BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketika seorang wasit meniup peluit, para pemain sepak bola bergegas memulai pertandingan. Perbuatan meniup peluit di sini diartikan sebagai tanda untuk memulai pertandingan. Begitu pula ketika pengemudi sebuah mobil menyalakan lampu sen bagian kanan yang berarti memberikan isyarat atau tanda bahwa ia akan membelokkan mobilnya ke arah kanan. Kedua contoh tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak bukti bahwa kehidupan manusia sangat lekat dengan berbagai tanda. Tanda menurut Danesi (2004: 4), yakni A sign is anything a color, a gesture, a wink, an object, a mathematical equation, etc. that stands for something other then itself. Tanda adalah sesuatu yang dapat berupa warna, gerakan, kedipan mata, objek, persamaan matematika, dan lain-lain yang mewakili sesuatu selain dirinya sendiri. Seperti halnya kegiatan meniup peluit tadi, bisa jadi menggantikan seruan untuk memulai pertandingan sepak bola atau bahkan menghentikan permainan. Hal ini tentu saja didasari oleh kesepakatan (konvensi) para pengguna tanda, kapan bunyi peluit dianggap sebagai tanda memulai pertandingan dan kapan dianggap sebagai tanda mengakhiri pertandingan. 1
2 Demikian banyaknya dan begitu dekatnya tanda dengan kehidupan seharihari, maka lahirlah ilmu yang disebut semiotika (semiologi). Semiologi merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2011: 3). Selain itu, tanda dapat berupa gambar, lukisan, arsitektur, gejala alam dan lain sebagainya, termasuk tanda-tanda yang ditransformasikan ke dalam bentuk bahasa. Aristoteles dalam Kurniawan (2001: 49) menganggap bahwa pikiran dapat dipertimbangkan sebagai wakil-wakil dari hal-hal, dan bahasa dalam hal ini adalah tanda dari pikiran atau dengan kata lain kata-kata (baca:bahasa) adalah tanda-tanda dari afeksi jiwa. Tanda-tanda bahasa dapat direfleksikan ke dalam bentuk karya sastra. Salah satu genre karya sastra adalah puisi. Puisi dalam hakikatnya sebagai karya sastra tidak dapat dipisahkan dari bahasa sebagai medianya. Pradopo (2010: 121) menjelaskan bahwa bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan bahasa sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Lambang -lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat.
3 Puisi dinilai sebagai genre sastra yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan kehidupan sehari-hari sesungguhnya begitu kaya dengan berbagai ekspresi puitis, walaupun tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Lazimnya, ekspresi puitis yang sering ditemukan terdapat pada medium-medium verbal seperti pada lagu-lagu yang ada pada pemainan anak-anak, slogan pada iklan televisi, istilah-istilah percakapan sehari-hari, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia sehari-hari sangat dekat dengan kesusastraan, terlepas dari apakah kegiatan bersastra ini dilakukan didasari ataupun tanpa didasari kesadaran. Endraswara ( 2003: 63) berpendapat bahwa karya sastra (termasuk puisi) merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa. Selain itu Soedjarwo (2004:132) juga mengatakan bahwa sastra itu seni bahasa, dalam arti seni menggunakan bahasa sebagai medianya. Bagi sastra, bahasa adalah sarana yang sudah selesai, sudah jadi, yang sudah tidak perlu dipermasalahkan. Sedang yang menjadi persoalan bagi sastrawan (penyair) ialah bagaimana mengeksploitasi dan mendayagunakan sarana itu untuk berekspresi. Di Indonesia, bahasa bahkan dikatakan sebagai suatu bentuk kekayaan. Hal ini tidak berlebihan mengingat Indonesia merupakan negara yang termasuk memiliki variasi bahasa terbanyak di dunia. Ada kurang lebih 746 bahasa yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah bahasa Banjar yang penggunaannya didominasi oleh masyarakat suku Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan.
4 Jika dihubungkan dengan kegiatan bersastra khususnya berpuisi, ternyata geliat penggunaan bahasa Banjar dapat ditemukan dalam karya-karya puisi yang ditulis oleh penyair ternama Kalimantan Selatan. Puisi berbahasa Banjar dapat dikatakan sebagai sastra daerah yang menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan di Kalimantan Selatan. Bentuknya bebas seperti halnya puisi baru atau puisi modern. Hanya saja, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah Banjar. Selain mengenai bahasa yang digunakan, terkait dengan isi, puisi Banjar juga merepresentarikan budaya masyarakat Banjar melalui tanda-tanda bahasa yang digunakannya. Dalam proses kreatifnya, penyair tentu sudah menata tandatanda yang digunakan sesuai dengan sistem, konvensi, dan aturan-aturan tertentu dimana bahasa Banjar digunakan untuk menyampaikan pesannya. Tanda bahasa yang digunakan pada puisi cenderung bersifat tidak langsung atau jika dimaknai secara harfiah berbeda dengan apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Hal ini sejalan dengan pendapat salah satu tokoh semiologi, Roland Barthes, yang salah satunya mengemukakan konsep konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi yang ada dalam masyarakatnya (Hoed, 2011: 13). Tanda tidak berarti apa-apa jika belum dimaknai. Termasuk juga tandatanda bahasa yang ada dalam puisi Banjar. Dalam memaknai tanda (signifikasi), unsur utama yakni penanda atau signifier ekspresi dan petanda atau signified isi bagaikan dua sisi selembar kertas. Pemaknaan tidak lepas dari keduanya dan
5 bahkan membentuk sesuatu yang disebut tanda atau sign, yakni relasi antara penanda dan petanda. Misalnya meja hijau merupakan petanda (isi atau konsep) yang memiliki penanda sebuah meja yang berwarna hijau. Namun, dalam bahasa puisi, bisa jadi pemaknaannya berbeda. Meja hijau dapat berarti pengadilan. Dalam hal ini istilah meja hijau menjadi tanda untuk menggantikan konsep pengadilan. Oleh karena itu, untuk membedah tanda agar dapat diterjemahkan atau dicari maknanya diperlukan kemampuan untuk melakukan signifikasi atau pemaknaan tanda. Semiologi Barthes yang membahas lebih mendalam mengenai relasi antara penanda dan petanda dalam sigifikasi dua tahap, dipandang sebagai kajian yang sangat sesuai untuk membedah dan memaknai berbagai tanda. Model semiotik Roland Barthes yang mengusung konsep semiologi denotasi, konotasi dan mitos juga dinilai sangat cocok untuk menganalisis tanda pada karya sastra daerah dalam bentuk teks puisi sebagai objek kajiannya, khususnya puisi Banjar. Pilliang (2004: 189) mengatakan bahwa analisis teks, menurut Roland Barthes, akan menghasilkan makna denotasi, yakni makna tanda yang bersifat eksplisit, dan makna konotasi, yakni makna tanda lapis kedua yang bersifat implisit. Semiologi Barthes juga lebih jauh melihat makna yang lebih dalam tingkatnya dan lebih bersifat konvensional, yakni mitos. Dalam semiologi Barthes menurut Waluyo (1987: 105) dikenal pula adanya lima kode bahasa yakni kode hermeneutik, kode proairetik, kode semantik, kode simbolik, dan kode budaya. Namun, hal yang paling mendasar dari semiologi Barthes adalah bagaimana tanda
6 bekerja dalam signifikasi dua tahap sehingga mampu membentuk makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos. Semiologi Barthes belum begitu banyak digunakan sebagai pisau analisis tanda pada puisi jika dibandingkan dengan teori semiotika Peirce dan Riffaterre. Berdasarkan berbagai referensi yang pernah peneliti baca, semiologi Barthes lebih banyak digunakan dalam penelitian iklan, film, bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti juga berusaha membuktikan bahwa teori semiologi Barthes juga mampu menganalisis tanda pada karya sastra berupa puisi, khususnya puisi Banjar. Soedjarwo (2004: 63-64) mengatakan bahwa penyair dan karya-karya sastranya di daerah belum begitu dikenal dan diakui secara nasional. Padahal dari segi mutu, tidak ada jaminan kalau sastra nasional lebih baik dibandingkan sastra daerah. Adanya karya sastra daerah yang cenderung memuat tanda-tanda bernapaskan kerifan lokal justru memperkaya ragam karya sastra Indonesia. Di sinilah letak tantangan bagi peneliti untuk mengkaji tanda-tanda dalam puisi Banjar sebagai bentuk partisipasi terhadap eksistensi sastra daerah. Puisi-puisi Banjar dapat ditemukan pada antologi-antologi puisi yang terbit di Kalimantan Selatan. Salah satunya adalah antologi puisi Banjar berjudul Garunum. Sesuai dengan judulnya garunum yang berarti gerutu atau perkataan yang diucapkan dengan cara bergumam terus-menerus karena rasa tidak puas dengan keadaan atau peristiwa yang dialami, sebagian besar puisi di dalamnya memuat tema mengenai kritik sosial. Namun gerutu di sini dalam konteks curahan hati para penyair akan kegundahan hatinya yang dituangkan
7 bukan melalui ucapan, melainkan dalam bentuk karya sastra (puisi). Antologi yang ditulis oleh Hamami Adaby, Arsyad Indradi, Ersis Warmansyah Abbas, Rudy Resnawan, dan Dewa Pahuluan ini menarik untuk dikaji karena tidak seperti puisi baru pada umumnya yang menggunkan bahasa Indonesia, antologi ini berisikan puisi-puisi baru yang menggunakan bahasa daerah Banjar. Penelitian semiologi dianggap menarik untuk menelusuri tanda-tanda yang ada dalam antologi puisi ini. Terutama bagaimana tanda-tanda yang ada ini memiliki kekuatan yang dapat merepresentasikan nilai-nilai budaya masyarakat Banjar. Dalam mengkajinya, tentu peneliti harus bekerja lebih keras karena terlebih dahulu harus menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu peneliti juga harus mampu menghubungkannya dengan sistem, konvensi, aturanaturan dan budaya masyarakat Banjar. Adapun yang menjadi fokus penelitian semiologi Barthes pada antologi puisi Banjar Garunum ini antara lain membahas mengenai makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos. Peneliti menelaah makna denotasi lebih pada pemaknaan dari segi bahasa (makna lugas) dan makna konotasi dari penggunaan bahasa figuratif yang menimbulkan lapisan makna baru. Sedangkan pada pemaknaan mitos, peneliti mengikuti mekanisme pembentukan mitos dari hasil signifikasi dua tahap dengan makna denotasi dan makna konotasi sebagai dasar. Peneliti membatasi pada makna mitos karena dalam signifikasi dua tahap yang menjadi dasar teori semiologi Barthes, mitos merupakan makna puncak. Selain ketiga hal tersebut, peneliti juga berfokus pada temuan konseptual mengenai semiologi Barthes sebagai alat analisis tanda pada puisi berbahasa
8 daerah. Temuan konsep ini menjadi fokus untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya signifikasi dua tahap sebagai dasar semiologi Barthes bekerja mengungkap berbagai makna dari tanda-tanda yang ada pada puisi daerah. Keempat fokus ini dipilih karena merupakan hal yang paling mendasar dalam semiologi Barthes untuk mengungkap makna dari tanda-tanda bahasa yang digunakan sebagai media puisi. Dalam penelitian ini, peneliti hanya memilih tiga puisi sebagai objek teliti, di antaranya puisi berjudul Musim ka Musim karya Hamami Adaby, Tampulu karya Arsyad Indradi, dan Aku Handak Madam karya Dewa Pahuluan. Ketiga puisi ini dipilih karena dianggap mewakili keseluruhan puisi yang sebagian besar bertemakan kritik sosial. Puisi Musim ka Musim berisi kritikan tentang perilaku manusia yang suka menyalahkan musim, puisi Tampulu berisi kritikan pada perilaku anak negeri zaman sekarang terhadap negerinya sendiri, dan puisi Aku Handak Madam berisi kritikan pada orang-orang yang penyair anggap nakal, bengal, dan tersisih untuk bekerja dan mencari penghidupan dengan merantau agar ketika kembali mereka dapat membangun kampung halaman. Selain itu, ketiga puisi ini dinilai cukup untuk dijadikan objek karena salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperkuat bahwa teori semiologi Barthes mampu mengungkap makna dari tanda-tanda yang ada dalam teks puisi. Sebelumnya, penelitian semiologi sudah dilakukan oleh mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, Kholifah (2012) dalam skripsinya berjudul Telaah Semiologi Budaya Jawa dalam Novel Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi AG dan Implementasinya pada Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan
9 Sastra Indonesia Berkarakter Jenjang SMA Jurusan Bahasa. Persamaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menggunakan semiologi sebagai pisau analisis dan sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif. Namun, ada hal-hal yang membedakan penelitian sekarang dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya antara lain terletak pada objek penelitian. Jika objek penelitian yang digunakan Kholifah adalah novel, maka pada penelitian ini objek yang digunakan adalah antologi puisi. Selain itu, jika penelitian Kholifah dititikberatkan untuk mengetahui wujud, makna, fungsi, dan implementasi semiologi budaya Jawa, maka pada penelitian kali ini lebih dititikberatkan untuk mendeskripsikan makna denotasi, konotasi, dan mitos. Hal mendasar lain yang membedakan adalah penggunaan teori semiologi. Jika dalam penelitian Kholifah menggunakan teori semiologi Peirce, dalam penelitian sekarang menggunakan teori semiologi Barthes. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian semiologi terhadap puisi-puisi yang ada dalam antologi puisi Banjar Garunum berdasarkan telaah semiologi Barthes. Peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi bentuk apresiasi dan partisipasi dalam pelestarian sastra daerah, khususnya puisi Banjar. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengenalkan budaya dan sastra daerah masyarakat Banjar di luar wilayah pemakai bahasa Banjar melalui kajian semiologi. Akhir kata, peneliti menuangkan penelitian ini dalam bentuk skripsi dengan judul Telaah Semiologi Barthes pada Antologi Puisi Banjar Garunum.
10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Bagaimana makna denotasi menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum? b. Bagaimana makna konotasi menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum? c. Bagaimana makna mitos menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum? d. Bagaimana temuan konseptual semiologi Barthes sebagai alat analisis tanda pada puisi berbahasa daerah? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperkuat teori semiologi Barthes sebagai alat analisis tanda pada teks puisi, khususnya puisi berbahasa daerah. Selain itu juga memberi gambaran kepada masyarakat luas mengenai salah satu sastra daerah kebanggaan Kalimantan Selatan yakni puisi Banjar yang isinya merepresentasikan budaya masyarakat Banjar.
11 1.4.2 Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah yang telah peneliti paparkan, maka tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendeskripsikan makna denotasi menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum. b. Mendeskripsikan makna konotasi menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum. c. Mendeskripsikan makna mitos menurut semiologi Barthes dalam antologi puisi Banjar Garunum. d. Mendeskripsikan temuan konseptual semiologi Barthes sebagai alat analisis tanda pada puisi berbahasa daerah. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori semiologi Barthes sebagai salah satu pisau analisis dalam mengkaji karya sastra khususnya puisi berbahasa daerah. b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian tentang sastra Indonesia, khususnya yang membahas mengenai sastra daerah.
12 c. Referensi yang ada dalam penelitian ini akan memberikan pengertian dan pemahaman mengenai semiologi Barthes yang secara tidak langsung juga mempelajari mengenai budaya masyarakat Banjar melalui bahasanya secara lebih komprehensif. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: a. Menerapkan teori semiologi Barthes sebagai salah salah satu pisau analisis dalam mengkaji karya sastra khususnya puisi. b. Memberikan suntikan semangat bagi perkembangan sastra daerah, khususnya puisi Banjar. c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya mengenai semiologi yang direpresentasikan dalam karya sastra khususnya puisi Banjar. 1.5 Definisi Operasional Berikut definisi operasional atau penegasan istilah-istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini. a. Semiologi adalah istilah bagi ilmu yang mempelajari mengenai tanda yang biasa dipakai di Eropa. b. Roland Barthes adalah seorang filsuf berkebangsaan Perancis yang mengembangkan teori Ferdinand de Saussure mengenai tanda.
13 c. Semiologi Barthes merupakan pengembangan dari semiologi strukturalisme Saussure yang mengusung konsep signifikasi dua tahap ( two orders signification). d. Puisi adalah ekspresi yang berasal dari pemikiran, imajinasi, perasaan ataupun pengalaman dalam wujud bahasa yang estetis, padat dan sarat makna sehingga menimbulkan kesan tertentu bagi pembaca. e. Bahasa Banjar adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku (etnis) Banjar untuk berkomunikasi dalam pergaulan sehari-hari.