BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PENGADILAN TINGGI TERSEBUT ; Telah membaca berturut-turut ;

P U T U S A N Nomor : 109/Pid.Sus/2016/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

ALUR PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

P U T U S A N. Nomor : 416/Pid.Sus/2014/PN. BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara: 1. Penyidik : s/d ; 2. Perpanjangan Penuntut Umum : s/d ;

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) TATA CARA PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN DIREKTORAT RESESRE NARKOBA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA BARAT

P U T U S A N Nomor : 362/Pid/2014/PT-Mdn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. I. 1. Nama lengkap : FRENGKI TARIGAN ;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

P U T U S A N Nomor : 62/Pid.B/2013/PN. BJ.-

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I BERKAS PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

ABSTRAK. Kata kunci : Pelaksanaan Penyidikan dan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

P U T U S A N. Nomor : 647/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 406/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada warga negara yang tidak menjunjung hukum, ada warga negara yang salah/ keliru menghayati hak dan kewajibannya sehingga yang bersangkutan dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. 1 Suatu perbuatan hanya dapat dipersalahkan pada petindak pidana, jika ia pada melakukan perbuatan itu dan menghendaki akibat yang disebabkannya atau setidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu. Penerapan suatu kaidah hukum merupakan salah satu sistem yang harus dilakukan untuk mewujudkan suatu tujuan hukum sendiri yakni mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Kepastian hukum dapat diterapkan dalam penyitaan tindakan dalam tindak pidana narkotika. Didalam pemeriksaaan perkara pidana ada tahap penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara maupun oleh penyidik pegawai negeri sipil, tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, tahap pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim dan unsur Hal 3. 1 Leden Marpaung. 2009. Proses Penanganan Tindak Pidana. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika.

2 persidangan lainnya. 2 Demikian dalam halnya mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana dimulai dari penyelidikan kemudian dilanjutkan penyidikan sebelum dilaksanakan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri untuk memperoleh kejelasan tentang kebenaran tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Apabila dalam proses penyidikan itu telah didapat hasil yang menyakinkan menurut hukum, kemudian dilanjutkan pada tingkat penuntutan yang menjadi wewenang lembaga Kejaksaan. Dalam hubungannya dengan penyidikan terhadap tindak pidana, maka penyidik Polri dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum dalam KUHAP butir 3 huruf (c) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penyidikan terhadap suatu perkara tindak pidana meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian halnya penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh penyidik Polres Malang. Dalam penyitaan suatu barang bukti sangat erat hubungannya dengan kewenangan dari penyidik Polri. Dalam Pasal 38 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat, walaupun dalam keadaan yang sangat perlu 2 Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung. Penerbit Mandar Maju. Hal 37.

3 dan mendesak penyidik harus segera bertindak dan dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan guna mendapatkan persetujuan. Untuk melakukan penyitaan, penyidik mengajukan permintaan izin Ketua Pengadilan Setempat. Permintaan izin tersebut dilampiri Resume dari hasil pemeriksaaan yang telah dilakukan dengan jelas hubungan langsung barang yang akan disita dengan tindak pidana yang sedang disidik. 3 Seperti halnya dalam KUHAP, penjabaran penyitaan diatur secara berurutan sehingga mengenai tujuan penyitaan barang barang yang digunakan oleh seseorang dalam melakukan tindak pidana atau barang hasil dari tindak pidana tidak lain adalah digunakan sebagai barang bukti yang selanjutnya untuk menentukan benar atau tidaknya seseorang yang telah melakukan kejahatan. Sebabnya barang bukti merupakan satu syarat mutlak atau harus ada dalam setiap penyidikan. Penyitaan sangat erat hubungannya dengan hak-hak azasi manusia. Penyitaan dengan surat perintah merupakan syarat obyektif, yang dapat diuji kebenarannya oleh orang lain, misalnya hakim waktu mengeluarkan perintah melakukan penyitaan atas permintaan jaksa dan waktu menerima pengaduan dari terdakwa. Banyaknya aturan tentang penyitaan memberi petunjuk adanya usaha dari pembentuk Undang-undang untuk membatasi tindakan penyitaan pada 3 Leden Marpaung, Op. Cit. Hal 11

4 keadaan-keadaan yang secara obyektif dirasa sangat perlu sehingga hak azasi manusia tetap dijunjung tinggi. Meskipun demikian dapat ditemukan kekurangan dalam hal penyitaan ini, misalnya Polisi tidak menunjukkan surat perintah penyitaan dalam melakukan penyitaan sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang. Meskipun tujuan dari penyitaan barang bukti tersebut tidak dijelaskan secara terperinci di dalam KUHAP, akan tetapi dapat diambil kesimpulan mengenai tujuan dari penyitaan seperti yang dinyatakan dalam pasal 1 angka 16 KUHAP yang menyataklan bahwa : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengusaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berujud untuk kepentingan "pembuktian" dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana. Berdasarkan pengertian (penafsiran otentik) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 tersebut masih ada saja hal hal yang tidak sesuai dengan penyitaan barang bukti oleh penyidik. Sebagai contoh, seringkali dijumpai seorang tersangka mengalami penyitaan oleh aparat penyidik sebagai tindakan darurat, tanpa memenuhi ketentuan hukum mengenai penyitaan atau bahkan tersangka dikenai tindakan lain yang dirasa sebagai penderitaan oleh tersangka. Penyidik seringkali tidak memperhatikan halhal yang seharusnya dipenuhi sebagai dasar mengambil tindakan hukum, sehingga dapat terjadi kesalahan prosedural dalam pelaksanaan penyitaan terhadap tersangka tindak pidana. Oleh karena itu dalam hal penyitaan perlu dipertimbangkan hal-hal yang berkenaan dengan tata cara penyitaan

5 terhadap barang bukti tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang ditangani polisi sebagai aparat penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan. Kasus peredaran dan penyalahgunaan narkotika dewasa ini telah menjadi masalah nasional yang perlu ditanggulangi setuntas mungkin. Ancaman bahaya narkotika dapat menjadi batu rintangan bagi kelancaran pembangunan sumber daya manusia dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Kalangan anak muda sesuai perkembangan mentalnya, mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkotika. Terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya terhadap negara Indonesia, karena apabila sampai terjadi pemakaian narkotika secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sakit. Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang undang atau bertentangan dengan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat. 4 Implementasi penegakan hukum pidana materiil artinya bagi pelanggar peraturan hukum harus dijatuhi pidana, dan untuk keperluan tersebut maka hukum pidana formil dalam pelaksanaannya harus tetap melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa seperti yang dikehendaki oleh undang-undang, salah satunya adalah hak memperoleh 4 Tongat. 2009. Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. Malang. Penerbit UMM Press. Hal 197

6 bantuan hukum. Upaya untuk melindungi kepentingan masyarakat agar pelaku tindak pidana tidak membahayakan dan merugikan masyarakat banyak, maka KUHAP memberikan kewenangan bagi pihak penyidik untuk menghentikan kebebasan dan kemerdekaan tersangka atau terdakwa dalam bentuk penahanan. Selain itu di dalam KUHAP juga memberi kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasehat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan sampai pemeriksaan di pengadilan. Perkara penyalahgunaan narkotika penanganan terhadap perkara ini tetap melalui prosedur penanganan tindak pidana, dengan berdasar pada KUHAP. Proses penanganan perkara pidana diawali dengan pemeriksaan pendahuluan dimana tahap ini cukup menentukan, karena tahap inilah dikumpulkan bukti bukti. Apabila bukti-bukti telah lengkap untuk bahan penuntutan, maka pemeriksaan dimuka sidang pengadilan akan lancar. Barang bukti pidana sesuai dengan Pasal 39 yang dihubungkan dengan Pasal 1 butir 15 KUHAP adalah benda-benda yang dapat disita menurut hukum karena ada hubungannya atau keterlibatannya dengan tindak pidana (misalnya benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana; yang dipergunakan menghalang- halangi penyidikan tindak pidana atau benda lain yang berhubungan dengan tindak pidana). Barang bukti ini dapat disita penegak hukum dan menjadi tanggungjawabnya atas rusak atau hilangnya barang bukti tersebut. Seperti contoh kasus yang penulis dapatkan di sebuah berita media online sebagai berikut :

7 Rantauprapat (SIB)- Barang bukti seberat 10 gram hilang dan diketahui atas nama terdakwa Abdul Azis Hasibuan yang ditangkap polisi memiliki sabu 48,76 gram, September tahun lalu. Hal itu terungkap dalam sidang ketika ketua majelis hakim Armansyah Siregar SH menimbang barang bukti sabu yang diperlihatkan jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Rantauprapat, Kamis 6 Februari 2014. Benar, sebanyak 10 gram barang bukti sabu hilang saat kita timbang dalam persidangan minggu lalu, ungkap Armansyah ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis (13/6/2014), di PN Rantauprapat. Menurut Armansyah, dalam sidang pembacaan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Antonius Haro SH, menyebut terdakwa Abdul Azis Hasibuan alias Azis (41) penduduk Jalan Pekan Hutagodang, Kabupaten Labuhanbatu Selatan ditangkap pihak kepolisian 20 September 2013 sekira pukul 23:00 WIB dari rumahnya. Saat penangkapan itu, polisi menyita barang bukti narkotika jenis sabu (bukan tanaman) seberat 48,76 gram serta alat hisap berupa bong. Kemudian, sabu seberat 10,72 gram dikirim ke Labfor Mabel Polri cabang Medan untuk keperluan pemeriksaan dan sisanya seberat 38,04 dipergunakan sebagai barang bukti di pengadilan, tetapi setelah ditimbang di pengadilan menjadi 28.04 gram. Kasi Intel Kejari Rantauprapat Peniel Pesalmen Silalahi SH dan Kasi Pidum M Ilham SH ketika dikonfirmasi belum dapat memberi keterangan terkait hilangnya barang bukti tersebut. Mereka mengaku belum mendapat laporan dari jaksa yang bersangkutan atau yang menyidangkan perkara terdakwa Azis. Nggak tahu saya kalau ada barang bukti yang hilang, karena jaksa yang menyidangkannya tidak ada memberitahukan kepada kami, kata Peniel maupun Ilham menjawab wartawan. Peniel menyebut akan memberi jawaban setelah menanyakan langsung kepada JPU Antonius Haro SH, selaku penuntut umum dalam perkara terdakwa Azis. Antonius juga belum bersedia memberi keterangan terkait barang bukti yang kurang dalam pembuktian di pengadilan. Antonius Haro dalam surat dakwaan Kesatu menyebut perbuatan terdakwa Azis diatur dan diancam pidana dalam pasal 114 ayat (2) Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, atau dakwaan Kedua melanggar pasal 112 ayat (2) UU 35/2009. 5 Dari kronologis kasus hilangnya barang bukti yang penulis paparkan, bahwa penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan wajib bertanggung jawab terhadap barang sitaan untuk dirawat, disimpan dan dijaga dengan baik karena barang tersebut sebagai bukti dalam menunjukkan pelaku 5 Harian SIB. 2014. Barang Bukti Hilang. http:// hariansib.com.// Diakses tanggal 14 April 2014, pukul 23.09

8 kejahatan. Ada kemungkinan barang-barang sitaan tersebut dapat hilang atau rusak yang disebabkan banyak faktor, misalnya adanya bencana alam, dihilangkan sengaja, dibuat cacat hukum, terbakar ataupun cara penyimpanan yang salah. Dengan adanya kemungkinan ini penyidik wajib mengganti kerugian hilang dan atau rusaknya barang tersebut dan besarnya ganti rugi juga ditentukan dari ketentuan ketentuan peraturan ada. Kepolisian yang berwenang bertanggung jawab secara penuh terhadap rusak dan atau hilangnya barang sitaan yang berada dalam kekuasaannya. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji tentang tindakan penyitaan barang bukti dilakukan oleh aparat Kepolisian Resort Malang dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul PENYITAAN BARANG BUKTI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH PENYIDIK POLRI (Studi Pada Satuan Reserse Narkoba di Polres Malang). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah tersebut adalah 1. Bagaimana pelaksanaan penyitaan dan atau menyimpan barang bukti perkara tindak pidana narkotika dalam proses penyidikan? 2. Bagaimana resiko dan tanggung jawab penyitaan terhadap rusak atau hilangnya barang bukti yang disita oleh penyidik?

9 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui gambaran sejelasnya tentang pelaksanaan penyitaan barang bukti kasus narkotika dalam proses penyidikan di Polres Malang. 2. Untuk mengetahui gambaran selengkapnya mengenai resiko dan tanggung jawab penyidik terhadap rusak atau hilangnya barang bukti yang disita. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas, manfaat yang ingin dicapai adalah 1. Diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yakni tentang kriteria persyaratan subyektif maupun permasalahan yang timbul dalam melakukan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana. 2. Untuk dapat memberikan gambaran secara realistis solusi yang dilakukan aparat penyidik dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang ditangani Polres Malang. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis : Hasil penelitian ini memberikan manfaat untuk dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya Polres Malang dalam rangka menjalankan tugas penyitaan barang

10 bukti tindak pidana penyalahgunaan narkotika, agar sesuai dengan peraturan perundangan KUHAP dan perundangan lainnya yang relevan. 2. Kegunaan Teoritis : Melalui penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan khususnya keilmuan Hukum Acara Pidana / Hukum Pidana. F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Yuridis Empiris yaitu mengkaji peraturan perundang- undangan yang mengatur tindak pidana penyalahgunaan narkotika sesuai dengan hukum positif. Empiris dengan maksud mengkaji pada pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang ditangani oleh penyidik di Polres Malang, khususnya yang berkaitan dengan penyitaan barang bukti dalam penyidikan tindak pidana narkotika. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kantor Kepolisian Resort Malang dengan pertimbangan bahwa di Polres Malang banyak data yang penulis butuhkan mengenai penyidikan tindak pidana narkotika. 3. Jenis dan Sumber Data a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu Polres Malang yang terletak di Jalan Raya Adirejo

11 Kepanjen Kabupaten Malang, penelitian dilakukan dengan cara melakukan wawancara kepada responden untuk menanyakan pendapat serta persepsi dari responden pelaku untuk keperluan hasil penelitian berupa wawancara, studi dokumen serta peraturan perundang undangan, seperti KUHAP, Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan perundang- undangan yang berkaitan dengan topik atau permasalahan yang diteliti oleh penulis. b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui kajian kepustakaan dan Undang-Undang seperti KUHP, KUHAP, Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. c. Data Tersier : Jenis data yang diperoleh dari Ensiklopedia, Jurnal Hukum, Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang relevan yang berkenaan dengan masalah penyitaan barang bukti dalam penyidikan tindak pidana narkotika, maka teknik pengumpulan responden berasal dari penyidik Polres Malang serta buku buku yang menunjang penelitian ini. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah : a. Wawancara adalah menggunakan daftar pertanyaan Wawancara dilakukan dengan komunikasi atau tanya jawab secara langsung dengan responden berdasarkan pokok yang ditanyakan (interview guide) berpedoman pada kerangka pertanyaan yang telah disusun

12 dan disajikan responden. Wawancara dilakukan terhadap Kasat Sat Resnarkoba atau penyidik di Polres Malang. b. Observasi adalah suatu pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap Berkas Acara Pemeriksaaan (BAP) penyitaan barang bukti narkotika. c. Studi Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data ini diambil dari buku-buku atau literatur serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori sebagai tambahan dalam penulisan, yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. 5. Analisis Data Untuk menganalisis data yang didapat, digunakan metode analisis deskriptif yaitu mendiskripsikan dengan cara menggambarkan kejadian kemudian dianalisia menggunakan deskriptif kualitatif. Metode kualitatif yaitu metode untuk menyelediki obyek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas empat bab yang disusun secara sistematis, dimana antara bab satu dengan bab yang lain saling berkaitan, sehingga merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan. Adapun sistematka dalam penulisan ini sebagai berikut :

13 BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan yang berisikan gambaran singkat keseluruhan isi skripsi yang teridiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang berisikan uraian dasar teori dari skripsi ini yang meliputi tinjauan umum tentang penyidikan, pengertian penyitaan dan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan dimana penulis menguraikan dan membahas mengeni pelaksanaan penyitaan barang bukti kasus narkotika dalam proses penyidikan dan resiko serta tanggungjawab penyitaan terhadap rusak atau hilangnyabarang bukti yang disita oleh penyidik Polres Malang. BAB IV : PENUTUP Kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan dari uraian skripsi pada bab-bab terdahulu serta saran sebagai penutup.