DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

SKRIPSI TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN SESEORANG MENJADI TERSANGKA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

Oleh Ni Made Desika Ermawati Putri I Made Tjatrayasa Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

ABSTRACT. Keyword : Legal status, Applicant, Disputed Elections of Regional Heads, Constitutional Court ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

GANTI KERUGIAN DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN BAGI TERDUGA TERORIS YANG TERTEMBAK MATI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

EKSISTENSI KOMISI PENYIARAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY BODIES) DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

JURNAL PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MENGADILI PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG SAH ATAU TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

Oleh I Dewa Ayu Inten Sri Damayanti Suatra Putrawan Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-IX/2011 MENGENAI PENGAJUAN BANDING TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

KEWENANGAN PRAPERADILAN TERHADAP PERMOHONAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN YANG DIAJUKAN OLEH TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Opening Statement. Mejelis Hakim yang mulia,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

PENGATURAN DAN MANFAAT PEMBUATAN POST-MARITAL AGREEMENT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

KEABSAHAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI DAERAH BALI. Oleh : Dewa Gede Tedy Sukadana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

MEKANISME DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PROSES HUKUM SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XII/2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

ANALISIS YURIDIS KEBEBASAN BERSERIKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PARTAI POLITIK

PENELITIAN HUKUM PERANAN HAKIM PRA PERADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA PERKARA PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM HAL BENDA JAMINAN BERALIH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Oleh: I Made Adi Estu Nugrahan I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 41/PUU-XIII/2015

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

commit to user Penulisan Hukum (Skripsi)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

DAFTAR ISI. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN... i. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... ii. LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG... iii. KATA PENGANTAR...

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

Transkripsi:

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA oleh Cok Istri Brahmi Putri Biya Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Article titled legal basis of pretrial authority in deciding the determination of the suspect is held to know the legal basis for the addition of a pretrial authority in deciding the determination of the status of suspects on a person and the background to do it. The paper was written by using normative juridical method, with reference to library materials studied approach legislation. The results obtained through this paper is the legal basis of pre-trial authority in deciding upon the establishment suspects that the decision of the Constitutional Court No. 21 / PUU-XII / 2014 which states that the determination of the status of suspects belonging to the object pretrial and also the verdict that Article 77 of the Criminal Procedure Code is contrary to the the constitution of the Indonesian republic 1945 and does not have binding legal force throughout the pretrial is not meant including the determination of the suspect, shakedown, and foreclosure. Things background is determining the status of the suspect is the end result of investigations conducted activity that is nothing is not an object of pretrial. Key Words: Legal Basis, Pretrial, and Deciding The Determination of The Suspect. ABSTRAK Tulisan yang berjudul dasar hukum kewenangan praperadilan dalam memutus penetapan tersangka ini dilaksanakan dalam mengetahui dasar hukum ditambahkannya kewenangan praperadilan dalam memutus penetapan status tersangka pada seseorang dan latar belakang dilakukannya hal tersebut. Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan merujuk pada bahan pustaka yang dikaji melalui pendekatan peraturan perundang-undangan. Adapun hasil yang diperoleh melalui penulisan makalah ini adalah dasar hukum kewenangan praperadilan dalam memutus penetapan tersangka yakni putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka termasuk ke dalam objek praperadilan dan juga dalam amar putusannya bahwa Pasal 77 KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang praperadilan tersebut tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Hal yang melatarbelakanginya adalah penetapan status tersangka merupakan hasil akhir dari kegiatan penyidikan yang dilakukan yang tidak lain dan tidak bukan merupakan objek dari praperadilan. Kata Kunci: Dasar Hukum, Praperadilan, dan Memutus Penetapan Tersangka. I. PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG Tidak banyak orang mengetahui apa sajakah yang berhak diajukan dalam sebuah praperadilan dalam suatu pengadilan. Praperadilan merupakan salah satu mekanisme dalam Hukum Acara Pidana. Sebagaimana yang diketahui bahwa hukum acara pidana merupakan hukum formil yang berfungsi untuk menjalankan hukum materiil yaitu hukum pidana itu sendiri. Objek dari praperadilan sudah diatur dengan jelas pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Merujuk dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP yang menyatakan bahwa: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Akan tetapi, dewasa ini telah terjadi pergeseran kewenangan dari praperadilan itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam praperadilan disisipkan salah satu hal yang dapat diajukan oleh tersangka, yakni memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka. Hal tersebut perlu dipertegas dan diperjelas lagi terkait dengan ketidaktahuan banyak pihak ihwal kewenangan dari praperadilan itu sendiri. Di samping itu, tidak sedikit pihak juga tidak mengetahui bahwa apa yang melandasi dasar hukum ditambahkannya kewenangan dari praperadilan dalam memutus sah atau tidaknya penetapan status tersangka pada seseorang yang masih disangkakan melakukan tindak pidana. 1.2 TUJUAN Untuk mengetahui dasar hukum kewenangan praperadilan dalam memutus sah atau tidaknya penetapan status tersangka pada seseorang serta untuk mengetahui latar belakang ditambahkannya kewenangan memutus sah atau tidaknya penetapan status tersangka pada seseorang dalam suatu praperadilan. 2

II. ISI MAKALAH 2.1 METODE Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penulisan hukum yang bersifat yuridis normatif. Yakni dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada dengan mengadakan penulisan terhadap masalah hukum, kemudian mengkajinya dengan pendekatan perundang-undangan. 1 Selain itu juga dengan merujuk pada ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan KUHAP terkait dengan dasar hukum penetapan dalam praperadilan. 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudisial yang berhak menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang secara tegas dan lugas menyatakan bahwa penetapan status tersangka termasuk ke dalam objek praperadilan. Sehingga berdasarkan atas hal tersebut pula, sudah sangat jelas bahwa berdasarkan putusan MK tersebut telah menjadi dasar hukum dimasukkannya kewenangan dalam memutus penetapan tersangka dalam sebuah praperadilan. Bahwa dalam putusannya, MK menyatakan penetapan status tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia (HAM) seseorang, sehingga seharusnya penetapan status tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenangwenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi pada saat penetapan tersangka. MK juga menyatakan dalam amar putusannya bahwa Pasal 77 KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang praperadilan tersebut tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. 1 Rianto Adi, 2004, Metodologi Penulisan Sosial dan Hukum, Edisi I, Granit, Jakarta, h. 94. 3

Sehingga berdasarkan pemaparan tersebut di atas, penetapan status tersangka seyogyanya dapat dimaknai sebagai objek dari praperadilan dengan tujuan untuk mengawasi tindakan penyidik dan untuk menegakan HAM dari tersangka yang menjadi tanggung jawab dari pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 serta memberikan kepastian hukum bagi tersangka sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan prinsip negara hukum pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. 2.2.2 LATAR BELAKANG DITAMBAHKANNYA KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA. Merujuk pada Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyatakan bahwa: tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan klausula pasal tersebut di atas, maka sesungguhnya penetapan status tersangka ini memiliki kaitan yang erat dengan penyidikan. Adapun pemaknaan dari penyidikan itu sendiri terdapat pada Pasal 1 angka 2 KUHAP yakni: serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sehingga dari pengertian penyidikan itu, dapat diketahui bahwa penetapan status tersangka merupakan hasil akhir dari kegiatan penyidikan yang dilakukan. Proses penyidikan sendiri adalah yang paling depan dari mata rantai sistem peradilan pidana. 2 KUHAP sediri hanya mengatur mengenai pengertian tersangka dan penyidikan saja, sedangkan mengenai batas waktu atau jangka waktu maksimal dalam pemberian status tersangka pada diri seseorang, maupun pelimpahan berkas ke pengadilan itu tidak diatur. Hal tersebut potensial menimbulkan sebuah keadaan atau kondisi dimana seseorang menjadi tersangka selama bertahun-tahun. Akibat yang demikian menyebabkan tersangka tersebut tidak mendapat suatu kepastian hukum. Padahal sebagaimana diketahui bahwa mendapat kepastian hukum merupakan hak konstitusional dari setiap warga negara Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahawa: Setiap orang 2 Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana dalam Sirkus Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, h. 194. 4

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kepastian hukum tersebut berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya dapat dipenuhi dan dilindungi oleh negara sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah yang diatur dalam Pasal Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 dan dalam konsep negara hukum baik rechstaat maupun rule of law, pada akhirnya akan bermuara pada satu hal yang sama yaitu perlindungan hak-hak fundamental dari rakyat. 3 III KESIMPULAN Bahwa dasar hukum kewenangan praperadilan dalam memutus penetapan tersangka terdapat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka termasuk ke dalam objek praperadilan dan juga dalam amar putusannya bahwa Pasal 77 KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang praperadilan tersebut tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Sedangkan latar belakang ditambahkannya kewenangan praperadilan dalam memutus penetapan tersangka yakni bahwa penetapan status tersangka merupakan hasil akhir dari kegiatan penyidikan yang dilakukan yang tidak lain dan tidak bukan merupakan objek dari praperadilan. DAFTAR BACAAN Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Bandung, Refika Aditama. Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana dalam Sirkus Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia. Rianto Adi, 2004, Metodologi Penulisan Sosial dan Hukum, Edisi I, Jakarta, Granit. Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3 Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Bandung, Refika Aditama, h.4. 5