GAYA BAHASA DALAM ANTOLOGI CERPEN REALITA DI BALIK LENSA KARYA MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS NONREGULER A 2010 FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI PADANG Oleh: Yusiar Br Purba 1, Harris Effendi Thahar 2, Yasnur Asri 3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang email: yusniarbrpurba@gmail.com ABSTRACT This research aims to describe type and function the language style that used in the short story anthology of Realita di Balik Lensa who created by university students of Indonesian Language and Literature Education class of nonregular A Faculty of Language and Art State University of Padang. The data of this research is sentences which used the language style. The data were collected by read every short story repeatedly, identification, classification, and then put it into inventory table. The results of the research show that 149 citations used the language style, 87 citations is comparison language style and 62 citations is uncomparison language style. The comparison language style is 11 types, such us: simile, metaphor, personification, metonymy, sinekdoke, hyperbole, allusion, paradox, oxymoron, epithets, and hipalase. The uncomparison language style is 14 types, such us: climax, repetition, parallelism, antithesis, anastrof, asyndeton, kiasmus, ellipsis, histeron porteron, periferasis, redundancy, prolepsis, rhetorical question, and silepsis. Personification and repetition is a type of comparison and uncomparison language style which most founded. The usage of language style in the short story anthology of "Realita di Balik Lensa" has four functions, it s: 75 citations to beautified, 50 citations to concreted, 22 citations to asserted, and 2 citations to quipped. Kata kunci: gaya bahasa, antologi, cerpen A. Pendahuluan Karya sastra lebih dikenal sebagai karya kreatif. Sebagai hasil kegiatan menulis kreatif, karya sastra harus diciptakan sekreatif mungkin. Semakin kreatif si penulis menciptakan karya sastra, semakin menarik pula karya sastra itu untuk dinikmati pembaca. Salah satu karya sastra adalah cerpen. Dalam menulis cerpen dibutuhkan ide, imajinasi, dan keterampilan menulis yang baik. Keterampilan menulis yang baik ditandai dengan tersampaikannya pikiran penulis kepada pembaca. Selain itu, dibutuhkan juga kreativitas penulis dalam menggunakan bahasa agar indah ketika dibaca. Gaya bahasa merupakan media yang dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran sekaligus memperindah bahasa dalam cerpen. Sebagai salah satu unsur intrinsik, gaya bahasa sangat memengaruhi terciptanya sebuah cerpen. Melalui gaya bahasa, dua penulis yang 1 Penulis Skripsi, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, wisuda Maret 2017 2 Pembimbing I, Dosen FBS Universitas Negeri Padang 3 Pembimbing II, Dosen FBS Universitas Negeri Padang 84
Gaya Bahasa Dalam Antologi Cerpen Realita Di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Padang-Yusiar Br Purba, Harris Effendi Thahar, Yasnur Asri ditugaskan menulis cerpen menggunakan unsur intrinsik yang sama dapat menghasilkan cerpen dengan daya tarik yang berbeda. Cerpen dapat ditemukan di media massa dan di buku. Cerpen yang telah dibukukan disebut antologi cerpen. Salah satu antologi cerpen adalah Realita di Balik Lensa. Setelah membaca antologi tersebut, ditemukan berbagai kutipan yang mengandung gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan salah satu unsur intrinsik cerpen yang perlu diketahui dalam memahami dan menulis cerpen. Dengan demikian, penelitian ini berperan penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu dalam kurikulum 2013 edisi revisi kelas IX semester I KD 3.5 dan 3.6, yakni dalam hal memahami dan menelaah unsur serta aspek kebahasaan cerpen. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut, penelitian dengan judul Gaya Bahasa dalam Antologi Cerpen Realita di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang penting dilakukan karena dapat memberikan kontribusi dalam kemajuan bidang bahasa, sastra, dan pendidikan. B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan dikaji menggunakan metode deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi lebih menganalisis bahasa verbal (Semi, 1993:23). Data yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu satuan bahasa-satuan bahasa yang kemudian akan dideskripsikan (Ratna, 2012:47). Sumber data penelitian ini adalah cerpen-cerpen yang terdapat dalam antologi cerpen Realita di Balik Lensa (Iskandar, dkk., 2010:1 286). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel bertujuan atau purposive sampling, yakni mencari data-data seperti cerpen yang dapat dikaji gaya bahasanya. Kriteria penentuan sampel tersebut adalah dalam cerpen harus terdapat minimal tiga gaya bahasa. Apabila di dalam cerpen terdapat kurang dari tiga gaya bahasa, cerpen tersebut tidak digunakan sebagai sampel penelitian. Teknik pengabsahan data penelitian ini adalah triangulasi, yaitu memanfaatkan sesuatu yang lain yang ada di luar data untuk keperluan pengecekan data (Moleong, 2010:330). Ahli yang memeriksa keabsahan data dalam penelitian ini adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang yaitu Zulfadhli, S.S, M.A. C. Pembahasaan 1. Gaya Bahasa yang Terdapat dalam Antologi Cerpen Realita di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang Gaya bahasa yang ditemukan dalam cerpen adalah 11 jenis gaya bahasa perbandingan dalam 87 kutipan dan 14 jenis gaya bahasa nonperbandingan dalam 62 kutipan. Gaya bahasa perbandingan yang ditemukan yaitu simile, metafora, personifikasi, metonimi, sinekdoke, hiperbola, alusi, paradoks, oksimoron, epitet, dan hipalase. Gaya bahasa nonperbandingan yang ditemukan yaitu klimaks, repetisi, paralelisme, antitesis, anastrof, asindeton, kiasmus, elipsis, histeron porteron, pereferasis, pleonasme, prolepsis, pertanyaan retoris, dan silepsis. a. Gaya Bahasa Perbandingan 1) Simile Dalam cerpen ditemukan 27 kutipan yang mengandung gaya bahasa simile. Simile adalah gaya bahasa yang menyamakan sesuatu dengan yang lain menggunakan kata perumpamaan secara eksplisit (Manaf, 2010:125). Berdasarkan teori tersebut, kutipan berikut yang ditemukan dalam C1 dan C2 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa simile karena menyatakan sesuatu 85
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2017; Seri A 84-92 sama dengan yang lain dan ditandai dengan penggunaan kata perumpamaan secara eksplisit yaitu bak dan petir. Ia bak idola di sekolahku. Suara ibuku terdengar bagai petir menyambar membangunkanku. 2) Metafora Dalam cerpen ditemukan 12 kutipan yang mengandung gaya bahasa metafora. Metafora adalah gaya bahasa perbandingan yang kata pembandingnya tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan secara implicit (Manaf, 2010:125). Berdasarkan teori tersebut, kutipan berikut dikategorikan sebagai gaya bahasa metafora karena mengibaratkan pelajaran matematika seperti hantu. Namun, kata seperti diungkapkan secara implisit melalui penggunaan kata adalah. Bagi Raka, matematika adalah hantu. 3) Personifikasi Dalam cerpen ditemukan 29 kutipan yang mengandung gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang memperlakukan sesuatu apapun seolah-olah memiliki sifat-sifat atau berperilaku seperti manusia (Manaf, 2010:126). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C16 berikut merupakan gaya bahasa personifikasi, karena sebuah suasana yaitu saat pagi-pagi di bulan April dibuat seolah-olah bertindak seperti manusia yaitu dapat menyeret. Pagi bulan April menyeret diriku akan kisah itu. Menyeret dapat diartikan menarik maju atau memaksa ikut. Menyeret dapat dilakukan manusia dengan langsung mengunakan tangan apabila sesuatu yang diseret termasuk kecil atau ringan atau dapat juga menggunakan benda-benda lain seperti tali. 4) Metonimi Dalam cerpen ditemukan 2 kutipan yang mengandung gaya bahasa metonimi. Gaya bahasa jenis ini menggunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu yang lain karena mempunyai hubungan yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulit, dan sebagainya (Manaf, 2010:126). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C20 berikut ini dikategorikan sebagai gaya bahasa metonimi karena menggunakan kata merah untuk menyatakan rendah atau buruk. Hubungan antara nilai rapor dengan merah adalah bersifat akibat untuk sebab. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seseorang yang dianugerahi kecerdasan oleh sang pencipta. Umumnya, nilai yang ditulis menggunakan pena bertinta merah di dalam rapor adalah nilai-nilai yang rendah atau buruk. Hal itu sudah dianggap sebagai pemahaman umum. Oleh sebab itu, orang-orang akan langsung mengerti bahwa ketika disebutkan rapornya banyak tinta merah, artinya adalah nilainya rendah-rendah atau banyak yang tidak lulus. 5) Sinekdoke Dalam cerpen ditemukan 2 kutipan yang mengandung gaya bahasa sinekdoke. Sinokdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan unsur sebagian atau kata khusus, tetapi sesungguhnya mengacu kepada unsur keseluruhan. Begitupun sebaliknya, unsur keseluruhan atau kata umum digunakan kepada sesuatu yang mengacu ke unsur sebagian (Manaf, 2010:126). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C3 berikut ini dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa sinekdoke. 86
Gaya Bahasa Dalam Antologi Cerpen Realita Di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Padang-Yusiar Br Purba, Harris Effendi Thahar, Yasnur Asri Ia berusaha belajar untuk tidak mudah percaya pada omongan manis makhluk adam. Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa sinekdoke jenis totum pro parte yaitu menyebut unsur keseluruhan atau unsur umum, tetapi sebenarnya hanya mengacu pada unsur sebagian. Unsur keseluruhan yang dimaksud dalam cerpen ini adalah adam atau semua laki-laki yang dianggap mengumbar janji manis, tetapi sebenarnya yang mengumbar janji manis kepada Arina hanya satu laki-laki, yaitu Aditya. 6) Hiperbola Dalam cerpen ditemukan 4 kutipan yang mengandung gaya bahasa hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa yang memiliki pernyataan berlebihan yaitu dengan cara membesarmembesarkan sesuatu dari kenyataan. (Manaf, 2010:127). Berdasarkan teori tersebut, kutipan yang ditemukan dalam C19 dikategorikan sebagai gaya bahasa hiperbola karena membesarbesarkan sesuatu. Aku tak kuasa jika air mata itu harus jatuh melubangi pipinya yang lesung itu. Membesar-besarkan yang dimaksud dalam hal ini adalah pernyataan tentang air mata yang dapat melubangi pipi. Air mata bukan sebuah benda yang runcing yang dapat melubangi sesuatu. 7) Alusi Dalam cerpen ditemukan 1 kutipan yang mengandung gaya bahasa alusi. Alusi adalah gaya bahasa yang menyugestikan kesamaan antara orang, tempat, keadaan atau peristiwa dengan acuan tetentu (Manaf, 2010:127). Berdasarkan teori tersebut, kutipan yang ditemukan dalam C19 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa alusi. Ya, kota Jambi tempatku menghabiskan waktu kecilku hingga mengantongi KTP. Hal yang disugestikan dalam kutipan tersebut adalah antara seseorang yang telah berumur tujuh belas tahun dengan mengantongi KTP (Kartu Tanda Penduduk). Di Indonesia, seseorang yang sudah mempunyai KTP pastilah sudah berumur tujuh belas tahun. Hal itu sudah dianggap sebagai pengetahuan umum. 8) Paradoks Dalam cerpen ditemukan 1 kutipan yang mengandung gaya bahasa paradoks. Paradoks adalah gaya bahasa yang memiliki pernyataan yang bertentangan dari kebiasaan yang ada atau kurang logis (Manaf, 2010:127). Berdasarkan teori tersebut, kutipan dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa paradox. Aku benci menjadi orang yang sangat kaya. (C13 Hal. 196) Biasanya, semua orang menyukai dan bermimpi menjadi orang kaya. Namun, pernyataan tersebut yakni si aku, mengacu kepada Rendi justru membenci menjadi orang yang sangat kaya. 9) Oksimoron Dalam cerpen ditemukan 1 kutipan yang mengandung gaya bahasa oksimoron. Oksimoron adalah gaya bahasa yang menggunakan frasa yang maknanya saling bertentangan untuk membangun kebalikan makna yang tajam (Manaf, 2010:128). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C6 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa oksimoron. 87
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2017; Seri A 84-92 Lebih lunglai lagi ketika aku dihibahkan tugas membuat tulisan tentang kehidupan datuk yang memang menyenangkan namun terasa seratus kali lebih sulit. (C6 Hal. 47) 10) Epitet Dalam cerpen ditemukan 5 kutipan yang mengandung gaya bahasa epitet. Epitet adalah gaya bahasa yang menggunakan frasa deskriptif ungkapan untuk menggantikan nama orang, binatang, atau benda (Manaf, 2010:128). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C14 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa epitet karena menggunakan frasa deskriptif kabar burung dalam menyatakan berita yang belum jelas kebenarannya. Pernah aku dengar kabar kalau dia dipaksa menikahi seoran gadis karena terlalu dekatnya hubungan mereka. Tetapi ternyata semua itu hanya kabar burung. (C14 Hal. 216) Kabar burung yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah terkait dengan pernikahan Wahyu dengan perempuan lain. Orang-orang mengetahui bahwa Wahyu telah menikah. Berita itu tersebar tanpa terbukti kebenarannya. 11) Hipalase Dalam cerpen ditemukan 3 kutipan yang mengandung gaya bahasa hipalase. Hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frasa yang tidak tepat untuk menerangkan sesuatu (Manaf, 2010:129). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C15 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa hipalase. Lery tidak cantik, tetapi hatinya sangat cantik bagiku. (C15 Hal. 226) Kata cantik digunakan untuk menerangkan hati, padahal lebih tepat untuk menerangkan wajah. Penggunaan gaya bahasa hipalase berfungsi untuk memperjelas cerpen sekaligus memperindah bahasa di dalam cerpen. b. Gaya Bahasa Nonperbandingan 1) Klimaks Dalam cerpen ditemukan 7 kutipan yang mengandung gaya bahasa klimaks. Klimaks adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan meletakkan satuan bahasa yang maknanya kurang penting, disusul makna yang penting, begitu seterusnya sampai ke satuan bahasa yang maknanya sangat penting (Manaf, 2010:130). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C7 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa klimaks. Sekarang, esok, lusa, dan selamanya akan selalu mengisi hari-hariku. Gaya bahasa klimaks biasa digunakan untuk menegaskan makna sesuatu yang dimaksudkan. Maksud kutipan tersebut adalah untuk menjelaskan peran seorang laki-laki dalam kehidupan perempuan, yaitu si tokoh yang diceritakan dalam cerpen. 2) Repetisi Dalam cerpen ditemukan 14 kutipan yang mengandung gaya bahasa repetisi. Repetisi adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan mengulang kata-kata yang penting atau kata-kata kunci untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Manaf, 2010:130). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C8 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa repetisi. Aku beruntung memiliki Wahyu. Aku beruntung dicintai Wahyu. Aku beruntung dapat banyak pelajaran dari Wahyu. Aku paling beruntung ketika menjawab iya atas pertanyaan Wahyu. Aku sangat beruntung jadi pacar Wahyu. 88
Gaya Bahasa Dalam Antologi Cerpen Realita Di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Padang-Yusiar Br Purba, Harris Effendi Thahar, Yasnur Asri 3) Paralelisme Dalam cerpen ditemukan 3 kutipan yang mengandung gaya bahasa paralelisme. Paralelisme adalah gaya bahasa yang membentuk kesejajaran pemakaian kata-kata, frasa, klausa yang menduduki fungsi tertentu dalam kalimat (Manaf, 2010:131). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C12 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa paralelisme. Randy memang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Frasa yang dianggap sejajar tersebut adalah memang kejam dan tidak berperikemanusia. Kedua frasa tersebut memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai predikat. 4) Antitesis Antitesis adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata, frasa, atau klausa yang saling bertentangan gagasannya (Manaf, 2010:131). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C13 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa antitesis karena mendekatkan kata-kata yang berlawanan makna dalam satu kalimat. Ada bahagia dan duka yang membaur jadi satu. 5) Anastrof Anastrof adalah gaya bahasa yang menggunakan susunan unsur kalimat yang tidak biasa (Manaf, 2010:131). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C5 dapat dikategorikan gaya bahasa anastrof karena membalikkan unsur kalimat yaitu keterangan. Sebulan sudah aku mencari gadis mungil itu. Jika diubah menjadi kalimat yang biasa, susunan kalimat tersebut adalah Sudah sebulan aku mencari gadis mungil itu. 6) Asindeton Asindeton adalah gaya bahasa yang gagasannya padat dan rinci, tetapi disebutkan tanpa konjungsi atau kata penghubung pada satuan bahasa yang sejajar. Bentuk-bentuk seperti itu biasanya hanya dipisahkan dengan tanda koma (Manaf, 2010:132). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C3 dapat dikategorikan gaya bahasa asindeton. Buatnya, pria itu nafas, mataharinya, pusat dari segala kehidupannya 7) Kiasmus Kiasmus adalah gaya bahasa yang satuan bahasanya berimbang secara gramatika maupun maknanya, tetapi susunannya terbalik dibandingkan dengan susunan satuan bahasa lainnya (Manaf, 2010:133). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C10 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa kiasmus. Ringan ia berlari ke samping supir, temanku yang menyetir di balik kaca gelap tiga puluh persen. Satuan bahasa yang dibalikkan tersebut dapat dikembalikan susunannya sebagai berikut. Ia berlari dengan ringan ke samping supir. 8) Elipsis 89
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2017; Seri A 84-92 Elipsis adalah gaya bahasa yang menghilangkan kata atau frasa, tetapi dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan orang lain (Manaf, 2010:133). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C17 dapat dikategorikan sebagai ellipsis. Bahkan aku tidak tahu, masihkah dia hidup ataukah... Isi dari bagian yang dihilangkan tersebut adalah mati. Jadi kalimat tersebut akan lengkap menjadi Bahkan aku tidak tahu, masihkah dia hidup ataukah mati. 9) Histeron Porteron Gaya bahasa jenis ini menempatkan kejadian yang terakhir terjadi pada bagian awal (Manaf, 2010:134). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C18 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa histeron porteron. Aku sedih sekali dengan kondisi bapak. Telah hampir empat tahun ia tidak menarik angkot lagi. Artinya, telah hampir empat tahun pula ia terbaring. 10) Periferasis Periferasis adalah gaya bahasa yang menggunakan satuan bahasa yang banyak atau tidak langsung pada sasaran (Manaf, 2010:137). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C19 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa periferasis. Aku terbangun kemudian di sebuah ranjang bergaris hitam putih. Kulihat di sekeliling ada sesosok wanita memakai cop perawat dan seorang pria yang menggantung stetiskop di lehernya. 11) Pleonasme Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata atau frasa berlebih untuk menegaskan suatu maksud. Ciri pleonasme adalah bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh (Manaf, 2010:137). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C10 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa pleonasme. Sigap temanku mengangkat tangan, melambai ringan memberi tanda. Apabila frasa mengangkat tangan dihilangkan, maka arti kalimat tersebut tetap utuh. Hal itu disebabkan ketika seseorang melambai pastilah dia mengangkat tangannya. Jadi kata melambai sudah mewakili arti yang ingin disampaikan. 12) Prolepsis Prolepsis adalah gaya bahasa yang mengungkapkan peristiwa yang secara kronologis terjadi belakangan, tetapi justru diungkapkan di bagian awal (Manaf, 2010:138). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C19 dapat dikategorikan sebagai gaya bahasa prolepsis. Memang kondisiku agak aneh setelah kecelakaan yang menimpaku dan papa waktu aku SMA dulu. Kami tidak bisa menahan takdir ajal papaku ketika pulang menonton bola di Persijam. 13) Pertanyaan Retoris Pertanyaan retoris adalah gaya bahasa yang mengajukan pertanyaan, tetaoi tidak membutuhkan jawaban (Manaf, 2010:138). Berdasarkan teori tersebut, kutipan C17 dapat dikategorikan gaya bahasa pertanyaan retoris. 90
Gaya Bahasa Dalam Antologi Cerpen Realita Di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Padang-Yusiar Br Purba, Harris Effendi Thahar, Yasnur Asri Mungkinkah harapan itu tak akan kembali terjadi? Pertanyaan di dalam cerpen diajukan pengarang kepada pembaca, tetapi pembaca tidak perlu menjawab. Hal itu disebabkan pertanyaan tersebut memunyai satu jawaban yang langsung diketahui pembaca dari cerita sebelumnya. Kemungkinan jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin ya mungkin tidak. 14) Silepsis Silepsis adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan menghubungkan satu kata dengan kata yang lain yang dapat diterima secara gramatik tetapi tidak secara semantik (Manaf, 2010:139). Berikut adalah salah satu kutipan silepsis yang ditemukan dalam antologi cerpen. Iya. Febi ya? Jawabku gugup dengan penuh peluh di sekujur badan dan nyawaku. 2. Fungsi Gaya Bahasa yang Terdapat dalam Antologi Cerpen Realita di Balik Lensa Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Nonreguler A 2010 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang Fungsi gaya bahasa yang ditemukan terdiri atas empat, yaitu mengonkretkan, menegaskan, memperindah, dan menyindir. a. Mengonkretkan Fungsi mengonkretkan dalam cerpen ditemukan sebanyak 50 kutipan. Mengonkretkan adalah usaha penulis memperjelas pemahaman ataupun bayangan pembaca terhadap latar suasana, tempat, dan waktu dalam cerita. Berikut adalah kutipan gaya bahasa personifikasi yang berfungsi untuk mengonkretkan. Pagi bulan April menyeret diriku akan kisah itu. b. Menegaskan Menegaskan berarti menerangkan atau menjadikan lebih jelas pernyataan yang dianggap penting dalam suatu wacana. Fungsi gaya bahasa untuk menegaskan dalam cerpen ditemukan sebanyak 22 kutipan. Berikut adalah kutipan gaya bahasa repetisi yang berfungsi untuk menegaskan. Aku beruntung memiliki Wahyu. Aku beruntung dicintai Wahyu. Aku beruntung dapat banyak pelajaran dari Wahyu. Aku paling beruntung ketika menjawab iya atas pertanyaan Wahyu. c. Memperindah Gaya bahasa yang berfungsi memperindah bertujuan untuk menyiasati agar pembaca tidak bosan dengan bahasa yang digunakan pengarang. Fungsi memperindah dalam cerpen merupakan fungsi gaya bahasa yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 75 kutipan. Berikut adalah kutipan gaya bahasa simile yang berfungsi untuk memperindah cerpen. Hujan mulai menitik, dan perlahan menjadi tirai lebat seperti rumbai raksasa. d. Menyindir Gaya bahasa yang berfungsi menyindir ditemukan hanya dua kutipan. Berikut adalah kutipan gaya bahasa sinekdoke yang berfungsi untuk menyindir. Ia berusaha belajar untuk tidak mudah percaya pada omongan manis makhluk adam. 91
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2017; Seri A 84-92 Kalimat tersebut merupakan gaya bahasa sinekdoke jenis totum pro parte. Hal itu disebabkan yang disebut dalam kalimat tersebut adalah unsur keseluruhan atau unsur umum, tetapi sebenarnya hanya mengacu pada unsur sebagian. D. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan dua hal berikut. Pertama, dalam antologi cerpen ditemukan 149 kutipan yang mengndung gaya bahasa yang tercakup dalam 11 jenis gaya bahasa perbandingan dan 14 jenis gaya bahasa nonperbandingan. Kedua, fungsi gaya bahasa yang ditemukan dalam cerpen adalah mengonkretkan, menegaskan, memperindah, dan menyindir. Penelitian tetang gaya bahasa ini diharapkan dapat diterapkan sebagai alternatif dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yaitu seperti dalam mengidentifikasi unsur cerpen, menulis cerpen, dan menelaah atau mengapresiasi cerpen. Catatan: artikel ini disusun berdasarkan skripsi Yusniar Br Purba dengan Pembimbing I Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd. dan Pembimbing II Prof. Dr. Yasnur Asri, M.Pd. Daftar Rujukan Iskandar, dkk. (2010). Realita di balik lensa. Tugas Mahasiswa. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang. Manaf, N. (2010). Semantik bahasa Indonesia. Padang: UNP Press. Moleong, L. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ratna, N. (2012). Teori metode dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, A. (1993). Metode penelitian sastra. Bandung: Angkasa. 92