BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

6 PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGEMPAAN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

4 PENGARUH KADAR AIR PARTIKEL DAN KADAR PARAFIN TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III METODE PENELITIAN

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

PENENTUAN UKURAN PARTIKEL OPTIMAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Kualitas Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba M.) dilaksanakan mulai dari bulan. Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Bahan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

PEMBAHASAN UMUM Perubahan Sifat-sifat Kayu Terdensifikasi secara Parsial

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB IV PEMBAHASAN. (a) (b) (c) Gambar 10 (a) Bambu tali bagian pangkal, (b) Bambu tali bagian tengah, dan (c) Bambu tali bagian ujung.

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

OPTIMASI KADAR HIDROGEN PEROKSIDA DAN FERO SULFAT

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Dasar Teori Serat Alami

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA PUBLIKASI ILMIAH

3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP KUALITAS PAPAN KOMPOSIT

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

DATA HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M)

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

SNI Standar Nasional Indonesia

METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAIJAN PllSTAKA

II. TEGANGAN BAHAN KAYU

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN DAN WAKTU KEMPA TERHADAP SIFAT PAPAN PARTIKEL SERUTAN BAMBU PETUNG BERLAPIS MUKA PARTIKEL FESES SAPI

(trees). Terdapat perbedaan pengertian antara pohon dan tanam-tanaman

Kayu mempunyai kuat tarik dan tekan relatif tinggi dan berat yang relatif

V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS HASIL

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan Pada Pelat Lantai

STUDI PENGARUH KONDISI KADAR AIR KAYU KELAPA TERHADAP SIFAT MEKANIS ABSTRAK

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

PERBANDINGAN KUAT LENTUR DUA ARAH PLAT BETON BERTULANGAN BAMBU RANGKAP LAPIS STYROFOAM

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

ANALISA EKONOMIS PERBANDINGAN KAPAL KAYU SISTEM LAMINASI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. struktural seperti papan pelapis dinding (siding), partisi, plafon (celing) dan lis.

BAB IV HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISIS

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M)

KARAKTERISTIK ABSORBSI DAN IMPEDANSI MATERIAL AKUSTIK SERAT ALAM AMPAS TAHU (GLYCINE MAX) MENGGUNAKAN METODE TABUNG

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis pada kayu laminasi dipengaruhi oleh sifat fisis bahan pembentuknya yaitu bagian face, core, dan back. Dalam penelitian ini, bagian face adalah plywood dengan tebal,4, bagian core terdiri dari styrofoam, kayu balsa, atau MDF dengan variasi tebal 1, 2, dan 4, serta bagian back terdiri dari kayu akasia dengan tebal 1,6. Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai kadar air, kerapatan, dan berat jenis pada bahan pembentuk kayu laminasi disajikan pada Lampiran 1 sampai 5, sedangkan pada kayu laminasi disajikan pada Lampiran 6 sampai 8. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat fisis seperti disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi Spesimen Lapisan KA (%) ρ (g/ 3 ) BJ Plywood Face 11,2,56,5 Styrofoam 1 Core 9,2,1,9 Styrofoam 2 Core 9,2,1,9 Styrofoam 4 Core 9,2,8,8 Balsa 1 Core 13,9,25,22 Balsa 2 Core 14,,22,19 Balsa 4 Core 14,2,25,21 MDF 1 Core 1,4,58,52 MDF 2 Core 8,5,73,66 MDF 4 Core 8,8,73,67 Akasia Back 13,9,62,53 Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952) ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda itu sendiri yang dinyatakan dalam g/ 3 BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan air pada temperatur 4 o C.

26 Tabel 2 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata kayu laminasi Spesimen Tebal Core () KA (%) ρ (g/ 3 ) BJ Core Styrofoam 1 1 11,6,46,4 Core Styrofoam 2 2 11,6,33,29 Core Styrofoam 4 4 11,7,24,21 Core Balsa 1 1 13,8,49,42 Core Balsa 2 2 13,7,39,34 Core Balsa 4 4 14,,35,3 Core MDF 1 1 12,4,62,54 Core MDF 2 2 11,4,68,6 Core MDF 4 4 1,6,69,62 Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952) ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda itu sendiri yang dinyatakan dalam g/ 3 BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan air pada temperatur 4 o C. 4.1.1 Kadar Air (KA) Pengukuran kadar air bahan pembentuk kayu laminasi menggunakan prinsip water displacement dimana berat kering tanur diperoleh setelah bahan dioven pada suhu 13 ± 2 C. Metode ini tidak dapat diaplikasikan pada styrofoam, karena karakteristik dari styrofoam yang akan meleleh bila dipanaskan. Nilai kadar air pada styrofoam cukup tinggi dan seragam pada tiap ketebalannya karena pengukurannya menggunakan moisturemeter. Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara 8,5-14,2 %. Nilai tertinggi terdapat pada kayu balsa 4 (14,2 %) dan terkecil terdapat pada MDF 2 (8,5 %). Nilai kadar air tertinggi terdapat pada kayu, yaitu kayu balsa dan akasia. Hal ini disebabkan kayu balsa dan kayu akasia merupakan produk primer, sedangkan plywood dan MDF merupakan produk turunan dari kayu, sehingga dalam proses pembuatannya, melalui tahapan tertentu yang mensyaratkan kadar air yang sesuai standar pabrik. Kadar air tinggi pada kayu akasia (yang merupakan kayu cepat tumbuh) disebabkan adanya proporsi kayu gubal dan juvenile yang tinggi. Sel-sel kayu gubal mempunyai fungsi biologis, yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari akar ke daun untuk proses fotosintesis, sehingga banyak mengandung air (Dwianto dan Marsoem 28). Kayu balsa memiliki kadar air yang tinggi karena berat jenisnya yang rendah. Semakin rendah berat jenis atau kerapatan, maka tingkat absorbsi kayu

27 semakin tinggi, karena memiliki tempat penampung air yang lebih banyak daripada kayu dengan berat jenis atau kerapatan lebih tinggi (Panshin dan de Zeeuw 198 dalam Dwianto dan Marsoem 28). Semakin tebal core yang digunakan, kadar air semakin meningkat kecuali pada styrofoam dan MDF. Styrofoam mempunyai kadar air yang sama pada tiap ketebalannya karena berasal dari pabrik yang sama, sedangkan pada MDF tidak. Kadar air MDF 1 dibandingkan dengan MDF 2 dan 4 berbeda jauh. Hal ini dikarenakan MDF 1 berasal dari pabrik yang berbeda dengan MDF 2 dan 4, sehingga menggunakan formulasi perekat dan proses produksi yang berbeda pula. MDF 2 dan 4 berasal dari pabrik yang sama. Proses penggabungan 2 buah papan MDF 2 menjadi MDF 4 menyebabkan papan MDF 4 memiliki kadar air yang lebih tinggi karena adanya perekat yang ditambahkan. Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi disajikan dalam Gambar 1. Kadar Air (%) 16 14 12 1 8 6 4 2 11.2 9.2 9.2 9.2 13.9 14. 14.2 1.4 8.5 8.8 13.9 Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Gambar 1 Histogram kadar air (%) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Setelah disatukan menjadi kayu laminasi, nilai kadar air meningkat (kecuali pada kayu laminasi balsa yang cenderung stabil bahkan menurun kadar airnya setelah dijadikan kayu laminasi). Peningkatan kadar air ini disebabkan adanya perekat yang ditambahkan. Vick (1999) menyatakan bahwa perekat mengandung air sebagai pembawa, sehingga pada proses perekatan, air akan menguap dan diserap oleh kayu yang mengakibatkan kadar airnya meningkat. Air juga diserap kayu dari udara sehingga kayu mengalami kesetimbangan dengan udara. Kadar air kayu laminasi balsa tidak berbeda jauh dengan bahan

28 pembentuknya walaupun telah ditambahkan perekat. Hal ini disebabkan oleh struktur dari kayu balsa itu sendiri yang memiliki rongga, sehingga ketika dioven air didalamnya (baik itu air dalam kayu balsa dan air akibat tambahan perekat) akan mudah menguap (terevaporasi). Nilai kadar air rata-rata kayu laminasi berkisar antara 1,6-14, %. Nilai tertinggi terdapat pada laminasi core balsa 4 (14, %) dan terendah pada laminasi core MDF 4 (1,6 %). Kelompok laminasi balsa memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan kelompok laminasi styrofoam dan MDF. Hal ini disebabkan core balsa memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya. Selain menghitung nilai kadar air kayu laminasi, kadar air rata-rata bahan terboboti juga dihitung. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti didasarkan pada kadar air masing-masing bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai ini dihitung untuk mengetahui kadar air sebenarnya dari kayu laminasi yang dibuat dan untuk melihat bagaimana pengaruh nilai kadar air bahan pembentuk kayu laminasi terhadap kayu laminasinya. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai kadar air kayu laminasi, dan nilainya tidak berbeda jauh. Hal ini berarti kadar air dan ketebalan masing-masing bahan pembentuk laminasi memberikan pengaruh terhadap kadar air kayu laminasinya. Kadar air rata-rata kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar Air (%) 16 14 12 1 8 6 4 2 11.6 11.6 11.7 13.8 13.7 14. 12.4 11.4 1.6 Kayu Laminasi KA (%) Rata-rata KA Bahan (Terboboti) Keterangan : Rata-rata KA bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(KA tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi Gambar 11 Histogram kadar air rata-rata kayu laminasi.

29 4.1.2 Kerapatan (ρ) dan Berat Jenis (BJ) Kerapatan merupakan suatu ukuran kekompakan suatu partikel dalam lembaran. Nilainya sangat tergantung pada kerapatan kayu asal yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama pembuatan lembaran (Haygreen et al. 23). Kerapatan sangat berhubungan dengan berat jenis yang merupakan rasio antara kerapatan bahan dengan kerapatan air. Kerapatan ratarata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara,8-,73 g/ 3 sebagaimana tersaji pada Gambar 12. Gambar 13 memperlihatkan berat jenis bahan pembentuk kayu laminasi. Kerapatan dan berat jenis tertinggi pada bahan pembentuk kayu laminasi adalah MDF 2 dan 4, serta terendah pada styrofoam 4. Kerapatan dan berat jenis MDF tinggi karena dibuat dari serat kayu (fiber) yang kemudian dipadatkan melalui proses pengempaan, sedangkan styrofoam memiliki struktur yang berongga sehingga kerapatan dan berat jenisnya lebih rendah dibandingkan MDF. Kerapatan kayu akasia menempati urutan kedua tertinggi setelah MDF, karena secara visual struktur porinya cukup rapat dibandingkan bahan kayu lainnya yaitu kayu balsa. Kayu balsa menunjukkan nilai kerapatan dan berat jenis yang rendah. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yang mempunyai berat ringan dan berpori. Plywood memiliki kerapatan dan berat jenis cukup tinggi karena dibuat dari veneer yang direkatkan secara tegak lurus serat dan dikempa hingga padat. Kerapatan (g/ 3 ).8.7.6.5.4.3.2.1..56.1.1.8.25.22.25.58.73.73.62 Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Gambar 12 Histogram kerapatan (g/ 3 ) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi.

3 Berat Jenis.8.7.6.5.4.3.2.1..5.9.9.8.22.19.21.52.66.67.53 Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Gambar 13 Histogram berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai kerapatan mengalami perubahan setelah dibentuk menjadi kayu laminasi sebagaimana tersaji pada Gambar 14. Kerapatan rata-rata kayu laminasi berkisar antara,24-,69 g/ 3. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada kayu laminasi core MDF 4 (,69 g/ 3 ) dan terendah pada kayu laminasi core styrofoam 4 (,24 g/ 3 ). Hal ini berkaitan dengan karakteristik core pembentuknya, dimana core MDF lebih padat dibandingkan core styrofoam, sehingga kerapatan produk akhir lebih tinggi. Secara umum kerapatan meningkat setelah dibentuk menjadi kayu laminasi (kecuali pada kayu laminasi dengan core MDF 2 dan 4 ). Santoso et.al. (21) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bertambahnya kerapatan kayu laminasi dibanding bahan pembentuknya adalah adanya lapisan perekat dan pemadatan pada proses pengempaan. Kayu laminasi dengan core MDF 2 dan 4 memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibanding bahan pembentuknya. Hal ini disebabkan oleh kerapatan bahan pembentuknya yang tinggi (,73 g/ 3 ) sehingga penetrasi perekat kurang maksimal. Penetrasi perekat yang kurang maksimal menyebabkan kontak antara perekat dan kayu yang kurang baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Vick (1999) yang menyatakan bahwa ikatan rekat akan maksimal apabila perekat membasahi semua permukaan kayu selaku bahan yang direkat, sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu (daya tarik intermolekulnya dapat mengikat dengan baik).

31 Semakin tebal core pembentuknya, kerapatan kayu laminasi cenderung menurun, kecuali pada laminasi MDF yang mengalami kenaikan nilai kerapatan seiring dengan meningkatnya tebal core yang digunakan. Core yang memiliki kerapatan lebih rendah dari bagian face dan back akan menurunkan kerapatan produk akhir seiring dengan meningkatnya ketebalan core, sedangkan core yang memiliki kerapatan lebih tinggi dari bagian face dan back akan mengalami peningkatan kerapatan produk akhir seiring dengan bertambahnya tebal core. Core MDF memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan bagian face dan back, sehingga presentase berat core yang semakin tinggi seiring dengan ketebalannya akan meningkatkan kerapatan kayu laminasi. Hal ini sesuai dengan rata-rata kerapatan bahan terboboti yang nilainya tidak berbeda jauh serta memiliki kecenderungan yang sama dengan kerapatan kayu laminasinya. Kerapatan mengalami penurunan atau kenaikan dipengaruhi oleh nilai berat jenisnya. Grafik berat jenis kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 15. Berat jenis yang tinggi pada produk akhir (kayu laminasi) dipengaruhi oleh berat jenis dari bahan pembentuknya. Kerapatan (g/ 3 ).8.7.6.5.4.3.2.1..46.33.24.49.39.35.62.68.69 Kerapatan (g/3) Kayu Laminasi Rata-rata Kerapatan Bahan (Terboboti) Keterangan : Rata-rata kerapatan bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(kerapatan tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi Gambar 14 Histogram kerapatan rata-rata kayu laminasi.

32 Berat Jenis.7.6.5.4.3.2.1..4.29.21.42.34.3.54.6.62 Berat Jenis Kayu Laminasi Rata-rata BJ Bahan (Terboboti) Keterangan : Rata-rata BJ bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(BJ tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi Gambar 15 Histogram berat jenis rata-rata kayu laminasi. 4.2 Sifat Mekanis Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai MOE dan MOR bahan pembentuk kayu laminasi asimetris disajikan pada Lampiran 9 sampai 13. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat mekanis seperti disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Nilai MOE dan MOR rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi Spesimen Lapisan MOE (kg/ 2 ) MOR (kg/ 2 ) Plywood face 55597 477 Styrofoam 1 core 65 Styrofoam 2 core 35 Styrofoam 4 core 17 Balsa 1 core 3925 245 Balsa 2 core 3597 191 Balsa 4 core 31362 188 MDF 1 core 12242 42 MDF 2 core 22175 262 MDF 4 core 19446 128 Akasia back 9762 866 Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity, kemampuan bahan untuk menahan beban sampai batas proporsi (kg/ 2 ) MOR = Modulus of Rupture, kemampuan bahan untuk menahan beban lentur maksimum hingga mengalami kerusakan permanen (kg/ 2 )

33 4.2.1 MOE Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Sifat kekakuan kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan lenturan tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap atau bisa kembali ke bentuk semula Besarnya hasil pengujian dinyatakan dalam Modulus Elastisitas (MOE). Nilai MOE rata-rata tertinggi bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia (9762 kg/ 2 ) dan terkecil pada styrofoam 4 (17 kg/ 2 ). Hal ini dikarenakan kayu akasia memiliki kerapatan yang tinggi sedangkan styrofoam 4 memiliki kerapatan yang rendah. Sesuai dengan pernyataan Herawati (28), kayu yang memiliki kerapatan tinggi akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu dengan kerapatan lebih rendah. Nilai MOE kayu akasia lebih tinggi dibandingkan MOE kayu balsa yang disebabkan oleh berat jenis kayu akasia yang lebih tinggi. Berat jenis lebih tinggi dikarenakan dinding sel kayu akasia lebih tebal, sehingga meningkatkan kekuatan kayu. Haygreen et al. (23) menyatakan bahwa kekakuan dan kekuatan kayu meningkat dengan meningkatnya berat jenis pada kondisi kayu bebas cacat. Plywood dan MDF merupakan produk komposit yang memiliki perbedaan dari segi bahan bakunya. MDF dibuat dari serat kayu yang di-press sedemikian rupa sehingga padat, sangat kaku, dan lebih mudah patah dibandingkan plywood, sedangkan plywood dibuat dari lembaran veneer kayu yang direkatkan secara tegak lurus serat dan masih memiliki sifat elastis. Walaupun MDF memiliki nilai kerapatan dan berat jenis yang lebih tinggi, namun nilai MOEnya lebih rendah dibandingkan plywood. Hal ini disebabkan karakteristik plywood yang masih memiliki sifat integritas bahan baku yang lebih tinggi dibandingkan MDF. Nilai MOE pada bagian core semakin menurun seiring dengan bertambahnya tebal. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya tebal, nilai h/l akan semakin tinggi sehingga nilai MOE yang terbaca lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai rendah tersebut dipengaruhi oleh gaya geser. Semakin tebal bahan menyebabkan pengaruh gaya geser semakin besar, dimana pada pengujian menggunakan one point loading nilai ini diabaikan. Grafik MOE rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai standar deviasi MOE kayu akasia paling tinggi dibandingkan bahan lainnya. Nilai standar deviasi tinggi menunjukkan banyaknya variasi nilai

34 MOE yang dihasilkan pada kayu akasia itu sendiri dalam tiap ulangannya. Firmanti et. al. (27) menyatakan bahwa fenomena ini disebabkan oleh cacatcacat kayu yang ditemukan serta proporsi kayu juvenile yang tinggi pada kayu akasia. Sebagai salah satu jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species), kayu akasia memiliki proporsi kayu juvenile yang tinggi. Haygreen et al. (23) menyatakan bahwa kayu juvenile mempunyai ciri-ciri berat jenis dan kekuatan yang rendah karena memiliki dinding sel yang tipis, lingkaran tumbuh yang lebih besar, dan sel-sel kayu akhir yang sedikit. Kayu juvenile mempunyai efek yang tinggi dalam mereduksi sifat mekanis pada kayu (Green et. al. 1999). MOE (kg/ 2 ) 12 1 8 6 4 2 55597 65 35 17 3925 359731362 12242 22175 19446 9762 Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Gambar 16 Histogram MOE (kg/ 2 ) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Gambar 17 mewakili variabilitas sifat-sifat struktural dari produk-produk kayu yang telah didekati dengan distribusi normal standar. Gambar tersebut menunjukkan satu sisi dari persamaan struktur yaitu sisi kapasitas. Setiap kurva dicirikan oleh parameter-parameter statistika, yang pada kasus ini yaitu nilai ratarata dan standar deviasinya (Bahtiar 24). Dari Gambar 17 terlihat bahwa kayu solid mempunyai keragaman yang lebih tinggi dibanding produk komposit. Kurva normal distribusi menggambarkan nilai keragaman dari suatu hasil pengujian. Pada penelitian ini diplotkan nilai mekanis (MOE dan MOR) yang dihasilkan pada masing-masing bahan untuk mengetahui variabilitas nilai dalam setiap ulangannya. Semakin landai kurva yang dihasilkan menunjukkan MOE atau MOR dari bahan semakin beragam. Sebaliknya semakin curam kurva yang

35 dihasilkan menunjukkan MOE dan MOR dari bahan semakin seragam, yang didukung dengan semakin kecil nilai standar deviasinya. Sumber : Bahtiar (24) Gambar 17 Kurva kekuatan material-material kayu. Kayu akasia memiliki keragaman MOE yang lebih tinggi dan MOE ratarata yang lebih besar dibandingkan plywood. Hal ini didukung dengan pernyataan Bahtiar (24) tentang keragaman kayu solid lebih tinggi dibandingkan produk komposit seperti plywood. Pada kurva distribusi MOE core styrofoam, dapat dilihat bahwa styrofoam 4 lebih seragam dibanding dengan core styrofoam 1 dan 2. Semakin tebal core styrofoam yang digunakan, semakin rendah nilai keragamannya. Core balsa 1 memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki MOE lebih besar dibandingkan dengan core balsa lainnya. Kurva distribusi MOE paling seragam terdapat pada core balsa 2 dikarenakan nilai standar deviasinya paling kecil. Core MDF 1 memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki nilai rata-rata MOE terkecil diantara core MDF lainnya. Hal ini didukung dengan nilai standar deviasinya yang paling besar. Kurva distribusi MOE yang paling seragam terdapat pada MDF 4, karena nilai standar deviasinya paling kecil. Dari kurva distribusi MOE dapat dilihat bahwa MOE terbesar tidak selalu memberikan nilai keragaman yang tinggi, hal ini dipengaruhi oleh standar deviasi masing-masing bahan yang digunakan. Kurva distribusi bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 18 A sampai D.

36 A Frekuensi.8.7.6.5.4.3.2.1 Plywood Akasia 1 2 MOE (kg/ 2 ) B Frekuensi.3.25.2.15.1.5 2 4 Styrofoam 1 Styrofoam 2 Styrofoam 4 MOE (kg/ 2 ) C.3.25 Frekuensi.2.15.1 Balsa 1 Balsa 2.5 Balsa 4 5 1 MOE (kg/ 2 ) D.4 Frekuensi.3.2.1 MDF 1 MDF 2 2 4 MDF 4 MOE (kg/ 2 ) Gambar 18 Kurva distribusi MOE rata-rata dari (A) plywood dan akasia (face dan back). (B) core styrofoam; (C) core balsa; (D) core MDF. 4.2.2 MOR Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Nilai MOR terbesar pada bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia dan terkecil pada styrofoam (tebal 1, 2 dan 4 ). Nilai MOR

37 styrofoam dianggap nol karena nilainya sangat kecil dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya, sedangkan nilai MOR kayu akasia tinggi karena berat jenisnya tinggi. Nilai MOR berbanding lurus dengan nilai MOE. Sama seperti MOE, salah satu faktor yang mempengaruhi nilai MOR adalah berat jenis. MDF memiliki berat jenis yang cukup tinggi, namun memiliki MOR rendah. Hal ini disebabkan oleh integrasi komponen penyusun MDF lebih rendah dibandingkan kayu solid karena disusun oleh partikel yang dipadatkan. Kayu solid tersusun atas dinding sel yang merupakan perpaduan yang kompak dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan MDF disusun oleh selulosa murni yang direkatkan oleh perekat kemudian dikempa. Kekompakan kayu solid lebih baik daripada MDF, sehingga kekuatan dan kekakuannya pada umumnya masih lebih baik. MOR rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 19. 12 MOR (kg/ 2 ) 1 8 6 4 2 477 245 191 188 42 262 128 866 Bahan Pembentuk Kayu Laminasi Gambar 19 Histogram MOR (kg/ 2 ) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Berdasarkan kurva distribusi MOR, kayu akasia memiliki keragaman MOR yang lebih tinggi dan MOR yang lebih besar dibandingkan plywood. Kayu balsa 4 memiliki nilai keragaman yang paling tinggi karena standar deviasinya paling besar dibandingkan core balsa lainnya. Pada kurva distribusi MOR core MDF, nilai paling seragam terdapat pada MDF 2, sedangkan yang paling tidak seragam adalah MDF 4. Hal ini disebabkan oleh standar deviasi MDF 4 paling besar sehingga kurva distribusinya menjadi paling tidak seragam. Kurva

38 distribusi MOR bahan pembentuk laminasi dapat dilihat pada Gambar 2 A sampai C. A Frekuensi.4.3.2.1 1 2 3 Plywood Akasia MOR (kg/ 2 ) B Frekuensi.7.6.5.4.3.2.1 1 2 3 4 Balsa 1 Balsa 2 Balsa 4 MOR (kg/ 2 ) C Frekuensi.1.8.6.4.2 1 2 3 4 MDF 1 MDF 2 MDF 4 MOR (kg/ 2 ) Gambar 2 Kurva distribusi MOR (kg/ 2 ) rata-rata dari (A) plywood dan akasia (face dan back); (B) core balsa; (C) core MDF. 4.3 Sifat Mekanis Kayu Laminasi Sifat mekanis kayu laminasi yang diuji adalah MOE dan MOR. Hasil pengukuran dan perhitungan MOE dan MOR kayu laminasi disajikan dalam Lampiran 14 sampai 16. Dari data tersebut diperoleh nilai MOE dan MOR ratarata kayu laminasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.

39 Tabel 4 Nilai MOE dan MOR rata-rata kayu laminasi Spesimen Tebal Core () MOE (kg/ 2 ) MOR (kg/ 2 ) Core Styrofoam 1 1 8747 224 Core Styrofoam 2 2 3656 94 Core Styrofoam 4 4 87 19 Core Balsa 1 1 19922 289 Core Balsa 2 2 16314 179 Core Balsa 4 4 13112 131 Core MDF 1 1 1445 193 Core MDF 2 2 14486 25 Core MDF 4 4 11284 86 Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity, kemampuan bahan untuk menahan beban sampai batas proporsi (kg/ 2 ) MOR = Modulus of Rupture, kemampuan bahan untuk menahan beban lentur maksimum hingga mengalami kerusakan permanen (kg/ 2 ) 4.3.1 MOE Kayu Laminasi MOE rata-rata kayu laminasi berkisar antara 87-19922 kg/ 2, sebagaimana tersaji dalam Gambar 21. MOE kayu laminasi sangat bergantung dari MOE core penyusunnya. Nilai MOE tertinggi terdapat pada kayu laminasi core balsa 1 (19922 kg/ 2 ) dan terendah terdapat pada kayu laminasi core styrofoam 4 (87 kg/ 2 ). Hal ini disebabkan MOE tertinggi pada core penyusunnya terdapat pada core balsa 1 dan terendah terdapat pada core styrofoam 4. Sesuai dengan MOE rata-rata core penyusunnya, semakin tebal core yang digunakan, nilai MOE kayu laminasi semakin menurun, namun hal ini tidak berlaku pada kayu laminasi dengan core MDF. Penurunan MOE pada kayu laminasi styrofoam dan balsa disebabkan oleh MOE core penyusunnya yang lebih kecil dari MOE bagian face dan back, sehingga MOE produk akhir (kayu laminasi) akan menurun seiring dengan bertambahnya tebal core yang digunakan. Fluktuasi MOE kayu laminasi dengan core MDF disebabkan bahan baku yang digunakan berasal dari pabrik yang berbeda, sehingga memiliki kerapatan dan berat jenis yang berbeda yang berdampak pada kemampuan mekanisnya. Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa MOE kayu laminasi lebih rendah dari MOE bahan pembentuknya. Nilai MOE kayu laminasi selalu lebih rendah dari MOE tertinggi bahan penyusunnya, namun dapat lebih tinggi dari MOE terendah bahan penyusunnya. Herawati et al. (28) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu, maka kayu yang memiliki kualitas

4 tinggi (MOE tinggi) digunakan pada bagian luar dari kayu laminasi. Pada penelitian ini, bagian luar dari kayu laminasi adalah bagian face dan back, yang diisi dengan bahan yang memiliki MOE tinggi yaitu plywood dan akasia. Sesuai dengan diagram distribusi tegangan, bagian face paling banyak menerima beban tekan sedangkan bagian back paling banyak menerima beban tarik. Oleh sebab itu keduanya harus diisi oleh bahan yang memiliki kekuatan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mardikanto et al. (211) bahwa bila terjadi beban lentur, serat-serat di bagian atas akan mengalami tegangan normal tekan, dan di bawah mengalami tegangan normal tarik, sedangkan di garis netral tegangan normalnya bernilai nol. Pada kayu laminasi dengan core styrofoam, MOE dari kayu laminasi lebih tinggi dari bahan pembentuknya. Hal ini dikarenakan kekuatan core styrofoam yang sangat kecil ditopang oleh bagian face dan bagian back yang memiliki MOE tinggi. Tampak pada kayu laminasi ini efisiensi bahan baku dapat dicapai karena setiap bahan menerima beban sesuai dengan kekuatannya. Pada kayu laminasi dengan core kayu balsa, MOE yang didapat setelah dijadikan kayu laminasi lebih rendah dibandingkan MOE bahan pembentuknya. Walaupun sudah sesuai dengan teori dimana bagian face dan back diisi oleh bahan yang memiliki MOE yang tinggi, apalagi ditambah dengan bagian core diisi oleh bahan yang memiliki nilai MOE yang tinggi pula, nilai MOE yang lebih rendah dibanding bahan pembentuknya ini disebabkan oleh kualitas dari bahan yang digunakan dalam pembuatan kayu laminasi (kandungan cacat dan perbedaan kerapatan tiap lapisan pada lamina), kualitas perekatan dan proses perekatan yang kurang optimal (Satriawan 29). Kayu laminasi dengan core MDF 1 memiliki MOE yang lebih tinggi dibandingkan bahan pembentuknya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kayu laminasi core MDF 2 dan 4 yang memiliki MOE lebih rendah dibandingkan bahan pembentuknya. Hal ini disebabkan kerapatan core MDF 1 dan ketebalannya lebih rendah dibandingkan core MDF lainnya. Dengan karakteristik yang dimiliki core MDF 1 tersebut, menyebabkan penetrasi perekat lebih maksimal, sehingga MOE-nya meningkat setelah dijadikan kayu laminasi. Semakin tipis kayu laminasi maka kekuatan lentur akan semakin besar

41 karena penetrasi perekat yang lebih maksimal sehingga luas rekatannya lebih besar (Sulistyawati et al. 28). Beberapa faktor yang mempengaruhi MOE kayu laminasi lebih rendah dibandingkan bahan pembentuknya yaitu cacat pada bahan pembentuk kayu laminasi dan kualitas perekatan yang kurang sempurna. Cacat-cacat yang umum terjadi adalah mata kayu, serat miring, membusur (bowing) dan melengkung (crooking). Cacat-cacat tersebut mempersulit proses pengempaan dan dapat menimbulkan celah antar lamina saat diklem. Faktor lain yang mempengaruhi nilai MOE adalah besarnya tekanan selama proses pengempaan. Proses pengempaan menggunakan klem memiliki kelemahan yaitu besarnya tekanan yang tidak dapat terukur dengan pasti, akibatnya besarnya tekanan pada klem yang satu dengan klem yang lainnya terkadang tidak seragam. MOE pada kayu laminasi mengalami penurunan seiring dengan penambahan tebal core yang digunakan. Hal ini menandakan bahan yang lebih tipis apabila disatukan menjadi kayu laminasi sudah dapat memberi kekuatan yang cukup dibandingkan dengan bahan yang tebal, namun hal ini juga harus tetap mempertimbangkan kualitas bahan pembentuk kayu laminasi tersebut. Gambar 21 juga menunjukkan nilai MOE rata-rata terboboti. MOE rata-rata terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan MOE kayu laminasinya, yaitu mengalami penurunan seiring bertambahnya ketebalan namun nilainya berbeda jauh. Nilai yang berbeda jauh ini disebabkan perlemahan-perlemahan yang disebabkan oleh adanya cacat, tekanan kempa yang tidak seragam, teknik perekatan yang kurang maksimal, perlemahan pada sambungan perekat ketika diuji, dan integritas antar material yang lemah sehingga nilai MOE lebih rendah dari nilai terbobotinya. MOE core bahan pembentuk kayu laminasi yang lebih rendah dari MOE bagian face dan back akan menurunkan MOE produk akhir (kayu laminasi) seiring dengan bertambahnya core yang digunakan, begitu pula sebaliknya. Perbedaan pada nilai rata-rata MOE bahan terboboti dengan MOE kayu laminasi menunjukkan bahwa produk komposit seperti kayu laminasi tidak dapat mengungguli kekuatan rata-rata bahan pembentuknya, karena dalam proses pemilihan bahan sampai proses produksi, terdapat beberapa faktor yang dapat

42 mereduksi kekuatan dari kayu laminasi. Fakta ini bertentangan dengan pernyataan Santoso et. al (21) yang menyatakan bahwa laminasi dapat meningkatkan kekuatan dan kekakuan dari bahan pembentuknya. MOE (kg/ 2 ) 8 7 6 5 4 3 2 1 8747 3656 87 19922 1631413112 144514486 11284 MOE Kayu Laminasi Rata-rata MOE Bahan (Terboboti) Keterangan : Rata-rata MOE bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(MOE tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi Gambar 21 Histogram MOE rata-rata kayu laminasi. Kayu laminasi dengan core styrofoam 1 memiliki keragaman MOE dan MOE rata-rata lebih tinggi dibandingkan laminasi core styrofoam lainnya. Kayu laminasi yang paling seragam adalah kayu laminasi yang menggunakan core styrofoam 2. Hal ini terlihat dari kurva distribusi MOE yang paling curam dibandingkan kayu laminasi core styrofoam lainnya. Pada kayu laminasi dengan core balsa, terlihat bahwa kayu laminasi yang menggunakan tebal core 2 memiliki keragaman MOE paling tinggi, sedangkan yang memiliki MOE paling seragam adalah kayu laminasi yang menggunakan core 4. Nilai tersebut dipengaruhi oleh nilai standar deviasi MOE kayu laminasi core balsa 4 yang paling kecil diantara kayu laminasi core balsa lainnya, Pada kurva distribusi MOE kayu laminasi dengan core MDF, nilai MOE yang paling seragam terdapat pada kayu laminasi core MDF 1. Hal ini dikarenakan nilai standar deviasinya yang paling kecil dibandingkan kayu laminasi core MDF lainnya. Kayu laminasi menggunakan core MDF 2 memiliki keragaman MOE yang lebih tinggi dibandingkan kayu laminasi core MDF 4 dan MOE rata-rata yang paling besar diantara kayu laminasi core MDF lainnya.

43 sampai C. Kurva distribusi MOE rata-rata kayu laminasi disajikan pada Gambar 22 A A Frekuensi.2.15.1.5 1 2 MOE (kg/ 2 ) Core Styrofoam 1 Core Styrofoam 2 Core Styrofoam 4 B.3 Frekuensi.2.1 2 4 Core Balsa 1 Core Balsa 2 Core Balsa 4 MOE (kg/ 2 ) C Frekuensi.2.15.1.5 1 2 3 Core MDF 1 Core MDF 2 Core MDF 4 MOE (kg/ 2 ) Gambar 22 Kurva distribusi MOE rata-rata kayu laminasi (A) core styrofoam; (B) core balsa; (C) core MDF. 4.3.2 MOR Kayu Laminasi MOR rata-rata kayu laminasi berkisar antara 19-289 kg/ 2. MOR ratarata tertinggi terdapat pada kayu laminasi core balsa 1 (289 kg/ 2 ) dan terendah terdapat pada kayu laminasi core styrofoam 4 (19 kg/ 2 ). Hal ini disebabkan oleh karakteristik dari bahan pembentuknya. Sifat kayu yang lebih kaku dibandingkan styrofoam dan MDF menyebabkan MOR produk akhir (kayu laminasi) lebih tinggi karena beban terdistribusi ke setiap lamina sebanding

44 dengan MOE bahan baku pembentuknya. MOR rata-rata bahan terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan MOR kayu laminasi, namun nilainya berbeda jauh. Perbedaan ini disebabkan perlemahan-perlemahan yang disebabkan oleh adanya cacat, tekanan kempa yang tidak seragam, teknik perekatan yang kurang maksimal, perlemahan pada sambungan perekat ketika diuji, dan integritas antar material yang lemah sehingga nilai MOR lebih rendah dari nilai terbobotinya. MOR kayu laminasi lebih rendah dibandingkan MOR bahan pembentuknya. Adanya perbedaan akibat faktor-faktor seperti cacat kayu dan perekatan yang kurang sempurna menyebabkan nilai MOR kayu laminasi lebih rendah daripada bahan pembentuknya. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini kekuatan produk komposit seperti kayu laminasi tetap lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata bahan pembentuknya. Selain cacat kayu dan sistem perekatan, faktor yang mempengaruhi rendahnya MOR kayu laminasi adalah perbedaan kerapatan kayu. Vick (1999) menyatakan bahwa pada beberapa keadaan, kerapatan yang tinggi akan menimbulkan kesulitan pada proses perekatan. Hal ini disebabkan tebalnya dinding sel dan kecilnya volume rongga yang mengakibatkan perekat tidak dapat melakukan penetrasi dengan mudah, sehingga interlocking hanya terjadi pada kedalaman yang terbatas. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab kinerja perekat tidak dapat optimal karena pada bagian face dan back diisi oleh bahan yang berkerapatan tinggi seperti plywood dan akasia. Kayu akasia selain memiliki kerapatan yang tinggi juga memiliki kadar ekstraktif yang menghalangi penetrasi dan pematangan (curing) perekat. Penelitian Alamsyah (25) dalam Herawati (28) dan Malik et al. (25) menyatakan bahwa kandungan zat ekstraktif pada kayu akasia tergolong tinggi. Kinerja perekat kurang optimal dapat juga menyebabkan terpisahnya laminalamina penyusun kayu laminasi saat pengujian lentur statis. Masing-masing lamina bekerja sendiri-sendiri dalam menahan beban yang diberikan karena lamina hanya terikat pada tebal tertentu yaitu pada daerah yang terkena penetrasi perekat. Bila melihat dari bentuk kerusakannya, rata-rata kayu laminasi dengan core styrofoam dan kayu balsa paling banyak mengalami kerusakan pada bagian

45 back (kayu akasia) tanpa mengalami kerusakan slip antar lamina. Bagian plywood mengalami tekan namun ditopang oleh bagian core sehingga tidak sampai patah. Styrofoam mengalami perubahan bentuk dan sedikit meleleh akibat panas yang dihasilkan oleh beban, sedangkan kayu balsa mengalami pengurangan tebal pada bagian yang paling banyak mengalami beban tekan. Jenis kerusakan yang dialami kayu laminasi menurut ASTM D 143 (2) adalah cross-grain tension, yaitu kerusakan yang terjadi akibat adanya gaya tarik yang arahnya miring serat. Kerusakan ini biasa terjadi pada contoh uji yang bercacat miring serat baik yang berupa serat diagonal, serat spiral atau yang lainnya dan terjadinya di permukaan bawah balok contoh uji (Mardikanto et al. 211). Selain cross-grain tension, terdapat pula simple tension. Simple tension adalah kerusakan berupa sobekan di sisi bawah balok akibat beban tarik sejajar serat, yang umum terjadi pada balok berserat lurus yang telah dikeringkan (Mardikanto et al. 211). Untuk kayu laminasi dengan core MDF, selain crossgrain tension dan simple tension, terdapat pula kerusakan pada garis rekat (slip). Sulistyawati et al. (28) menyatakan bahwa kegagalan (failure) kayu laminasi horizontal sering diawali dengan terjadinya slip pada sambungan antara lapisan diikuti kerusakan pada daerah tarik yaitu pada serat bawah penampang. Gambar kerusakan pada kayu laminasi dapat dilihat pada Lampiran 22, sedangkan MOR rata-rata kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 23. MOR (kg/ 2 ) 7 6 5 4 3 2 1 224 94 19 289 179 131 193 25 86 Kayu Laminasi MOR Rata-rata MOR Bahan (Terboboti) Keterangan : Rata-rata MOR bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(MOR tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi Gambar 23 Histogram MOR rata-rata kayu laminasi.

46 Kayu laminasi yang menggunakan core styrofoam 1 memiliki keragaman dan MOR yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu laminasi core styrofoam lainnya. Nilai MOR paling seragam dan terkecil terdapat pada kayu laminasi dengan core styrofoam 4. Semakin tebal core pada kayu laminasi styrofoam, nilai MOR lebih kecil namun lebih seragam, yang didukung dengan semakin kecilnya nilai standar deviasi. Pada kayu laminasi dengan core balsa, yang memiliki nilai keragaman MOR paling tinggi adalah kayu laminasi yang menggunakan core dengan tebal 2. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk kurvanya yang paling landai. Kayu laminasi dengan core balsa 4 menunjukkan nilai MOR yang paling seragam. Selain itu kayu laminasi dengan core balsa 4 juga memiliki rata-rata MOR yang paling kecil dibandingkan laminasi core balsa lainnya. Pada kayu laminasi dengan core MDF, laminasi yang menggunakan core berketebalan 1 memiliki keragaman MOR yang paling tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva distribusinya yang paling landai. Kayu laminasi yang menggunakan core MDF 4 memiliki MOR yang lebih seragam dibandingkan dengan laminasi core MDF 2. Selain itu, laminasi core MDF 4 memiliki rata-rata nilai MOR yang paling kecil diantara laminasi core MDF lainnya. Kurva distribusi MOR rata-rata kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 24 A sampai C. A Frekuensi.6.5.4.3.2.1 2 4 6 MOR (kg/ 2 ) Core Styrofoam 1 Core Styrofoam 2 Core Styrofoam 4

47 B.3 Frekuensi.2.1 2 4 6 Core Balsa 1 Core Balsa 2 Core Balsa 4 MOR (kg/ 2 ) C.3 Frekuensi.2.1 2 4 6 Core MDF 1 Core MDF 2 Core MDF 4 MOR (kg/ 2 ) Gambar 24 Kurva distribusi MOR rata-rata kayu laminasi (A) core styrofoam; (B) core balsa; (C) core MDF. 4.4 Analisis Teoritis Sifat Mekanis Kayu Laminasi Ditinjau dari Bahan Penyusunnya Sifat mekanis yang dibahas dalam penelitian ini adalah MOE dan MOR. Nilai MOE dan MOR kayu laminasi yang didapat berdasarkan hasil uji di laboratorium adalah nilai empiris. Nilai teoritis diperoleh dari MOE dan MOR masing-masing bahan penyusunnya yaitu face (plywood), core (styrofoam, balsa, atau MDF), dan back (akasia). Nilai MOE dan MOR teoritis digunakan sebagai kontrol untuk menduga peranan core dalam menyangga kekuatan produk kayu laminasi. Dalam proses produksi dinding sekat, core memiliki fungsi utama sebagai peredam dan kurang berfungsi kekuatan, namun peranannya dalam kekuatan perlu dipertimbangkan pula. 4.4.1 MOE Empiris dan Teoritis Perhitungan teoritis sifat mekanis kayu laminasi berdasarkan bahan baku pembentuknya dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) asumsi core hanya sebagai peredam dan tidak berperan pada kekuatan produk akhir dan (2) asumsi core

48 berperan penuh dalam menopang kekuatan produk akhir. Secara umum MOE dan MOR teoritis dihitung dengan rumus : MOE = Ixc(tcs) Ixc MOE (tcs) MOR = b ref c dimana : Ixc(tcs) Ixc min MORi bi tcs yi MOE = modulus elastisitas (kg/ 2 ) MOE (tcs) = modulus elastisitas pada transformed cross section (kg/ 2 ) I xc = momen inersia pada kondisi sebenarnya (tanpa pengambilan referensi salah satu bagian lamina) ( 4 ) I xc(tcs) = momen inersia pada transformed cross section ( 4 ) MOR = modulus of rupture (kg/ 2 ) MOR i = modulus of rupture tiap lapisan lamina(kg/ 2 ) Pada asumsi (1), momen inersia dari core dianggap bernilai nol sehingga face dan back tidak bekerja sama. Oleh karena itu momen inersia pada asumsi (1) dihitung dengan rumus : I xc = I xc(tcs) face + I xc(tcs) back = b face h 3 face + b back h 3 back = (b face h 3 face + b back h 3 back ) Dalam perhitungan MOE pada asumsi (1), setiap I xc(tcs) pada ketiga lamina dihitung (I xc(tcs) ) i dimana i = face, core, dan back. Momen inersia dari core dianggap nol, sehingga hanya ada dua nilai (I xc(tcs) ) i. Akibatnya nilai I xc(tcs) akan lebih kecil dibandingkan nilai I xc(tcs) yang core-nya diperhitungkan. Dalam perhitungan MOR, karena bagian core dianggap tidak berperan, maka MOR-nya pun menjadi nol. TCS adalah transformed cross section, yaitu suatu kondisi dimana diambil 1 bagian dari lamina (biasanya lapisan paling atas) sebagai referensi baik itu nilai b (lebar bahan), momen inersia serta nilai MOEnya. Transformed Cross Section (TCS) telah dikenal luas sebagai sebuah metode untuk menghitung nilai Modulus Elastisitas (E) atau MOE dan Keteguhan Lentur Statis

49 (S R ) atau MOR sistem lapisan (termasuk glulam) berdasarkan sifat-sifat lamina penyusunnya (Bahtiar et al. 211). Sedangkan pada asumsi (2), dimana core membantu face dan back sehingga bekerja sama menahan beban, maka momen inersia dihitung sebagai jumlah inersia seluruh komponen ditambah dengan akibat perpindahannya. Dalam hal ini berlaku teorema garis sejajar, sehingga I dihitung dengan rumus : 2 I xc(tcs) = Σ I xc + Σ A i y i Perhitungan mengenai MOE teoritis dapat dilihat dalam Lampiran 17. Dari data-data tersebut diperoleh nilai rata-rata MOE teoritis dan MOE empiris, sebagaimana tersaji dalam Tabel 5. Tabel 5 MOE empiris dan teoritis kayu laminasi Spesimen MOE Empiris (kg/ 2 ) MOE Teoritis (kg/ 2 ) MOE Teoritis (kg/ 2 ) (core dianggap tidak berperan) (core dianggap berperan) Core Styrofoam 1 8747 4447 28467 Core Styrofoam 2 3656 1956 15744 Core Styrofoam 4 87 599 8913 Core Balsa 1 19922 4391 53185 Core Balsa 2 16314 1731 42271 Core Balsa 4 13112 557 3561 Core MDF 1 1445 5754 42119 Core MDF 2 14486 1851 32575 Core MDF 4 11284 591 24587 Keterangan : MOE Empiris diperoleh dari hasil penelitian sedangkan MOE Teoritis dihasilkan dari hasil perhitungan menggunakan rumus Tabel 5 memperlihatkan nilai MOE empiris yang berada dalam range nilai MOE teoritis (core dianggap tidak berperan) dan nilai MOE teoritis (core dianggap berperan). Nilai MOE teoritis (core dianggap berperan) terbesar dimiliki oleh kayu laminasi core balsa 1 (53185 kg/ 2 ) dan terkecil dimiliki oleh kayu laminasi core styrofoam 4 (8913 kg/ 2 ). Nilai MOE empiris lebih kecil dibandingkan dengan nilai MOE teoritis (core dianggap berperan). Hal ini dikarenakan nilai MOE teoritis tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai MOE seperti cacat kayu, kualitas bahan, kualitas pengempaan dan tekanan kempa. Nilai MOE teoritis (core dianggap berperan) dapat dijadikan acuan bahwa sebenarnya kayu laminasi dapat memiliki nilai MOE yang tinggi apabila dalam proses pembuatannya memenuhi kriteria dalam pembuatan kayu laminasi yang

5 baik (seperti pemilihan bahan yang mengandung sedikit cacat, penyeragaman tekanan kempa pada kayu laminasi serta memperhatikan proses perekatan). Selain MOE teoritis (core dianggap berperan), ada juga nilai MOE teoritis (core dianggap tidak berperan). Nilai ini berawal dari kecenderungan nilai MOE core styrofoam yang kecil namun ketika dijadikan kayu laminasi nilai MOE-nya meningkat, sehingga diasumsikan bahwa core styrofoam tidak memiliki peranan yang tinggi dalam menahan beban yang diberikan kepadanya. Nilai MOE teoritis (core dianggap tidak berperan) terbesar terdapat pada kayu laminasi core MDF 1 (5754 kg/ 2 ) dan terkecil terdapat pada kayu laminasi core balsa 4 (557 kg/ 2 ). Dengan melihat perbandingan besarnya nilai MOE empiris dan MOE teoritis (baik core dianggap berperan maupun yang dianggap tidak berperan), dapat dikatakan bahwa core dari masing-masing kayu laminasi mempunyai peranan dalam menahan beban yang dikenakan padanya. Pada penelitian ini, core tidak 1 % menahan beban sehingga nilai MOE empirisnya rendah. Nilai MOE empiris yang rendah dapat disebabkan oleh cacat pada bahan yang digunakan serta perekatan yang kurang sempurna. Perekatan kurang sempurna juga dapat menyebabkan kayu laminasi mengalami gaya geser, sehingga menurunkan nilai MOE empirisnya. 4.4.2 MOR Empiris dan Teoritis Perhitungan mengenai MOR teoritis dapat dilihat dalam Lampiran 18. Dari data-data tersebut diperoleh nilai rata-rata MOR teoritis yang dibandingkan dengan nilai rata-rata MOR empiris, sebagaimana tersaji dalam Tabel 6. Tabel 6 MOR empiris dan teoritis kayu laminasi Spesimen MOR Empiris (kg/ 2 ) MOR Teoritis (kg/ 2 ) MOR Teoritis (kg/ 2 ) (core dianggap tidak berperan) (core dianggap berperan) Core Styrofoam 1 224 3 191 Core Styrofoam 2 94 11 87 Core Styrofoam 4 19 3 44 Core Balsa 1 289 36 378 Core Balsa 2 179 16 242 Core Balsa 4 131 4 198 Core MDF 1 193 38 143 Core MDF 2 25 9 167 Core MDF 4 86 4 13 Keterangan : MOR Empiris diperoleh dari hasil penelitian sedangkan MOR Teoritis dihasilkan dari hasil perhitungan menggunakan rumus

51 Nilai MOR empiris yang berada dalam range nilai MOR teoritis (core dianggap tidak berperan) dan nilai MOR teoritis (core dianggap berperan) hanya terdapat pada kelompok kayu laminasi core balsa, laminasi core styrofoam 4, dan kayu laminasi core MDF 4. Sedangkan nilai MOR empiris yang tidak masuk dalam range tersebut terdapat pada kayu laminasi core styrofoam 1, kayu laminasi core styrofoam 2, kayu laminasi core MDF 1, dan kayu laminasi core MDF 2, dimana keempat kayu laminasi tersebut menggunakan core dengan tebal 1 dan 2. Hal ini dapat disebabkan oleh penetrasi perekat yang baik pada core dengan tebal 1 dan 2 terutama pada core styrofoam dan MDF, sehingga bahan pembentuk laminasi dapat bekerja secara maksimal dan meningkatkan kekuatan lenturnya. Rendahnya nilai MOE dan MOR empiris pada kayu laminasi disebabkan perhitungan kekuatan lentur hanya mengandalkan pada lendutan akibat momen lentur saja, sedangkan menurut Sulistyawati (26), gaya geser yang dipikul oleh kayu laminasi mempunyai pengaruh terhadap lendutan total sehingga memungkinkan untuk diperhitungkan. Lendutan total sebenarnya yang terjadi adalah jumlah lendutan akibat momen lentur dan gaya geser. Dengan memperhitungkan lendutan akibat gaya geser, akan memperbesar nilai kekakuan lentur, sehingga kapasitas dan kemampuan balok dalam menahan lendutan akan makin besar. 4.5 Sound Absorption Ketika gelombang bunyi yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi mengenai kayu, sebagian energi akustik tersebut akan dipantulkan dan sebagian lagi akan memasuki massa kayu. Kayu akan bergetar sehingga bunyi asli akan meningkat atau diserap sebagian dan seluruhnya (Tsoumis 1991). Besarnya penyerapan bunyi pada material penyerap dinyatakan dengan koefisien serapan (α). Koefisien serapan dinyatakan dalam bilangan antara dan 1. Nilai koefisien serapan menandakan tidak ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1 menandakan serapan yang sempurna (Mediastika 29). Pada uji absorbsi suara bahan pembentuk kayu laminasi, terlihat bahwa dalam rentang frekuensi rendah (2 Hz-5 Hz) terjadi fluktuasi nilai α. Pada

52 rentang frekuensi tersebut, terjadi hamburan yang disebabkan oleh permukaan yang tidak rata. Bahan yang memiliki permukaan yang tidak rata menyerap suara lebih baik dibandingkan bahan yang permukaannya di-finishing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mediastika (29) yang menyatakan bahwa ketika gelombang bunyi membentur bidang pembatas yang padat dan keras namun permukaannya tidak halus, maka akan terjadi difusi. Puncak nilai α dalam rentang frekuensi rendah terjadi pada frekuensi 315 Hz-4 Hz. Nilai α tertinggi pada rentang frekuensi 315 Hz-4 Hz terdapat pada core styrofoam 1 (,83) dan terendah pada core balsa 2 (,372). Hal ini dapat disebabkan core styrofoam memiliki rongga yang lebih banyak dibandingkan dengan pori pada kayu balsa, sehingga kemampuan core styrofoam dalam menyerap suara menjadi semakin baik. Pada frekuensi rendah, kelompok styrofoam memiliki nilai α tertinggi dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya, dimana nilai α berkisar antara,68-,83. Hal ini dikarenakan pori pada styrofoam lebih besar dibanding bahan lainnya, sehingga mampu menyerap gelombang bunyi pada frekuensi rendah. Mediastika (29) menyatakan bahwa benda berpori besar mampu menangkap gelombang bunyi yang besar atau panjang (dalam hal ini frekuensi rendah). Pada frekuensi sedang (5 Hz-2 Hz), nilai α meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi, walaupun ada beberapa bahan yang mengalami fluktuasi dalam rentang frekuensi ini. Bahan-bahan yang mengalami fluktuasi tersebut terlihat nyata pada core styrofoam, core balsa, dan core MDF dengan tebal 4. Core dengan tebal 1 dan 2, pada frekuensi 5 Hz-15 Hz memiliki nilai α yang cukup rendah (mendekati,2 ke bawah), begitu pula pada pada plywood dan akasia. Hal ini diduga pada bahan dengan tebal yang tipis, gelombang yang datang menjadi ditransmisikan sehingga penyerapannya sangat kecil. Kemampuan penyerapan suara dapat diperbaiki dengan cara menambah ketebalan dari bahan atau menempatkan bahan pada jarak tertentu dari konstruksi ruang sehingga tercipta rongga udara (Mediastika, 29 dan Han, 23). Khuriati (26) menambahkan bahwa selain memberikan rongga udara antara peredam dan dinding, perbaikan penyerapan pada frekuensi rendah dapat dilakukan dengan

53 melapisi peredam suara dengan logam yang sangat tipis contohnya aluminium foil. Mengacu pada pernyataan di atas, pada frekuensi 5 Hz-15 Hz, core yang memiliki ketebalan 4 baik pada styrofoam, balsa, dan MDF memiliki kecenderungan menyerap yang lebih baik. Pada frekuensi 5 Hz-2 Hz, semakin tebal bahan yang digunakan, nilai α yang dihasilkan juga semakin bagus, yang menandakan semakin baik pula penyerapannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doelle (1972) dalam Khuriati (26) dimana efisiensi akustik bahan peredam berpori membaik pada jangkauan frekuensi rendah dengan bertambahnya ketebalan. Han (23) menyatakan bahwa dengan menambah ketebalan, akan menambah pula kemampuannya dalam menyerap suara karena flow resistance yang terjadi juga semakin besar. Pada frekuensi 5 Hz-2 Hz, kurva koefisien absorbsi bergeser ke kiri dengan bertambahnya ketebalan bahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Doelle (1972) dalam Khuriati (26) yang melakukan penelitian mengenai penyerapan bunyi pada selimut fibreglass berkerapatan 52 kg/m 3. Hasil penelitian Doelle (1972) memiliki karakteristik pergeseran kurva penyerapan bunyi ke arah frekuensi yang lebih rendah seiring bertambahnya ketebalan. Pada frekuensi 2 Hz-315 Hz, banyak dijumpai nilai α tertinggi pada setiap bahan pembentuk kayu laminasi. Hal ini disebabkan karena pada frekuensi tinggi, gelombang yang dihasilkan adalah gelombang bunyi yang pendek dan kecil, sehingga mampu terserap sempurna oleh bahan-bahan yang memiliki pori kecil (Mediastika 29). Di atas frekuensi 315 Hz, terjadi penurunan nilai α secara signifikan pada core balsa dan MDF, sedangkan pada bahan lain ada yang mengalami penurunan tetapi tidak signifikan. Hal ini diduga kemampuan efektif pada core balsa dan MDF hanya sampai batas frekuensi 315 Hz. Walaupun mengalami penurunan, namun nilai α yang dihasilkan masih di atas,2 sehingga menurut Mediastika (29), bahan pembentuk kayu laminasi tersebut masih dapat disebut sebagai bahan absorber. Mediastika (29) menyatakan bahwa serat kayu pada frekuensi 25 Hz memiliki nilai α,1, pada frekuensi 5 Hz memiliki nilai α,4, dan pada frekuensi 1 Hz memiliki nilai α,6. Bila melihat nilai α yang dihasilkan oleh core MDF pada penelitian ini, nilai tersebut hanya sesuai untuk frekuensi 25 Hz,

54 sedangkan untuk frekuensi lainnya tidak sesuai. Nilai α core MDF pada frekuensi 25 Hz berkisar antara,153-,184, pada frekuensi 5 Hz berkisar antara,178-,212 dan pada frekuensi 1 Hz berkisar antara,191-, 526. Perbedaan nilai α pada penelitian ini dengan pernyataan Mediastika (29) dapat disebabkan oleh perbedaan bahan yang digunakan, dimana Mediastika tidak mencantumkan jenis serat kayu yang digunakan, kerapatan dalam pembuatan serat kayu, serta ketebalan serat kayunya. Selain serat kayu, Mediastika (29) juga menyatakan bahwa nilai papan kayu pada frekuensi 25 Hz memiliki nilai α,15, pada frekuensi 5 Hz memiliki nilai α,1, dan pada frekuensi 1 Hz memiliki nilai α,1. Kayu balsa dan akasia pada frekuensi tersebut juga memiliki nilai α yang mendekati hasil penelitian Mediastika. Pada frekuensi 25 Hz kayu balsa memiliki nilai α yang berkisar antara,16-,15 dan kayu akasia memiliki nilai α,137. Pada frekuensi 5 Hz, kayu balsa memiliki nilai α yang berkisar antara,134-,186 dan kayu akasia memiliki nilai α,17. Pada frekuensi 1 Hz, kayu balsa memiliki nilai α yang berkisar antara,145-,515 dan kayu akasia memiliki nilai α,161. Perbedaan nilai α dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Mediastika terletak pada bahan yang digunakan, dimana Mediastika tidak mencantumkan jenis kayu yang digunakan, kerapatan dan ketebalannya. Pada bagian face dan back, nilai α akasia secara keseluruhan lebih tinggi dibandingkan nilai α pada plywood. Nilai kerapatan dari plywood dan akasia tidak berbeda jauh, sehingga kemampuan penyerapan suaranya dipengaruhi oleh besarnya pori dan tebal bahan. Besarnya pori pada kedua bahan ini tidak diketahui, sehingga parameter yang digunakan adalah tebal bahan. Dengan asumsi kedua bahan memiliki besar pori yang sama namun tebal berbeda, dimana tebal kayu akasia lebih tinggi (1,6 ) dibandingkan plywood (,4 ) maka hambatan aliran (flow resistance) yang dimiliki kayu akasia lebih tinggi, sehingga nilai koefisien absorbsinya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Han (23) dimana ketebalan yang tinggi akan meningkatkan flow resistance sehingga meningkatkan pula kemampuannya dalam menyerap suara. Core styrofoam memiliki kerapatan yang lebih rendah serta rongga yang lebih banyak dibandingkan pada core balsa dan MDF, sehingga secara