BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak.

BAB I PENDAHULUAN. berpacaran Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) atau Dating Violence. Banyak

#### Selamat Mengerjakan ####

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

KEKERASAN BERBASIS GENDER: BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Khoirul Ihwanudin 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PETUNJUK PENELITIAN. Nama : Usia : Pendidikan terakhir :

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

CENDEKIA Jurnal Ilmu Administrasi Negara

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. anak dengan sebutan (misalnya bodoh, tidak berguna, jelek) (Chang et al, 2008). Noh

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak

I. PENDAHULUAN. bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan pembatasan ruang gerak. Kedua, publik yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB III RUANG LINGKUP ANAK JALANAN DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mulai

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari

Islam Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga Dr. La Jamaa

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. psikis, seksual, dan ekonomi, termasuk ancaman dan perampasan kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara tentumengenal yang

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

PERILAKU AGRESIF ORANGTUA TERHADAP ANAK DITINJAU DARI RELIGIUSITAS

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan perkembangan seseorang, semakin meningkatnya usia

KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA YANG HIDUP DI JALANAN DAN MENGALAMI KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

BAB 8. KEKERASAN DALAM RUMAHTANGGA DAN TRAFFICKING DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB 1 PENDAHULUAN. produktif dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya (Depkes, 2010).

PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP (FISIK DAN PSIKOLOGIS) PADA ANAK JALANAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis yang ditandai dengan tingginya

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Palebon Semarang, ditampilkan pada tabel di bawah ini : 1. Karakteristik Responden a. Umur Tabel 2.1 Distribusi responden berdasarkan umur di SDN 01 Palebon Semarang, 2014 N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Umur responden 44 10 11 10.65 4.794 Berdasarkan Tabel 2.1 diatas diketahui bahwa umur terendah responden adalah 10 tahun, sedangkan umur tertinggi responden adalah 11 tahun. Pada tabel diatas juga dapat dilihat bahwa umur rata-rata responden penelitian ini adalah 10 tahun 8 bulan. b. Jenis Kelamin Tabel 2.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di SDN Palebon 01 Semarang, 2014 No Jenis kelamin Jumlah Persentase (%) 1. 2. Laki-laki Perempuan 23 21 52,3 % 47,7 % Tabel 2.2 menunjukan bahwa kebanyakan responden penelitian berjenis kelamin laki laki yaitu sebanyak 23 anak (52,3 %), 41

42 sedangkan sisanya sebanyak 21 anak (47,7 %) berjenis kelamin perempuan. 2. Gambaran Pengetahuan Perilaku Kekerasan Orang Tua Tabel 2.3 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada gambaran pengetahuan perilaku kekerasan orang tua Gambaran Pengetahuan perilaku kekerasan orang tua Kekerasan fisik Kekerasan psikis Kekerasan seksual Jumlah Persentase (%) 19 13 12 43,2% 29,5% 27,3% Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa persepsi anak terhadap gambaran pengetahuan perilaku kekerasan fisik lebih banyak yaitu sebanyak 19 anak (43,2 %), kemudian pada definisi perilaku kekerasan psikis sebanyak 13 anak (6,2 %), sedangkan pada definisi perilaku kekerasan seksual sebanyak 12 anak (27,3 %). 3. Bentuk Bentuk Perilaku Kekerasan Orang Tua a. Perilaku Kekerasan Fisik Tabel 2.4 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik ( menendang) Menendang Jumlah Persentase (%) 12 32 27,3 % 72,7 % Dari tabel 2.4 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada perilaku kekerasan fisik yang menyatakan setuju tentang menendang yaitu sebanyak 32 anak (72,7 %), sedangkan yang tidak setuju tentang menendang 12 anak (27,3 %).

43 Tabel 2.5 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik (memukul) Memukul Jumlah Persentase (%) 17 27 38,6 % 61,4 % Dari tabel 2.5 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik yang menyatakan setuju tentang memukul yaitu sebanyak 27 anak (61,4 %), sedangkan yang tidak setuju pada perilaku memukul yaitu 17 anak (38,6 %). Tabel 2.6 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik (menjambak rambut) Menjambak rambut Jumlah Persentase (%) 17 27 38,6 % 61,4 % Dari tabel 2.6 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada perilaku kekerasan fisik yang menyatakan setuju tentang menjambak rambut sebanyak 27 anak (61,4 %), dan yang menyatakan tidak setuju pada menjambak rambut 17 anak (38,6 %). b. Perilaku Kekerasan Psikis Tabel 2.7 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan psikis (memaki-maki) Memaki-maki Jumlah Persentase (%) 12 32 27,3 % 72,7 %

44 Dari tabel 2.7 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada perilaku kekerasan psikis yang menyatakan setuju tentang memaki-maki yaitu sebanyak 32 anak (72,7 %), dan yang menyatakan tidak setuju dengan 12 anak (37,3 %). Tabel 2.8 Distribusi responden berdasarkan bentuk-bentuk perilaku kekerasan psikis (membentak) Membentak Jumlah Persentase (%) 14 30 31,8 % 68,2 % Dari tabel 2.8 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku psikis yang menyatakan setuju tentang membentak adalah 30 anak (68,2 %), sedangkan yang tidak setuju tentang membentak yaitu 14 anak (31,8 %). c. Perilaku Kekerasan Seksual Tabel 2.9 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan seksual (penganiayaan seksual) Penganiayaan Seksual Jumlah Persentase (%) 17 27 38,6 % 61,4 % Dari tabel 2.9 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku kekerasan seksual yang menyatakan setuju tentang penganiayaan seksual sebanyak 27 anak (61,4 %), dan yang menyatakan tidak setuju 17 anak (38,6%).

45 Tabel 3.1 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan seksual (pemaksaan seksual) Pemaksaan Seksual Jumlah Persentase (%) 9 35 20,5 % 79,5 % Dari tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku kekerasan seksual yang menyatakan setuju tentang pemaksaan seksual yaitu sebanyak 35 anak (79,5 %), sedangkan yang tidak setuju mengenai hal tersebut sebanyak 9 anak (20,5 %). d. Perilaku Kekerasan Sosial, Ekonomi Tabel 3.2 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan sosial, ekonomi (memaksa bekerja) Memaksa Bekerja Jumlah Persentase (%) 13 31 29,5 % 70,5 % Dari tabel 3.2 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku kekerasan sosial ekonomi yang menyatakan setuju terhadap memaksa bekerja yaitu sebanyak 31 anak (70,5%), sedangkan yang tidak setuju dalam hal tersebut sebanyak 13 anak (29,5 %). Tabel 3.3 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan sosial, ekonomi (tidak memberi nafkah) Tidak memberi nafkah Jumlah Persentase (%) 13 31 29,5 % 70,5 %

46 Dari tabel 3.3 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku kekerasan sosial, ekonomi yang menyatakan setuju terhadap tidak memberi nafkah yaitu sebanyak 31 anak (70,5 %), sedangkan yang tidak setuju akan hal itu sebanyak 13 anak (29,5 %). e. Perilaku Kekerasan Penelantaran Tabel 3.4 Distribusi responden berdasarkan pesepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan penelantaran (acuh tak acuh) Acuh tak acuh Jumlah Persentase (%) 12 32 27,3 % 72,7 % Dari tabel 3.4 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentukbentuk perilaku kekerasan penelantaran yang menyatakan setuju pada acuh tak acuh sebanyak 32 anak (72,7 %), sedangkan yang menyatakan tidak setuju sebanyak 12 anak (27,3 %). 4. Penyebab Perilaku Kekerasan Orang Tua Tabel 3.5 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada penyebab perilaku kekerasan ( pemarah) Pemarah Jumlah Persentase (%) 12 32 27 % 73 % Dari tabel 3.5 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada penyebab perilaku kekerasan orang tua yang menyatakan setuju tentang pemarah adalah penyebab dari terjadinya tindak perilaku kekerasan yaitu sebanyak 32 anak (73 %). Sedangkan yang tidak setuju sebanyak 12 anak (27%).

47 5. Respon Perilaku Kekerasan Orang Tua Tabel 3.6 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada respon perilaku kekerasan orang tua (sedih) Sedih Jumlah Persentase (%) 12 32 27 % 73 % Dari tabel 3.6 dapat disimpulkan bahwa persepsi anak pada respon perilaku kekerasan orang tua yang menyatakan setuju tentang sedih dari respon perilaku kekerasan orang tua sebanyak 32 anak (73%), sedangkan yang tidak setuju 12 anak (27%). Tabel 3.7 Distribusi responden berdasarkan persepsi anak pada respon perilaku kekerasan orang tua (takut) Takut Jumlah Persentase (%) 14 30 32 % 68 % Dari tabel 3.7 dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada respon perilaku kekerasan orang tua yang menyatakan setuju tentang takut respon dari perilaku kekerasan orang tua adalah sebanyak 30 anak (68 %). Sedangkan yang tidak setuju sebanyak 14 anak (32%). B. Pembahasan 1. Gambaran Pengetahuan Perilaku Kekerasan Orang Tua Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa persepsi anak terhadap gambaran pengetahuan perilaku kekerasan fisik lebih banyak dari pada kekerasan lainnya yaitu sebanyak 19 anak (43,2 %). Sedangkan anak yang memahami perilaku kekerasan psikis ada sebanyak 13 anak (6,2 %).

48 Kemudian yang memahami dari perilaku kekerasan seksual sebanyak 12 anak (27,3 %). Menurut hasil yang didapat, persepsi anak lebih memahami tentang kekerasan fisik, karena di lingkungan sekitar lebih banyak mengenal berbagai macam kekerasan fisik. Dari cara mereka bergaul, mengungkapkan amarahnya kepada temannya atau lawan jenis, dari apa yang mereka amati di lingkungan sekitar baik di lingkungan sekolah ataupun di rumah. Mereka memahami hal tersebut karena perlakuan kekerasan fisik seperti memukul lebih sering mereka amati dari pada perlakuan kekerasan psikis ataupun seksual. Mungkin tak hanya mereka lihat pada lingkungan sekitar tetapi hal tersebut sering diberitakan di berbagai media massa seperti koran, televisi, dan majalah. Jadi, dari masing-masing anak beranggapan bahwa kekerasan fisik lah yang mendominasi dari perilaku kekerasan orang tua. Berbagai hal ini terkait dengan semakin maraknya fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan dan maraknya pemberitaan tentang kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini mendorong timbulnya perhatian yang lebih dari masyarakat sehingga mempermudah untuk mempersepsikannya khususnya di kalangan anak sekolah (Ginting, 2008). Dari hal tersebut didapatkan bahwa persepsi dibentuk oleh adanya suatu pengalaman atau mengalami kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang ada di sekitar lingkngannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rakhmat (2009) yang mengatakan bahwa persepsi seseorang dapat dipengarruhi oleh pengalaman yang terdahulu. 2. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Orang Tua a. Kekerasan Fisik Dari hasil penelitian yang sudah peneliti lakukan, dapat dijelaskan bahwa persepsi anak pada bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik terbanyak pada kategori menendang, yang menyatakan setuju tentang

49 menendang yaitu sebanyak 32 anak (72,7 %), sedangkan yang tidak setuju tentang menendang 12 anak (27,3 %). Hal ini berarti bahwa keseluruhan responden yakin bahwa menendang merupakan kekerasan fisik. Dan dijelaskan pula bahwa bentuk-bentuk perilaku kekerasan fisik yang menyatakan setuju tentang memukul dan menjambak rambut yaitu sebanyak 27 anak (61,4 %), dan yang menyatakan tidak setuju pada memukul dan menjambak rambut 17 anak (38,6 %). Pada perilaku kekerasan fisik diantaranya menendang, memukul, dan menjambak rambut. Dari hasil survey didapatkan bahwa persepsi responden atau anak-anak lebih dominan pada kata menendang karena di lingkungan sekolah pun mereka pernah melakukannya, tak hanya itu di luar lingkungan sekolah, di lingkungan perkampungan pun mereka senantiasa melihat atau mengamati bahkan melakukan menendang. Entah karena hal sengaja atau tidak hal itu pernah terjadi dan kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. Dalam permainan atau pun perdebatan dari macam-macam perlawanan. Tingkat emosi yang belum labil itu lah yang menyebabkan hal itu terjadi. Jadi, dari sini responden beranggapan kekerasan fisik seperti menendang, untuk memukul sendiri mereka mengasumsikan sebagai hal perilaku biasa tetapi masih termasuk perilaku kekerasan fisik. Lain halnya dengan menjambak rambut, mereka lebih beranggapan menjambak rambut itu sebagai perlakuan wajar sebagai peringatan atas apa yang dilakukan jika tak sesuai yang telah dikehendaki seseorang. Tapi, dari berbagai macam tindakan tersebut mereka sangat tidak menyukainya karena perbuatan tersebut dapat melukai seseorang. Tiap individu mempunyai pola tertentu, mempunyai penyesuaian diri yang sangat unik (khas). Dari usia, jenis kelamin, status ekonomi dan hal-hal lain yang terikat pada pribadinya semua turut menentukan seorang anak menghadapi stres dengan pola yang berlainan dari seorang dewasa.

50 Menurut Darmono (2008) bentuk-bentuk perilaku kekerasan orang tua meliputi, kekerasn fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan sosial, ekonomi dan penelantaran. Sepintas hukuman semacam itu dianggap lumrah tetapi sebenarnya merupakan tindakan kekerasan meskipun kadarnya ringan. Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anakanak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Sitohang, (2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga (Suharto, 1997). Hasil penelitian Familier and Work Institute and The Coloradu Tourt Amerika Serikat (1999), dari 200.000 anak pernah dipukul atau dilukai 74.000 anak (37%), dan diserang dengan senjata 32.000 anak (16%) (Azwar, 2005). b. Kekerasan Psikis Hasil penelitian dari perilaku kekerasan psikis dapat dijelaskan bahwa menyatakan bentuk-bentuk perilaku kekerasan psikis terbanyak pada kategori (memaki-maki), yang menyatakan setuju tentang memakimaki merupakan kekerasan psikis yaitu sebanyak 32 anak (72,7 %), dan yang tidak setuju 12 anak (37,3%). Sedangkan perilaku kekerasan psikis

51 yang menyatakan setuju tentang membentak sebagai kekerasan psikis adalah 30 anak (68,2 %), dan yang tidak setuju 14 anak (31,8%). Untuk membentak mungkin sudah menjadi hal yang terbiasa di lingkungan sekitar mungkin dengan adanya pertemanan yang kurang cocok sehingga dapat menimbulkan hal tersebut. Lain halnya dengan memaki-maki, memaki-maki terlihat lebih menakutkan dan lebih terlihat menyeramkan. Selain terlihat menyeramkan dari kata-kata yang sangat kejam memaki-maki sangat membuat orang lain sakit hati karena ucapan yang dilontarkan. Mungkin tak hanya terjadi di lingkungan keluarga yang di mana orang tua yang kesal pada anaknya karena bandel dan bisa juga terjadi di sekolah karena dimarahi guru. Dalam kasus lain, seorang atasan yang memaki-maki bawahannya karena suatu tugas yang tak sesuai yang dikehendaki atasan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan penderitaan psikis berat pada psikis seseorang. Dari sini lah, menyimpulkan bahwa memaki-maki jauh lebih banyak dipahami daripada membentak. Menurut Irwanto (2002) menjelaskan bahwa perkembangan kesehatan mental pada pihak korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami perlakuan yang salah pada umumnya lebih lambat dari manusia yang normal, yaitu mengalami gangguan kepribadian kesehatan mental yaitu menjadi kurang percaya diri, harga diri rendah, dan selalu menganggap dirinya tidak sempurna, koping individu tidak efektif, takut serta tingkat kecemasan yang tinggi. Timbulnya frustasi karena suatu tekanan atau depresi sehingga muncul marah dengan masalah yang tidak terselesai sehingga menimbulkan gangguan agresif yaitu dengan marah, perilaku agresif merupakan perilaku yang menyertai marah karena dorongan individu untuk menuntut sesuatu yang dianggapnya benar, dan masih terkontrol. (Alwisol, 2006). Hasil penelitian Familier and Work Institute and The Coloradu Tourt Amerika Serikat (1999), dari 200.000

52 anak pernah diejek, diolok-olok atau dibicarakan hal-hal negatif tentang dirinya terhadap orang lain sebanyak 94.000 anak (47%) (Azwar, 2005). c. Kekerasan Seksual Hasil penelitian dari perilaku kekerasan seksual dapat dibedakan dari segi penganiayaan seksual dan pemaksaan seksual. Dari hasil dijelaskan presentase terbanyak pada kaegori pemaksaan seksual, yaitu yang menyatakan setuju tentang pemaksaan seksual yaitu sebanyak 35 anak (79,5 %), dan yang tidak setuju 9 anak (20,5%). Sedangkan penganiayaan seksual yang setuju 27 anak (61,4%), dan yang tidak setuju 17 anak (38,6%). Berdasarkan hasil yang telah didapat, pemaksaan seksual sangat dipahami oleh responden karena dari perilaku yang tak sepatutnya dan sangat tidak perlu untuk dicontoh. Responden kurang begitu mengenal kekerasan seksual tetapi setelah diberikan contoh mereka memiliki asumsi tersendiri. Mereka mempunyai pandangan mengenai kekerasan seksual dari berbagai macam media masa atau berita yang disiarkan di televisi. Responden belum mengenal lebih jauh pada kasus tersebut karena di lingkungan sekitar juga tidak berpotensi pada kasus ini. Di lingkungan sekitar lebih terlihat pada kasus kekerasan fisik. Dan mereka masih beranggapan kekerasan seksual masih menjadi hal yang tabu bagi mereka semua. Dengan hasil tersebut responden yakin bahwa penganiayaan seksual dan pemaksaan seksual merupakan perilaku kekerasan seksual. Karena dari hasil penelitian Yuliani (2008) beranggapan bahwa seseorang memaksakan kehendak di luar kemauan dan kemampuan orang tersebut maka telah dikategorikan sebagai tindak perilaku kekerasan atau KDRT. Seseorang yang tidak menyukai atau marah terhadap bagian tubunya, seksual yang tidak terpenuhi sehingga melakukan kekerasan seksual. Pada keadaan ini respon psikologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah

53 meningkat, takhikardi, wajah merah, menimbulkan rasa marah, merasa tidak adekuat, mengungkapkan secara verbal menjadi lega, kebutuhan terpenuhi. (Latipun, 2010). d. Kekerasan Sosial, Ekonomi Hasil penelitian dari perilaku kekerasan sosial, ekonomi dapat dijelaskan yang menyatakan setuju terhadap memaksa bekerja dan tidak memberi nafkah yaitu sebanyak 31 anak (70,5%). Sedangkan yang tidak setuju akan hal tersebut yaitu 13 anak (29,5 %). Berdasarkan dari hasil tersebut responden yakin pada memaksa bekerja dan tidak memberi nafkah merupakan perilaku kekerasan sosial, ekonomi. Karena jika dilihat dari sudut pandang mereka, mereka berangapan bekerja dan memberi nafkah adalah kewajiban orang tua bukan anak sekolah. Mereka beranggapan bahwa tugas anak hanya menuntut ilmu setinggi mungkin dan dapat membuat orang tuanya bangga atas prestasi yang dicapai. Dari lingkungan sekolah ataupun perkampungan belum ditemukan kasus seperti ini. Mereka mengetahui kasus ini dari pengetahuan mereka dari televisi atau guru yang mengajar di sekolah. Bahkan mereka mengamati dari sinetron-sinetron yang pernah tayang di televisi, dari situlah asumsi mereka mengenai kasus kekerasan sosial, ekonomi. Dan dari kasus kekerasan sosial, ekonomi mereka merasa iba pada anak yang mengalami kasus tersebut, karena mereka yang harus bekerja keras karena orang tua yang memaksa bekerja dan tak memberi nafkah. Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuhkembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau

54 masyarakat. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya (Suharto, 1997). e. Penelantaran Hasil penelitian dari penelantaran dapat dijelaskan penelantaran yang menyatakan setuju pada acuh tak acuh terhadap keluarga sebanyak 32 anak (72,7 %), yang tidak setuju akan hal itu sebanyak 12 anak (27, 3%). Berdasarkan hasil tersebut responden yakin bahwa acuh tak acuh merupakan perilaku penelantaran baik dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar. Persepsi dari responden bisa didapatkan karena responden yang mempunyai gambaran pada yang pernah mereka lalui. Dari banyak kasus penelantaran yang marak diberitakan di beberapa media massa membuat mereka semakin mengerti dalam kasus ini. Kasus ini hampi sama dengan kasus kekerasan sosial, ekonomi. Namun, dalam kasus ini jauh lebih tidak manusiawi yang telah menelantarkan anggota keluarganya. Mungkin dari kasus ini responden dapat melihat di tepi jalan sang anak yang terpaksa meminta-minta karena orang tua yang tak lagi mau mengurusnya. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang. Menurut Hayati (2000) bahwa akibat dari penelantaran rumah tangga menyebabkan seseorang terpaksa masuk ke dunia melacur, menjdai pencuri dan mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya, dan merampas milik orang lain.

55 3. Penyebab Perilaku Kekerasan Orang Tua Berdasarkan hasil penelitian dijelaskan bahwa persepsi anak pada penyebab perilaku kekerasan orang tua adalah pemarah. Dan dari hasil yang menyatakan setuju bahwa pemarah adalah salah satu penyebab terjadinya perilaku kekerasan orang tua yaitu sebanyak 32 anak (73 %). Sedangkan yang tidak setuju mengenai hal itu sebanyak 12 anak (27%). Dari hasil penelitian tersebut responden yakin bahwa kekerasan fisik yang sering terjadi dibanding kekerasan psikis atau kekerasan lainnya jika penyebab perilaku kekerasan mulai tak terkendali, karena seseorang yang emosi berlebihan dan tidak dapat mengatasi emosinya tersebut dengan cara melampiaskan dengan cara memukul atau menendang. Pada hasil yang telah diketahui berdasar hasil di atas, salah satu penyebab terjadinya perilaku kekerasan orang tua adalah pemarah. Karena dengan pemarah seseorang tersebut mengalami stres yang di mana tidak dapat memenuhi kebutuhan layaknya orang pada umumnya. Dalam hal ini seseorang tersebut merasa putus asa dan selalu merasa emosi akhirnya emosi tersebut menjadi sebuah perilaku kekerasan yang bisa terjadi di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan sekitar. Tak sedikit anak yang mengalami kasus perilaku kekerasan orang tua, bahkan perilaku kekerasan bisa terjadi para kaum perempuan. Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat (Ichwan, 2010). Tindakan kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai fatkor, antara lain : faktor ekonomi; kultur hegomoni yang patriarkis; merosotnya

56 kepedulian dan solidaritas sosial; masyarakat miskin empati dan belum memasyarakatnya UU PKDRT (Hanifah, 2007). 4. Respon Perilaku Kekerasan Orang Tua Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi anak pada respon perilaku kekerasan orang tua adalah sedih dan takut. Dan dapat dijelaskan pula bahwa respon dari perilaku kekerasan terbanyak pada kategori sedih. Hasil dari yang menyatakan setuju dengan sedih sebagai respon dari perilaku kekerasan yaitu sebanyak 32 anak (73%), sedangkan yang tidak setuju 12 anak (27%). Sedangkan yang menyatakan setuju pada takut sebagai respon perilaku kekerasan sebanyak 30 anak (68 %). Sedangkan yang tidak setuju sebanyak 14 anak (32%). Reaksi dari anak ketika dikenai kekerasan oleh orang tuanya adalah anak akan mengalami traumatis yang nantinya menimbulkan permasalahan di berbagai segi kehidupannya yaitu permasalahan reasional, emosional, dan masalah perilaku. Kesedihan juga dirasakan ketika dirinya merasa bahwa orang tua yang seharusnya menyayangi serta melindungi, akan tetapi dalam hal ini diperlakukan sebaliknya yaitu dengan melakukan perilaku kekerasan. Seperti yang telah diketahui, anak mendapatkan ancaman dari perilaku kekerasan untuk tidak menceritakan kekerasan yang dialaminya, sehingga membuat anak menjadi cemas dan takut akan ancaman tersebut sehingga memilih untuk menuruti perintah dan membuatnya menutupi kekerasan tersebut. Menurut Irwanto (2002), perkembangan kesehatan mental pada pihak korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami perlakuan yang salah pada umumnya lebih lambat dari manusia yang normal, yaitu akan mengalami gangguan kepribadian kesehatan mental yaitu menjadi kurang percaya diri, harga diri rendah, dan selalu menganggap dirinya tidak sempurna sebagai seorang istri yang sakinah dalam melayani suami atau pasangannya. Kemudian koping individu tidak efektif, takut serta tingkat kecemasan yang tinggi. Kemudian menurut Mathias et.al (1995)

57 menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan membaca di usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi.