BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polarisasi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya sudah ada sejak diciptakannya kedua maklhuk di dunia ini. Proses penciptaan itu pun dilakukan melalui sabda Tuhan. Pada awalnya mereka diciptakan dalam rangka saling melengkapi, sebagai keutuhan ciptaan-nya. Secara mitologis laki-laki dan perempuan yang diciptakan tersebut adalah Adam dan Hawa, keduanya diciptakan di Taman Eden. Percakapan antara Tuhan dengan Adam ( Hai Adam di mana engkau? ) itu pun dianggap asal-muasal struktur dialogis sebagaimana dikembangkan oleh Bakthin (Jaush, 1985: 149-150). Dalam rangka mengatur masyarakat manusia selanjutnya, yang kemudian dalam masyarakat yang sudah maju disebut sebagai sistem religi, khususnya agama, wahyu pun diturunkan kepada jenis laki-laki. Inilah legitimasi yang pertama kelompok Adam, yang secara psikologis maupun sosiologis mengkerangkakan pola-pola pikiran manusia untuk menempatkan laki-laki sebagai pusat. Legitimasi yang kedua diturunkan melalui mitologi Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam. Legitimasi yang ketiga dinyatakan bahwa Hawa tidak memiliki iman yang kuat sehingga ia terpaksa memetik dan memakan buah kehidupan yang kemudian diikuti oleh Adam, padahal hal itu dilarang oleh Tuhan (Ratna, 2004: 182-183). 1
2 Di dalam tatanan bahasa Inggris, umat manusia diwakili oleh kata man. Meskipun ada istilah human tapi man lebih sering digunakan ketika penulis teks ingin menggambarkan manusia sebagai makluk berakal yang membuat perubahan di dunia: istilah human digunakan apabila penulis teks ingin menggambarkan manusia sebagai makluk biologis. Man menjadi tokoh utama dalam sejarah dunia. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah woman?. Pemilihan kata ini merupakan salah satu contoh dari keberadaan budaya masyarakat partiarkal di dunia ini. Tidak terkecuali di Amerika Serikat, polarisasi laki-laki dan perempuan muncul ketika awal kemerdekaan sekitar tahun 1776, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat antara lain mencantumkan bahwa all men are created equal ( semua laki-laki diciptakan sama ), tanpa menyebut perempuan. Di sisi lain Amerika Serikat yang menganggap dirinya sebagai pendukung Demokrasi dan Kebebasan Pribadi ini ternyata sangat dipengaruhi oleh Budaya partiakal. Budaya patriakal ini mencengkeram seluruh sendi kehidupan, dan membuat prinsip Demokrasi Amerika Serikat seperti hanya diperuntukkan kepada laki-laki. Pendapat lain mengemukakan bahwa aspek agamalah yang menimbulkan polarisasi yang sangat tajam di Amerika Serikat. Agama Protestan maupun Katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari pada kedudukan laki-laki dan kebiasaan kaum lelaki Yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak terlahir sebagai perempuan (Soenarjati, 2000: 1-2).
3 Hal ini mengakibatkan adanya gejolak dalam diri kaum perempuan untuk membela diri dari polarisasi yang mempersempit dan memojokkan kaum perempuan sebagai kaum yang tidak berdaya. Dengan adanya konflik-konflik diatas, kemudian lahirlah gerakan perempuan pada pertengahan abad 19 yang dipelopori oleh Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott, dan Susan B. Anthony mereka menuntut diberi hak yang sama. Kemudian lahirlah organisasi-organisasi gerakan feminisme seperti NOW (National Organization for Women) yang di ketuai oleh Betty Friedan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem, dan tradisi dalam masyarakat inilah yang kemudian melahirkan kritik feminis. Ekpensi feminisme dilakukan dengan berbagai hal, baik melalui sikap, melalui penentuan sikap, melalui penulisan artikel, puisi, novel maupun melalui berbagai media lain yang memungkinkan untuk dapat mentranformasikan gagasan ataupun pandangan sebagai bentuk kritik feminisme terhadap situasi dan pandangan sosial masyarakat. Manusia dalam kehidupan sehari hari memerlukan hiburan, seperti sebuah karya sastra. Karya sastra yang baik memberikan pesona, membius pembacanya; membuat pembaca larut di dalamnya dan melupakan lajunya waktu. Karya sastra yang baik memberikan rasa puas, rasa senang, tidak pernah membosankan, pembaca tidak pernah merasa dipaksa membaca, tidak dibebani sesuatu
4 kewajiban harus membaca sebuah karya sastra. Pembaca merasa bebas dan senang dalam melarutkan diri dengan karya sastra. Sastra adalah semacam permainan, dan pembaca asyik bermain di dalamnya, senang dan gembira (Saini dan Sumardjo, 1988: 6) Karya sastra dalam kehidupan masyarakat memiliki berbagai macam bentuk sebagai sarana yang efektif guna menyajikan ide-ide serta masalah pengarang. Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang merupakan representasi suatu gambaran yang jauh lebih realistis mengenai kehidupan sosial (Faruk, 1994). Lebih lanjut Faruk mengatakan bahwa di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui aktifitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai dunia sastra, kepribadian individual, hubungan antara individu dan masyarakat (Faruk, 1994: 47) Novel juga bagian bentuk sastra, merupakan realita hidup yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami oleh manusia, secara spesifik realita psikologi adalah kehadiran fenomena kejiwaan yang dialami tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan phenomena psikologis yang hadir didalam fiksi baru memiliki arti, kalau pembaca mampu memberikan interprestasi dan ini berarti ia memiliki bekal teori tentang psikologi yang memadai (Siswantoro, 2004: 32). Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Berdasarkan aktifitasnya, sastra dipandang sebagai sesuatu yang dihasilkan dan dinikmati orang-orang tertentu di masyarakat. Sastra dapat disajikan dalam berbagai cara: langsung diucapkan, melalui radio, majalah, buku, dan sebagainya (Ramanto, 198:910). Rene Wellek dan Austin Waren dalam Theory of Literature bahwa karya sastra itu pada dasarnya merupakan pelukisan dari realitas sosial/kehidupan.
5 Ia muncul karena kebutuhan manusia untuk memenuhi keinginan barunya serta mengungkapkan jati dirinya terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Literature represents life and life is, in large measure, a social reality, even though the nature world and the inner or subjective world of the individual have also been object of literary imitation. (wellek Warren, 1977: 94) Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminime mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she (Selden, 1986: 132). Adanya tarik-menarik antara keinginan agar karya sastra dapat menjadi penentang subordinasi perempuan dan kenyataan bahwa di dalam karya sastra tersembunyi setan struktur gender mengundang perhatian berbagai ilmuwan sastra untuk menggabungkan ilmu kritik sastra dengan feminisme. Dan hasilnya berupa kritik sastra feminisme, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis pada perempuan (Sugihastuti, 1998: 29). Berdasarkan uraian diatas maka sangatlah tepat sekali apabila kritik sastra feminisme diterapkan dalam menggali, mengkaji serta mengetahui konflik- konflik feminisme dalam karya sastra khususnya novel dan dalam kesempatan kali ini penulis memilih novel The Scarlet Letter sebagai objeknya. Penulis menemukan beberapa faktor yang sangat menarik untuk dianalisis dari novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne ini. Faktor yang sangat mendasar antara lain: novel ini merupakan karya terbaik dari seorang author terkenal Amerika
6 Serikat, selain itu novel ini juga mendapatkan tempat dihati masyarakat pada masa itu. Novel ini juga dinilai sangat berani mengetengahkan isu-isu yang biasanya ditutupi di Amerika Serikat pada abad ke-19, seperti dampak pengalaman demokratis yang baru dan membebaskan pada tingkah laku seseorang, khususnya dalam kebebasan seksual dan keagamaan. Faktor lain yang sangat menarik dari novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne adalah masalah-masalah feminisme, kebudayaan, agama, serta perjuangan tokoh utama Hester Prynne dalam memperjuangkan hak-haknya yang dikemas dalam uraian cinta kasih antar insan manusia, yang berupa kisah cinta terlarang. Dengan adanya tokoh pembawa ideologi feminisme dalam novel tersebut maka penulis tertarik untuk menganalisis kritik feminisme yang terdapat dalam novel tersebut dengan menerapkan teori kritik sastra feminisme. B. Rumusan Masalah Dalam skripsi ini, penulis mencoba merumuskan pokok pembahasan novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne berdasarkan permasalahanpermasalahan berikut ini: 1. Bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne. 2. Bagaimanakah gambaran feminisme yang dialami Hester Prynne sebagai tokoh utama dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne.
7 C. Tujuan penulisan Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba mengupas masalah-masalah feminisme yang terdapat dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengungkapkan struktur novel yang terdiri unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne. 2. Menganalisa gambaran feminisme Hester Prynne sebagai tokoh utama dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne dengan teori kritik sastra feminisme Betty Friedan. D. Pembatasan Masalah Berdasarkan dengan adanya rumusan masalah dan tujuan penulisan dalam sekripsi ini, penulis akan menfokuskan untuk menganalisa gambaran feminisme yang dialami oleh tokoh utama Hester Prynne, serta konflik feminisme yang terjadi dengan kritik sastra feminisme. Adapun tujuan dari pembatasan masalah ini adalah agar nantinya pembahasan lebih terarah dan tidak melebar. E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Dalam menganalisa novel karya Nathaniel Hawthorne ini, penulis melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan data serta informasi yang diperlukan melalui buku-buku, artikel serta literatur lain yang mendukung objek analisis. Metode adalah cara kerja yang diperlukan oleh penggunanya untuk
8 mencapai sasaran, dengan memahami objek sasaran yang di kehendaki untuk tujuan memecahkan masalah (Harsono, 1999: 7). Dengan mengaplikasikan metode tersebut, penulis berharap mampu menganalisis masalah secara kritis dan analitis serta mampu menuangkannya ke dalam bentuk laporan ilmiah yang sistematis. Pendekatan adalah cara memandang dan mendekati suatu objek. Dengan kata lain, Pendekatan adalah asumsi-asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam memandang suatu objek (Semi, 1990: 63). Pendekatan struktural yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal yang berada diluar dirinya (Harsono, 1999: 48). Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan, pertama penulis akan melakukan pendekatan struktural pada unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel, yang kedua menerapkan pendekatan kritik sastra feminisme. Adapun teori kritik feminisme ini dipakai sebagai alat bantu untuk membahas konflik feminisme dan perjuangan mendapatkan persamaan hak yang dialami oleh tokoh utama Hester Prynne. F. Sistematika Penulisan Pada skripsi ini sistematika penulisan dibagi menjadi beberapa bab dimana bab I, bab II dan seterusnya saling berhubungan, walaupun setiap babnya mendiskusikan topik yang berbeda. Adapun penyusunan bab-bab tersebut meliputi:
9 Bab I : berupa pengantar yang berisi tentang pendahuluan yang mana di dalamnya terdapat latar belakang masalah, tujuan penulisan, pembatasan masalah, metode penelitian, metode pendekatan dan sistematika penulisan. Bab II : memuat tentang riwayat hidup pengarang dan ringkasan cerita (Synopsis) novel The Scarlet Letter. Bab III : memuat tentang tinjauan pustaka yang mana terdiri dari aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik. Bab IV : merupakan analisis kritik sastra feminis terhadap unsur yang dominan dalam The Scarlet Letter dan saling berhubungan. Analsis ini berupa analisis fakta cerita, yaitu mengenai tema feminisme, konflik feminisme, tokoh utama, serta tokoh yang profeminis dan kontrafeminis. Adapun untuk teori yang digunakan adalah teori kritik sastra femisme Betty Friedan. Bab V : menyampaikan simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.