteraan anggota KMP terutama peningkatan pendapatan anggota KMP program PEMP dengan mengambil kasus di Kabupaten Subang dan Cirebon. 1.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Hal ini diperlukan terutama didasari pada asumsi, bahwa masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya. Secara sosiologis keadaan kurang berdaya diidentikkan dengan keterbelakangan baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan. Karena itu istilah pemberdayaan menjadi identik dengan community development atau empowerment. Proses pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan jika ada sikap proaktif dari masyarakat pesisir dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Sikap proaktif ini meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan analisis, serta berperan dalam pengambilan keputusan. Proses pemberdayaan itu bertujuan untuk melakukan perubahan individu yang diikuti dengan perubahan kelembagaan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan Hikmat (2001) dalam Satria, (2002) bahwa proses pemberdayaan bertujuan menolong klien supaya: Masyarakat mendapatkan kembali eksistensi dan jati-diri mereka dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi; Ilmu pengetahuan dan skill (keahlian dan keterampilan) pekerja sosial dapat digunakan klien secara optimal; 7

Pekerja sosial dapat berperan sebagai mitra yang baik dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi klien; dan Ototritas sesuai dapat diubah menjadi memberi pengaruh pada kehidupan mereka. Tingkatan upaya untuk melakukan perubahan individu dan lembaga sosial yang berpengaruh berbeda-beda sesuai tingkat kerumitan masalah yang dihadapi dalam komunitas tersebut. Perubahan dapat saja terjadi hanya dengan sebuah insentif (rangsangan) yang menggugah kesadaran individu itu. Namun dalam kondisi lain, perubahan baru dapat terwujud dengan melakukan rekayasa sosial yang melibatkan pihak luar secara aktif. Oleh karena itu dalam melakukan proses pemberdayaan dituntut kejelian melihat masalah dan menentukan sumber permasalahannya. Seperti dinyatakan Hikmat 2001 (dalam Arif Satria, 2002), ada tiga tingkatan pelaksanaan pemberdayaan yang harus dilakukan, yaitu; Pengalaman positif dalam keluarga untuk memberikan rasa percaya dan persaingan dalam interaksi sosial; Memaksa kemampuan mereka untuk mengatur kehidupan sosial dan menggunakan institusi sosial (sekolah) untuk memperoleh kompetensi; dan Mereka dapat menerima dan menampilkan nilai-nilai sosial. 1.3 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Salah satu model pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan pemerintah adalah program PEMP dengan prinsip to help them to help themselves. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendaya-gunakan sumberdaya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan tujuan PEMP, dorongan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian pembangunan. Kegiatan PEMP meliputi pengembangan partisipasi masyarakat, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang meliputi pengembangan kegiatan 8

ekonomi masyarakat, pengembangan sumberdaya laut dan pesisir yang berbasis masyarakat sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan, pengembangan jaringan dan kelembagaan sosial ekonomi, peningkatan fasilitas masyarakat dalam akses permodalan, serta pengembangan kemampuan pemerintah lokal dan masyarakat. Untuk mendukung program tersebut, dibangun kemitraan antara masyarakat, aparat, dan pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Model pengembangan PEMP diawali dengan tahapan identifikasi potensi dan permasalahan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar tentang daerah. Informasi dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan program ini adalah informasi tentang sumberdaya alam dan sumberdaya pesisir, sumberdaya manusia, kegiatan usaha perikanan, sarana dan prasarana, kelembagaan sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah. Informasi (data) yang diperoleh akan melewati proses analisa data hingga menghasilkan susunan program pengembangan PEMP. Adapun Analisis data dilakukan untuk menghasilkan program pengembangan PEMP. Program-program yang perlu dikembangkan mencakup program ekonomi, program sosial, dan program lingkungan serta infrastruktur. Program-program itu hendaknya berbasiskan kemampuan lokal, saling mendukung dan tidak tumpang tindih. Program sosial, lingkungan, dan infrastruktur dikembangkan untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat lokal. Selain itu program sosial dilaksanakan untuk mengembangkan budaya lokal dalam kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mengantisipasi penyelesaian konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tahapan selanjutnya adalah sosialisasi program kepada seluruh stakeholder untuk mendapatkan masukan guna penyempurnaan program yang telah disusun. Implementasi program dilaksanakan dalam bentuk pemilihan calon peserta, pelatihan, pelaksanaan kegiatan ekonomi, pelaksanaan kegiatan sosial, lingkungan dan fasilitas, serta penguatan kelembagaan sosial ekonomi. Dalam implementasi program masyarakat selalu mendapatkan pendampingan dari Tenaga Pendamping Desa (TPD) yang telah dilatih terlebih dahulu. 9

Tahap terakhir adalah monitoring dan analisis untuk memantau implementasi program serta mengkaji ulang kelemahan dan kelebihan dari program serta kendalakendala yang dihadapi dalam implementasi. Monitoring dan analisis harus selalu dilakukan agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan dalam program kerja berikutnya agar semakin mengarah pada program yang sempurna. Keberhasilan program PEMP sangat dipengaruhi pendekatan yang digunakan dalam implementasi, karena program PEMP melibatkan banyak unsur dan memiliki sasaran masyarakat pesisir ditingkat ekonomi. Pendekatan yang digunakan dalam program PEMP adalah pendekatan partisipatif serta kemandirian dan kemitraan dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang bersifat: dapat diterima, terbuka, dapat dipertanggungjawabkan, cepat menyebar, demokratis, keberlanjutan, keadilan, dan kompetitif. 1.4 Organisasi dan Kelembagaan PEMP Pelaksanaan PEMP didukung semua pihak, mulai tingkat pusat hingga lokal. Program PEMP merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan di bawah Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K). Sebagai penanggung-jawab program di tingkat pusat adalah Direktur Jenderal KP3K bertugas melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti Departemen Keuangan dan BAPPEDA. Hirarki penanggung-jawab program di bawah Ditjen KP3K adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi atas nama Gubernur dan Bupati (Walikota) di tingkat Kabupaten (Kota) dengan tugas-tugas yang berbeda. Kadis Propinsi bertugas melakukan sosialisasi program PEMP di tingkat Propinsi dan melakukan sinkronisasi program PEMP dengan program lain di bawahnya agar tidak terjadi overlaping. Selain itu Kadis Propinsi melakukan koordinasi lintas Kabupaten (Kota) dan pembinaan teknis pelaksanaan program PEMP serta melakukan monitoring dan Analisis. Hasil kegiatan ini dilaporkan ke Gubernur dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Sementara itu Bupati (Walikota) sebagai penanggung-jawab program di wilayah kerjanya bertugas melakukan pembinaan teknis implementasi serta mengkoordinasikan perencanaan dan pengendalian program PEMP dengan program 10

sektoral dan regional. Selanjutnya pelaksanaan teknis Program PEMP di tingkat Kabupaten (Kota) dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten (Kota) yang mencakup sosialisasi, koordinasi dengan BAPPEDA, memberikan bimbingan, memfasilitasi terbentuknya hubungan kemitraan antara KMP dan perorangan atau lembaga yang perduli terhadap program pengembangan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Selanjutnya melakukan monitoring dan analisis hasil pelaksanaan kegiatan PEMP. Dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten (Kota) dibantu Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten (Kota) dan Tenaga Pendamping Desa (TPD) yang telah dilatih TOT oleh Pusat. TPD tersebut mempunyai kemampuan mengelola kegiatan PEMP dan mampu berperan sebagai Fasilitator, Dinamisator dan Motivator dalam kegiatan PEMP. Untuk mengkoordinasikan KMP, dibentuk Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). LEPP-M3 bertugas mengelola Dana Ekonomi Produktif yang disalurkan ke KMP. Pengurus LEPP-M3 merupakan perwakilan dari KMP dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan selaku penanggung jawab operasional program PEMP. Dalam pelaksanaannya LEPP-M3 dibentuk di tingkat Kabupaten (Kota), sehingga dalam implementasinya selalu berkoordinasi dengan Mitra Desa yang merupakan Kepala Desa atau tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama), serta Kantor Cabang Dinas (KCD) dan instansi terkait lainnya. 1.5 Perumusan Masalah Dua masalah utama yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana dampak pelaksanaan program PEMP terhadap pendapatan masyarakat pesisir? Permasalahan ini akan ditelaah dengan memperhatikan perubahan tingkat pendapatan; kemudian akan dibandingkan signifikansi perubahan itu antara sebelum dengan sesudah proyek PEMP. Oleh sebab itu penelitian ini juga dibatasi pada tahapan implementasi yaitu tahap Inisiasi 11

(2001-2003). 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan program PEMP? Secara kuantitatif hal ini akan diukur dengan regresi berganda untuk melihat pengaruh-pengaruh modal awal (sebelum program PEMP diintroduksikan), besarnya tambahan modal ketika program PEMP diintroduksikan, tingkat pendidikan masyarakat pesisir, persepsi responden tentang prospek ekonomi yang dijalankannya, terhadap peningkatan kesejahteraan kelompok masyarakat pengguna (KMP) 1.6 Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dampak pelaksanaan program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan sasaran program (target beneficiaries); dan 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sasaran program dilokasi penelitian 1.7 Manfaat Penelitian Bagi Pemerintah Pusat: Manfaat penelitian bagi pemerintah pusat adalah memperoleh masukan bagi perbaikan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, tidak terbatas pada lingkup program PEMP dan cakupan lokasi penelitian. Bagi Pemerintah Daerah: Manfaat penelitian bagi pemerintah daerah adalah: 1) Memperoleh masukan bagi perbaikan program PEMP di lokasi penelitian; dan 2) Memperoleh alternatif instrumen analisis program PEMP yang sederhana tapi dapat dipercaya. Bagi Akademisi: 12

Manfaat penelitian bagi akademisi adalah memberikan gambaran salah satu model pemberdayaan masyarakat pesisir 13

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pemberdayaan Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidak-puasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat, dan diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah (trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru, ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat centralized, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin. Sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan pertumbuhan tersebut, maka muncul tuntutan yang sangat keras agar pembangunan pada masa yang akan datang lebih bersifat bottom up, dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk menunjang pendekatan yang seperti itu maka pemberdayaan masyarakat harus dilakukan. Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu; tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan mencapai tataran kualitas tertentu. Namun kemudian 14

tumbuh keinginan untuk meningkatkan kualitas, maka pemberdayaan pun terus dilakukan. Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat adalah suatu proses untuk meraih atau mencapai tahapan dan kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Karena masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, maka ketidakpuasan itu membuat pemberdayaan perlu terus dilaksanakan. Menurut Haque (1996), seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain, membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan. Merevisi berbagai pendekatan pembangunan perikanan yang dianggap belum memuaskan, Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri, 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang. Secara holistik Departemen Kelautan dan Perikanan berusaha menyempurnakan pendekatan agribisnis yang berorientasi bisnis semata. Karena itu dilakukan pencermatan terhadap empat dimensi, yaitu: (1) dimensi ekologis, (2) dimensi sosial-ekonomi, (3) dimensi sosial politik, dan (4) dimensi hukum dan kelembagaan. Keempat dimensi itu di dalam implementasinya dilakukan dengan berbasis pada masyarakat, atau yang disebut sebagai inklusi sosial, yang merupakan perubahan paradigma pembangunan (Tabel 2). Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya itu diidentikkan dengan 15

keadaan keterbelakangan. Dalam hal ini keterbelakangan itu bisa bermakna ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan berbagai aspek yang lain. Karena itu, istilah pemberdayaan menjadi identik dengan community development; sehingga berbicara tentang pemberdayaan tidak dapat dipisahkan dari diskusi tentang pembangunan itu sendiri. Tabel 2. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan PARADIGMA LAMA BARU Pendekatan Ekslusi Sosial Inklusi Sosial Orientasi Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi Pemertaan Dan Kesejahteraan Fungsi Pemerintah Provider Enabler/Facilitator Tata Pemerintahan Sentralisasi/Dekonsentrasi Desentralisasi Pelayanan Birokrasi Normatif Responsif Fleksibel Pengambilan Keputusan Sumber: Dahuri (2002) Top Down Bottom Up & Top Down Secara umum pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengarah pada suatu keadaan yang diharapkan dapat mempunyai nilai lebih, dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, nilai lebih itu memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga penafsirannya cenderung bersifat cultural specific, yaitu dipengaruhi oleh suatu kondisi lingkungan kebudayaan tertentu. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, nilai lebih yang dimaksudkan tentunya cenderung mengarah pada suatu keadaan masyarakat yang lebih berdaya. Meskipun demikian, apa yang dimaksud dengan berdaya juga memiliki pengertian yang beraneka ragam. Bauer, (1973) mengartikan istilah berdaya semata-mata dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, yaitu berupa kemampuan meningkatkan kondisi ekonomi dari yang lebih rendah ke keadaan yang lebih tinggi, sebagaimana yang dikemukakan: 16

The central problem in the theory of economic growth is to understand the process by which a community is converted from being a five percent saver to a 12 percent saver with all the changes in attitudes and institutions and in techniques which accompany this conversion. Berbeda dengan Bauer, Brandt (1980) memberi pengertian nilai lebih dalam pemberdayaan bukan semata-mata dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial; walaupun diakui bahwa nilai lebih dalam aspek ekonomi merupakan yang utama. Todaro (1983) bahkan memberi pengertian pemberdayaan secara lebih luas, yaitu sebagai suatu proses multi dimensional, yang melibatkan reorganisasi dan reorientasi semua sistem ekonomi dan sosial. Termasuk dalam hal ini adalah perombakan dalam kelembagaan, struktur sosial, administrasi, sikap mental serta mengubah adat istiadat dan kepercayaan. Hal ini dipertegas lagi oleh Katz, yang menekankan bahwa pembangunan adalah suatu usaha dari suatu kondisi kemasyarakatan tertentu ke dalam suatu kondisi kemasyarakatan yang lebih bernilai (more valued) (Katz, 1970): Development as major societal change from one state of national being to another, more valued state. It involves a complex of mutually related economic, social, and political changes. Sasaran akhir dari sebuah pemberdayaan adalah terciptanya suatu kesejahteraan yang dialami secara bersama oleh masyarakat. Dalam hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Isbandi (2003), kesejahteraan itu dapat didefinisikan sebagai:...suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia.... 17

Pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk meningkat kemampuan dan potensi masyarakat miskin agar dapat memecahkan masalahnya secara mandiri dan berkelanjutan. Upaya pencapaian tujuan pemberdayaan ini dapat terjadi apabila kesadaran masyarakat tentang implementasi nilai moral dan keswadayaan masyarakat pesisir, karena pada dasarnya tujuan akhir dari pemberdayaan adalah pembebasan diri dari ketergantungan materi Lebih jauh, Simon (1990) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasi dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri. Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan suatu sistem yang berinterasi dengan lingkungan sosial dan fisik. 2.2 Masyarakat Pesisir Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya. Namun untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi masyarakat pesisir yang luas ini tidak seluruhnya diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula 18

yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan yang rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir. Karena itu sumberdaya perikanan mengambil peranan yang besar sebagai pengerak dinamika ekonomi lokal didesa pesisir. 19

Dalam konteks tersebut Kusnadi (2006) menyatakan bahwa, masyarakat nelayan merupakan pelaku utama yang menentukan dinamika ekonomi lokal dan kondisi ini merupakan merupakan hasil kebijakan pembangunan sektor perikanan sejak awal tahun 1970-an yang bertumpu pada orientasi produktivitas yang melahirkan berbagai perubahan penting dibidang sosial, ekonomi dan ekologi di masyarakat pesisir. Sementara itu Dahuri (2002) menyatakan bahwa kebudayaan pesisir yang outward looking, kosmopolit, egaliter dan demokratis, sebagaimana ciri masyarakat pesisir menjadi resesif dalam kebudayaan nasional. Nilai-nilai tersebut dimasa kini menjadi penting untuk digali kembali, ketika bangsa Indonesia mulai membangun demokrasi dan tatanan masyarakat madani (civil society). Sedangkan dari perspektif mata pencahariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik toko, pengolah hasil tangkapan serta pelaku industri kecil dan menengah. Keberagaman jenis pekerjaan penduduk diwilayah pesisir ditentukan oleh sumberdaya ekonomi lokal (Kusnadi, 2006). Lebih jauh Kusnadi (2006) mengemukakan sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan salah satunya adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan sehingga berdampak terhadap peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas kehidupan mereka. Untuk mengatasi diperlukan upaya sebagai berikut ; 1) Meningkatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar nelayan dapat menangkap ikan sepanjang waktu 2) Mengembangkan diversifikasi usaha berbasis sumberdaya lokal 3) Memperluas kesempatan kerja off fishing sehingga pendapatan rumah tangga nelayan tidak sepenuhnya bergantung pada pendapatan melaut. pengalaman kerja, produksi dan biaya merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan dalam penelitian yang menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di tujuh desa tertinggal menyebutkan faktor-faktor yang menambah peluang kemiskinan rumah tangga responden yakni jumlah anggota keluarga, curahan waktu rumah tangga pada 20

sektor pertanian dan faktor jenis mata pencaharian utama. Sedangkan faktor yang mengurangi peluang kemiskinan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, luas sawah garapan setahun, luas sawah milik, total pendapatan dari kegiatan pertanian, total pendapatan dari kegiatan non pertanian dan curahan kerja rumah tangga pada sektor non pertanian. 2.3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Program PEMP adalah salah satu program pemerintah yang dirancang untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di wilayah pesisir. Pelaksana program ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan. Pelaksanaan program ini diawali dengan Pilot Project yang dilaksanakan oleh BAPPENAS pada tahun 2000 di 26 Kabupaten (Kota), selanjutnya pada tahun 2001 hingga saat ini kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan dan agama), lingkungan sumberdaya perikanan dan laut serta pemukiman dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan pendapatan, adapun aspek sosial penting untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan taqwa (IMTAQ) serta sikap dan perilaku kualitas sumberdaya manusia (SDM). Aspek lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, serta perbaikan pemukiman. Aspek infrastruktur ini dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan sosial. Keempat aspek tersebut (sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal. Keberhasilan dalam peningkatkan pendapatan (ekonomi) akan dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Keberhasilan kegiatan usaha itu sendiri akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan pesisir yang ada, teknologi 21

yang tersedia serta kualitas SDM yang akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, IMTAQ serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Peran perbankan sangat diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama membantu mereka terhadap akses permodalan (Ismawan, 2005). Dalam pelaksanaannya, program PEMP telah mengalami berbagai pengembangan model, namun demikian evaluasi dan analisis dampaknya hingga saat ini belum pernah dilaksanakan, sehingga eksistensinya sebagai sebuah program unggulan Departemen Kelautan dan Perikanan belum teruji secara utuh. 2.4 Pembangunan Wilayah Kebijakan atau model pembangunan yang bersifat terpadu merupakan pilihan ideal untuk membangun wilayah atau kawasan masyarakat pesisir yang sekaligus diharapkan berimplikasi pada keefektifan mengatasi kemiskinan masyarakat nelayan. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil dari pembangunan tercermin dari pendapatan kesejahteraan penduduknya. Agar dicapai pembangunan daerah yang optimal maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang ada di daerah (Kusnadi,2006). Kebijakan pembangunan perikanan harus dijalankan secara integral dengan memadukan konsep kebijakan, manajemen, operasional, konservasi dan isu ekologi (Cowx and Schramm, 2006). Dalam pelaksanaan Program PEMP, salah satu parameter keberhasilan ditujukkan dengan adanya multiplier effect terhadap pembangunan yang terkait satu sama lain seperti adanya pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan (dermaga, jalan, saluran tambak listrik dan saran sosial lainnya). Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan program adalah seperti tumbuh dan 22

berkembangnya kegiatan ekonomi pendukung seperti perdagangan saprodi, jasa kelautan dan lain-lain. Ada dua pendekatan dalam mengidentifikasi kemiskinan yaitu, pertama menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence poverty) dan kedua memahami kemiskinan dalam pengertian relatif (relative deprivation). Pengertian subsistensi adalah menganggap bahwa kemiskinan merupakan persoalan ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang dan beberapa kebutuhan pokok lainnya (Ismawan, 2003). Kemiskinan relatif dapat ditunjukkan melalui indikator: (1) Deprivasi materiil (kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar); (2) Isolasi dicerminkan oleh lokasi geografis maupun marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial politik; (3) alineasi, perasaan tidak punya identitas sehingga tidak ikut memanfaatkan program;, (4) Ketergantungan, yaitu kemerosotan kemampuan bargaining terhadap majikan; (5) Ketidak-mampuan karena tiadanya kebebasan memilih dalam produksi; (6) Kelangkaan aset; (7) Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan internal; dan (8) Tidak adanya jaminan keamanan. Kemiskinan dapat menimbulkan masalah negatif yang dapat menimbulkan kerusakan peradapan seperti rasis, goncangan sistem kelas, sexism dan kriminalitas (Hall, 2006). Menurut Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan masih jauh dari tingkat optimal dan berkelanjutan. Terlebih lagi menurt Olsen (1993) sumberdaya pesisir yang bersifat open-access resurces mendorong setiap orang mengeksploitasi tanpa batas. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya di wilayah pesisir mudah mengalami degradasi atau kerusakan. Fenomena kerusakan alam ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya di wilayah pesisir. Untuk itu Departemen Kelautan dan Perikanan mengambil kebijakan maupun program pengamanan penyediaan bahan makanan bagi masyarakat dengan menyesuaikan terhadap kemampuan lingkungan secara optimal dan lestari. Salah satu Programnya adalah PEMP yang pelaksanaanya telah dimulai pada tahun 1999 23

sampai sekarang. Sasaran utama program ini adalah masyarakat pesisir yang miskin akibat dampak krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan. Selanjutnya Kusnadi (2006) menyatakan kebijakan atau model pembangunan yang bersifat terpadu merupakan pilihan ideal untuk membangun kawasan dan masyarakat pesisir yang sekaligus diharapkan berimplikasi pada keefektifan mengatasi kemiskinan disamping itu model pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu yang melibatkan beberapa pelaku (multi stake holders)merupakan kebutuhan yang relevan untuk diterapkan 24

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Program PEMP di Propinsi Jawa Barat telah diimplementasikan sejak tahun 2001 hingga saat ini. Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat; meski program tersebut sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas seperti sosial, lingkungan, dan infrastruktur (Gambar 1). Analisis ini hanya menitik-beratkan pada aspek ekonomi saja; sedangkan aspek lainnya hanya digunakan untuk memperkaya analisis ekonomi. Evaluasi ekonomi itu pada prinsipnya menelaah apakah peningkatan pendapatan nelayan akibat introduksi program PEMP itu cukup nyata atau tidak, serta menelaah faktorfaktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan tersebut. 3.2 Hipotesis 1) Program PEMP di lokasi penelitian menghasilkan peningkatan pendapatan secara nyata dibanding dengan sebelum adanya program. 2) Peningkatan pendapatan di Kabupaten Cirebon tidak berbeda nyata dibanding dengan Kabupaten Subang. 3) Variabel modal awal berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total. 4) Variabel penambahan modal berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total. 5) Variabel tingkat pendidikan masyarakat pesisir berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan total masyarakat pesisir. 6) Variabel persepsi responden tentang prospek aktifitas ekonomi yang dijalankannya berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan pendapatan todal masyarakat pesisir. 25

KEBIJAKAN DKP PROGRAM PEMP MASYARAKAT PESISIR KMP-I KMP-II LEPP-M3 KMP..n IMPLEMENTASI PROGRAM PEMP Dampak Tingkat Pendapatan Peserta Program Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan ANALISIS DAMPAK Wicocson sign rank test Regresi berganda Rekomendasi untuk penyempurnaan progmam Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Keterangan Gambar bagan. = Implimentasi program PEMP yg dilaksanakan oleh DKP Melalui Dinas Kelautan & Perikanan Kab./ Kota, selanjutnya dampak program dianalisis sesuai dgn tujuan yg akan dicapai = Hasil Penelitian merupakan rekomendasi untuk penyempurnaan program PEMP oleh Departemen kelautan dan Perikanan 26

3.3 Disain Penelitian Pengaruh program PEMP terhadap peningkatan pendapatan peserta program dikaji dengan menggunakan hubungan antara variabel peningkatan pendapatan dengan modal awal, tambahan modal selama program PEMP, tingkat pendidikan, persepsi responden terhadap prospek usaha, lokasi, umur tahun pelaksanaan (dihitung dari tahun penelitian), persepsi responden terhadap kecakapan dirinya, dan jenis mata pencaharian. Mengingat variabel-variabel itu tidak di bawah kendali peneliti, pengumpulan dan pengukurannya dilakukan dengan disain ex post facto. Disain ini pada dasarnya merupakan pengukuran suatu peristiwa yang telah terjadi. (Umar, 2004). Pengumpulan data tersebut mencakup kegiatan studi kasus, survai, dan riset korelasi. 3.4 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data 3.4.1 Jenis dan sumber data Data primer adalah data nominal maupun ordinal hasil pengukuran langsung melalui kuesioner yang telah disediakan, data sekunder menyangkut informasi tematik tentang masyarakat dan tatalaksana program PEMP di lokasi penelitian. yaitu: Data bersumber dari hasil survai kepada para nelayan dan informan lainnya, KMP nelayan; KMP budidaya; KMP pengolahan; KMP pedagang ikan; Pengurus LEPP-M3, Pengurus Mitra Desa, dan Pengurus KMP; dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten. 3.4.2 Pengumpulan dan pengolahan data 1) Unit analisis dalam studi ini adalah individu anggota masyarakat pengguna sumberdaya perikanan, baik nelayan, budidaya rumput laut, pengolahan hasil, 27

dan perdagangan hasil laut. Penghitungan tingkat kesalahan dari pengambilan contoh, digunakan rumus Slovin yang dikutip dari Umar (2003: 120), yaitu: n = N/(1+Ne 2 ) dengan keterangan bahwa n adalah ukuran contoh, N adalah ukuran populasi, dan e adalah kesalahan yang ditoleransi. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Metoda pengumpulan datanya adalah sebagai berikut: Desk study, yang digunakan untuk mempelajari konsep-konsep dan hasil penelitian terkait. Pengamatan, yang dilakukan untuk mempelajari situasi infrastruktur di lingkungan responden. Wawancara, yang dilakukan kepada responden maupun informan. Penentuan pengambilan contohnya dilakukan dengan cara acak berstrata (stratified random sampling). Tahun pelaksanaan PEMP dijadikan sebagai strata yang dalam hal ini dibagi tiga strata, yaitu pelaksanaan tahun 2001, 2002, dan 2003. Jumlah contoh masing-masing Kabupaten adalah 50 contoh. Dengan ukuran contoh sebesar itu, nilai kesalahan sampling menurut rumus Slovin akan berkisar 10-15%. 2) Data yang terkumpul ditabulasi dengan menggunakann Microsoft Excell. Pengolahan data dan pengujuan statistik menggunakan paket program SPSS-14 (Statistical Package for Social Sciences). 3.4.3 Definisi dan pengukuran variabel Untuk menegaskan batas-batas penelitian secara jelas, maka variabelvariabel penelitian didefinisikan secara khusus sebagai berikut: 1) Peningkatan pendapatan total nelayan adalah selisih antara pendapatan total masyarakat pesisir setelah program dikurangi pendapatan total sebelum program PEMP. 2) Pendapatan adalah nilai produksi total dikurangi dengan biaya operasional. 28

3) Pendapatan sebelum program adalah pendapatan masyarakat pesisir sebelum program PEMP diintroduksikan. 4) Pendapatan setelah program adalah tingkat pendapatan masyarakat pesisir setelah menjadi peserta program PEMP selama 3 tahun. 5) Modal awal adalah modal yang dilibatkan dalam kegiatan matapencaharian masyarakat pesisir sebelum adanya program PEMP. 6) Tambahan modal adalah jumlah modal yang diperoleh masyarakat pesisir selama mengikuti program PEMP. 7) Persepsi tentang prospek ekonomi kegiatan yang dilaksanakan oleh responden adalah ekspektasi responden terhadap peluang kemajuan usaha yang dijalankannya. 8) Lokasi adalah Kabupaten Cirebon dan Subang. 9) Tahun pelaksanaan adalah umur program dihitung dari tahun pelaksanaan penelitian (2006). 10) Persepsi tentang kecakapan sendiri adalah penilaian responden terhadap kecakapan dirinya. 11) Jenis mata pencaharian adalah jenis mata pencaharian kepala keluarga yang menjadi responden penelitian. Variabel-variabel penelitian di atas (yang semuanya merupakan variabel ekonomi) diukur dengan angka nominal, kecuali tingkat pendidikan dan persepsi tentang prospek usaha yang merupakan data ordinal. 3.5 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Subang. karena keduanya merupakan dua kabupaten yang memperoleh perlakuan program PEMP relatif sama. Selanjutnya penentuan kecamatan dalam setiap kabupaten didasarkan pada strata tahun pelaksanaan program PEMP. Artinya sama-sama melaksanakan dalan tahun 2001 dan 2002 (tahap inisiasi) Adapun kecamatan terpiliha adalah sebagai berikut: Kabupaten Cirebon: Kecamatan Cirebon Utara, Pangenan, Gebang, dan 29

Mundu. Kabupaten Subang: Kecamatan Blanakan, Legok Kulon, dan Pusaka Nagara. 3.6 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan (Pebruari April) 2006 3.7 Metoda Analisis 3.7.1 Analisis deskriptif univariat Analisis deskriptif univariat menyajikan distribusi frekuensi. Dengan deskripsi ini, akan diketahui kecenderungan responden berkenaan dengan variabel penelitian yang digunakan. 3.7.2 Wilcoxon signed rank test Analisis ini digunakan dalam rangka menguji apakah pendapatan masyarakat pesisir itu meningkat secara nyata setelah mengikuti program PEMP. Peluang kejadian pendapatan masyarakat antara sebelum dengan sesuadah mengikuti program PEMP adalah sebagai berikut: Y a > Y b Y a = Y b Y a < Y b dengan keterangan Y a = pendapatan sebelum program, dan Y b = pendapatan sesudah program. Dalam formula Wilcoxon, untuk menguji apakah ada perbedaan pendapatan sebelum dengan sesudah mengikuti program PEMP dilakukan rangkaian uji sebagai berikut: 1) Hipotesis Jika d adalah selisih pendapatan antara sebelum dengan sesudah program PEMP, maka disusun hipotesis berikut: H 0 : d = 0 (pendapatan sebelum tidak berbeda dengan sesudah program) 30

H 1 : d 0 (pendapatan sebelum berbeda dengan sesudah program) 2) Dasar Pengambilan Keputusan Dengan membandingkan nilai z hitung dengan z tabel: Jika z hitung < z tabel, maka H0 diterima; dan Jika z hitung > z tabel, maka H0 diterima. Adapun untuk memperoleh z hitung itu digunakan rumus sebagai berikut: z = [T -{1/4(N)(N+1)}]/ [1/24(N)(n+1)(2N+1)] dengan keterangan T adalah selisih pendapatan terkecil (tanda tidak diperhatikan) dan N adalah jumlah contoh (setelah mengeluarkan contoh yang memiliki nilai yang benar-benar sama). Dengan melihat angka probabilitas: Probabilitas > α maka H 0 diterima Probabilitas < α maka H 0 ditolak dengan keterangan α adalah nilai kesalahan (yang dalam penelitian ini digunakan 5%, karena penelitian ingin memperoleh informasi pada selang kepercayaan 95%). Karena pada penelitian ini proses penghitungan menggunakan SPSS 14, maka digunakan pendekatan probabilitas. Jadi tidak dilakukan proses penghitungan manual seperti yang ditunjukkan pada rumus di atas. 3.7.3 Analisis regresi berganda Analisis regresi berganda yang dilakukan ditunjukkan dengan rumus umum sebagai berikut: Y = ƒ (X 1, X 2, X 3i, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8i ) dengan keterangan bahwa: Y adalah peningkatan pendapatan sesudah mengikuti program PEMP. Pendapatan ini tidak dikoreksi dengan nilai inflasi. Jadi nilai pendapatan itu 31

merupakan nilai nominal pendapatan pada tahun berjalan (current income). Pendekatan ini digunakan, karena dalam persepsi sederhana (mindset) nelayan maupun pengelola program, yang dimaksud dengan pendapatan itu senantiasa merujuk pada nilai nominal pendapatan; dan tidak dikaitkan dengan pengertian daya beli (purchasing power) pendapatan. X 1 adalah modal awal. Nilai ini diukur dengan angka interval sesuai dengan nilai modal awal yang dimiliki oleh responden. X 2 adalah tambahan modal selama program. Tambahan ini tidak dibedakan apakah tambahan itu bersumber pada modal sendiri, kredit bank, maupun kredit dari PEMP. X 3i adalah tingkat pendidikan. Ini merupakan dummy variable (X 31...X 33 ). Nilai variabel adalah sebagai berikut: X 31 X 32 X 33 SD 1 0 0 SMP 0 1 0 SMA 0 0 1 Lebih dari SMA 0 0 0 X 4 adalah persepsi responden tentang prospek usaha ekonomi yang dijalankannya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang dihasilkan dari rata-rata angka Skala Lickert (Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1). Semua pertanyaan (ada 5 pertanyaan) merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai persepsi responden terhadap prospek usaha itu semakin baik. X 5 adalah dummy variable untuk lokasi (Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang). Ini merupkan variabel biner, X 5 bernilai 1 untuk Cirebon dan 0 untuk Subang. X 6 adalah tahun pelaksanaan PEMP. Nilai diukur dengan nilai interval umur program terhitung pada tahun pelaksanaan penelitian. 32

X 7 adalah variabel persepsi responden tentang kecakapan dirinya dalam menjalankan usahanya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang dihasilkan dari rata-rata angka Skala Lickert (Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1). Semua pertanyaan (ada 5 pertanyaan) merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai persepsi responden menilai dirinya lebih cakap. X 8i adalah jenis mata pencaharian responden. Ini merupakan dummy variable (X 81...X 83 ). Nilai variabel adalah sebagai berikut: X 81 X 82 X 83 Nelayan 1 0 0 Pedagang 0 1 0 Pengolah 0 0 1 Petambak 0 0 0 Untuk melihat pengaruh variabel bebas (Xi) terhadap variabel terikat (Y), dilakukan tiga tahap komputasi, yaitu: Tahap 1: Seluruh variabel bebas dimasukkan dan dilakukan komputasi dengan menggunakan SPSS-14. Kemudian dianalisis hasilnya. Tahap 2 (Iterasi I): Setelah mengoperasikan model yang utuh, dilakukan iterasi dengan metoda entered/removed, yang dalam hal ini digunakan metoda entered. Komputer secara iteratif memilih variabel yang memiliki korelasi yang relatif tinggi, baik berkorelasi positif maupun negatif. Kemudian dianalisis hasilnya. Tahap 3 (Iterasi II): Iterasi kedua adalah menganalisis regresi berganda, hanya dengan memasukkan variabel bebas yang pada Iterasi I menunjukkan pengaruh nyata pada taraf <5%. 33

Terhadap rumus umum regresi berganda itu, dilakukan uji hipotesis terhadap konstanta regresi. H 0 diterima jika konstanta bernilai sama dengan 0. Sutrisno (1982) 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi 4.1.1 Kabupaten Subang Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, terletak antara 107º31-107º54 BT dengan 6º11-6º49 LS. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Indramayu, sebelah barat dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta, sebelah selatan dengan Kabupaten Sumedang, dan sebelah utara dibatasi Laut Jawa. Gambar 2. Peta Kabupaten Subang Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan, yang 4 kecamatan di antaranya (dan terutama di 3 kecamatan pertama) merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Pusakanegara, Legon Kulon, dan Kecamatan Pamanukan. Jumlah areal tambak di Kecamatan Pusakanagara, Legon Kulon, dan Blanakan mencapai 8,258 ha dengan sebaran di masing-masing kecamatan adalah 806 ha, 4,595 ha, dan 2,855 ha. Jumlah populasi nelayan, petambak, dan pengolah di tiga kecamatan itu pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3. 35

Tabel 3. Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang Tahun 2003 Jumlah (org) Nama Kecamatan Nelayan Petambak Pengolah 1. Pusakanagara 150 402 56 2. Legon Kulon 108 2,297 16 3. Blanakan 380 1,425 77 Jumlah 638 4,124 149 Konsentrasi kegiatan kelautan di Kecamatan Pusakanegara adalah di 1 desa (Patimban) dari 11 desa yang ada. Kecamatan Legon Kulon di 5 desa (dari 9 desa), yaitu Pangarengan, Tegalurung, Mayangan, Legon Wetan, dan Anggasari. Kecamatan di 5 desa (dari 9 desa), yaitu Cilamaya Girang, Rawa Meneng, Blanakan, Muara, dan Tanjung Jaya. Komposisi RTP (Rumah Tangga Perikanan) dan RTBP (Rumah Tangga Bukan Perikanan) di tiga kecamatan itu adalah seperti yang disajikan pada Tabel 4. RTP di Kecamatan Pusakanagara dan Legon Kulon mencapai 20% dari total rumahtangga. Sedangkan di Kecamatan Blanakan mencapai 18,17%. Tabel 4. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Subang Tahun 2003 Jumlah (org) Nama Kecamatan RTP RTBP Total 1. Pusakanagara 82 328 410 2. Legon Kulon 90 360 450 3. Blanakan 430 1,937 2,367 Jumlah 602 2,625 3,227 4.1.1.1 Pelaksanaan PEMP 2001 Dana PEMP 2001 disalurkan kepada 23 kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), yang beranggotakan 130 orang di Kecamatan Blanakan (Desa Blanakan dan Tanjung Tiga) dan Legon Kulon (Desa Pengarengan). Program ini memberikan dukungan terhadap usaha produktif berikut : Usaha dagang jelas ke tambak. Usaha dagang sarana produksi perikanan (saprokan). Usaha budidaya tambak. Usaha pemasaran hasil tambak. 36

Usaha pemasaran hasil penangkapan. Usaha pengolahan ikan dan jenis hasil laut lainnya. 4.1.1.2 Pelaksanaan PEMP tahun 2002 Dana PEMP 2002 disalurkan kepada 35 KMP yang beranggotakan 281 orang. Lokasi penerapan PEMP 2002 adalah Kecamatan Blanakan (Desa Muara), Kematan Pamanukan (Desa Sukamaju), Kecamatan Legon Kulon (Desa Mayangan, Legon Kulon, dan Tegal Urung), Kecamatan Pusakanagara (Desa Patimban). Kegiatan usaha produktif yang didukung program ini adalah: Tambak dan penangkapan. Usaha budidaya tambak. Usaha dagang sarana produksi perikanan (saprokan) Usaha budidaya ikan lele dumbo. Usaha pemasaran hasil tambak dan penangkapan. Usaha pengolahan hasil perikanan tangkap. 4.1.1.3 Pelaksanaan PEMP 2003 Berbeda dengan periode sebelumnya, PEMP 2004 ini terdiri dari dua komponen, yaitu: (i) dana pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat pesisir; dan (ii) Penyediaan pom solar untuk nelayan (SPDN). Kelompok sasaran penyaluran dana pengembangan usaha ekonomi produktif adalah: Nelayan penggunakan motor tempel dengan kekuatan maksimum 15 HP. Nelayan pekerja (ABK: anak buah kapal). Petambak yang memiliki tambak yang cukup, namun kekurangan modal usaha. Pedagang ikan skala kecil. Pengolah ikan skala kecil. Pengolah sarana penunjang usaha perikanan skala kecil, seperti bengkel reparasi motor tempel, kios BBM, atau kios es. 37

4.1.2 Kabupaten Cirebon Kabupaten ini merupakan kabupaten di pantai utara Jawa Barat paling timur. Secara astronomik, kabupaten ini terletak di antara 108º32-108º49 BT dengan 6º00-7º00 LS. Sebelah utara dibatasi kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah, sebelah selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, dan sebelah barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Gambar 3. Peta Kabupaten Cirebon Konsentrasi kegiatan kelauatan ada di 7 kecamatan: Kapetakan, Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah RTP mencapai 4,602 orang (18.82%). Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi RTP terbesar pula (Tabel. 5). Untuk kecamatan Astanajapura tidak diperoleh informasi yang pasti. 38

Tabel 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon, Tahun 2003 Kecamatan Jumlah (org) RTP RTBP Total Nisbah* 1. Kapetakan 638 2,275 2,913 21.90 2. Cirebon Utara 818 3,694 4,512 18.13 3. Mundu 689 4,265 4,954 16.15 4. Astanajapura 5. Pangenan 302 1,446 1,748 20.89 6. Gebang 2,830 7,245 9,075 39.06 7. Losari 325 925 1,250 26.00 Total 4,602 19,850 24,452 18.82 Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah RTP (Tabel. 6). Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel. 7 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan. Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol, dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai tingkat produksi yang cukup tinggi. Tabel 6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon Tahun 2004 Jumlah (unit) Kecamatan Motor Tempel Kapal Motor Total 1. Kapetakan 677 26 703 2. Cirebon Utara 855 3 858 3. Mundu 695 2 697 4. Astanajapura 88 0 88 5. Pangenan 193 2 195 6. Gebang 1,853 8 1,863 7. Losari 325 0 325 Total 4,682 41 4,723 39

Tabel 7. Produktifitas Menurut Jenis Alat Tangkat Kabupaten Cirebon, Tahun 2004 Jenis Alat Jumlah (unit) Produksi (ton) Frekuensi (trip/bln) 1. Payang 401 2,178 11 2. Dogol 373 10,859 18 3. Pukat Rantai 4 219 13 4. Jaring Insang Hanyut 1,864 13,596 10 5. Jaring Lingkar 221 1,059 8 6. Jaring Insang Tetap 2,634 1,799 16 7. Trammel Net 2,204 1,430 15 8. Bagan Tancap 180 774 13 9. Rawai Tetap 185 5,250 14 10. Pengumpul Kerang 1,080 3,681 10 Total 9,100 40,850 Potensi tambak di Kabupaten cukup besar, yaitu mencapai 7,500 ha, yang baru dimanfaatkan sebesar 68.56% (Tabel. 8). Potensi yang masih tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Tambak Kabupaten Cirebon Tahun 2004 Kecamatan Potensi Pemanfaatan (ha) ha % 1. Losari 2,500 1,382 55.28 2. Gebang 600 491 81.83 3. Pangenan 1,834 1,074 58.56 4. Astanajapura 66 28 42.42 5. Mundu 100 71 71.00 6. Cirebon Utara 300 185 61.67 7. Kapetakan 2,100 1,911 91.00 Total 7,500 5,152 68.56 Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan (Tabel. 9). Pengolah ikan itu pada umumnya berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industrial, yang mengolah jenis produk sebagai berikut: Paha kodok dan udang beku (1 perusahaan). Udang beku (1 perusahaan). 40

Chitin/chitosan (1 perusahaan). Teri nasi (2 perusahaan). Daging rajungan (2 perusahaan). 4.1.2.1 Pelaksanaan PEMP 2001 PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta) serta Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan. 4.1.2.2 Pelaksanaan PEMP 2002 PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang dilayani adalah: Budidaya bandeng. Pengolahan ikan. Galangan perahu. Penangkapan ikan. Penangkapan keong macan. 4.1.2.3 Pelaksanaan PEMP 2003 PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter. 4.1.2.4 Pelaksanaan PEMP 2004 PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang; sedangkan nelayan hanya 2 debitur. 41

Tabel 9. Unit Pengolahan Ikan Tradisional Kabupaten Cirebon Tahun 2004 Kecamatan/Desa Jenis Olahan Jumlah (unit) 1. Losari 77 - Ambulu Rajungan, Terasi 54 - Tawangsari Pindang bandeng 20 - Ambulu Ikan asin, Ebi, Petis 3 2. Gebang 175 - Gebang Mekar Rajungan, Teri Nasi 60 - Gebang Udik Pindang bandeng 30 - Gebang Ilir Ikan asin 20 - Gebang Kulon Abon, Terasi 50 - Playangan Baso ikan 10 Ikan segar 5 3. Pangenan 15 - Ender Ikan asin 5 - Pengarengan Ikan segar 10 4. Mundu 159 - Mundu Pesisir Rajungan 88 - Bandengan Pindang 40 - Citemu Ikan asin 14 - Waruduwur Ikan segar, Kerang 17 5. Cirebon Utara 168 - Jatimerta Rajungan 20 - Klayan Ikan asin 23 - Mertasinga Ikan kering asin 64 - Sambeng Ikan asin 10 - Sirnabaya Ikan asin 37 - Grogol Ikan asin 14 6. Kapetakan 21 - Bungko Ikan asin 1 - Bungko Lor Ikan segar 6 - Karangreja Kerupuk Kulit 13 - Purbawinangun 1 7. Waled 96 - Mekarsari Pindang 77 - Karangsari Pindang 17 - Cikulak Kidul Pindang 2 8. Klangenan 142 - Wangunharja Pindang 91 - Jemaras Lor Pindang 25 - Orimalang Pindang 26 9. Plumbon 60 - Pasanggrahan Pindang 40 - Danamulya Pindang 20 TOTAL 813 42

4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Peningkatan pendapatan Tingkat pendapatan responden sebelum PEMP sangat bervariasi. Pendapatan awal terendah diperoleh petambak, baik di Cirebon maupun Subang. Sementara itu, pedagang merupakan kelompok dengan pendapatan awal tertinggi di seluruh lokasi studi (Tabel 10). Pendapatan nominal responden Cirebon sebelum dan sesudah program PEMP disajikan pada Gambar 4, sedangkan untuk responden Subang pada Gambar 6. Persentase peningkatan pendapatan responden Cirebon disajikan pada Gambar. 5. dan responden Subang pada Gambar. 7. Tabel 10. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang Uraian Responden Pendapatan rata-rata (Rp) Kenaikan Th 2000 2001-2006 (Rp) (%) CIREBON 45 Petambak 18 4,641,011 7,675,889 3,034,878 65.39 Nelayan 13 45,999,643 44,113,000 (1,886,643) (4.10) Pedagang 3 124,950,000 132,650,000 7,700,000 6.16 Pengolah 11 15,783,688 20,154,750 4,371,063 27.69 SUBANG 47 Petambak 19 7,811,154 18,385,000 10,573,846 135.37 Nelayan 14 14,623,000 23,916,500 9,293,500 63.55 Pedagang 14 57,702,857 123,321,429 65,618,571 113.72 Pengolah - - - - - Ditinjau dari segi persentase pertambahan pendapatannya, maka petambak di seluruh lokasi mengalami laju peningkatan tertinggi, yaitu 135.37% di Subang dan 65.39% di Cirebon. Pedagang di Subang juga mengalami peningkatan yang besar (113.72%); sedangkan pedagang di Cirebon hanya mencapai 6.16%. Pengolah di Cirebon juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi (27.69%). Nelayan mengalami pola kenaikan yang tidak jelas. Di Cirebon mengalami penurunan sebesar 4.10%, sedangkan di Subang mengalami peningkatan sebesar 63.55%. 43

140,000,000 120,000,000 100,000,000 80,000,000 60,000,000 40,000,000 20,000,000 0 Sebel um Pedagang Nelayan Pengolah Petambak Sesudah Gambar 4. Pendapatan Nominal Responden Cirebon Sebelum dan Sesudah Program PEMP Gambar 5. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Cirebon 44

Gambar 6. Pendapatan Nominal Responden Subang Sebelum dan Sesudah Program PEMP Gambar 7. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Subang 4.2.2 Kontribusi tambahan modal Nilai yang disalurkan PEMP relatif kecil, yaitu kurang dari Rp 6,000,000/orang, yaitu berkisar antara 1.7 juta sampai dengan 5.3 juta rupiah. Nilai itu memberikan pengaruh berbeda pula kepada setiap pelaku usaha (Tabel.11).. Secara absolut, pedagang dan petambak merupakan dua kelompok penerima dana terbesar. Pengolah adalah penerima dana terkecil. 45