BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan konformitas teman sebaya dengan konsep diri terhadap kenakalan remaja di Jakarta Selatan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja pada siswa SMA kelas XI di Jakarta Selatan, dengan terbukti r hitung > r tabel, sehingga dapat dinyatakan bahwa konformitas teman sebaya memang mempunyai hubungan yang positif dengan kenakalan remaja. Dengan penjelasan sebagai berikut ketika hubungan konformitas teman sebaya mengalami peningkatan hal tersebut memungkinkan peningkatan pada kenakalan yang dilakukan oleh remaja. 2. Terdapat hubungan konsep diri dengan kenakalan remaja pada siswa SMA kelas XI di Jakarta Selatan, dengan terbukti r hitung > r tabel, sehingga dapat dinyatakan bahwa konsep diri memang mempunyai hubungan yang positif dengan kenakalan remaja. Dengan penjelasan sebagai berikut ketika konsep diri yang dimiliki remaja tersebut mengalami peningkatan yang signifikan hal tersebut memungkinkan peningkatan kenakalan yang dilakukan oleh remaja. 75
76 5.2. Diskusi Dilihat dari hasil penelitian, penulis akan menjelaskan diskusi hasil penelitian khususnya yang menyangkut tentang hubungan konformitas teman sebaya dan konsep diri dengan kenakalan remaja di Jakarta Selatan. Melalui hasil yang telah diteliti bahwa konformitas teman sebaya memang mempunyai hubungan yang positif dengan kenakalan remaja dan variabel konsep diri memang mempunyai hubungan yang positif dengan kenakalan remaja. Hal ini sesuai dengan permasalah yang dikemukakan pada latar belakang penelitian. Berdasarkan pengujian yang sebelumnya telah dilakukan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dari uji normalitas yang sudah dilakukan sehingga mendapat hasil 0,002 (sig < 0.05) untuk konformitas teman sebaya dan 0,000 (sig < 0.05) untuk konsep diri dan kenakalan remaja. Hasil ini menggambarkan bahwa sebaran data ketiga variabel ini tidak normal karena tidak memenuhi standar dalam mencapai normalitas. Hal ini dapat terjadi karena kekurangan yang terjadi saat pengambilan data. Kedua, dapat dikatakan bahwa alat ukur dalam penelitian ini valid dan reliabel karena dapat memenuhi standar nilai yang telah ditetapkan. Ketiga, dari uji hipotesa yang telah dilakukan, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kenakalan remaja adalah identitas, kontrol diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, pengaruh orang tua, pengaruh teman sebaya, status sosial ekonomi dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal (Santrock, 2003).
77 Dalam penelitian ini, peneliti juga mendapatkan sebaran data yang tidak normal bisa jadi dikarenakan kekeliruan di dalam pemilihan dan pengambilan sampel. Hal tersebut berdampak hasil penelitian ini sangat terbatas pada subjek yang diteliti saja. Selain itu kendala yang dihadapi penulis selama penelitian ini adalah a) ketika penyebaran kuesioner bertepatan pada saat liburan sekolah sehingga kekurangan waktu untuk pemaksimalan pengambilan responden, b) pada saat pengisian kuesioner banyak siswa belum mengikuti petunjuk pengisian kuesioner dengan baik, c) kurangnya jumlah siswa/i yang diharapkan, d) adanya siswa/i yang tidak koperatif dalam pengerjaan angket, e) kesulitan untuk mengatur siswa/i untuk mengerjakan angket yang telah diberikan agar tertib dan teratur saat melakukan pengisian angket. Jika dilihat pada bab IV yang telah peneliti sajikan tentang konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja hipotesis yang diajukan dapat diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan positif antara konformitas teman sebaya dengan kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa siswa SMA di Jakarta Selatan memiliki persepsi konformitas teman sebaya secara umum termasuk kategori yang kuat berdasarkan nilai Uji r sebesar 0.794. Hasil tersebut memiliki arti bahwa dengan perilaku konformitas yang dilakukan oleh siswa tersebut dengan teman sebaya mereka terhadap kenakalan remaja memiliki hubungan yang kuat, yang berarti semakin positif perilaku konformitas yang dimiliki oleh siswa tersebut maka semakin positif juga kemungkinan untuk melakukan
78 kenakalan remaja dan sebaliknya. Ini berarti siswa SMA di Jakarta Selatan mempersepsikan bahwa kelompok teman sebaya sebagai tempat bersenangsenang dan kemungkinan untuk melakukan perbuatan penyimpangan bersama. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup memiliki peranan. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991). Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja diungkapkan oleh Camarena (dalam Santrock, 2003) dapat menjadi positif atau negatif. Konformitas yang negatif mengakibatkan misalnya: mencuri, mencorat-coret di sembarang tempat tanpa ijin, merokok, dan mempermainkan orangtua serta guru. Sementara itu, konformitas positif mampu mengarahkan remaja kepada kegiatan positif misalnya terlibat dalam kelompok perkumpulan kegiatan sosial. Remaja yang memiliki teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan. Pada umumnya remaja mementingkan konformitas dan penerimaan kelompok, apapun akan dilakukan asalkan diterima oleh kelompok akan diutamakan dan ditaati. Teman atau kelompok yang dipilih akan sangat menentukan arah remaja yang bersangkutan untuk berbuat.
79 Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Berdasarkan uraian di atas pada umumnya remaja mementingkan konformitas dengan tujuan penerimaan kelompok. Teman atau kelompok yang dipilih akan sangat menentukan kemana remaja yang bersangkutan akan dibawa. Perilaku yang dimunculkan oleh kelompoknya memungkinkan berperan dalam pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Pudjijogyanti (1985), konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku. Konsep diri merupakan mediator atau pengarah perilaku individu yang dipengaruhi oleh interpretasi pada pengalaman-pengalaman yang ditemui sehingga mempengaruhi tingkah laku. Hurlock (1991) mengatakan konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian, dengan demikian konsep diri merupakan inti kepribadian berdasarkan dari pengalaman individu dalam berhubungan atau berinteraksi dengan individu lain. Pada masa tersebut pula kemampuan kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu untuk membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, mereka akan berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang tentang dirinya.
80 Jika dilihat pada bab IV yang telah peneliti sajikan tentang konsep diri dengan kenakalan remaja hipotesis yang diajukan dapat diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan positif antara konsep diri dengan kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa siswa SMA di Jakarta Selatan memiliki persepsi konsep diri secara umum termasuk kategori tinggi berdasarkan nilai Uji r sebesar 0.831. Hal tersebut memiliki arti bahwa konsep diri merupakan variabel internal yang positif. Temuan penelitian dapat dijelaskan melalui dinamika internal dalam keseluruhan aspek konsep diri. Konsep diri yang tidak realitistis akan menjadi sumber masalah. Seperti konsep diri fisik yang tidak realitis membuat remaja menggambaran dirinya sangat tinggi dalam penampilannya, dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungannya dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Selain itu konsep diri identitas yang tidak realistis membuat remaja menggambarkan diri sangat tinggi terhadap kemampuan dan tidak bersedia kemampuannya dinilai rendah, dan harga dirinya membubung tinggi dan menganggu hubungannya dengan orang lain. Konsep diri sosial yang tidak realitis membuat remaja mengambarkan diri terlalu baik dalam hubungannya dengan orang lain, dengan teman sebaya, dan dengan keluarga. Konsep diri personal yang tidak realitis membuat remaja menggambaran diri terlalu dini sebagai individu yang maju dan akan berhasil. Gambaran diri yang tidak realitis dapat menganggu keseimbangan dan mempengaruhi pandangan
81 individu mengenai gambaran diri, hal tersebut dapat mempertinggi kemungkinan terjadinya kenakalan remaja. Analisis kemungkinan hubungan positif konsep diri yang tidak realistis dengan kenakalan remaja sesuai dengan respon konsep diri dalam kontinum respon adaptif sampai respon maladaptif dari Stuart dan Sundeen (1998) sebagai berikut. Respon adaptif Respon maladaptif Aktualisasi diri Konsep diri positif Harga diri rendah Kerancuan identitas Depersonalisasi Gejala yang muncul akibat gangguan konsep diri adalah mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif pada orang lain, gangguan hubungan dengan orang lain, perasaan diri penting yang berlebihan, perasaan tidak mampu, perasaan bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuh sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup pesimis, keluhan fisik, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, destruktif terhadap diri sendiri, pengurangan diri atau penarikan diri secara sosial, dan menarik diri dari realitas. Rasa diri penting yang berlebihan dan menarik diri dari realitas merupakan tipikal konsep diri yang tidak realistis. Rasa mampu yang dihasilkan oleh konsep diri bisa saja salah. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan atau ketidaksesuaian dalam mempersepsi segala kelebihan dan
82 kelemahan dari keadaan yang sesungguhnya dimiliki. Individu menilai potensi diri yang dimiliki terlalu tinggi atau terlalu rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Akibatnya konsep diri yang terbentuk dapat negatif atau terlalu positif. Konsekuensi selanjutnya adalah muncul rasa mampu yang tidak realistis, sehingga standar atau patokan keberhasilan menjadi tidak realistis pula (White dalam Purwanti, 1996). Konsep diri yang tinggi dan tidak terkontrol akan menjadi tidak rasional. Penilaian yang tepat dan sesuai dengan kenyataan membutuhkan keyakinan diri yang kuat. Keyakinan yang kuat bahwa penilaian sudah dilengkapi dengan keterbukaan akan kelemahan diri, agar gambaran diri (konsep diri) yang terbentuk menjadi tepat (realisitis). Ini berarti siswa SMA di Jakarta Selatan mempersepsikan bahwa konsep diri sebagai pengalaman-pengalaman yang ditemui sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku. Konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat - sifat yang berkaitan dengan penghargaan diri yang baik, kepercayaan diri yang baik, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Namun individu yang tidak mengetahui betul siapa dirinya, akan membuat individu tersebut tidak mampu untuk menerima segala kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya. Sehingga menjadikan evaluasi terhadap dirinya mengarah pada pandangan diri yang negatif. Ketika seseorang mendasari sifat-sifat yang berkaitan dengan penghargaan diri yang buruk, kepercayaan diri yang kurang baik, serta kurang mampu melihat diri secara
83 realistik. Maka sifat-sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang negatif. Pandangan diri yang negatif (konsep diri) akan membuat remaja sebagai individu cenderung melanggar peraturan dan norma-norma masyarakat, dan akhirnya terlibat kenakalan remaja (Coopersmith dalam Partosuwido, 1992). 5.3. Saran Berbagai kegiatan yang dilakukan baik dari menganalisis sampai dengan menguraikan kesimpulan, maka penulis mencoba memberikan saransaran. Dimana saran-saran yang penulis kemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Pihak Sekolah Untuk dapat menghindari kenakalan remaja maka pada saat ini, maka diharapkan agar kegiatan ekstrakurikuler sebaiknya dibina lebih baik lagi oleh tiap sekolah, dengan harapan dapat memberikan manfaat yang nyata bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa sehingga bisa mencegah terjadinya kenakalan remaja. Pihak sekolah disarankan dapat membantu siswa untuk mengenali potensi-potensi yang dimiliki agar dapat meningkatkan konsep diri siswa, serta dapat meminimalisir penggunaan kata-kata atau sikap yang dapat menurunkan konsep diri siswa. 2. Bagi Siswa Konformitas seharusnya dimanfaatkan siswa kelas XI di Jakarta Selatan sebagai wadah untuk mengeksplorasi diri dalam hal-hal yang
84 bersifat positif. Dalam pergaulan, siswa harus lebih selektif memilih teman. Sebaiknya siswa memilih teman yang akan mengarahkan perilakunya pada hal yang baik. Siswa pun harus dapat memilah perilaku ataupun pandangan yang akan dianutnya agar tidak kehilangan identitas dirinya karena terlalu ingin diterima oleh lingkungan sosialnya. Siswa kelas XI di Jakarta Selatan yang memiliki konsep diri tinggi diharapkan dapat mempertahankan konsep diri yang dimiliki, sehingga siswa dapat mempertahankan dirinya dari kenakalan remaja yang terjadi pada saat ini. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penulis juga memberikan masukan untuk penelitian selanjutnya untuk memberikan perhatian pada faktor-faktor minor di dalam melakukan penelitian seperti: penentuan waktu, tempat atau lokasi yang akan dijadikan pengambilan responden, serta memperhatikan keseriusan dan antusiasme dari calon-calon responden. Sehingga hal itu semua dapat membantu terlaksanakannya penelitian yang optimal sesuai dengan harapan peneliti. Bagi peneliti mendatang disarankan untuk meneliti dengan memperhatikan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan kenakalan remaja, misalnya: konsep diri (dilihat dari tinggi/rendah penerimaan diri yang dimiliki oleh subjek penelitian) kematangan emosi, regulasi emosi, pola asuh orangtua dan lingkungan sosial.