BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah. otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DI SURAKARTA. (Studi Empiris di Surakarta Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. efisiensi dan efektivitas kegiatan ekonomi. Dalam 30 tahun terakhir pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah meningkatkan. pertumbuhan sektor ekonomi, dengan pendapatan sektor ekonomi yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. lama digemakan, sekaligus sebagai langkah strategis bangsa Indonesia untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. dimana satu orang atau lebih (principal) terlibat dengan orang lain (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan absolut (absolute poverty) merupakan salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi sebagian besar pemerintahan di dunia. Data World Bank pada tahun 2013 menggunakan data panel dari 137 negara menyatakan jumlah penduduk miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia (World Bank, 2016). Penghitungan jumlah penduduk miskin tersebut menggunakan dasar perhitungan angka kemiskinan absolut (absolute poverty level) dimana pengeluaran setiap orang minimal USD1.90 per hari. Seseorang dapat dikatakan miskin apabila pengeluarannya dalam sehari berada dibawah standar tersebut. Meskipun standar minimal yang ditetapkan World Bank sangat rendah, angka kemiskinan pada skala global pun masih relatif sangat tinggi. Angka tersebut sebenarnya telah mengalami penurunan sejak tahun 1990, namun jumlah penduduk miskin masih sangat besar jika dibandingkan dengan penurunan yang terjadi. Grafik 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Dunia 1990-2013 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200-1,850 1,855 35.0% 33.5% 1,666 1,693 1,588 28.8% 28.1% 25.3% 1,328 1,206 1,078 946 881 767 20.4% 17.8% 15.6% 13.5% 12.4% 10.7% 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2010 2011 2012 2013 Jumlah (Juta Jiwa) Persentase (%) 40.0% 35.0% 30.0% 25.0% 20.0% 15.0% 10.0% 5.0% 0.0% Sumber : World Bank, 2016 (data diolah) 1

Masalah kemiskinan yang dihadapi dunia tersebut sebagian besar merupakan masalah utama negara berkembang, termasuk dalam kategori ini adalah Indonesia. Dapat dikatakan, angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Data dari Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa pada tahun 2015 ada 11.20% masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan absolut (absolute poverty line). Data ini diperkuat dengan laporan World Bank yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia berada pada 10 besar negara berkembang dengan jumlah penduduk miskin terbesar di dunia. Peringkat 10 besar negara tersebut menyumbangkan hampir 70% dari total penduduk miskin pada skala global (World Bank Group, 2016). Adapun data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia secara absolut sebesar 28.513.570 jiwa atau 11.18% dari jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2016). Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 0.22% dari tahun sebelumnya atau sekitar 786.000 jiwa. Hal ini menandakan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi dan masih menjadi fokus agenda pemerintah yang perlu diselesaikan. Grafik 1.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia 2011-2015 30,500 30,000 29,500 29,000 28,500 28,000 27,500 27,000 26,500 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah (000) 30,018 28,594 28,553 27,727 28,513 Persentase (%) 12.49 11.66 11.47 10.96 11.18 13.00 12.50 12.00 11.50 11.00 10.50 10.00 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016 (data diolah) 2

Penghitungan angka kemiskinan dengan hasil yang relatif tinggi tersebut kemungkinan dapat menjadi indikasi tidak optimalnya implementasi kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, pengukuran angka kemiskinan tersebut tetap penting untuk dilakukan berdasarkan pada 4 alasan utama (Haughton dan Khandker, 2012) yakni (1) untuk mencantumkan masyarakat miskin dalam agenda penanggulangan kemiskinan; (2) untuk memudahkan identifikasi masyarakat miskin sehingga membantu penetapan target intervensi secara tepat; (3) untuk membantu pemantauan dan evaluasi terhadap proyek dan intervensi kebijakan; dan (4) untuk mengevaluasi efektivitas lembaga yang memiliki tujuan menolong masyarakat miskin. Apabila angka kemiskinan sudah diketahui, maka pemerintah dapat melakukan evaluasi atas kebijakan pengentasan kemiskinan dan melakukan intervensi melalui sebuah regulasi untuk meningkatkan efektifitas kebijakan tersebut dalam mengentaskan kemiskinan. Sehubungan dengan intervensi tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya memformulasikan kebijakan yang dapat mempercepat proses pengentasan kemiskinan sebagai prioritas utama pembangunan. Sejak jaman berakhirnya Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan kebijakan otonomi daerah yang dimulai secara resmi pada tanggal 1 Januari 2001. Dasar hukum pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut adalah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 3

Dengan otonomi daerah, pemerintah memberikan hak dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan melaksanakan otonomi daerah pula, pemerintah berupaya untuk memperkuat pembangunan ekonomi dan kesetaraan pendapatan dengan basis utama perekonomian daerah. Dengan bergeraknya perekonomian daerah, pembangunan diharapkan dapat berlangsung secara merata di Indonesia, sehingga tingkat kesejahteraan meningkat dan angka kemiskinan dapat diturunkan. Selanjutnya, kebijakan otonomi daerah tersebut menghadirkan konsekuensi pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang disebut dengan desentralisasi. Ketentuan Umum Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan sesuai peraturan perundangundangan. Adapun secara konseptual, desentralisasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian (Chalid, 2005) yakni (1) desentralisasi politik (political decentralization); (2) desentralisasi administratif (administrative decentralization); (3) desentralisasi fiskal (fiscal decentralization); dan (4) desentralisasi ekonomi (economic decentralization). Lebih lanjut, desentralisasi fiskal yang merupakan salah satu bagian dari kebijakan desentralisasi memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi keuangan daerahnya masing-masing melalui pengumpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengumpulan PAD ini juga mengindikasikan upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan 4

memperkuat pergerakan roda ekonomi melalui basis perekonomian daerah. Dengan bergeraknya roda perekonomian daerah, kestabilan perekonomian secara agregat diharapkan dapat terjadi, sehingga upaya pengentasan angka kemiskinan melalui kebijakan desentralisasi dapat terlaksana dengan baik. Namun demikian, upaya pengumpulan PAD dari masing-masing daerah seringkali tidak merata. Ada daerah yang memiliki potensi PAD tinggi, namun adapula yang memiliki banyak keterbatasan sehingga PAD yang dikumpulkan selalu kurang dari anggaran yang ditetapkan dalam APBD. Realitas tersebut membawa konsekuensi dalam implementasi kebijakan desentralisasi yakni perubahan paradigma hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perubahan paradigma tersebut dilaksanakan melalui instrumen kebijakan perimbangan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan perimbangan keuangan ini diimplementasikan melalui alokasi dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah secara adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam upaya meningkatkan keberhasilan desentralisasi fiskal dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan daerah (Chalid, 2005). Maka, dapat dinyatakan bahwa tujuan utama kebijakan perimbangan keuangan adalah kesetaraan transfer (equalizing transfer) untuk mengurangi kesenjangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance), serta kesenjangan antar-pemerintah daerah yang memiliki potensi PAD berbeda satu sama lain (horizontal fiscal imbalance). Dana perimbangan yang diberikan untuk mengurangi kesenjangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdiri dari beberapa jenis. Salah satu jenis dana perimbangan tersebut adalah Dana Alokasi Umum (DAU). DAU 5

merupakan jenis dana perimbangan yang memiliki karakteristik unconditional grant, artinya dapat digunakan sesuai kewenangan daerah masing-masing tanpa syarat tertentu. Alokasi DAU yang merupakan bagian integral dari dana perimbangan keuangan dapat diartikan sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kesetaraan keuangan antar pemerintah daerah di Indonesia sehingga pembangunan dan peningkatan perekonomian daerah dapat berlangsung merata antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selanjutnya, apabila pengukuran angka kemiskinan telah dilakukan dan kebijakan desentralisasi fiskal telah dilaksanakan sebagai upaya untuk mengentaskannya, maka diperlukan upaya evaluasi untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut telah terlaksana dengan baik atau tidak. Kebijakan desentralisasi yang terwujud dalam pengoptimalan potensi ekonomi daerah (diproksikan dengan PAD) serta perimbangan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka pemerataan kemampuan fiskal (diproksikan dengan DAU) dapat menjadi indikator utama dalam menilai keberhasilan desentralisasi dalam pengentasan kemiskinan. Namun demikian, peningkatan dan pemerataan keuangan daerah mungkin tidak dapat secara langsung mempengaruhi angka kemiskinan. Diperlukan suatu variabel ekonomi lain sebagai perantara yang menjadi penghubung antara PAD, DAU, dan angka kemiskinan. Nallari dan Griffith (2011) menyatakan bahwa variabel yang paling mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainability of growth). Dalam konteks pemerintah daerah di Indonesia, pertumbuhan ekonomi dapat diistilahkan sebagai pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 6

Sejalan dengan teori tersebut, banyak peneliti di dunia telah melakukan penelitian mengenai permasalahan kemiskinan ini. Mayoritas peneliti melakukan studi pengaruh pertumbuhan ekonomi pada angka kemiskinan dalam skala negara secara spesifik (spesific country) atau banyak negara dalam satu penelitian (crosscountry studies). Penelitian Datt dan Ravallion (1992); Ravallion dan Chen (1997); Kakwani (2000); Dollar dan Kraay (2002); Kraay (2004) secara umum menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada berbagai negara memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Fields (2001) dalam Zhuang J. et al. (2009) menyatakan bahwa negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki angka kemiskinan yang lebih sedikit. Dengan sudut pandang yang berbeda, Lopez (2004) dalam Nallari dan Griffith (2011) menyatakan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat memicu kenaikan terjadinya angka kemiskinan di negara tersebut. Penelitian lainnya oleh Stevans dan Sessions (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan di semua rumah tangga Amerika Serikat. Untuk pengaruh dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, penelitian dari Malik et al. (2006) dan Hanif et al. (2014) menyatakan bahwa pendapatan dan belanja subnasional berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Pakistan. Penelitian mengenai permasalahan kemiskinan ini juga telah dilakukan secara spesifik di Indonesia. Penelitian dari Setiyawati dan Hamzah (2007) menghasilkan kesimpulan bahwa PAD dan DAU baik secara parsial maupun simultan berpengaruh langsung dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh langsung dan signifikan terhadap angka 7

kemiskinan. Hasil lainnya adalah bahwa PAD dan DAU baik secara parsial maupun simultan berpengaruh tidak langsung dan signifikan terhadap angka kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data time series 2001-2005 pada Provinsi Jawa Timur. Penelitian terbaru dari Panji dan Indrajaya (2016) menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, kenaikan alokasi DAU dapat menjadi faktor penyebab kenaikan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap angka kemiskinan. Hasil ini dapat diartikan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan angka kemiskinan dalam suatu daerah atau negara. Penelitian ini menggunakan data time series di Provinsi Bali selama tahun 2008-2013. Selanjutnya, penelitian oleh Paseki et al. (2014) memberikan hasil bahwa DAU tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Manado, namun pertumbuhan ekonomi berpengaruh langsung dan signifikan terhadap angka kemiskinan. Hasil tersebut dimungkinkan karena data yang digunakan adalah data time series tahun 2004 sampai 2012 untuk lingkup Kota Manado saja. Dengan mengkaji berbagai penelitian terdahulu tersebut, penelitian secara empiris antara pengaruh PAD dan DAU terhadap angka kemiskinan absolut dengan data panel (gabungan cross section dan time series) untuk seluruh Pemerintah Provinsi di Indonesia masih jarang dilakukan. Hal ini seharusnya segera diteliti dan diformulasikan agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan memaksimalkan PAD dan mengalokasikan DAU dapat dievaluasi tingkat keberhasilannya. Lebih lanjut, evaluasi tersebut dapat menjadi dasar bagi penetapan kebijakan selanjutnya yang lebih akurat. Dengan penetapan kebijakan yang akurat, maka kesetaraan 8

pendapatan antar daerah diharapkan dapat terjadi sehingga pertumbuhan ekonomi regional menjadi lebih berkesinambungan dan pengentasan kemiskinan dengan basis perekonomian daerah menjadi lebih efektif. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian yang akan penulis lakukan adalah meneliti pengaruh PAD dan DAU terhadap angka kemiskinan absolut yang dihipotesiskan memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi regional sebagai variabel perantara (intervening variable). Penelitian ini terutama akan dilakukan dalam lingkup Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini berjudul ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP ANGKA KEMISKINAN ABSOLUT : PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Empiris Pemerintah Provinsi di Indonesia tahun 2011-2015) B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu: a. Apakah PAD secara parsial berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi regional? b. Apakah DAU secara parsial berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi regional? c. Apakah PAD dan DAU secara simultan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi regional? 9

d. Apakah pertumbuhan ekonomi regional berpengaruh langsung terhadap angka kemiskinan absolut? e. Apakah PAD secara parsial berpengaruh tidak langsung terhadap angka kemiskinan absolut melalui pertumbuhan ekonomi regional? f. Apakah DAU secara parsial berpengaruh tidak langsung terhadap angka kemiskinan absolut melalui pertumbuhan ekonomi regional? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: a. untuk mengetahui apakah PAD dan DAU secara parsial berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia; b. untuk mengetahui apakah PAD dan DAU secara simultan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia; c. untuk mengetahui apakah pertumbuhan ekonomi regional berpengaruh langsung terhadap angka kemiskinan absolut di Indonesia; d. untuk mengetahui apakah PAD dan DAU secara parsial berpengaruh tidak langsung terhadap angka kemiskinan absolut di Indonesia yakni melalui pertumbuhan ekonomi regional sebagai variabel perantara. D. Manfaat Penelitian 1) Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah economics science dan econometrics khususnya dalam penerapannya di bidang akuntansi pemerintahan. 10

2) Bagi Pemerintah Pusat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang konstruktif dalam upaya perumusan kebijakan alokasi Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam upaya menurunkan angka kemiskinan absolut di Indonesia. 3) Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan dasar pertimbangan dalam memaksimalkan penggalian potensi Pendapatan Asli Daerah yang akan berimplikasi pada upaya pengentasan kemiskinan di daerah masing-masing dan di Indonesia secara agregat. 4) Bagi Para Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan kajian empiris economics science dan econometrics khususnya dalam penerapannya di bidang akuntansi pemerintahan, dan di masa depan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian selanjutnya. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang dari masalah yang akan diteliti secara garis besar. Bab ini juga menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian. Selain itu, Bab ini mencantumkan tujuan penelitian yakni sesuatu yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Manfaat dari penelitian menjelaskan kepada pihak mana saja penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi. 11

BAB II Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu Bab ini menjelaskan landasan teori relevan yang akan menjadi dasar untuk melaksanakan penelitian ini. Bab ini juga akan menjelaskan mengenai penelitianpenelitian terdahulu terkait fenomena yang diteliti dan menjadi dasar dalam pengembangan menuju penelitian ini. Disamping itu, pada Bab ini juga akan dikemukakan mengenai kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian. BAB III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan serta menguraikan variabel dependen, variabel perantara, dan variabel independen berikut definisi operasionalnya. Bab ini juga akan menjelaskan mengenai data yang akan dipakai dan sumber data tersebut. Selain itu, Bab ini akan menguraikan mengenai metode analisis statistik dan ekonometri yang digunakan untuk membuktikan hipotesis. BAB IV Analisis dan Pembahasan Bab ini akan menganalisis hasil penghitungan atas data-data variabel yang telah diteliti. Selain itu, Bab ini juga akan menginterpretasikan hasil pembahasan atas perhitungan statistik dan ekonometri yang telah dilakukan. BAB V Simpulan dan Saran Bab ini akan berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis dan pembahasan. Bab ini juga mengutarakan beberapa saran yang dapat menjadi rekomendasi kepada para pihak terkait dengan penelitian sebagai dasar formulasi kebijakan atau mengadakan penelitian lebih lanjut dalam topik yang serupa di masa mendatang. 12