BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyebab penyakit kronis di seluruh dunia dan merupakan penyebab utama neuropati di dunia barat (Bansal et al., 2006). Neuropati diabetika, selanjutnya disebut ND, merupakan komplikasi umum dari DM baik tipe 1 maupun 2, dan merupakan komplikasi yang intractable (Vinik & Pittenger, 2003; Yagihashi et al., 2011; Han et al., 2013). Neuropati diabetika didefinisikan sebagai tanda-tanda dan gejala-gejala disfungsi saraf perifer pada pasien dengan DM setelah penyebab lain disfungsi saraf perifer disingkirkan (Bansal et al., 2006). Neuropati diabetika merupakan gangguan kompleks dan heterogen yang mencakup berbagai macam abnormalitas, mempengaruhi sistem saraf perifer dan otonom, yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas terbanyak pada pasien diabetes, menjadi beban ekonomi, dan berhubungan dengan kualitas hidup (Vinik, 1999; Tesfaye et al., 2005). Sekitar 23,6 juta anak dan dewasa di Amerika Serikat (sekitar 8% dari populasi) menderita diabetes (Han et al., 2013). Prevalensi ND dimulai dari 7% pada pasien dengan durasi mengalami DM 1 tahun sampai 50% pada pasien DM dengan durasi mengalami DM > 25 tahun (Yagihashi et al., 2011). Neuropati diabetika merupakan penyebab utama amputasi di Amerika Serikat, diperkirakan 1
2 50-70% dari amputasi non trauma, dan ND lebih sering rawat inap dibandingkan komplikasi DM lainnya (Vinik & Pittenger, 2003). Neuropati diabetika terdiri dari sejumlah sindrom yang berbeda, yang memiliki manifestasi klinis dan subklinis. Kelompok utama gangguan neurologis pada DM dapat berupa: 1) neuropati subklinis yang dipastikan dengan abnormalitas pada elektrodiagnostik dan uji sensori kuantitatif; 2) neuropati klinis difus dengan sindrom sensorimotor simetris distal dan sindrom otonom; dan 3) sindrom fokal (Vinik, 1999; Tesfaye et al., 2004; Bansal et al., 2006). Heterogenisitas ND, dengan keterlibatan serabut neuron besar bermyelin yang mengatur propiosepsi, persepsi sentuhan/tekanan, dan inervasi motorik, juga serabut neuron yang kecil, tipis atau tidak bermyelin yang mengatur persepsi suhu dan nyeri, serta fungsi otonom, menyebabkan timbulnya patogenesis yang multifaktorial. Beberapa mekanisme yang menyebabkan kerusakan neuronal pada pasien DM, meliputi: 1) gangguan metabolisme yang menghasilkan hiperglikemia kronis, termasuk peningkatan keterlibatan jalur sorbitol dan akumulasi Advanced Glycation End Products (AGEs); 2) perubahan fungsi vaskular memicu kehilangan dukungan nutrisi pada serabut saraf perifer; 3) perubahan availabilitas faktor neurotropik atau faktor pertumbuhan; 4) proses autoimun mengarah ke gangguan fungsineuronal; 5) stres oksidatif menyebabkan kerusakan dan disfungsi neuron (Vinik & Pittenger, 2003; Mata et al., 2008). Menurut 10-year Diabetes Control and Complication Trials, hiperglikemia adalah komponen penting yang mengakibatkan kerusakan saraf perifer (DCCT Research Group, 1993), melalui metabolic cascade (Yagihashi et al., 2011).
3 Berdasarkan penelitian Harahap et al. (2013), paparan hiperglikemia, dengan menggunakan parameter kadar HbA1c, berkorelasi positif dengan derajat ND secara klinis dan derajat kerusakan saraf berdasarkan pemeriksaan elektrodiagnostik. Diagnosis ND ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda neurologis, dan pemeriksaan elektrofisiologi. Beberapa instrumen screening digunakan untuk mengevaluasi ND. Derajat ND dapat diukur dengan menggunakan instrumen Neuropathy Deficits Score (NDS), Neuropathy Symptom Score (NSS), dan pemeriksaan elektrodiagnostik. Neuropathy Deficit Score (NDS) merupakan salah satu pemeriksaan klinis sederhana yang menilai abnormalitas reflek dan penilaian sensorik, yang interpretasinya dikelompokkan menjadi tanpa neuropati, neuropati ringan, sedang, dan berat. Nilai sensitivitas dan spesifisitas NDS-INA berturutturut 85,71% dan 83,33% dengan nilai prediktif positif dan negatif berturut-turut 99,17% dan 20,00% (Zamroni et al., 2013). Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan suatu prosedur pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui adanya polineuropati diabetika secara objektif. Pemeriksaan ini meliputi stimulasi pada serabut saraf sensorik maupun motorik untuk kemudian dilakukan perekaman potensial aksi sensorik dan motoriknya. Evaluasi terhadap beberapa parameter seperti latensi, kecepatan konduksi, dan amplitudo membantu dalam menentukan tipe gangguan serabut saraf (Ali et al., 2008). Selama perkembangan sistem saraf perifer, faktor neurotropik sangat penting untuk survival neuron karena berfungsi untuk menghambat apoptosis dari neuron yang berkembang (Azad et al., 2010). Beberapa neuronally derived molecules
4 yang mempengaruhi mielinisasi, termasuk neuregulin, glial cell line-derived neurotropic factor, dan neurotropin. Kelompok neurotropin, yaitu nerve growth factor (NGF), brain-derived neurotrophic factor (BDNF), neurotrophin-3 (NT-3), dan NT-4/5 (Chan et al., 2004). Semua faktor neurotropik ini mengatur pertumbuhan dan ketahanan hidup sistem saraf pusat dan perifer dalam dua bentuk, yaitu trophic support (mempromosikan ketahanan hidup dan atau pertumbuhan neuron) dan tropic support (mengatur pergerakan perluasan neurit) (Gina et al., 2004). Sprouting kolateral dan regeneratif terjadi pada polineuropati, perbaikan defisit neurologis tergantung pada efektivitas mekanisme ini, sehingga akan memperlambat progresivitas penyakit pada neuropati subakut (Jain, 2014). Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF) mempunyai peran pada patogenesis imunitas, proses inflamasi atau metabolik dalam sistem neuronal maupun non-neuronal (Tasci et al., 2012). Pada manusia, sebagai aksi neurotropik dan sinaptotropik, BDNF berperan pada pertumbuhan akson (neuronal growth), plastisitas sinaps (neuroplasticity), perbaikan dan diferensiasi sel neuron, survival, dan fungsi kognitif (proses learning dan memory) (Fujinami et al., 2008; Noble et al., 2011; Goda et al., 2013), metabolisme glukosa dan lipid, serta energi homeostasis (Chaldakov, 2011; Nakagawa et al., 2000; Noble et al., 2011; Tsuchida et al., 2002), dan berperan pada regulasi eating behavior (Fujinami et al., 2008; Xu et al., 2003). Otak adalah tempat produksi BDNF terbanyak, juga diekspresikan di banyak jaringan yang berperan penting pada homeostasis energi, yaitu jaringan adipose, otot skeletal dan otot halus, dan liver (Noble et al., 2011). BDNF disintesis secara primer di sel endotelial vaskuler
5 (Tsai, 2011; Nakahashi et al., 2000; Bayas et al., 2002). Penelitian oleh Fujimura et al. (2002) menunjukkan bahwa lebih dari 90% BDNF disimpan dalam platelet dan dilepaskan ke plasma ketika dibutuhkan untuk perbaikan, sehingga kadar BDNF meningkat sebagai respons kompensatori terhadap kerusakan atau injury, juga sebagai respons terhadap hipoksia (Wang et al., 2006). Kadar BDNF perifer mencerminkan kadar BDNF di sistem saraf pusat (Karege et al., 2002; Krabbe et al., 2007). Penurunan kadar BDNF perifer berhubungan dengan kerusakan neuronal yang berkaitan dengan usia (penyakit neurodegeneratif) seperti mild cognitive impairement, penyakit Parkinson, demensia, dan penyakit psikiatri seperti depresi (Coelho et al., 2013). Kadar BDNF serum penderita DM secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat (Fujinami et al., 2008), demikian juga kadar BDNF plasma penderita DM juga rendah, dan berkebalikan dengan kadar glukosa plasma (Krabbe et al., 2007). Stres oksidatif sering menyebabkan kehilangan fungsi sel, apoptosis, atau nekrosis saraf perifer (Azad et al., 2010). BDNF diimplikasikan sebagai neuroprotektif untuk mengatasi stres oksidatif dengan mencegah akumulasi peroksida dan meningkatkan enzim antioksidan pada neuron (Mattson et al., 1995). Sebagian besar penanganan ND adalah pengendalian gula darah dan manajemen nyeri. Kontrol glikemik intensif menurunkan risiko terjadinya neuropati, memperlambat progresivitas neuropati dan memperbaiki kualitas hidup
6 pasien DM (Booya et al., 2005; Boulton et al., 2005). Efek kuat faktor pertumbuhan pada neuron menimbulkan dugaan awal bahwa faktor pertumbuhan kemungkinan besar bermanfaat dalam penanganan penyakit sistem saraf tepi manusia, karena saraf tepi mudah menerima protein yang diberikan secara sistemik. Penurunan ekspresi dan transport faktor pertumbuhan pada model binatang dan pada manusia menimbulkan dugaan bahwa berkurangnya faktor pertumbuhan ini menyebabkan neuropati diabetika. Defisiensi faktor neurotropik pada DM adalah dasar dari terapi faktor neurotropik pada neuropati diabetika (Jain, 2014), sehingga pemaparan kembali dengan faktor pertumbuhan diharapkan dapat mencegahnya (Yudiyanta et al., 2005). Beberapa studi pada manusia sedang dilakukan untuk meneliti penggunaan faktor neurotropik untuk menunda progresivitas ND. Sebuah penelitian randomisasi, double-blind, penelitian plasebo-kontrol dari recombinant human brain-derived neurotrophic factor (rhbdnf) dilakukan pada 30 pasien DM dengan terapi insulin, didapatkan abnormalitas pemeriksaan konduksi saraf suralis dan vibration perception threshold (VPT) pada ibu jari. Sembilan pasien mendapat plasebo, 11 rhbdnf (25 microg/ kg) dan 10 rhbdnf (100 microg/kg) s.c. tiap hari selama 3 bulan, dan dilakukan pemeriksaan konduksi saraf dan sensori kuantitatif dan tes otonom termasuk VPT, suhu, dan light touch thresholds, dan cutaneous axon-reflexes pada hari ke 0, 8, 15, 29, 43, 57 dan 85. Hasilnya adalah tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara ketiga kelompok yang diberikan terapi antara baseline dan hari ke 85 (Wellmer et al., 2001).
7 Penurunan kadar BDNF serum dan plasma pada penderita DM mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan hidup sistem saraf perifer. Penelitian mengenai kadar BDNF serum penderita ND belum pernah dilakukan di Indonesia, untuk itu perlu dilakukan penelitian ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan latar belakang tersebut di atas, maka timbul permasalahan: 1. Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi pada penderita DM yang memiliki angka insidensi yang tinggi. 2. Pada ND terjadi disfungsi saraf baik sensorik, motorik, atau otonom, sehingga kondisi tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. 3. Sampai saat ini belum ada terapi ND yang definitif. 4. Sebuah studi mengenai terapi recombinant human BDNF pada penderita ND, tapi tidak meneliti derajat ND. 5. Belum ada penelitian mengenai hubungan kadar BDNF serum dengan derajat ND. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pokok-pokok pengertian dalam latar belakang diatas, diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan penurunan kadar BDNF serum dengan nilai NDS dan parameter elektrodiagnostik?
8 2. Apakah semakin rendah kadar BDNF serum semakin berat derajat neuropati diabetika berdasarkan NDS dan parameter elektrodiagnostik? D. Tujuan Penelitian 1. Membuktikan bahwa terdapat hubungan antara penurunan kadar BDNF serum dengan derajat ND. 2. Mengukur koefisien korelasi antara kadar BDNF serum dengan skor NDS dan parameter elektrodiagnostik (amplitudo dan latensi distal saraf tibialis). E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah meningkatkan pengetahuan klinisi mengenai peran BDNF pada ND. Pengetahuan tersebut penting dalam pemanfaatan growth factor pada terapi ND dan edukasi penderita DM dengan atau tanpa ND. F. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran, peneliti mendapatkan penelitian mengenai hubungan BDNF dengan DM tipe 2, dan penelitian mengenai penggunaan recombinant human brain-derived neurotrophic factor (rhbdnf) pada polineuropati diabetika. Sedangkan penelitian mengenai hubungan kadar BDNF serum dengan derajat ND belum ditemukan. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan BDNF dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
9 Tabel 1. Penelitian mengenai BDNF No Peneliti Judul Metode Alat Ukur 1. Krabbe et al., Brain-derived Case control ELISA, HOMA2-IR, (2006) neurotrophic factor EML 105 (BDNF) and type 2 diabetes 2. Fujinami et al., Serum barin-derived Case control ELISA, kadar (2008) neurotrophic factor in gula darah patients with type 2 diabetes mellitus: Relationship to glucose metabolism and biomarkers of insulin resistance 3. Wellmer et al., A double-blind placebocontrolled Case control Nerve conduction and (2001) clinical trial quantitative sensory of recombinant human brain-derived dan tes otonom (VPT, suhu, dan light touch neurotrophic factor thresholds, dan (rhbdnf) in diabetic cutaneous axonreflexes, polyneuropathy ELISA 4. Penelitian ini Hubungan kadar brainderived neurotropic factor (BDNF) serum dengan derajat neuropati diabetika Cross sectional ELISA, NDS