BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAAN. pada masa ini terjadi peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Batubara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja adalah penduduk yang berusia tahun yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan kelompok remaja tidak dapat diabaikan begitu saja. World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memiliki jumlah remaja sebesar 43,5 juta jiwa (usia 10-

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS dan penularannya di dunia meningkat dengan cepat, sekitar 60 juta orang di dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. kelompok umur tahun dengan total jiwa, jenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. Data Pusat Informasi dan Layanan Remaja (PILAR) dan Perkumpulan. Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jateng tahun 2012 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International. berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

PENGARUH KONSELING KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SEKSUAL REMAJA (STUDI DI SMAN 1 MARGAHAYU BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. kecanduan narkoba dan ujung ujungnya akan terinfeksi HIV Aids dengan hal

BAB I PENDAHULUAN. produktif secara sosial dan ekonomis. 1 Pengertian tersebut dapat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. data BKKBN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah

BAB I PENDAHULUAN. juta jiwa adalah remaja usia tahun (BkkbN,2014). Menurut bidang

EFEKTIVITAS PROMOSI KESEHATAN DENGAN METODE PEER EDUCATOR TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG HIV/AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. saat usia remaja terjadi peningkatan hormon-hormon seksual. Peristiwa

BAB 1 : PENDAHULUAN. sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja atau young people adalah anak yang berusia tahun (World

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dari program kesehatan reproduksi remaja adalah untuk membantu remaja

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang berusia tahun. Remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

proses kaderisasi. Adanya dukungan kebijakan yang tidak diimbangi dukungan dana yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan tahap kehidupan seseorang mencapai proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan reproduksi menurut definisinya merupakan keadaan sehat dan

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk dunia merupakan remaja berumur tahun dan sekitar 900

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB I PENDAHULUAN.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Menular Seksual adalah penyakit yang penularannya terutama

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN PADA REMAJA PUTRI DI SMA 1 PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

BAB I PENDAHULUAN. serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia sesuai Visi Indonesia Sehat 2010 ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

BAB I PENDAHULUAN. populasi yang terbesar dari penduduk dunia. Sekitar seperlima penduduk dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PELAJAR TERHADAP PROGRAM GENERASI BERENCANA DI SMA NEGERI 13 MEDAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa. Sebesar 63,4 juta jiwa diantaranya

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29,

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Indonesia, sejak tahun Kementerian Kesehatan telah mengembangkan model pelayanan

Pengaruh Peer Group Terhadap Peningkatan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 1 juta orang mendapatkan Penyakit Menular Seksual (PMS) setiap hari. Setiap tahun sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik

SURVEI PERILAKU KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PADA SISWA SMA NEGERI PERKOTAAN DAN PEDESAAN DI KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa

PENGARUH INTERVENSI PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terselesaikan hingga sekarang. Pada tahun 2013 Wolrd Health Organization

PERBEDAAN EFEKTIVITAS METODE PEER EDUCATION DAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENGETAHUAN DAN PERSEPSI REMAJA MENGENAI SEKS PRANIKAH

Dewi Puspitaningrum 1), Siti Istiana 2)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi kesehatan reproduksi sangat penting dalam pembangunan nasional karena remaja adalah aset dan generasi

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : Asti Listyani PROGRAM

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur 10-19 tahun (WHO, 2015 a ). Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dan 26,67% diantaranya adalah remaja (BKKBN, 2011). Persentase kelompok umur 10-19 tahun adalah sekitar 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan (BPS, 2009 dalam Agustini & Arsani, 2013). Besarnya jumlah remaja akan mempengaruhi pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang sehingga remaja perlu mendapat perhatian serius karena mereka masih termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja, serta akan memasuki usia reproduksi (WHO, 2015 a ). Remaja mengalami pengikisan norma, nilai serta gaya hidup yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat, yang diikuti pula oleh revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir (Suryoputro et al., 2006). Remaja juga tidak sepenuhnya mampu memahami pengambilan keputusan kesehatan sehingga mereka sangat rentan terhadap perilaku berisiko tinggi, terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk perilaku seksual pranikah (WHO, 2015 a ; BKKBN, 2011; Suryoputro et al., 2006). Beberapa permasalahan kesehatan seksual dan reproduksi remaja antara lain kehamilan dini, mortalitas dan morbiditas selama kehamilan dan persalinan misalnya aborsi yang tidak aman, infeksi menular seksual misalnya HIV, serta praktik-praktik tradisional berbahaya seperti female genital mutilation atau 1

2 pemotongan alat kelamin wanita dan sexual coercion atau pemaksaan seksual (WHO, 2012). Pada negara berpendapatan rendah dan menengah, hampir 10% perempua menjadi ibu pada usia 16 tahun (WHO, 2016). Di wilayah Afrika, angka kematian ibu menyumbang hampir 26% dari peningkatan jumlah kematian pada wanita berusia 10-24 tahun (Patton et al., 2009). Persalinan dini meningkatkan risiko kematian dan morbiditas serta meningkatkan risiko aborsi yang tidak aman (Blanc et al., 2013; Ganchimeg et al., 2014; BKKBN, 2011). Salah satu dampak seks di luar nikah tidak hanya berakibat kehamilan, tetapi juga penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS (Hanwari, 2006). Pada tahun 2014, sekitar 2 juta remaja di seluruh dunia hidup dengan HIV dan AIDS menjadi penyebab utama kematian remaja di Afrika dan penyebab kedua kematian remaja di dunia (UNICEF, 2016). Rendahnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan seksual pra-nikah pada mahasiswa (Suryoputro et al., 2006; Azinar, 2013). Banyak remaja mengetahui tentang seks, namun faktor budaya melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap tabu. Hal tersebut menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, dimana para remaja hanya mengetahui cara untuk melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul akibat perilaku seks (Azinar, 2013). Penelitian Chiuman (2009) menyebutkan bahwa 44 responden (52,4%) memiliki pengetahuan yang kurang mengenai infeksi menular seksual. Penelitian Winaryati & Iriyanto (2010) terhadap siswi SMP Muhammadiyah se-kota

3 Semarang bahkan menyebutkan bahwa hanya terdapat 3 responden (1,4%) dari 217 responden yang mempunyai pengetahuan baik mengenai menstruasi, seks, penyakit kelamin, KB, dan media informasi yang dimiliki. Penelitian Nurmansyah et al. (2012) juga menyebutkan bahwa pengetahuan remaja mengenai menstruasi, masa subur, dan risiko reproduksi masih tergolong rendah. Rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi disebabkan oleh keterbatasan akses remaja untuk mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Banyak pihak yang belum mengerti dan memahami tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Remaja akhirnya mendapatkan informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi dari sumber-sumber informasi yang belum tentu benar (Imron, 2012). Paparan sumber informasi yang kurang tepat, seperti situs porno akan mempengaruhi tingginya perilaku seksual pada remaja (Nuryani & Pratami, 2011). Penelitian Musthofa & Winarti (2010) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah berisiko pada mahasiswa salah satunya adalah sikap. Mereka yang memiliki sikap lebih permisif terhadap masalah seksualitas akan cenderung melakukan hubungan seksual pranikah. Penelitian Chiuman (2009) menyebutkan bahwa hanya 5 responden (6%) dari 100 responden yang mempunyai sikap baik terhadap infeksi menular seksual. Pembentukan sikap dipengaruhi oleh persepsi pengalaman pribadi, kebudayaan, relasi, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi di dalam diri individu (Suhud & Tallutondok, 2009).

4 Upaya promotif dan preventif terhadap permasalahan remaja telah dilakukan, salah satunya melalui pembentukan PIK-KRR yang merupakan program BKKBN (BKKBN, 2012). Program PIK-KRR menjadi wadah kegiatan program kesehatan reproduksi remaja untuk memberikan pelayanan informasi dan konseling tentang pendewasaan usia perkawinan, delapan fungsi keluarga, TRIAD-KRR (meliputi seksualitas, HIV/AIDS, serta NAPZA), keterampilan hidup (life skills), gender, serta keterampilan advokasi dan KIE (BKKBN, 2012). Program PIK-KRR telah diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di provinsi DIY. Menurut data BKKBN DIY (2015) pencapaian program PIK-KRR secara keseluruhan di provinsi DIY mengalami peningkatan menjadi 83,03% dari tahun sebelumnya. Pencapaian program PIK-KRR yang dimaksud adalah jumlah sekolah yang telah melaksanakan program PIK-KRR berdasarkan KKP. Kabupaten Bantul memiliki pencapaian program PIK-KRR sebesar 93,33% yang termasuk dalam kategori paling baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di provinsi DIY (BKKBN DIY, 2015). Program PIK-KRR sebagai salah satu program pendidikan kesehatan telah didirikan dalam bentuk pelayanan informasi, konseling, maupun dalam bentuk klinik, misalnya informasi KRR di SMP/SMA, Klinik Konseling Remaja, Youth Center PKBI, Puskesmas Peduli Remaja, dan sebagainya (BKKBN, 2012). Bentuk pelayanan informasi yang ada salah satunya dengan menggunakan peer educator sebagai suatu strategi yang sangat efektif dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.

5 Peer educator atau pendidik sebaya adalah orang-orang yang menjadi narasumber atau konselor bagi kelompok sebayanya (Imron, 2012). Kelebihan peer educator yaitu menggunakan bahasa yang sama dan memiliki pola pikir yang sama dengan teman sebayanya sehingga peer educator sangat berpengaruh terhadap pembentukan pengetahuan, perilaku, dan kepribadian remaja (Y-PEER, 2005). Peer education merupakan program yang disarankan sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi remaja mengenai kehidupan seksual yang aman dan untuk menciptakan perubahan perilaku positif (Kırmızıtoprak & Şimşek, 2011). Intervensi peer education secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di Saki, Nigeria (Okanlawon & Asuzu, 2011). Peer education secara signifikan juga berhubungan dengan peningkatan pengetahuan tentang HIV, penurunan perilaku berbagi peralatan injeksi di kalangan pengguna narkoba suntik, dan peningkatan penggunaan kondom (Medley et al., 2009). Menurut data BKKBN DIY (2015) Kabupaten Bantul sudah memiliki 14 program PIK-KRR tahap tegar. Tahap tegar merupakan tahapan tertinggi dalam pengembangan PIK-KRR (BKKBN, 2012). Peneliti telah melakukan studi pendahuluan pada bulan Februari 2015 ke beberapa sekolah di Kabupaten Bantul yang mempunyai program PIK-KRR tahap tegar. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa hanya ada 2 sekolah yang mempunyai fasilitas PIK-KRR yang lengkap seperti ruang konseling, perpustakaan PIK-KRR, dan ruang khusus PIK-KRR. Sekolah tersebut yaitu SMA Negeri 1 Pundong dan SMA Negeri 1

6 Srandakan. Menurut Pembina PIK-KRR SMA Negeri 1 Pundong, program PIK- KRR di SMA Negeri 1 Pundong sedang mengalami kemunduran selama 2 tahun terakhir. Kemunduran tersebut dibuktikan dengan pelaksanaan layanan program PIK-KRR yang tidak rutin serta adanya masalah internal dari pengurus dan anggota aktif PIK-KRR. Pembina PIK-KRR dari BKKBN DIY juga menyatakan bahwa prestasi PIK-KRR di SMA Negeri 1 Pundong kurang menonjol. Lain halnya dengan SMA Negeri 1 Pundong, SMA Negeri 1 Srandakan memiliki prestasi yang baik dalam program PIK-KRR, diantaranya pernah menjadi Juara 1 PIK-KRR se-diy pada tahun 2013. Beberapa pengurus PIK- KRR di SMA Negeri 1 Srandakan pernah mendapatkan pelatihan dan kompetisi di lingkup daerah maupun nasional mengenai TRIAD-KRR. Beberapa siswa yang menjadi pengurus bahkan ditunjuk sebagai peer educator, namun pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sana sejauh ini masih mengandalkan pemberian materi dari BKKBN, PKBI, atau guru. Pengaruh peer educator dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja belum dirasakan secara maksimal karena program peer education belum dilaksanakan secara rutin dan efektif. Selain itu belum ada penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan. Berdasarkan data tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan.

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden penelitian. b. Mengetahui pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan sebelum dan sesudah diberikan peer education. c. Mengetahui sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan sebelum dan sesudah diberikan peer education. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan.

8 2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja. Remaja dapat mengetahui pengaruh peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi serta mendapatkan informasi yang terpercaya tentang kesehatan reproduksi remaja melalui peer educator. b. Bagi instansi pendidikan. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai suatu bahan pertimbangan untuk merencanakan dan mengembangkan program yang berkaitan dengan peer education sebagai bentuk pelayanan PIK-KRR di sekolah. c. Bagi perawat. Perawat dapat menerapkan peer education sebagai salah satu metode pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja. d. Bagi peneliti selanjutnya. Penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melakukan penelitian berikutnya terkait peer education tentang kesehatan reproduksi remaja. E. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran kepustakaan belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan metode peer education terhadap pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Srandakan. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain: 1. Perdana (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode Peer Education terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Praktik

9 Pencegahan HIV/AIDS bagi Warna Binaan Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta. Rancangan penelitiannya adalah quasi-experimental with control group. Respondennya adalah warga binaan Lapas Narkotika Yogyakarta dan Lapas Wirogunan Yogyakarta yang berjumlah 60 orang. Teknik samplingnya adalah purposive sampling. Variabel yang digunakan adalah peer education, pengetahuan, sikap, dan praktik. Uji yang digunakan adalah independen t-test. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa metode peer education meningkatkan pengetahuan secara signifikan, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap sikap dan praktik pencegahan HIV/AIDS. Persamaan penelitian Perdana (2013) dengan penelitian ini terletak pada variabel peer education, pengetahuan, dan sikap. Perbedaannya terletak pada rancangan penelitian, responden, teknik sampling, dan uji yang digunakan. 2. Ghebreyohanes et al. (2015) dalam penelitiannya yang berjudul The Effect of Peer Education on Peer Educators Reproductive Health Knowledge, Attitude, Health Service Use and Their Personal Development. Rancangan penelitiannya adalah pre-eksperimen (the one group pre-test post-test design). Respondennya adalah 17 pendidik sebaya yang lolos kriteria seleksi, dari 165 siswa perempuan yang dipilih secara acak di kelas IX. Teknik samplingnya adalah purposive sampling. Uji yang digunakan adalah paired t-test dan chisquare. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa peer education berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, serta meningkatkan sikap dan penggunaan pelayanan kesehatan

10 reproduksi oleh pendidik sebaya. Persamaan penelitian Ghebreyohanes et al. (2015) dengan penelitian ini terletak pada rancangan penelitian. Perbedaannya terletak pada responden, teknik sampling, dan uji yang digunakan. 3. Dewi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Efektivitas Peer Education terhadap Pengetahuan dan Sikap mengenai Kesehatan Reproduksi Siswa Kelas X SMAK St. Thomas Aquino Tahun Ajaran 2011/2012. Rancangan penelitiannya adalah quasi-experimental with control group. Respondennya adalah siswa kelas X SMAK St. Thomas Aquino yang berjumlah 120 orang. Teknik samplingnya adalah purposive sampling. Variabel yang digunakan adalah peer education, pengetahuan, dan sikap. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa metode peer education meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi. Persamaan penelitian Dewi (2011) dengan penelitian ini terletak pada variabel peer education, pengetahuan, dan sikap. Perbedaannya terletak pada rancangan penelitian, responden, dan teknik sampling yang digunakan.