BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan terbentuk sebagai hasil sintesa dari pengalaman-pengalaman masa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

Nilai Moral Dalam Serat Dongeng Asmadaya (Sebuah Tinjauan Filologi Sastra)

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS NILAI MORAL DAN SOSIOLOGI NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWI*

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sugeng enjang, mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi KI Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

TRANSLITERASI. Pengertian Transliterasi. Manfaat Transliterasi. Metode Transliterasi. Masalah-Masalah Transliterasi

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

SILABUS BAHASA JAWA KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR JAWA TENGAH

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

SÊRAT KRIDHASMARA (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

2014 SAJARAH CIJULANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

BAB VII KESIMPULAN. masyarakat suku Makassar telah difungsikan oleh pencerita atau pasinrilik sebagai

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

STRUKTUR TEKS SERAT PANITIBAYA

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa benda (tangible culture) atau budaya-budaya non-benda (intangible

BAB III KAJIAN ISI. dari pemikiran nenek moyang terdahulu. Dasar pemikiran serta teori-teori dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Nilai Pendidikan Moral dalam Serat Pamorring Kawula Gusti dan Relevansinya dalam Kehidupan Sekarang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

menyusun teks lisan sesuai unggahungguh. berbagai keperluan. C. Tujuan Pembelajaran

KAJIAN FILOLOGI SÊRAT DWIKARÅNÅ

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil inventarisasi naskah didapatkan bahwa naskah

Nilai Etika dan Estetika dalam Serat Pranata Lampah-Lampah Kagungan Damel Mantu B.R.A Gusti Sekar Kedhaton

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya yang hidup di negeri ini. Masing-masing kelompok masyarakat

1. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk berpamitan. 2. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk menyapa. 3. Menerapkan unggah-ungguh jawa untuk berkenalan.

MANFAAT STUDI FILOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

ETIKA DAN ESTETIKA DALAM NOVEL RANGSANG TUBAN KARYA PADMASUSASTRA

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) A. Kompetensi Inti 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) A. Kompetensi Inti 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan terbentuk sebagai hasil sintesis dari pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. dihadirkan mempunyai tujuaan dan manfaat di samping menyampaikan buah

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SD/MI

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sugeng siang, mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya.

UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PARAGRAF DESKRIPSI BERBAHASA JAWA DENGAN MEDIA GAMBAR

BAB II TINJAUAN FILOLOGIS. filologi yaitu, dimulai dari penjabaran deskripsi BMK, membuat kritik teks,

Serat Pawukon di Surakarta (Sebuah Kajian Filologis dan Kodikologis)

BAB I PENDAHULUAN. Karya-karya Raden Ngabehi Ranggawarsita banyak dipengaruhi oleh kepustakaan. 1988: 40). Kebenaran bahwa SC dikarang oleh Raden

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris.

BAB I PENDAHULUAN. kaidah yang berlaku pada masing-masing bahasa. Masing-masing kata dalam kalimat

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

STANDAR ISI KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN MUATAN LOKAL BAHASA JAWA SD/SDLB/MI PROVINSI JAWA TENGAH

QUR AN SUCI JARWA JAWI. DALAH TAFSIRIPUN Maulana Muhammad Ali.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibaca dalam peningglan-peninggalan yang berupa tulisan.

SERAT SASTRA GENDHING DALAM KAJIAN STRUKTURALISME SEMIOTIK

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

PAMBUDIDAYA NGIPUK-IPUK SAHA MEKARAKEN UNGGAH-UNGGUHING BASA JAWI

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspek-aspek laku..., Lulus Listuhayu, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesehariannya manusia saling membutuhkan interaksi dengan sesama untuk

Wahyu Aris Aprillianto Universitas Muhammadiyah Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian sastra sampai saat ini dipandang masih terbatas pada teks sastra.

Mugi kawilujengan, kasarasan saha karaharjan tansah kajiwa kasalira kula lan panjenengan sedaya.

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI. Oleh MUHAMMAD HASAN NIM

Analisis Kesalahan Kalimat Teks Pidato Berbahasa Jawa Siswa Kelas IX di SMP Negeri 1 Kajoran Kabupaten Magelang Tahun Pembelajaran 2014/2015

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. selalu terlibat dalam komunikasi, baik bertindak sebagai komunikator

NASKAH DRAMA SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN DEMAK

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memahami kebudayaan adalah hal yang sangat berguna dalam kehidupan baik kehidupan secara pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Kebudayaan terbentuk sebagai hasil sintesa dari pengalaman-pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, untuk memahami kebudayaan suatu bangsa dengan baik, informasi-informasi dari masa lalu mutlak diperlukan. Informasi-informasi tersebut dapat diperoleh melalui beberapa hal yang masih tersisa dari masa lalu seperti cerita-cerita lisan, benda-benda (artefak) dan tulisan-tulisan. Salah satu informasi penting berupa tulisan adalah naskah-naskah lama. Sebagai salah satu peninggalan tertulis, naskah lama menyimpan informasi dari masa lampau yang lebih banyak jika dibandingkan dengan peninggalan berwujud benda. Haryati Soebadio (1975:1) menyatakan bahwa, naskah-naskah lama merupakan dokumen bangsa yang menarik bagi peneliti kebudayaan lama, karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan informasi yang lebih luas dibanding puing bangunan megah seperti candi, istana raja dan pemandian suci yang tidak dapat berbicara dengan sendirinya tetapi harus ditafsirkan. Naskah lama merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah masa lampau yang sangat penting. Apabila ditinjau dari segi lahir atau wujud yang dapat dilihat atau diraba, naskah lama adalah benda budaya yang berupa hasil 1

2 karangan dalam bentuk tulisan tangan. Namun bukanlah tulisan tangan yang tanpa makna. Di dalamnya terkandung ide-ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi masyarakat yang bersangkutan, ajaran-ajaran moral, filsafat, keagamaan dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nalai luhur. Mengingat kandungan naskah lama yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat, maka penelitian terhadap naskah lama sangat diperlukan. Pada umumnya naskah lama khususnya naskah Jawa sulit dipahami oleh masyarakat karena tulisan dan bahasa naskah jarang digunakan dalam kehidupan masa sekarang. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan naskah yang umumnya terbuat dari bahan-bahan yang mudah mengalami kerusakan. Kondisi tersebut merupakan alasan perlunya naskah-naskah lama segera mendapatkan penanganan secara serius untuk mencegah punahnya keberadaan naskah lama beserta isi yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan naskah Jawa disusun dalam bentuk karya sastra. Sebuah karya sastra tidak lepas dari latar belakang kebudayaannya. Pada hakekatnya karya sastra tidak hadir atau tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya. Sebuah karya sastra tidak terlepas dari pengaruh yang menuliskannya. Pengaruh tidak terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya ataupun sebelumnya. Karya sastra juga tidak lepas dari kondisi sosial budayanya. Semua itu tercermin dalam karyanya, tercermin dalam tanda-tanda kebahasaan dan yang lainnya. Sebuah karya sastra tidak lahir dari kekosongan karya sastra, tidak lepas dari hubungan dengan karya-karya sastra sebelumnya.

3 Semua hubungan itu sangat menentukan makna dan pemahaman sebuah karya sastra (Teeuw, 1983 : 61). Sastra merupakan ciptaan manusia yang berbentuk bahasa baik secara lisan maupun tertulis yang menimbulkan rasa indah (estetis). Sebuah karya sastra memuat berbagai sifat, diantaranya bersifat imajinatif yaitu karya sastra mampu menciptakan citra sastra dalam angan-angan atau pikiran-pikiran tentang sesuatu yang tidak bisa diserap oleh panca indera yang belum pernah dialami dalam kenyataan. Bahasa dalam karya sastra juga bersifat konotatif artinya bahasa dalam karya sastra banyak tafsir, tidak banyak menerangkan dan menyatakan apa yang dikatakan tetapi juga tidak bermaksud mempengaruhi sifat pembaca, membujuk dan mengubah pendirian pembaca. Naskah lama tidak lepas dari tradisi salin-menyalin naskah. Tradisi ini terjadi karena penyalin ingin memiliki cerita dalam naskah tersebut atau naskah asli mengalami kerusakan. Sebagai peninggalan masa lalu yang telah melewati kurun waktu berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun, naskah lama banyak mengalami kerusakan. Kerusakan tidak hanya terjadi pada hal fisik yang berupa bahan tulis atau tulisan itu sendiri, tetapi dapat juga dalam hal bahasa atau kandungan teksnya. Dua hal terakhir banyak disebabkan oleh pergeseran pemahaman penyalin naskah dalam proses penyalinannya. Adanya kesalahankesalahan yang menyimpang dari naskah asli atau adanya varian-varian naskah tersebut merupakan alasan perlunya penanganan naskah untuk penyelamatan naskah. Secara garis besar penanganan naskah meliputu: penyelamatan, pelestarian, penelitian, pemberdayagunaan, dan peyebarluasan. Kegiatan pemberdayaan dan penyebarlauasan merupakan usaha yang lebih prioritas, karena

4 naskah merupakan sumber informasi dan pengetahuhan terhadap kebudayaan masa lampau. Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan usaha penanganan naskah adalah filologi. Penelitian filologi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan dan tersusun kembali seperti semula atau mendekati aslinya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dijadikan sumber data penelitian lebih lanjut. Dengan kata lain cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah didayagunakan dan disebarluaskan untuk berbagai kepentingan. Menurut Haryati Soebadio (1975:3), tugas utama filolog adalah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang memberi pengertian sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan pula sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya. Hal ini berarti bahwa, sebelumnya naskah mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya yang disesuaikan dengan kebudayaan yang melahirkannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa naskah perlu dibersihkan dari tambahan yang diberikan dalam zaman-zaman kemudian, yang dilakukan pada waktu kegiatan penyalinan naskah. Dari kuantitas jumlah naskah yang begitu besar, pada kenyataanya kurang diimbangi dengan usaha penelitian naskah untuk memberdayagunakan isi naskah yang terkandung didalamnya. banyaknya naskah yang tidak diimbangi dengan pengadaan penelitian mengenai penaskahan, maka sebagai seorang filolog merasa terpanggil untuk menangani naskah secara filologis. Salah satu naskah Jawa yang perlu segera ditangani secara filologis adalah naskah dengan judul Suraosing Carita yang selanjutnya akan cukup disebut

5 dengan naskah SC. Naskah SC merupakan naskah tunggal yang berdiri sendiri atau bukan merupakan bagian dari suatu bendel naskah. Naskah tersebut merupakan koleksi Museum Radyapustaka Surakarta dengan nomor katalog lokal 8X2.2 Sur.S, naskah berbentuk dialog (prosa) tersebut ditulis dengan aksara Jawa carik menggunakan bahasa Jawa baru, ragam Kramantara sebagian Ngoko Lugu. Naskah SC berukuran 16 X 20,5 cm, dengan tebal 60 halaman dengan 57 halaman yang ditulisi secara bolak-balik. Ukuran teks 10,5 X 17 cm, dengan tiap halaman memuat teks sejumlah 12 baris, penulisan huruf berukuran sedang dengan jarak antarbaris lebar. Naskah SC berisi tentang percakapan Ki Puja dan Ki Angga yang membahas tentang cerita yang disamarkan atau peristiwa yang sengaja dikiaskan dalam Babad Demak dan Babad Kartasura sekaligus penafsirannya. Cerita yang dibahas dari Babad Demak meliputi cerita Raden Jaka Tingkir yaitu ketika membunuh Dhadhung Awuk, menaklukkan pasukan buaya dan mengalahkan kerbau liar serta cerita Kyai Ageng Sela yang dinilai Sultan Demak berhati tipis dan menangkap petir. Sedangkan cerita dari Babad Kartasura yaitu cerita Belanda membuat tenung. Terdapat juga cerita tentang Sura dan Karta yang mempunyai pendapat berbeda setelah sama-sama bertemu dengan Sugih yang kehilangan uang dan sedang mencarinya. Babad merupakan karya sastra sejarah sehingga hanya dapat digunakan sebagai data pembantu dalam penelitian sejarah. Penulisan babad lebih ditekankan pada apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis, oleh karena itu peristiwa-peristiwa penting yang tidak pantas untuk ditulis apa adanya kemudian secara sengaja disamarkan. Oleh sebab itu untuk dapat

6 menggunakan babad sebagai sumber data dalam penelitian sejarah, isinya perlu dikaji kembali untuk meluruskan catatan peristiwa yang disimpan karena selain unsur sejarah di dalamnya juga memuat unsur-unsur sastra. Peneliti memilih SC untuk dijadikan obyek penelitian karena tiga pertimbangan. Pertimbangan pertama karena naskah tersebut merupakan naskah tunggal dan sepengetahuan peneliti belum ada penelitian secara filologis terhadap naskah ini. Selain itu kondisi fisik naskah semakin rapuh, naskah SC terbuat dari bahan kertas putih bergaris namun karena termakan usia warna menjadi kecoklatan, teks yang ditulis secara bolak-balik masih bisa terbaca walaupun tinta sudah tembus ke halaman belakangnya. Dapat disimpulkan naskah SC merupakan satu-satunya dokumen dan dikhawatirkan akan rusak, oleh karena itu naskah tersebut perlu segera mendapatkan penanganan secara filologis. Alasan kedua, secara filologis naskah SC perlu ditangani karena banyak ditemukan kesalahan dalam penulisannya. Kesalahan-kesalahan penulisan tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, sebagai berikut: (1) Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal. (2) Subtitusi yaitu penggantian kata, kelompok kata yang memiliki kesamaan makna. (3) Transposisi yaitu pertukaran letak suku kata, kata dan kelompok kata. (4) Lakuna yaitu bagian yang terlewati atau terlampaui, baik suku kata, kata atau kelompok kata.

7 (5) Adisi yaitu bagian yang kelebihan atau terjadi penambahan baik suku kata, kata atau kelompok kata. (6) Perubahan kesalahan penyalin yang mengakibatkan perubahan makna. Berikut ini adalah contoh beberapa kesalahan yang dikemukakan secara berurutan sesuai dengan jenis kesalahan yang telah tersebut di atas. Kesalahan secara lengkap dapat dilihat pada Bab IV bagian kritik teks. Contoh kesalahan hiperkorek terdapat pada halaman 7 dalam naskah tertulis panuwun yang bermakna terima kasih sedangkan konteks dalam kalimat merupakan permohonan maaf sehingga kata memerlukan pembetulan menjadi panyuwun. Pada halaman 20 dalam naskah tertulis agak rumit namun masih mampu terbaca yaitu pasangan ma yang dibenahi menjadi pasangan ba serta disertai tulisan tambahan dibawahnya berupa tulisan boe sehingga kata tersebut seharusnya dibaca Budha. Kemudian pada halaman 40 dalam naskah tertulis kata konthing peneliti membetulkan penulisan menjadi kunthing mengacu pada Serat Tembung Andupara (Raden Ngabehi Suradipura dan T.W.K. Hadisoeprapto, 1980:74) yang menggunakan kata kunthing. Contoh kesalahan subtitusi terdapat pada halaman 48 dalam naskah tertulis kata êngkas yang berupa kata dengan ragam ngoko dalam kalimat dalam ragam krama sehingga perlu dibetulkan dengan kata malih. Kemudian pada halaman 55 pada naskah tertulis 15.00000 yang perlu dibetulkan sesuai maksut dengan kata limalas kethi. Contoh kesalahan transformasi terdapat pada halaman 10 dalam naskah tertulis frasa wonten katingal yang perlu dibetulkan menjadi katingal wonten.

8 Kesalahan yang sama terdapat pada halaman 14 dalam naskah tertulis tanpa karana musna yang perlu dibetulkan menjadi ' musna tanpa karana. Contoh kesalahan lakuna terdapat pada halaman 36 dalam naskah tertulis kata argi yang berdasarkan konteks perlu dibetulkan menjadi arêgi. Kemudian pada halaman 7 dalam naskah tertulis kata mluklum merupakan adisi yang perlu dibetulkan menjadi maklum. Pada halaman 36 terdapat perubahan kesalahan penyalin yang mengakibatkan perubahan makna, kesalahan berupa penyebutan nama Tenung Makanratu untuk makhluk gaib yang dikirim Belanda, sedangkan Serat Babad Jawi Kartasura I pupuh IX (Dhandhanggula) bait 3 tidak menyebutkannya sebagai nama melainkan menuliskannya sebagai berikut: Dadya amrih dursila ing batin/ rêmbag pra Rat Indhiya sadaya/ tinenung baé sêdyané/ sampun upaya tênung/ ingkang rêga limalas kêthi/ titir nêluh nêgara/ mangka ratu-ratu/ kang tênung wus lumaksana/ wor maruta mawak maton birawani/ wimba ditya wikrama// menjadi memiliki niat buruk dalam hati bermusyawarah para Rad pan Hindia ditenung saja niatnya telah mencari tenung yang berharga satu setengah juta tiada henti meneluh negara begitupun raja-raja sang tenung telah berangkat menyatu dengan angin tegap tinggi besar bagai raksasa melangkah Hal lain yang perlu peneliti sampaikan adalah terdapatnya tiga tanda sisipan sekaligus tulisan tambahan yang ditulis dengan alat pensil pada halaman 21. Tulisan tambahan tersebut berfungsi untuk menambah keterangan dan

9 mengganti keterangan pada kalimat yang disisipi. Untuk lebih jelasnya tanda sisip tersebut terdapat pada kalimat berikut: Kalampahan ¹ ngabên agama wêkasan ngabên gêgaman, ² rèhné ingkang dados gêndra punika ( ³ Mas Manca) prasasat dêdamêlanipun Radèn Jaka Tingkir piyambak inggih gampil kémawon Sedangkan tiga sisipan tersebut masing-masing berbunyi, sebagai berikut: ¹ dêdrêg pêrang catur, punggawa ing Dêmak anggêlar murat maksuding agami Islam, Mas Manca sagêd mabêni kaliyan patitis mawi wêwaton agami Budha, botên susah santun agami Islam, agami Budha kémawon sampun mêsthi sagêd nyampurnakakên jiwa raga dhatêng kasucian, nunggil kaliyan Pangéran ingkang Murbèng Alam, nanging punggawa Dêmak santun-santun tansah kasoran ² Kanjêng Sinuhun sisah sangêt, sarêng Radèn Jaka Tingkir ingkang majêng mabêni ³ dhatêng Jadi secara lengkap jika ketiga sisipan tersebut dimasukkan dalam kalimat, maka kalimat tersebut akan menjadi, sebagai berikut: Kalampahan dêdrêg pêrang catur, punggawa ing Dêmak anggêlar murat maksuding agami Islam, Mas Manca sagêd mabêni kaliyan patitis mawi wêwaton agami Budha, botên susah santun agami Islam, agami Budha kémawon sampun mêsthi sagêd nyampurnakakên jiwa raga dhatêng kasucian, nunggil kaliyan Pangéran ingkang Murbèng Alam, nanging punggawa Dêmak santun-santun tansah kasoran, Kanjêng Sultan sisah sangêt, sarêng Radèn Jaka Tingkir ingkang majêng mabêni dhatêng Mas Manca, prasasat dêdamêlanipun Radèn Jaka Tingkir piyambak, inggih gampil kémawon Alasan ketiga perlunya naskah SC diteliti adalah isi dari naskah SC. Naskah yang berupa percakapan atau dialog tersebut berisi kutipan-kutipan cerita yang disamarkan dari Babad Demak dan Babad Kartasura disertai pendapat untuk meluruskan cerita yang sengaja disamarkan tersebut. Hal tersebut membuka

10 kesempatan untuk meneliti hubungan interteks antara SC dengan Babad Demak dan Babad Kartasura. Keterangan mengenai Babad Demak sebagai acuan dari penulisan SC secara tersurat dapat ditemukan dalam SC. Keterangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada halaman 1: Ki Puja: Kula mêntas maca Sêrat Babad Dêmak. Nyariyosakên Radèn Jaka Tingkir nama Mas Karèbèt, Terjemahan: Ki Puja: Saya baru saja membaca Serat Babad Demak menceritakan Raden Jaka Tingkir alias Mas Karebet, 2. Pada halaman 23: Ki Puja: Sangsaya mathuk malih. Kula lajêngakên taksih nunggil Sêrat Babad Dêmak. Kyai Agêng ing Séla nama Kyai Ngabdurahman (nama timur Bagus Sogom) Terjemahan: Ki Puja: Saya semakin sependapat, saya lanjutkan masih dalam Serat Babad Demak. Kyai Ageng Sela alias Kyai Ngabdurahman (nama kecil Bagus Sogom) Sedangkan keterangan mengenai Babad Kartasura sebagai acuan dari penulisan SC tertulis pada halaman 36, sebagai berikut: Ki Puja (gumujêng kaliyan manthuk-manthuk, lajêng wicantên): Sêrat Babad Kartasura nyariyosakên Tênung Walandi, Terjemahan: Ki Puja (tertawa sambil mengangguk-angguk, kemudian berkata): Serat Babad Kartasura menceritakan Tenung Belanda, Naskah SC dalam hubungannya dengan Babad Demak dan Babad Kartasura merupakan tanggapan atau hasil resepsi. Hal tersebut dapat dilihat dari

11 isi yang berusaha memberi tafsiran pada beberapa episode dalam Babad Demak dan Babad Kartasura khususnya mengenai cerita yang disamarkan. Tidak bisa diingkari bahwa sebagian masyarakat Jawa sangat mempercayai cerita-cerita dari babad yang sebenarnya disamarkan tersebut. Sebagai contoh ialah cerita Raden Jaka Tingkir yang diserang pasukan buaya saat merakit kemudian menaklukkannya. Cerita tersebut merupakan cerita yang cukup dikenal oleh masyarakat. Di Surakarta saat ini masih terdapat suatu tradisi untuk mengenang peristiwa tersebut yang diadakan di Taman Satwa Taru Jurug setiap bulan Syawal. Cerita tersebut juga berkembang di masyarakat, Panjebar Semangat edisi 37 th. 2002 (hal. 27,28,39) menceritakan di Butuh, Gedhongan, Plupuh, Sragen dipercaya setiap malam Jumat Kliwon selalu muncul buaya putih (Baureksa) yang kadang bersama anak buahnya dari Bengawan Sala mengintari kompleks makam Raden Jaka Tingkir. Selain itu juga menceritakan cerita tentang suatu ajian Raden Jaka Tingkir bernama Besi Pulau Serani yang dapat digunakan untuk mengalahkan musuh berupa binatang atau jin yang mengubah diri dalam bentuk binatang, berapapun banyaknya dan seberapapun besarnya. Panjebar Semangat edisi 2 th. 2003 bahkan menyebutkan jika Raden Jaka Tingkir merupakan anak dari perkawinan wanita dari Desa Kedhung Lo dengan putra buaya putih Kedhung Srengenge (hal. 26,45). SC menguraikan cerita tersebut pada halaman 9-13, sebagai berikut: Ki Puja:. Kula lajêngakên cariyosipun Radèn Jaka Tingkir, sarêng pamiliring gèthèk dumugi Kêdhung Srêngéngé, pinggir banawi katingal wontên laré èstri ngangsu, dipunaruh-aruhi déning Mas Manca laré èstri lajêng musna. Samusnaning laré èstri ngangsu, toyaning bangawan kados kinêbur mawalikan, gèthèk mubêng dipunsatang dipunwêlah botên sagêd lumampah. Lajêng katingal wontên baya angrangap nêdya badhé amêjahi ingkang sami numpak gèthèk. Kalampahan dados pêrang kaliyan baya-

12 baya wau. Baya wontên ratunipun nama ki Baurêksa, katingal ulêsing badhanipun pêthak mêmplak kados kapuk. Ilatipun kados sangkêlat (bokmanawi abrit) patihipun nama ki Jalumampang, wadyanipun wontên 300 baya. Radèn Tingkir anggènipun pancakara kaliyan baya-baya wau mênang sarta wilujêng, malah ratuning baya sawadyanipun sami nungkul têluk, lajêng sami andhèrèk angéndhong lampahing gèthèk ingkang dipuntumpaki, wontên ingkang namung ngamping-ampingi ing kiwatêngên. Baya ingkang kamêrgèn sami angrubyuk sêsêgah sakadaripun. Makatên wau ngantos dumugi ing Butuh. Kèndêl wontên ing riku kapanggih malih kaliyan Kyai Agêng Butuh tuwin Kyai Agêng Ngêrang. Radèn Jaka Tingkir kadangu lajêng cariyos purwa madya wasana katur sadaya. Kyai Agêng sakaliyan miyarsakakên cariyos sakalangkung gênging suka sukur, lajêng kinèn sami mangkat dhatêng ing Prawata. Sarêng lampahing gèthèk dumugi ing têmpuran, sakathahing baya ingkang andhèrèk dipundhawuhi wangsul. Radèn Jaka Tingkir saréncangipun mêntas saking gèthèk lumampah dharat andumugèkakên sêdya. Terjemahan: Ki Puja: Saya lanjutkan lagi ceritanya, ketika sampai Kedhung Srengenge, di tepi sungai tampak ada wanita sedang mengambil air, disapa oleh Mas Manca wanita tadi kemudian menghilang, setelah itu air sungai seperti diaduk, sampan berputar diungkit didayung tidak dapat berjalan. Kemudian terlihat ada buaya mendekat hendak membunuh mereka yang naik sampan, terjadi perkelahian dengan buaya-buaya tadi. Buaya-buaya tersebut mempunyai raja bernama Baureksa, terlihat badannya berwarna putih seperti kapas, lidahnya seperti sengkelat (merah), patihnya bernama Ki Jalu Mampang, prajuritnya ada 300 buaya. Raden Jaka Tingkir dalam perkelahian dengan buaya-buaya tadi menang serta selamat, bahkan raja buaya serta prajuritnya menyerah kemudian mengantar dengan mendorong sampan yang dinaiki. Sebagian hanya mengawal di kiri-kanan, buaya yang dilalui ikut bergabung dan menjamu seadanya. Begitu tadi sampai tiba di Butuh, saat beristirahat di sana bertemu lagi dengan Kyai Ageng Butuh dan Kyai Ageng Ngerang, Raden Jaka Tingkir ditanyai kemudian menceritakan dari awal sampai akhir, kedua kyai mendengar cerita dengan penuh rasa syukur, kemudian disuruh berangkat ke Prawata. Ketika sampan sampai di pertemuan sungai, seluruh buaya disuruh kembali. Raden Jaka Tingkir serombongan turun dari sampan berjalan kaki melaksanakan rencananya.

13 Sedangkan penafsiran menurut naskah SC tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi terdapat pada halaman 13-16, sebagai berikut Ki Angga: Bokmanawi makatên. Ingkang sami numpak gèthèk mawi tindak-tanduk sêmbrana parikêna dhatêng laré èstri wau, kalampahan kénging dipunanggé dolanan. Patrap ingkang botên prayogi wau sarêng kasumêrêpan déning têtiyang ing Kêdhung Srêngèngè sami nêpsu, lajêng nêmpuh purun nêdya angayomi, katitik saking laré êstri musna tanpa karana. Musna, ical kaumpêtakên. Ratuning baya Baurêksa, kamisêpuh utawi bêkêl ing riku. Ulês pêthak, mutihan (santri) tiyang ingkang sampun mlêbêt agami Islam. Ilat kados sangkêlat (abrit), anggênipun dados mutihan namung ing lair kémawon, batinipun taksih nganggêp agaminipun lami (Budha). Patih Jalumampang, tiyang jalêr ing riku sami nêpsu. Baya (bêbaya), pakêwêd. Dados lampahipun Radèn Jaka Tingkir dumugi ing Kêdhung Srêngèngè kénging bébaya. Sanès baya bêbujêngan toya punika sanès. Terjemahan: Ki Angga: Mungkin begini, yang naik sampan berlaku sembarangan pada wanita tadi. Tindakan tidak pantas tadi setelah diketahui oleh orang-orang Kedhung Srengenge murkalah mereka, kemudian mengamuk bermaksud melindungi, terlihat dari wanita menghilang tanpa sebab. Hilang, disembunyikan. Raja buaya Baureksa, tetua atau bekel di situ. Warna putih, mutihan (santri) sudah masuk Islam. Lidah seperti sengkelat (merah), hanya lahirnya saja yang mutihan, batinnya masih memeluk agama lama (Budha). Patih Jalu Mampang, para lelaki yang marah. Buaya, bahaya/masalah Jadi perjalanan Raden Jaka Tingkir ketika sampai Kedhung Srengenge terkena bahaya bukan bertemu buaya binatang air. Contoh lain terlihat jelas dalam kebiasaan orang Jawa untuk berkata, Gandrik, aku anak putune Ki Ageng Sela saat mendengar petir dengan tujuan agar tidak tersambar petir. Kebiasaan tersebut dikarenakan kepercayaan bahwa dulu Kyai Ageng Sela benar-benar mampu menangkap petir yang kemudian memenjarakannya di tengah Alun-alun Demak. Serat Tembung Andupara

14 (1980:53) menyebutkan ucapan tersebut sebagai berikut, it, Gadri, iya Ingsun anak putune Kyai Ageng Sela. Berkaitan dengan hal tersebut, orang Jawa juga sering membawa daun pohon Gadri atau daun pohon Jarak ketika melakukan perjalanan dalam keadaan hujan karena cerita yang berkembang Kyai Ageng Sela sedang berteduh di bawah pohon Gadri atau pohon Jarak ketika menangkap petir. Cerita tentang Kyai Ageng Sela menangkap petir tersebut juga disinggung dalam SC. Terdapat dua penafsiran tentang cerita tersebut yang dapat ditemukan pada halaman 33-35, sebagai berikut: Ki Angga : Punapa déné kasêbut sagêd nyêpêng blêdhèg. Punika makatên, nalika samantên têtiyang ing tanah Jawi ingkang taksih agami Budha, sami ébah manahipun sabab ingkang jumênêng nata kêrsanipun kêncêng sangêt nêdya nyantuni agami, tiyang ingkang sami kêkah manahipun dhatêng agami Budha, awrat sangêt bilih anglampahi dhawuh wau, mila sami damêl pakêmpalan rêmbag sumêdya ambadhal dhawuhing ratu, ingkang cêlak kaliyan wêwêngkon dhusun Séla, Kyai Agêng Séla tamtu lajêng nglurugi dhatêng panggènan pakêmpalan wau anyêrêpnyêrêpakên kaliyan sabda manis manuhara ingkang anrênyuhakên manah, kaprabawa saking alusing budi sarta saéning pambêganipun Kyai Agêng Séla, têmahan têtiyang ingkang sami badhé adhaga dhatêng dhawuhing ratu wau sami anut miturut. Punapa déné nalika taksih ngabdi wontên ing Dêmak, sabên Kanjêng Sultan duka inggih dhatêng sintêna kémawon, Kyai Agêng Séla sagêd ngingimur supados dukanipun Kanjêng Sultan botên saèstu, inggih kêrêp lilihipun. Makatên punika anggènipun dipunbasakakên sagêd nyêpêng blêdhèg. Dados namung upami kémawon. Pundi wontên balêdhèg kénging dipuncêpêng déning tiyang, mokal. Terjemahan: Ki Angga: Sedangkan Kyai Ageng Sela dikatakan mampu menangkap petir itu begini, saat itu orang-orang di Jawa yang masih beragama Budha sebagian berubah pendiriannya karena kuatnya pengaruh Sultan. Orangorang yang kukuh pendiriannya membuat perkumpulan untuk menentang perintah Sultan di dekat daerah Sela. Kyai Ageng Sela kemudian mendatanginya, memberi pengarahan dengan perkataan manis merendah menyentuh perasaan, terpengaruh sikap Kyai Ageng Sela, orang-orang tersebut menjadi menurut. Selain itu saat masih mengabdi di Demak, setiap Sultan marah pada siapapun, Kyai Ageng Sela mampu menghibur

15 agar reda kemarahan beliau, dan sering berhasil meluluhkan kemarahan beliau. Hal itu diibaratkan mampu menangkap petir. Jadi hanya perumpamaan saja, mana mungkin petir bisa ditangkap manusia, mustahil. Adanya perkembagan cerita di masyarakat tersebut merupakan bukti bahwa sebagian cerita dalam babad perlu ditafsirkan, khususnya yang mengandung unsur sastra yaitu cerita yang disamarkan. Isi naskah SC merupakan kutipan sekaligus tanggapan dari beberapa episode dalam Babad Demak dan Babad Kartasura. Episode tersebut yaitu dari Babad Demak berupa cerita tentang Raden Jaka Tingkir dan Kyai Ageng Sela, khususnya cerita tentang Raden Jaka Tingkir membunuh Dhadhung Awuk dengan sadak, Raden Jaka Tingkir menaklukkan pasukan buaya di Kedhung Srengenge, Raden Jaka Tingkir mengalahkan kerbau liar di Gunung Prawata, Kyai Ageng Sela dua kali dinilai berhati tipis oleh Sultan Demak yaitu sewaktu menoleh saat memecah kepala banteng sebagai syarat mengikuti seleksi prajurit tamtama dan pada waktu lari ketika kuda yang dinaikinya terkena panah saat hendak memberontak serta Kyai Ageng Sela menangkap petir. Sedangkan dari Babad Kartasura berupa cerita tentang Belanda membuat tenung. Tanggapan tersebut bertujuan untuk menafsirkan cerita-cerita yang disamarkan. Oleh karena itu ditinjau dari segi isi, naskah SC sangat menarik untuk segera diketahui masyarakat. B. Batasan Masalah Naskah SC dapat dikaji dengan beberapa bidang ilmu kajian seperti sastra, sejarah, linguistik dan sebagainya. Namun penelitian ini akan dibatasi pada cara kerja filologis khususnya penerapan metode naskah tunggal edisi standar untuk

16 memperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Kemudian dilanjutkan dengan kajian isi untuk mengungkap hubungan interteks SC dengan Babad Demak dan Babad Kartasura serta menunjukkan bahwa SC merupakan hasil resepsi dari Babad Demak dan Babad Kartasura. C. Rumusan Masalah Masalah yang diteliti dari naskah SC meliputi dua hal yaitu: 1. Bagaimana bentuk suntingan teks yang bersih dari kesalahan sesuai cara kerja filologis? 2. Bagaimana isi kandungan SC yang memiliki hubungan interteks dengan Babad Demak dan Babad Kartasura sekaligus merupakan hasil resepsi dari Babad Demak dan Babad Kartasura tersebut? D. Tujuan Penelitian Naskah SC akan diteliti dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menyajikan bentuk suntingan teks yang bersih dari kesalahan menurut cara kerja filologis. 2. Mengungkap isi naskah SC dengan menunjukkan hubungan interteks dengan Babad Demak dan Babad Kartasura dan menunjukkan bahwa naskah SC merupakan hasil resepsi dari Babad Demak dan Babad Kartasura.

17 E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian terhadap naskah SC diharap dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. 1. Manfaat Teoretis a. Memperkaya dan menghasilkan penelitian filologi. b. Menambah ilmu dan wawasan tentang khasanah naskah Jawa. 2. Manfaat Praktis a. Membantu memberikan pemahaman isi naskah SC bagi kalangan yang tidak menguasai aksara atau bahasa Jawa. b. Memperkenalkan budaya bangsa melalui sastra lama khususnya sastra Jawa yang berupa naskah tulisan tangan. c. Menyelamatkan informasi yang termuat dalam naskah SC dari kerusakan atau hilang. F. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Teoretik Bab ini menguraikan tentang pengertian filologi, obyek penelitian filologi, langkah kerja penelitian filologi serta resepsi dan intertekstualitas.

18 BAB III Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV Pembahasan Bab ini berisi pembahasan yang diuraikan dalam kajian filologi yang meliputi deskripsi naskah, transliterasi, kritik teks, aparat kritik, terjemahan dan kajian isi yang meliputi hipogram, intertekstualitas SC dan SC sebagai hasil resepsi. BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran.