ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang berarti mempercayai keesaan Tuhan yaitu Allah SWT. Disebut Ilmu Tauhid karena tujuannya yang pokok adalah mempercayai keesaan Tuhan, baik dari segi Dzat, sifat-sifat maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. 1
Adapun menurut istilah (terminologis), ilmu tauhid ialah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang wajib, mustahil serta jaiz bagi-nya, juga membahas tentang utusan-utusan utusan-nya dan sifat-sifat yang wajib, mustahil serta jaiz bagi mereka. 2
Disebut dengan Ilmu Ushuluddin atau Ilmu 'Aqaid karena pokok pembahasannya adalah tentang masalah-masalah kepercayaan atau keyakinan yang menjadi dasar agama Islam. 3
Disebut dengan Ilmu Kalam atau Teologi Islam karena permasalahan terpenting yang muncul pada masa pertama dan pernah menimbulkan pertentangan keras di kalangan umat Islam pada abad ke-9 dan ke -10 M. adalah tentang kalam Allah (al- Qur'an) apakah ia azali atau tidak, apakah ia qadim atau makhluk. Pertentangan keras ini bahkan sampai menimbulkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu. 4
Teologi yang diajarkan di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid yang antara lain memiliki karakteristik sbb : 1. Pembahasannya kurang mendalam dan kurang filosofis. 2. Pada umumnya yang dikaji adalah ilmu tauhid menurut aliran Asy'ariyah sehingga timbul kesan di kalangan sebagian umat Islam Indonesia bahwa inilah satu-satunya satunya teologi yang ada dalam Islam. 3. Pembahasannya bersifat sepihak dan tidak mengemukakan pendapat atau paham dari aliran-aliran lain yang ada dalam teologi Islam. 5
Ilmu Kalam (Teologi Islam) tidak lain adalah perumusan sistematis pergumulan pemikiran manusia tentang persoalan- persoalan ketuhanan yang terjadi pada penggalan sejarah tertentu. Meskipun sumber primer teologi Islam adalah wahyu (revelation revelation), namun formulasi gagasan, pemikiran dan rancang bangun epistimologi keilmuannya tiada lain merupakan hasil kreasi manusia semata. 6
Namun ironis sekali, relativitas hasil pemikiran tersebut dalam kurun waktu tertentu telah dipakai sebagai hasil final yang diterima secara taken for granted dan tidak dikaji lebih lanjut secara kritis, analitis dan inovatif. Terlebih lagi kondisi objektif tersebut di atas telah berimplikasi pada timbulnya institusionalisasi pemikiran yang termanifestasikan ke dalam wadah formal teologi, sehingga menimbulkan budaya truth claim yang sudah barang tentu berimplikasi pada pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif dan intoleran. Realitas inilah yang oleh para pengamat sosial keagamaan dinilai bahwa pemikiran teologi seringkali membawa ke arah ketersesatan umat. 7
Perlu ditegaskan di sini, bahwa teologi bukanlah agama. Namun teologi hanyalah merupakan hasil formulasi akal pikiran manusia sesuai dengan situasi dan kondisi sosial yang ada. Oleh karena itu, rumusan teologi sangat terkait dengan ruang dan waktu, tingkat pengatahuan manusia, kadar intelektualitas seseorang, kondisi sosial budaya, terlebih lagi politik yang dihadapi pada saat teologi itu muncul. Meskipun sumbernya kitab suci, namun teologi adalah karya manusia yang memiliki realitas yang falliable. 8
Karena itu, rumusan teologi pada masa tertentu dapat berubah, disebabkan tantangan zaman yang dihadapi pun berubah. Dalam konteks inilah harus ada keberanian ilmiah untuk melakukan dekonstruksi, rekonstruksi, maupun transformasi, agar teologi sebagai salah satu bagian inheren dalam kajian keagamaan tetap responsif dengan perkembangan zaman yang dihadapi manusia. 9
Di abad pertengahan, teologi pernah di sebut sebagai the queen of the science (ilmu pengetahuan paling tinggi dan otoritatif). Ketika itu semua hasil penelitian rasional harus sesuai dengan teologi. Maka pandangan dan wacana (discource discource) keagamaan mendominasi pemikiran manusia, dan oleh karena itu jika terjadi perselisihan visi dan orientasi, maka visi keagamaan harus dimenangkan. 10
Oleh karena itu, struktur fundamental rancang bangun pemikiran teologi, sangat terkait erat dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Kecenderungan yang sangat kuat untuk mengutamakan loyalitas pada kelompok. 2. Adanya keterlibatan pribadi (involvement involvement) dan penghayatan yang sangat mendalam terhadap ajaran teologi yang diyakini kebenarannya. 3. Artikulasi perasaan dan pemikiran diungkapkan dengan bahasa pelaku (aktor) bukan dengan bahasa seorang pengamat (spectator). 11
Kristalisasi ketiga karakteristik di atas dalam diri seseorang atau dalam kelompok tertentu telah menimbulkan terciptanya enclave enclave- enclave komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif dan emosional. Sifat dasar inilah yang berakibat berkembangnya budaya pada penganut teologi tertentu untuk selalu mendahulukan truth claim yang paling dominan dalam proses pembentukan sikap dogmatisme dan fanatisme. 12
Truth claim yang mentah dan emosional telah merasuk ke dalam wilayah sosial, politik yang praktis-empiris, sehingga harapan-harapan besar tentang peranan agama dalam mengatasi problema manusia modern semakin utopis. Orang lebih melihat dan mementingkan agama (teologi) sebagai kelembagaan eksoteris, daripada menggali nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya untuk dijadikan sebagai big power guna menjawab tantangan riil kemanusiaan dalam kehidupan kontemporer. 13
Berbagai kenyataan di atas menuntut segera dilakukan upaya transformasi teologi yang melibatkan kesadaran sosiologis, antropologis, psikologis, yang dibangun di atas sikap universalitas emansipatorik dan egalitarian. Berdasar pemikiran ini, maka dapat ditawarkan beberapa pondasi untuk menciptakan rancang bangun teologi yang inklusif. 14
Pertama, melakukan dekonstruksi pemikiran teologis yang bersifat partikularis-eksklusif dan dogmatis menuju teologi yang inklusif dan bertautan dengan missi sosial yang emansipatoris. 15
Kedua, mengeliminir budaya truth claim dan menumbuhkan sikap toleransi terhadap berbagai perbedaan teologis, dengan memperluas wawasan intelektual yang bernuansa dialogis, sehingga mampu mengakomodir keberanekaragaman teologi yang bersifat institusional dan pengalaman spiritual yang bersifat individual. 16
Ketiga, rancang bangun teologi tersebut harus bersifat fleksibel dan adaptif, yakni mampu merespon konteks sosial yang selalu berubah. 17
Keempat, rumusan-rumusan teologi harus dapat memberikan arah dan siraman spiritual yang berorientasi pada fraksis (otofraksis dan bukan ortodoksi) yang lebih fungsional, sehingga mampu menegakkan basis-basis nilai keagamaan yang lebih esensial dalam setiap aspek kehidupan manusia. 18
19