ENERGI METABOLIS DAN KECERNAAN PROTEIN AKIBAT PERBEDAAN PORSI PEMBERIAN RANSUM PADA AYAM PETELUR

dokumen-dokumen yang mirip
Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan, Surakarta 2)

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

Sudjatinah, H.T. Astuti dan S. S. Maryuni Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Semarang ABSTRAK

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT DALAM RANSUM SEBAGAI ACIDIFIER TERHADAP KECERNAAN PROTEIN DAN BOBOT BADAN AKHIR PADA ITIK JANTAN LOKAL

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

Perbandingan Performans Broiler yang Diberi Kunyit dan Temulawak Melalui Air Minum

BAB III MATERI DAN METODE

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

RESPONS KOMPOSISI TUBUH DOMBA LOKALTERHADAP TATA WAKTU PEMBERIAN HIJAUAN DAN PAKAN TAMBAHAN YANG BERBEDA

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pemanfaatan tepung olahan biji alpukat sebagai

PERFORMA AYAM SKRIPSI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DI PELIHARA PADA FLOCK SIZE YANG BERBEDA

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

PENGARUH PENGGUNAAN POLLARD DAN ASAM AMINO SINTETIS DALAM PAKAN AYAM PETELUR TERHADAP KONSUMSI PAKAN, KONVERSI PAKAN, DAN PRODUKSI TELUR

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk

Perbandingan Performans Dua Strain Broiler Yang Mengonsumsi Air Kunyit

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL

PENGARUH IMBANGAN ENERGI DAN PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT KARKAS DAN BOBOT LEMAK ABDOMINAL AYAM BROILER UMUR 3-5 MINGGU

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

Pengaruh Penggunaan Rumput Kebar (Biophytum petsianum Clotzch) dalam Konsentrat Berdasarkan Kandungan Protein Kasar 19% terhadap Penampilan Kelinci

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap

PROPORSI DAGING, TULANG DAN LEMAK KARKAS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN AKIBAT PEMBERIAN AMPAS TAHU DENGAN ARAS YANG BERBEDA

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

Efektivitas Penambahan Zeolit dalam Ransum terhadap Performa Puyuh Petelur Umur 7-14 Minggu

PengaruhImbanganEnergidan Protein RansumterhadapKecernaanBahanKeringdan Protein KasarpadaAyam Broiler. Oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Performans Dua Strain Broiler yang Mengonsumsi Air Kunyit

PEMBERIAN PAKAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR TIPE MEDIUM PADA FASE PRODUKSI KEDUA

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

I. Mangisah, Tristiarti, W. Murningsih, M.H. Nasoetion, E.S. Jayanti, dan Y. Astuti Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

BAB III MATERI DAN METODE. Pertanian, Universitas Diponegoro pada tanggal 22 Oktober 31 Desember 2013.

PENGARUH KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PRODUKSI AYAM PETELUR FASE AWAL GROWER

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

PEMAKAIAN ONGGOK FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS PERIODE PERTUMBUHAN

Pengaruh Penambahan Tepung Kunyit...Rafinzyah Umay Adha

KANDUNGAN LEMAK KASAR, BETN, KALSIUM DAN PHOSPOR FESES AYAM YANG DIFERMENTASI BAKTERI Lactobacillus sp

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh

PENGARUH PENGGUNAAN KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING

Pengaruh Penggunaan...Trisno Marojahan Aruan

G. S. Dewi, Sutaryo, A. Purnomoadi* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS AWAL PENELURAN BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu.

PERFORMAN AYAM BROILER JANTAN YANG DISUPLEMENTASI EKSTRAK KULIT MANGGIS DALAM RANSUM

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 28 April 2016 di CV.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C.

PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK TERFERMENTASI OLEH

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

Efisiensi penggunaan protein pada puyuh periode produksi yang diberi ransum mengandung tepung daun Kayambang (Salvinia molesta)

PENGGUNAAN TEPUNG LIMBAH PENGALENGAN IKAN DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA BROILER. Arnold Baye*, F. N. Sompie**, Betty Bagau**, Mursye Regar**

Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum, Performa Ayam Sentul... Dede Yusuf Kadasyah

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

EFEK LAMA WAKTU PEMBATASAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING FINISHER

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian yang berjudul Penambahan Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan yang Berbeda

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

KINERJA AYAM KAMPUNG DENGAN RANSUM BERBASIS KONSENTRAT BROILER. Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta

PENAMBAHAN GRIT KERANG DAN PEMBATASAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KUALITAS KERABANG TELUR AYAM ARAB (Silver brakel Kriel)

MATERI DAN METODE. Metode

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

ABSTRAK. Kata kunci : Imbangan Pakan; Efisiensi Produksi Susu; Persistensi Susu. ABSTRACT

Animal Agricultural Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at :

PENGARUH PEMBERIAN TINGKAT PROTEIN RANSUM PADA FASE GROWER TERHADAP PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

Substitusi Ransum Jadi dengan Roti Afkir Terhadap Performa Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Umur Starter Sampai Awal Bertelur

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Gathot (Ketela

PENGARUH DOSIS EM-4 (EFFECTIVE MICROORGANISMS-4) DALAM AIR MINUM TERHADAP BERAT BADAN AYAM BURAS

Animal Agriculture Journal 3(3): , Oktober 2014 On Line at :

SUPLEMENTASI BEBERAPA PROBIOTIK MELALUI AIR MINUM TERHADAP PERFORMANS AYAM BROILER PERIODE AKHIR

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

PERFORMA DAN NILAI EKONOMIS AYAM BROILER YANG DIBERI FEED ADDITIVE "SIGI LNDAH" DALAM AIR MINUM SKRIPSI TITISARI

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

ENERGI METABOLIS DAN EFISIENSI PENGGUNAAN ENERGI RANSUM AYAM BROILER YANG MENGANDUNG LIMBAH RESTORAN SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

EFEK PENGGUNAAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) DALAM PAKAN TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI AYAM PEDAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

Transkripsi:

ENERGI METABOLIS DAN KECERNAAN PROTEIN AKIBAT PERBEDAAN PORSI PEMBERIAN RANSUM PADA AYAM PETELUR (Metabolizable Energy and Protein Digestibility of Layer Ration as Affected by Different Feeding Portion) ANGGARAYONO, H.I. WAHYUNI dan TRISTIARTI Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Jl. Drh. Soejono Koesoemawardaja, Semarang ABSTRACT The research was conducted to evaluate the effect of different feeding portion on feed consumption, protein digestibility, metabolizeable energy (ME) and Hen Day Production (HDP) in layer. Two hundred fifty two layers of twelve-weeks old with initial body weight of 987.5 ± 178.5 g were used. Completely randomized design was employed in this study with the following treatments: T1 (100S) = 100% (once in the afternoon), T2 (30P : 70S) = 30 : 70%, T3 (40P : 60P) = 40 : 60%, T4 (50P : 50S) = 50 : 50%, T5 (60P : 40S) = 60 : 40%, T6 (70P : 30S) = 70 : 30% dan T7 (100P) = 100% (once in the morning). Each treatment was replicated four times and each replication consist of nine layers. The result showed that different feeding portion did not affect feed consumption, ME and HDP, but significantly affected (P < 0.05) protein digestibility. It is concluded that high feeding portion in the morning decrease protein digestibility, but giving the same value of ME and HDP as compared to other treatments. Key Words: Layer, Feeding Portion, Metabolizable Energy, Digestible Protein, Egg Production ABSTRAK Penelitian ditujukan untuk mengkaji pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum, kecernaan protein, energi metabolis (EM) dan Hen Day Production (HDP) pada ayam petelur. Materi yang digunakan adalah 252 ekor ayam petelur umur 12 minggu dengan bobot badan awal 987,5 ± 178,5 g. Penelitian dirancang dalam rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan yaitu T1 (100S) = 100% (1 kali pemberian di siang hari), T2 (30P : 70S) = 30 : 70%, T3 (40P : 60P) = 40 : 60%, T4 (50P : 50S) = 50 : 50%, T5 (60P : 40S) = 60 : 40%, T6 (70P : 30S) = 70 : 30% dan T7 (100P) = 100% (1 kali pemberian di pagi hari). Setiap perlakuan diulang 4 kali dan setiap unit ulangan terdiri dari 9 ekor ayam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan porsi pemberian ransum tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, EM dan HDP, tetapi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kecernaan protein. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan porsi lebih banyak pada pagi hari menurunkan kecernaan protein, namun memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai EM dan HDP dibanding dengan porsi pemberian ransum yang lain. Kata Kunci: Ayam Petelur, Porsi Ransum, Energi Metabolisme, Kecernaan Protein, Produksi Telur PENDAHULUAN Produktivitas ternak merupakan fungsi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor yang menentukan kemampuan produksi, sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian utama adalah ransum. Keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan secara optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai. Faktor lingkungan memberi pengaruh lebih besar terhadap produktivitas dibanding faktor genetik. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat heretabilitas produksi telur untuk ayam petelur hanyalah 0,15 (AMRULLAH, 2003). Manajemen pemberian ransum yang tepat dibutuhkan untuk mendukung produksi karena 623

terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi ayam petelur. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan oleh peternak pada umumnya adalah dengan mengatur jumlah porsi pemberian ransum 2 kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang. Manajemen pemberian ransum yang diterapkan beberapa peternakan ayam petelur berbeda-beda, khususnya porsi pemberian ransum pagi dan siang, antara lain 50 : 50, 40 : 60, 60 : 40, atau 30 : 70 (INDRESWARI, 2007). Peternakan di daerah dataran tinggi yang suhu lingkungannya termasuk kisaran nyaman, berapapun porsi yang diberikan selama kadar nutriennya sesuai dengan kebutuhan ayam, maka tidak akan berpengaruh terhadap prosesproses fisiologis dalam tubuh. Lain halnya untuk peternakan di daerah dataran rendah dengan suhu udara yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam petelur, sangat dimungkinkan porsi pemberian ransum pagi dan siang berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis tubuh. Hal ini berkaitan dengan mekanisme pengaturan panas dalam tubuh. Proses pencernaan yang berlangsung pada suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu nyaman ayam akan menurunkan nilai kecernaan. Menurut MILES (2001), cekaman panas akan menghambat suplai nutrien ke jaringan tubuh terutama untuk pembentukan telur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa cekaman panas akan menurunkan aliran darah ke saluran pencernaan sampai 50% seperti pada proventrikulus, gizzard, dan pankreas, sedangkan laju aliran darah pada bagian atas duodenum dan jejunum menurun sampai 70% selama cekaman panas. Hal ini akan berdampak pada penurunan efisiensi dari pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Di sisi lain penggunaan energi ransum menjadi tidak efisien sehingga akan berpengaruh terhadap produksi. Porsi pemberian ransum yang tepat diharapkan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan kecernaan nutrisi yang pada akhirnya akan tetap menjaga stabilitas produksi telur. Berdasarkan uraian tersebut kiranya diperlukan sebuah kajian untuk memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum, nilai energi metabolis dan kecernaan protein yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas ayam petelur. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2006 sampai Juli 2007 di Desa Bandungrejo, Kecamatan Mrangen, Kabupaten Demak. Materi yang digunakan adalah 252 ekor ayam petelur strain Lohmann Brown umur 12 minggu dengan rata-rata bobot badan awal 987,5 ± 178,5 g. Dua macam ransum produksi PT Central Proteina Prima, Semarang digunakan pada penelitian ini yaitu ransum grower B22 yang diberikan sampai ayam bertelur pertama kali sekitar umur 17 minggu, kemudian diganti ransum layer T24K sampai akhir penelitian. Komposisi nutrisi ransum T24K disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi nutrien ransum T24K Nutrien Gross energy (kal/g)* 3624,62 Energimetabolis (kal/g)** 3097.95 Kadar air (%)* 9,66 Abu (%)* 11,63 Protein kasar (%)* 20,22 Lemak kasar (%)* 7,13 Serat kasar (%)* 6,00 BETN (%)* 45,36 Kalsium (%)*** 3,7 Fosfor (%)*** 0,3 * ) Hasil analisis ** ) Dihitung dengan rumus Balton (Siswohardjono, 1982) sbb: EM = 40,81 (0,87 (PK + 2,25 LK + BETN) + k); k = 4,9 *** ) Label pakan kode T24K produksi PT Central Proteina Prima (CPP), Semarang Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap perlakuan dan tahap pengukuran kecernaan. Tahap pendahuluan yang bertujuan untuk memberikan masa adaptasi sampai ayam memasuki periode bertelur dan menyeragamkan konsumsi ransum serta bobot badan. Semua ayam diberi ransum dengan porsi 50 : 50 pada pagi (pk. 07.00) dan siang (pk. 13.30) hari. Tahap perlakuan dimulai saat ayam berumur 21 minggu dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Tujuh perlakuan porsi pemberian ransum pagi (P) dan siang (S) adalah sebagai 624

berikut: T1 (100S) =100% (1 kali pemberian di siang hari);t2 (30P:70S) = 30:70%; T3 (40P:60P) = 40:60%; T4 (50P:50S) = 50:50%; T5 (60P:40S) = 60:40%; T6 (70P:30S) = 70:30% dan T7 (100P) = 100% (1 kali pemberian di pagi hari). Setiap perlakuan diulang 4 kali dan pada setiap ulangan terdiri dari 9 ekor ayam petelur. Waktu pemberian ransum pagi dan siang tetap dilakukan pada pukul 07.00 dan 13.30. Jumlah ransum yang diberikan disesuaikan dengan standar kebutuhan strain Lohmann. Data konsumsi ransum dan produksi telur dalam Hen Day Production (HDP) dicatat mulai minggu ke 27 sampai minggu ke-32 saat ayam mencapai puncak produksi. Tahap terakhir, pengukuran energi metabolis (EM) dan kecernaan protein dilakukan pada umur 32 minggu dengan metode kombinasi total koleksi dan indikator (WAHYU, 1997). Pada saat ini diamati pula laju digesta dan aktivitas panting. Laju digesta diamati dengan melihat selisih waktu saat ransum berindikator dimakan dan saat warna indikator muncul pertama kali pada ekskreta. Tingkah laku panting diamati pada satu ekor ayam disetiap perlakuan selama 3 hari masingmasing 1 jam sebelum dan setelah diberi ransum pada siang hari. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah gerakan naik turun yang nampak pada leher saat ayam panting. Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam dan bila ada pengaruh nyata (P < 0,05) maka dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan pada taraf 5% (STEEL dan TORRIE, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi ransum Hasil penelitian pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap konsumsi ransum disajikan pada Tabel 2. porsi pemberian ransum tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum masing-masing pada umur 27 32 minggu. Ayam yang mendapat perlakuan porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari mengkonsumsi sama banyaknya dengan ayam yang mendapat porsi lebih banyak di pagi hari. Berdasarkan pengamatan di lapangan selama penelitian, ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih banyak di pagi hari tidak langsung mengkonsumsi habis ransum yang diberikan. Saat ransum diberikan di pagi hari, ayam makan secukupnya dan berangsur berhenti, ketika suhu lingkungan mulai meningkat di siang hari. Ayam kembali makan setelah pemberian ransum pada siang hari, dengan demikian sisa ransum pada pemberian pagi hari juga dimakan bersama ransum yang diberikan pada siang hari. Pola konsumsi seperti ini karena perubahan suhu lingkungan dalam sehari. Suhu lingkungan tertinggi Tabel 2. Rataan konsumsi ransum ayam petelur per minggu pada berbagai perlakuan porsi pemberian ransum dari umur 27 sampai 32 minggu Umur (minggu) T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 100S 30:70 40:60 50:50 60:40 70:30 100P ------------------------------- (g) ----------------------------- 27 96,79 99,93 99,21 99,12 98,97 100,62 99,29 28 101,06 101,15 100,15 99,33 99,93 100,94 101,84 29 102,08 101,19 100,97 100,88 102,75 101,84 103,46 30 104,37 101,53 101,93 102,79 102,87 103,09 104,16 31 104,83 103,51 103,77 103,40 103,05 104,79 104,75 32 105,05 104,66 104,67 104,95 104,49 105,39 105,65 Rataan 102,36 101,99 101,78 101,74 102,01 102,78 103,19 625

dicapai pada siang hari (pagi: 25,60; saing: 31,73; sore:28,90 C), sehingga ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih sedikit pada pagi hari akan melakukan kompensasi konsumsi ransum di siang hari. Konsumsi ransum menjadi lebih banyak saat porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari. Hal ini yang menyebabkan porsi pemberian ransum pagi dan siang yang berbeda, tidak menghasilkan perbedaan konsumsi ransum. Suhu lingkungan yang berangsur naik dari pagi sampai siang hari menambah beban panas dalam tubuh ayam sehingga ayam akan mengurangi atau menghentikan konsumsinya dan akan kembali makan setelah suhu berangsur turun pada sore hari. Menurut WAHYU (1997), konsumsi ransum dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan kisaran suhu nyaman untuk ayam adalah 18 22 C (ROOK dan THOMAS, 1983). Kecernaan protein kasar dan energi metabolis (EM) Pengaruh perbedaan porsi pemberian ransum terhadap kecernaan protein dan EM disajikan pada Tabel 3. Kecernaan protein nyata dipengaruhi oleh perbedaan porsi pemberian ransum, sedangkan pengaruhnya terhadap EM tidak nyata. Uji Duncan pada kecernaan protein menunjukkan bahwa pemberian ransum T1 (100S) menghasilkan kecernaan protein kasar tertinggi yaitu 81,64%, tetapi tidak berbeda nyata dengan T6 (70 : 30) dan T7 (100P). Kecernaan protein pada ayam dengan porsi pemberian ransum T1 (100S) nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibanding porsi T2 (30 : 70), T3 (40 : 60), T4 (50 : 50) dan T5 (60 : 40), sedangkan porsi pemberian ransum T6 (70 : 30) memberikan kecernaan protein yang tidak nyata (P > 0,05) berbeda dengan perlakuan T7 (100P), T3 (40 : 60), T2 (40 : 60), T5 (60 : 40) dan T4 (50 : 50). Hal ini menunjukkan bahwa ayam dengan porsi ransum lebih banyak pada pagi hari mencerna protein lebih rendah daripada ayam yang mendapat porsi ransum lebih banyak pada siang hari. WAHYU (1997), menyatakan bahwa kecernaan suatu ransum dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan laju digesta. Rata-rata suhu lingkungan pada pagi, siang dan sore hari selama penelitian masing-masing adalah 25,60; 31,73 dan 28,90 C. Beban panas ayam menjadi lebih besar terutama pada siang hari, karena suhu lingkungan yang dicapai jauh dari suhu nyaman yaitu sekitar 18 22 C (ROOK dan THOMAS, 1983), selain mendapat beban panas dari lingkungan, ayam dengan porsi pemberian ransum lebih banyak pada pagi hari juga mendapat beban panas dari proses pencernaan yang berlangsung pada saat suhu lingkungan beranjak naik. Menurut MILES (2001), dampak dari cekaman panas akan menurunkan efisiensi terhadap proses pencernaan, absorpsi dan transport nutrien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian OSMAN dan TANIOS (1982) yang menyatakan bahwa aktivitas enzim-enzim pencernaan akan menurun selama cekaman panas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sekresi enzim ke dalam saluran pencernaan menjadi lebih rendah pada saat ayam mengalami cekaman panas. Selain itu, menurut TILLMAN et al. (1998), enzim merupakan senyawa kimia yang sangat responsif terhadap suhu dan bekerja tidak optimal pada suhu yang terlalu tinggi, oleh sebab itu proses pencernaan pada ayam yang mengalami cekaman panas menjadi kurang optimal, terutama pencernaan secara enzimatis. Tabel 3. Rataan kecernaan protein dan energi metabolis ransum ayam petelur dengan berbagai perlakuan porsi pemberian ransum pada umur 32 minggu Parameter T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 100S 30 : 70 40 : 60 50 : 50 60 : 40 70 : 30 100P Kercernaan protein (%) 81,64 a 71,36 b 74,66 b 70,28 b 70,32 b 76,14 ab 76,08 ab Energi metabolis (kal/g) 2795,72 2609,89 2705,13 2619,06 2619,34 2763,77 2715,76 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) 626

Di sisi lain, data laju digesta mendukung turunnya nilai kecernaan protein pada ayam dengan porsi pemberian ransum lebih banyak di pagi hari. Data laju digesta selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Digesta pada ayam yang mendapat porsi pemberian ransum lebih banyak pada siang hari bergerak lebih lambat. Laju digesta pada perlakuan T1 (100S) 30 35 menit lebih lama dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Ransum dengan porsi pemberian 100% pada siang hari dicerna oleh ayam-ayam ini dalam waktu yang lebih lama, sehingga nilai kecernaan protein menjadi paling tinggi. Hal sebaliknya pada ayam-ayam dengan perlakuan lain. Tabel 4. Rataan laju digesta dan panting per hari ayam petelur yang mendapat perlakuan berbagai porsi pemberian ransum Laju digesta (menit) Jumlah panting/ jam T1 (100S) 192,50 164,67 T2 (30 : 70) 162,50 279,33 T3 (40 : 60) 170,00 292,33 T4 (50 : 50) 160,00 251,67 T5 (60 : 40) 157,50 260,00 T6 (70 : 30) 170,00 240,00 T7 (100P) 172,50 313,00 perbedaan porsi pemberian ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap nilai EM (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa berapapun porsi pemberian ransum yang diberikan pada pagi dan siang akan menghasilkan rata-rata nilai energi metabolis yang sama. Menurut AUSTIC dan NESHEIM (1990), EM dimanfaatkan untuk hidup pokok, produksi dan aktivitas. Mengingat nilai kecernaan protein yang dipengaruhi perlakuan maka diduga pemanfatan energi ransum menjadi berbeda walaupun secara eksplisit nilai EM ransum sama. Diduga kelompok ayam yang mendapat porsi ransum lebih banyak pada pagi hari menggunakan EM lebih banyak untuk melakukan aktivitas panting sebagai akibat beban cekaman panas yang harus dikeluarkan. Hal ini ditunjukkan dengan data tingkah laku panting yang diamati. Berdasarkan data pengamatan tingkah laku panting di siang hari (Tabel 4). Ayam dengan porsi pemberian ransum 100% pagi hari (T7) melakukan aktivitas panting rata-rata lebih banyak (313/jam) dibanding ayam dengan porsi pemberian ransum T1-100% siang hari (164,67/jam). Standar kebutuhan nutrisi, utamanya energi metabolis, bergantung pada suhu lingkungan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa mekanisme adaptasi terhadap suhu lingkungan dapat diamati dari naik turunnya konsumsi ransum yang disebabkan oleh adanya mekanisme termodinamik yang mengontrol pemasukan dan pengeluaran energi ke dalam dan keluar tubuh guna mempertahankan kestabilan suhu tubuh. Oleh karena itu effisiensi penggunaan energi akan berbeda pada iklim atau beban panas yang berbeda. AUSTIC dan NESHEIM (1990), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan energi pada ternak unggas bervariasi, hal tersebut sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Pada penelitian ini nampak bahwa ayam sudah mengalami cekaman panas yang mempengaruhi kecernaan protein, namun belum sampai mempengaruhi konsumsi ransum (Tabel 2), nilai EM ransum (Tabel 3) dan juga produksi telur (Tabel 5). Hen day production (HDP) Rataan produksi telur per minggu akibat perbedaan porsi pemberian ransum pagi dan siang ditunjukkan dengan nilai HDP dan disajikan pada Tabel 5. Perbedaan porsi pemberian ransum tidak berpengaruh (P > 0,05) terhadap HDP. Hal ini sejalan dengan data asupan nutrien yang sama pada sumua ayam, karena jenis dan konsumsi ransum sama. Perbedaan kecernaan protein ransum pada penelitian ini belum mempengaruhi produksi telur. Beberapa penelitian tentang waktu pemberian ransum terhadap HDP menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan BOOTWALLA et al. (1983) dan BACKHOUSE dan GOUS (2005) tidak menunjukkan adanya pengaruh waktu pemberian ransum pagi dan siang terhadap HDP. Sementara penelitian yang lain menunjukkan adanya penurunan HDP jika ayam diberi ransum hanya pada sore hari pukul 627

Tabel 5. Rataan HDP per minggu pada ayam petelur pada berbagai perlakuan porsi pemberian ransum dari umur 27 sampai 32 minggu Umur (minggu) T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 100S 30:70 40:60 50:50 60:40 70:30 100P ------------------------------- (%) ----------------------------- 27 66,67 71,03 66,27 73,81 67,46 70,64 72,62 28 82,15 86,11 73,02 91,27 81,75 76,99 84,92 29 91,67 94,84 87,30 91,27 92,46 85,72 90,08 30 92,06 95,64 92,06 89,68 93,65 92,46 91,27 31 91,67 96,43 94,05 93,65 91,67 95,24 92,86 32 93,52 95,37 95,99 92,29 97,54 97,84 96,92 Rataan 86,29 89,90 84,78 88,66 87,42 86,48 88,11 15.30 (AVILLA et al., 2003). Penelitian AVILLA et al. (2003) juga menunjukkan bahwa produksi telur pada ayam yang diberi ransum 100% pada pukul 11.00 lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi ransum 100% pada pukul 06.30 dan yang diberi perlakuan 50% pada pukul 06.30 dan 50% pada pukul 15.30. Bbeban panas yang dialami oleh ayam yang diberi ransum 100% pada pukul 11.00 lebih tinggi dan lama dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nampak bahwa saat pemberian ransum sangat mempengaruhi beban panas yang ditimbulkan. Waktu pemberian ransum pagi (pk. 07.00) dan siang (pk. 13.30) yang dilakukan pada penelitan ini tidak terlalu ekstrim sehingga ayam-ayam masih mampu mengatasi beban panas yang timbul akibat porsi pemberian ransum yang tinggi pada pagi hari bersamaan dengan meningkatnya suhu lingkungan di siang hari. Oleh sebab itu, produksi telur masih dapat dipertahankan walaupun kecernaan protein ransum menurun sekitar 10% (Tabel 3). KESIMPULAN Simpulan yang diperoleh bahwa perbedaan porsi pemberian ransum menghasilkan konsumsi ransum, EM dan HDP yang sama. Pemberian ransum dengan prosi lebih banyak pada pagi hari menurunkan kecernaan protein sebagai respon terhadap beban panas yang ditimbulkan. Porsi pemberian ransum 100% di siang hari pada pemeliharaan ayam petelur lebih efisien dilihat dari nilai kecernaan protein dan penyajiannya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada ibu Hanny Indrat Wahyuni dan ibu Tristiarti atas diskusi, saran dan bimbingannya. Juga kepada Rysca Indrasweri dan Prima Widya Ristiana atas semua bantuan dan kerjasamanya. DAFTAR PUSTAKA AMRULLAH, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan Pertama. Penerbit Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor. AUSTIC, R.E. and M.C. NESHEIM. 1990. Poultry Production. 13 th Ed. Lea and Febiger, Washington. AVILLA, D.V.S.,A.M. PENZ JR., P.A.R. DE BRUM, P.S. ROS, A.L. GUIDONI and E.A.P. DE FIGUEIREDO. 2003. Performance of female broiler breeder submitted to different feeding schedule. J. Revista Brasileira de Cienca Avicola 5: 197 201. BACKHOUSE, D. and R.M. GOUS. 2005. The Effect of feeding time on shell quality and oviposition time in broiler breeders. Brit. J. Poult. Sci. 46: 255 259. BOOTWALLA, S.M., H.R. WILSON and R.H. HARMS. 1983. Performance of broiler beeder on different feeding systems. Poult. Sci. 62: 2321 2325. 628

INDRESWARI, R. 2007. Efisiensi Penggunaan Nutrien dan Produktivitas Ayam Petelur Akibat Perbedaan Porsi Pemberian Ransum. Thesis. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. MILES, D. 2001. Understanding heat stress in poultry and strategies to improve production through good management and maintaining nutrient and energy intake. Proceedings of The ASA Poultry. Lance Course, Costa Rica. OSMAN, A.M. and N.I. TANIOS. 1982. The Effect of Heat on the Intestinal and Pancreatic Levels of Amylase and Maltase of Laying Hens and Broilers. J. Physiol. Biochem. 75A(4): 563 567. ROOK, J.A.F. and P.C. THOMAS. 1983. Nutritional Physiology of Farm Animals. 1 st Ed. Longman, London and New York. STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-4. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Diterjemahkan oleh: BAMBANG SUMANTRI. TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ketujuh. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WAHYU, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 629