BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan proses akulturasi budaya di Kambaniru

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan

BUDAYA LOKAL SEBAGAI WARISAN BUDAYA DAN UPAYA PELESTARIANNYA )

BAB I PENDAHULUAN. Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah

UKDW BAB I PENDAHULUAN

WARISAN BUDAYA, PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB VI PENUTUP. tentunya ada keinginan untuk dapat diterima dalam lingkungan tersebut. Salah

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Wilayah tanah air Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dihuni oleh berbagai

1. PENDAHULUAN. bangsa yang kaya akan kebudayaan dan Adat Istiadat yang berbeda satu sama lain

I. PENDAHULUAN. Manusia mengalami perubahan tingkat-tingkat hidup (the life cycle), yaitu masa

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. bantuan dari sesama di sekitarnya, dan untuk memudahkan proses interaksi manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

Dinamika Kebudayaan. surono

Indonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang. melahirkan satu sudut pandang dan pola pikir tersendiri pada masyarakatnya,

14Ilmu. Komunikasi Antar Budaya. Asimilasi dan Akulturasi Budaya. Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si. Komunikasi. Modul ke: Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. masing-masing sukunya memiliki adat-istiadat, bahasa, kepercayaan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

SOSIOLOGI PERTANIAN ( )

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terkenal sebagai salah satu negeri terbesar penghasil kain tenun tradisional yang

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB II. umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Woodruf. dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang

BAB I PENDAHULUAN. buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

2015 PENANAMAN NILAI-NILAI KESUND AAN MELALUI PROGRAM TUJUH POE ATIKAN ISTIMEWA D I LINGKUNGAN SEKOLAH KABUPATEN PURWAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu suku bangsa mempunyai berbagai macam kebudayaan, tiap

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, dan dari kebiasaan itu yang nantinya akan menjadi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata tidak

BAB I PENDAHULUAN. kearifan. Tradisi Mesatua di Bali lambat laun semakin tergerus dengan roda

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan kesatuan hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. majemuk. Sebagai masyarakat majemuk (plural society) yang terdiri dari aneka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap etnik (suku) di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. informal dalam keluarga, komunitas suatu suku, atau suatu wilayah.

Ketika Budaya Sasi Menjaga Alam Tetap Lestari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku

BAB I PENDAHULUAN. Dina Astrimiati, 2014 MOTIF HUKUMAN PADA LEGENDA GUNUNG PINANG KECAMATAN KRAMATWATU KABUPATEN SERANG, BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. macam suku bangsa termasuk agamapun banyak aliran yang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. (stratifikasi sosial), yang mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam budaya yang berbeda-beda, namun saling

2017 DAMPAK MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG BENDA KEREP KOTA CIREBON TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. terletak diujung pulau Sumatera. Provinsi Aceh terbagi menjadi 18 wilayah

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Keanekaragaman suku bangsa dengan budayanya di seluruh Indonesia

D. Dinamika Kependudukan Indonesia

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya mengenai perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba dan proses akulturasi budaya di Kambaniru dan Umalulu, maka pada bab ini akan mencoba menganalisis hasil penelitian tersebut secara terperinci untuk dapat melihat faktor-faktor yang menyebabkan budaya Sabu tetap dipertahankan, faktor yang mempengaruhi proses akulturasi dan peran agama Kristen dalam mendukung jalannya proses akulturasi. A. Pelestarian Budaya Sabu E.B. Taylor memberikan defenisi kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 1 Selanjutnya Malinowski melihat kebudayan sebagai unsur yang mempunyai fungsi serta pelembagaan/lembaga dalam setiap masyarakat. 2 Berdasarkan dua defenisi ini dapat dipahami bahwa kebudayaan Sabu meliputi semua hal yang dimiliki oleh orang Sabu seperti perilaku, perasaan dan akal pikiran yang dihasilkan, dipelajari, dianut dan diwarisi dalam kehidupan dari setiap orang Sabu. Meskipun telah mengalami perbedaan lokasi pemukiman dan proses adaptasi dengan masyarakat Sumba, tetapi orang Sabu yang telah menetap di Kambaniru dan Umalulu tetap melakukan upaya pelestarian dan mempertahankan budaya Sabu melalui berbagai pelaksanaan adat istiadat dan proses enkulturasi budaya Sabu.Hal ini disebabkan karena kebudayaan itu sendiri h.123 1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 188 2 Phil. Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Putra A bardin, 1999), 99

sangat penting dalam kehidupan orang Sabu. Budaya Sabu tidak hanya bermakna sebagai kesenian asli, tetapi sebagaimana yang dipaparkan mengenai sifat dan fungsi kebudayaan pada bab II yang menunjukkan bahwa keberadaan kebudayaan mempunyai nilai dan fungsi yang besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Leslie White secara eksplisit menyebutkan tiga fungsi kebudayaan yaitu: (1) memberikan keamanan dan melestarikan kehidupan manusia; (2) menghubungkan manusia dengan lingkungannya di satu pihak dan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya; (3) memenuhi kebutuhan manusia, baik melalui pengolahan sumber daya alam maupun sumber daya manusia sendiri. 3 Demikianlah budaya Sabu menjadi bagian yang sangat penting dan bermakna bagi orang Sabu, tidak hanya mencirikan karakter dan komunitas orang Sabu tetapi menjadi penuntun dan pedoman perilaku orang Sabu dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang mendasari upaya pelestarian budaya Sabu di Sumba baik melalui proses sosialisasi maupun proses akulturasi budaya. Koentjaraningrat memberikan penjelasan mengenai proses enkulturasi sebagai proses dimana seorang individu mempejalari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudaian dari temantemannya bermain. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakan dibudidayakan. 4 Demikianlah dalam upaya pelestarian budaya Sabu (enkulturasi) di dalam komunitas orang Sabu dilakukan dari generasi ke generasi, yang dimulai sejak kecil di dalam lingkungan keluarga hingga pada lingkup masyarakat seperti penggunaan bahasa Sabu, pewarisan nilai dan norma serta dalam pelaksanaan adat istiadat budaya Sabu. 3 Leslie White, The Evoulution of Cuture, (London: MaqGraw-Hill Book Comp, 1959), h.8-9 4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 189 100

Menurut Davidson warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa. Dari gagasan ini, warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu. 5 Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka dan terdiri dari atas: situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan /atau bersejarah, patung-patung pahlawan. Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film. 6 Sedangkan nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) yang berasal dari budayabudaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat. 7 Berdasarkan pemahaman di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa warisan budaya Sabu yang dipelajari dan dilestarikan oleh orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu menyangkut hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) yang berasal dari pulau Sabu. Adapun warisan budaya asli Sabu ini sudah dilakukan melalui penuturan cerita atau sejarah orang Sabu berada di Sumba, dan berbagai pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat (uku). Upaya pelestarian budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu dilakukan demi mempertahankan identitas budaya Sabu yang mana menjadi ciri khas yang membedakan 5 Davison, G. dan C Mc Conville. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen & Unwin, 1991. h. 2 6 Galla, A. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage. Brisbane: Hall and jones Advertising, 2001, h. 8-10 7 Ibid., h. 12 101

komunitas dengan masyarakat Sumba. Liliweri mencoba memberikan pemahaman mengenai identias budaya Sabu sebagai rincian karakteristik atau ciri - ciri budaya Sabu yang dimiliki oleh komunitas orang Sabu tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri- ciri kebudayaan orang Sumba. 8 Oleh karena itu, ketika perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba terjadi, masing-masing kelompok akan menunjukkan dan mempertahankan identitas budaya sebagai gambaran akan perbedaan dan ciri khas dari masing-masing kelompok. Perbedaan identitas budaya inipun turut mempengaruhi proses adaptasi yang dilakukan oleh orang Sabu dalam berinteraksi dengan masyarakat Sumba. Akan tetapi dalam perkembangan proses perjumpaan antar budaya dan adaptasi, identitas budaya Sabu ini tetap dipertahankan, meskipun terdapat pengaruh budaya Sumba dalam komunitas orang Sabu. Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan pada Bab III dijelaskan bahwa meskipun terjadi perjumpaan dan kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba, hal tersebut tidak menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu. Hal ini nampak dengan adanya sebagian besar unsur budaya Sabu yang tetap dilestarikan dan diwariskan, meski terdapat pengaruh budaya Sumba. Hal ini sesuai dengan Paursen yang menyampaikan bahwa kebudayaan itu merupakan cara hidup yang membentuk dan dibentuk, yang selalu berkesinambungan dengan komunitas manusia dari generasi ke generasi sehingga kebudayaan dari satu kelompok manusia itu merupakan hal yang asasi sebagai warisan yang sulit dihilangkan. 9 Berdasarkan pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Sabu sebagai warisan turun temurun itu sulit untuk mengalami perubahan dan dihilangkan. Hal ini disebabkan karena identitas budaya Sabu itu tetap dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari dari komunitas orang Sabu. 8 Dr. Alo Liliweri, M. S. Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya, (Yogyakarta : PT LkiS Pelangi Aksara, 2003), 72 9 Paursen Van, C. A., Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 23 102

Jacobus Ranjabar mengemukakan bahwa pelestarian budaya lokal adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. 10 Menurut Lewis, upaya pelestarian budaya lokal itu mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas. 11 Demikianlah pelesatarian budaya Sabu di Sumba dilakukan sebagai sebuah tindakan sosial dari komunitas orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu secara terus menerus dengan tujuan untuk mempertahankan dan mengukuhkan kebudayaan, sejarah, nilai-nilai tradisional dan identitas Sabu. Terkait dengan itu, dalam perjumpaan dan kontak antara budaya Sabu dengan budaya Sumba telah mendorong terjadinya proses akulturasi budaya Sabu. Berbicara mengenai akulturasi sebagai suatu proses antara akomodasi dan asimilasi, Harsono menggambarkan bahwa jika dilihat dari sudut pengaruh akulturasi pada kebudayaan, ketika dua kebudayaan yang sama kuatnya bertemu, masing masing akan saling mempengaruhi, dalam suatu proses seleksi. Yang mengalami perubahan atau pergantian biasanya adalah unsur yang tidak penting dari masing masing kebudayaan, tetapi kepribadian kebudayaan tidak mengalami perubahan. Dengan perkataan lain, seperti sistim kekerabatan, kebiasaan yang diperoleh dengan proses enkulturasi sejak kecil, seperti sistim kepercayaan dan pandangan hidup, dalam proses akulturasi tidak banyak mengalami perubahan perubahan. 12 Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa proses akulturasi dalam budaya Sabu yang terjadi di Kambaniru dan Umalulu, tidak serta merta dapat menimbulkan perubahan besar dalam budaya Sabu. Ada beberapa hal atau faktor yang 10 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), h. 114-115 11 M. Lewis,. Conservation: A Regional Point of View dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. (Canberra: Austraalian Government Publishing Service : 1983), h.4 12 Harsono, op. cit., h. 189-190 103

menyebabkan sebuah proses akulturasi tidak berlangsung dengan mudah. Hal ini disebabkan karena adanya pelestarian budaya Sabu yang terus dilakukan oleh komunitas orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu melalui proses sosialiasi dan enkulturasi sejak kecil mengenai kebudayaan Sabu ataupun dalam pelaksanaan adat istiadat dan kepercayaan yang tetap dilakukan hingga saat ini. Adapun pelestarian budaya Sabu bertujuan untuk melakukan revitalisasi budaya sebagai upaya yang terencana dan bersinambungan agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh orang Sabu, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam komunitas orang Sabu. 13 Selain itu, pola pemukiman orang Sabu di daerah tertentu seperti di kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu juga turut mempengaruhi pelestarian budaya Sabu di Sumba sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya proses akulturasi. Meskipun perjumpaan dan interaksi antara orang Sabu dengan orang Sumba terjadi baik dalam pelaksanaan adat istiadat, dalam bidang pendidikan, agama, sosial dan ekonomi, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi dan merubah seluruh unsur budaya Sabu. Hal ini nampak dalam temuan penelitian bahwa unsur budaya Sabu yang dipertahankan dan dipraktekkan lebih dominan dari pada unsur-unsur budaya Sabu yang mengalami perubahan akulturasi. Meskipun tidak semua unsur budaya Sabu mengalami perubahan akulturatif, akan tetapi dalam perjumpaan dan proses adaptasi budaya Sabu dengan budaya Sumba juga menimbulkan adanya penerimaan unsur-unsur budaya Sumba yang diolah menjadi bagian dari budaya Sabu. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor yang mendukung terjadinya proses akulturasi dan faktor yang mempersulit berlangsungnya proses akulturasi. 13 Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Sunda : Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung: Kiblat, 2006), h. 18 104

B. Faktor-Faktor yang Mendukung Proses Akulturasi Budaya Proses akulturasi bukanlah merupakan sebuah proses yang berlangsung dengan mudah. Perubahan akulturatif dapat terjadi ketika kontak antar budaya dan proses adaptasi secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama, sehingga mendorong terjadinya penerimaan dan pengadopsian unsur-unsur budaya asing masuk ke dalam budaya sendiri. Hal ini sesuai dengan pemaparan defenisi akulturasi oleh Mulyana, yang mengatakan bahwa Akulturasi merupakan suatu proses dimana pendatang menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. 14 Berdasarkan pemahaman ini, proses akulturasi terjadi ketika orang Sabu sebagai pendatang di Sumba melakukan kontak secara langsung dan terus menerus dengan masyarakat dan kebudayaan Sumba serta berupaya menyesuaikan diri dan budayanya dengan masyarakat Sumba. Tentunya dalam proses adaptasi yang dilakukan tidaklah mudah, yang mana disebabkan oleh perbedaan kebudayaan dan kepercayaan antara orang Sabu dengan masyarakat Sumba. Akan tetapi dalam kontak dan adaptasi yang terus menerus, yang terjadi dalam dua arah, lambat laun mengantar pada proses akulturasi budaya Sabu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Redfield, Linton dan Herskovits bahwa akulturasi harusnya dianggap sebagai proses dua arah (two-way process) atau saling mempengaruhi dua kelompok yang saling mengadakan hubungan. 15 Demikianlah proses akulturasi yang terjadi dalam budaya Sabu merupakan sebuah proses dua arah yang saling mempengaruhi antara budaya Sabu dan budaya Sumba. Menurut Bakker, ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan dengan baik diantaranya ialah syarat persenyawaan/affinity (penerimaan 14 Mulyana, Deddy, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h. 139 15 Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 107 105

kebudayaan tanpa rasa terkejut); syarat keseragaman/homogenity (adanya nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya); syarat fungsi (adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau hanya tampilan); syarat seleksi : adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebudayaan asing yang datang. 16 Demikianlah keempat syarat ini menjadi faktor penentu dalam penerimaan unsur budaya Sumba untuk menjadi bagian dari budaya Sabu dalam proses akulturasi. Berikut ini beberapa faktor yang mendukung terjadinya proses akulturasi tersebut, diantaranya ialah : 1. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam komunitas orang Sabu dan masyarakat Sumba, diantaranya: a. Adanya kemiripan dalam budaya. 17 Salah satu potensi akulturatif yang mempermudah terjadinya proses akulturasi budaya Sabu ialah adaya kemiripan budaya asli Sabu dengan budaya Sumba. Kemiripan budaya ini dapat terlihat dari beberapa unsur budaya sebagai berikut : Dalam kepercayaan suku Sabu dan Sumba bahwa kedua suku budaya ini berasal dari 1 nenek moyang. Seperti dalam kisah Ishak dan Ismael, yang berasal dari keturunan Abraham namun karena pemisahan lokasi pemukiman yang berbeda dan adaptasi dengan keadaan alam dan masyarakat pribumi menyebabkan mereka menjadi dua bangsa yang berbeda. Tidak jauh berbeda dengan kepercayaan dalam suku Sabu dan Sumba, yang menyakini berasal dari nenek moyang yang bersaudara yakni Hawu Miha dan Humba Miha. Perbedaan budaya disebabkan karena pemisahan daerah pemukiman, keadaan geofrafis dan adaptasi 16 J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 116 17 Ibid., 146 106

pertama dengan daerah dan masyarakat pribumi yang dijumpai. Dengan kepercayaan mengenai sejarah asal muasal kedua suku ini, memungkin kedua budaya tersebut menjalin hubungan persaudaraan yang baik dari dahulu hingga sekarang ini. Terkait dengan kepercayaan ini, Orang Sabu pun mempercayai bahwa daerah Tanjung Sasar (Juli - Haba) yang berada di Sumba sebagai tempat pertemuan orang Sabu dengan leluhur mereka. 18 Kesamaan inilah menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya kontak di antara kedua kebudayaan yang berbeda dan proses penyesuaian budaya sehingga menyebabkan terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Kemiripan budaya juga nampak pada kesamaan marga / kabihu (Sumba) / udu (Sabu). Sebagaimana yang diuraikan pada Bab III bahwa margamarga (Kabihu) di Sumba dan marga-marga (udu) di Sabu mempunyai hubungan persaudaraan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan mengenai leluhur yang bersaudara. Adapun perbedaan yang nampak hanya terkait istilah/nama saja, misalnya : 19 kabihu Luku Walu (Sumba) sama dengan udu Do Na Luru (Sabu); kabihu Watupelitu (Sumba) sama dengan udu Do Na Taga (Sabu); kabihu Anamburung (Sumba) sama dengan udu Do Na Horo (Sabu), dan lain-lain sebagainya. Hubungan persaudaraan ini mempermudah orang Sabu untuk berinteraksi dan membangun hubungan sosial dengan masyarakat Sumba hingga saat ini, sehingga proses akulturasi pun berlangsung dengan mudah. Hal lain yang menjadi faktor pendukung berlangsungnya proses akulturasi dalam komunitas Sabu ialah adanya kemiripan dalam adat istiadat orang 18 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada tanggal Selasa 15 Oktober 2013 19 Wawancara dengan Pdt. Pala Hambarandi, S. Si., Teol pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013 107

Sabu dan Sumba. Contohnya dalam sistem perkawinan yang menggunakan mas kawin (belis berupa hewan), yang mana pada komunitas Sabu juga memberlakukan belis, meskipun terdapat perbedaan dalam makna belis tersebut. 20 Tetapi hal ini mempermudah orang Sabu dalam menjalin hubungan sosial dengan orang Sumba. Selain itu, proses akulturasi pun berlangsung disebabkan karena kesamaan mata pencaharian di antara orang Sabu dan Sumba yakni di bidang pertanian dan nelayan. Dalam hal ini pun akan mendorong masing - masing individu untuk menjalin kerja sama dan terjalinnya hubungan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dalam memperlajari cara bercocok tanam atau membuat perahu dan kiat menangkap ikan. Relasi yang terjalin ini pun berlanjut pada hubungan sosial yang terus menerus dari waktu ke waktu hingga mengarah pada perubahan akulturatif. Bentuk lain dari kemiripan budaya Sabu dan budaya Sumba ialah kesamaan berupa makanan khas yang selalu terkait dalam kedua budaya ini ialah sirih pinang. Adapun sirih pinang menjadi makanan sehari-hari dalam kehidupan orang Sabu dan masyarakat Sumba. Kesamaan untuk mengkonsumsi sirih pinang dan makna dari penyuguhan siri pinang sebagai simbol perkenalan, persaudaraan dan kekeluargaan ini sangat baik dan turut mempermudah orang Sabu untuk membangun interaksi dengan masyarakat Sumba dan mempermudah terjadinya proses akulturasi. b. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab III mengenai budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu, menunjukkan bahwa orang Sabu memiliki karakter yang suka bergaul, suka bertoleransi, suka menolong dan menjunjung tinggi 20 Wawancara dengan Bpk Mahari pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013 108

nilai solidaritas dan kekeluargaan. Karakter orang Sabu ini menjadi sebuah potensi akulturasi yang menyebabkan mereka mudah diterima oleh masyarakat Sumba. Tanpa disadaripun, terjadi hubungan kekerabatan yang mengikat antara kedua budaya yang berbeda tersebut dan lambat laun mendukung terjadinya perubahan dalam budaya Sabu dan Sumba. c. Faktor lainnya ialah peran penguasa atau para raja yang memerintah dan memiliki kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Sumba dan Sabu. Berdasarkan sejarah imigrasi orang Sabu ke pulau Sumba, orang Sabu yang ditransmigrasi ke Kambaniru dan Umalulu, bukan dianggap sebagai pendatang baru atau orang asing di tanah Sumba, tetapi mereka adalah orang Sabu yang sejak dahulu kala telah memiliki hubungan dengan orang Sumba. Mengingat pada kisah sebelumnya, adanya hubungan leluhur dan keluarga raja Sabu yang menjalin hubungan perkawinan dengan leluhur dan keluarga raja Sumba. Selain itu, peran orang Sabu sebagai pahlawan yang menolong para raja Sumba dalam peperangan yang terjadi pada masa lampau. Inilah yang melatar belakangi adanya perjanjian raja Sumba yang memberikan tanah sepanjang pesisir pantai Sumba Timur menjadi milik orang Sabu. Meskipun perjanjian ini berupa lisan, tetapi tetap diakui hingga masa sekarang ini. Hal ini jelas terlihat di daerah transmigrasi orang Sabu seperti di Kambaniru dan Umalulu, orang Sabu yang bermukim di daerah itu tetap merasa aman dan bebas menjalani kehidupan sehari-harinya. Selain itu, dengan adanya hubungan kawin-mawin di antara para raja dan keluarganya turut mempengaruhi kehidupan orang Sabu dan memiliki peran penting di Sumba. Pewarisan keluarga akibat hubungan perkawinan itu tetap terjaga dan berlangsung sepanjang memiliki hubungan darah. Contohnya ialah yang terjadi pada 109

keturunan Watupelitu (bukan asli sumba), memiliki hubungan perkawinan dengan marga Palai Malamba, maka marga Watupelitu pun memiliki kedudukan dalam masyarakat Sumba. 21 Demikianlah dapat dikatakan bahwa salah satu faktor pendukung terjadinya akulturasi dalam komunitas Sabu di Sumba ialah karena keterlibatan peran para raja atau penguasa yang terlebih dahulu telah menjalin hubungan kekerabatan dengan orang Sumba. Adapun peran penguasa yakni para raja menjadi teladan dan panutan bagi rakyatnya baik dalam hal beribadah dan hubungan kekerabatan. Dengan demikian, interaksi sosial yang terjalin dari golongan atas hingga pada kalangan rakyat biasa antar komunitas Sabu dan masyarakat Sumba pun terjalin. Interaksi sosial yang terjalin terus menerus pun kemudian berlanjut pada tahap adaptasi, adopsi dan perubahan dalam kedua budaya yang berbeda. 2. Faktor eksternal yakni faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat, di antaranya: a) Pihak Belanda. Transmigrasi orang Sabu yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda menjadi pendukung terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Pihak Belanda melibatkan orang Sabu dalam urusan politik, militer dan penyebaran agama Kristen dalam masyarakat Sumba. Pengiriman orang Sabu baik dengan tujuan peperangan, motivasi politik dan perebutan kekuasaan, mendorong terjadinya kontak dan interaksi sosial antar orang Sabu dengan masyarakat Sumba. Adapun hubungan orang Sabu dengan Belanda terjalin dengan baik, hal ini juga terkait dengan adanya hubungan kekerabatan antar raja Sabu dengan Belanda yakni dalam hubungan perkawinan. Contohnya Welhelmus Weo Hubi dan Philips Dida Hebi yang adalah 21 Wawancara dengan Bpk. Pdt Elias Rawambani, STh pada hari Jumat, 18 Oktober 2013 110

keturunan Belanda- Sabu. Mereka berdua pun diutus ke Sumba (Umalulu) oleh Kolonial Belanda terkait dengan penyebaran agama Kristen. Mereka berdua menetap di Rae Kapu (Salah satu nama kampung orang Sabu di Umalulu). 22 Melalui kontak dan interaksi sosial yang berjalan baik dalam hubungan persaudaraan karena ikatan hubungan leluhur sebelumnya, itulah maka lambat laun mengantar orang Sabu ke dalam suasana pengadopsian unsur-unsur budaya Sumba ke dalam budaya Sabu. Selanjutnya proses akulturasi pun berlangsung dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu dan Sumba. b) Peranan pihak pemerintah NTT. Adapun transmigrasi orang Sabu ke pulau Sumba yang dilakukan oleh pihak pemerintah NTT dengan tujuan mata pencaharian dan mencapai kehidupan yang layak pun menjadi pendukung terjadinya proses akulturasi budaya Sabu di Sumba. Kehadiran orang Sabu di Sumba atas inisiatif pemerintah NTT mendorong orang Sabu sebagai imigran untuk dapat menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan masyarakat Sumba. Hubungan yang baik ini berjalan terkait melalui kehidupan dan mata pencaharian orang Sabu sebagai nelayan yang berjumpa dengan orang Sumba sebagai petani. Pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong masing-masing individu untuk menjalin hubungan barter dan berlanjut hingga proses pengadopsian unsur budaya asing yang dianggap bernilai dan bermanfaat dan diolah menjadi bagian kebudayaan sendiri. c) Peran dan pengaruh dari agama Kristen. Selain karena program imigrasi, kehadiran orang Sabu di Sumba dilatar belakangi oleh motivasi penyebaran agama Kristen. Adapun para imigran Sabu di Sumba adalah mereka yang telah 22 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi 111

beragama Kristen Masuknya unsur-unsur budaya Sumba ke dalam masyarakat Sabu dan sebaliknya itu dapat terjadi melalui proses penyebaran agama Kristen. Misi penyebaran agama Kristen di Sumba mendorong terjadinya proses interaksi sosial, adaptasi budaya hingga pada tahap perubahan kebudayaan baik dalam masyarakat Sumba maupun komunitas Sabu, yang mana sebagai pengabar Injil, mau tidak mau, sadar atau tidak disadari, orang Sabu harus mampu mempelajari budaya bahkan mengadopsi bahasa dan kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Sumba guna mendukung karya pekabaran Injil yang dilakukan. Berdasarkan sejarah pekabaran Injil, terlepas dari pihak pemerintah belanda, orang Sabu adalah pemerintah Injil pertama bagi masyarakat Sumba, yakni di Kambaniru dan Melolo (Umalulu). d) Identitas Nasional Indonesia. Contohnya : Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kesediaan warga masyarakat untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat-istiadat, ras, dan agama. Contoh konkrit nya ialah dalam hubungan dan kerja sama antara orang Sabu dengan orang Sumba di bidang pemerintahan. Melalui hubungan kerja sama ini dapat menjadi salah satu saluran terjadinya proses akulturasi budaya. C. Faktor yang Mempersulit Berlangsungnya Proses Akulturasi Budaya Sabu : Meskipun tak biasa terjadi, ada kemungkinan kontak antara dua kebudayaan, benar-benar tidak dapat menghasilkan akulturasi. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah dimana masing-masing suku mempunyai pusat perhatiannya sendiri, dan kecil sekali kontribusinya terhadap yang lain. Terlebih lagi jika interaksi sosial antara sukusuku diatur oleh norma yang ketat, sehingga menghalangi jenis kontak tertentu yang 112

dapat mempermudah akulturasi. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa akulturasi itu tak mesti terjadi semata-mata karena adanya kontak. 23 Meskipun dalam hubungan orang Sabu dan masyarakat yang telah terjalin dengan baik sejak zaman dahulu kala, akan tetapi dalam masyarakat Sumba pun masih terdapat penolakan terhadap orang Sabu khususnya dalam hal perkawinan campuran (Sumba- Sabu). Hal ini terjadi disebabkan pola pemikiran yang masih sangat tradisional (feodalism) sehingga menutup diri dengan kontak secara terus menerus dengan komunitas Sabu. Adanya pandangan negatif terhadap orang Sabu sebagai musuh, hal ini terkait dengan pengaruh kolonial Belanda yang mengirim orang Sabu sebagai perantara mereka. Selain itu sikap etnosentris yang dimiliki oleh golongan orang Sabu dan orang Sumba tertentu. Adapun sikap ini dimaksudkan untuk menjaga identitas budaya dan mengangap budaya lain adalah tidak baik. Adanya rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada budaya yang telah dipertahankan, menyebabkan beberapa golongan masyarakat berupaya untuk menutup diri dan menghindari risiko ini dengan tetap mempertahankan diri pada pola kehidupan atau kebudayaan yang telah dimiliki. Demikianlah sikap etnosentris dan pola pemikiran yang masih tradisional menghambat terjadinya interaksi sosial di antara komunitas orang Sabu dengan masyarakat Sumba dan tentunya proses akulturasi tidak akan berlangsung bahkan kemungkinan terjadinya perpecahan dalam masyarakat Sumba. D. Peran Agama Kristen Dalam Proses Akulturasi Berdasarkan sejarah orang Sabu dan Sumba dan hasil penelitian yang diperoleh peneliti, ditemukan adanya peranan agama Kristen yang juga turut berpengaruh dalam 23 Robert H. Lauer, op.cit., h. 407 113

mempertemukan kebudayaan pribumi Sumba dengan kebudayan Sabu yang berjalan dengan baik hingga saat ini. Peranan agama Kristen tidak hanya sebatas hal perjumpaan, tetapi peranan agama Kristen juga nampak dalam mengatur keteraturan dalam hubungan di antara dua suku budaya yang berbeda. Adapun agama Kristen menjadi penegah antar dua budaya tersebut sejak zaman dahulu hingga pada masa kini. Hal ini jelas nampak dalam peranan orang Sabu sebagai tokoh agama dan masyarakat dalam masyarakat Sumba, tidak hanya di Kambaniru dan Umalulu sebagai lurah atau camat. Tetapi dalam bidang keagaaman dan hubungan sosial pun, agam Kristen memberikan pengaruh bagi hubungan antara budaya Sabu dan Sumba. Adanya pemimpin agama Kristen (pendeta, vikaris, guru Injil) yang berasal dari suku Sabu memimpin gereja di daerah Sumba, serta mampu bekerja sama dengan masyarakat Sumba merupakan suatu bukti konkrit akan peranan besar dari agama Kristen di Sumba. Selain itu, peranan agama Kristen juga nyata dalam berbagai bentuk pelayanan gerejawi (diakonia, oikumene) yang melibatkan perjumpaan dan hubungan kasih persaudaraan di antara persekutuan umat Tuhan yang terdiri dari jemaat yang memiliki budaya Sabu dan Sumba. Di sini gereja hadir memberikan warna dan pemahaman bagi kedua budaya untuk dapat saling menerima dan terlibat aktif dalam satu persekutuan umat Tuhan. Penggunaan unsur budaya dalam pelayanan ibadah di gereja juga turut memberikan teladan bagaimana kedua budaya dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Contoh konkrit lainnya ialah terkait dalam pelaksanaan adat perkawinan campur antara orang Sabu dengan orang Sumba. Di sini gereja hadir sebagai penegah yang mempertemukan kedua budaya dalam pemaknaan iman Kristen serta gereja pun berperan dalam mengayomi kehidupan rumah tangga kristen hasil perkawinan campur budaya 114

Sabu dan Sumba. Perbedaan budaya tidak dijadikan persoalan, tetapi bagaimana mengintegrasikan kedua budaya menjadi sebuah hal baik bagi masyarakat di Sumba. 115