BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. 27 Kemajuan di bidang

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Mengingat :

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

BUKU SEDERHANA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

BAB III. A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nurmardjito (Erman Rajagukguk, dkk,

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE. Oleh : Rifan Adi Nugraha, Jamaluddin Mukhtar, Hardika Fajar Ardianto,

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen Dan Pelaku Usaha Menurut Undang undang

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. 1 Hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB III IKLAN PANCINGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Perlindungan Konsumen. Akan tetapi dalam Undang-undang Republik

PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh: Merlin M. Paat 2

BAB I PENDAHULUAN Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II BEBERAPA ASPEK HUKUM TERKAIT DENGAN UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Dasar Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

BAB 2 TINJAUAN UMUM ATAS PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Produsen/Pelaku Usaha dan satu subjek hukum berperan sebagai pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bervariasi, baik produk dalam negeri maupun produk luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada. ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.

1. Pelaksanaan Perlindungan yang Diberikan kepada Konsumen Atas. Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan Dikaitkan

BAB II PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati (dosen Fakultas Hukum USM) ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Penelitian tentang perlindungan konsumen terhadap periklanan diantaranya:

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN KONSUMEN MELALUI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh : Arrista Trimaya *

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) HAERANI. Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Pengecer yang melanggar ketentuan Pasal 4 UUPK dan Pasal 8 wajib

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya

BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI

ANALISIS KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Supriyanta Dosen Fak. Hukum UNISRI Surakarta

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

Prodi Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia PELAYANAN PRIMA

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 634/MPP/Kep/9/2002

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

PROFIL BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA MALANG

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terusmenerus. terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. 27 Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan jasa hingga melintasi batas-batas suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan kemampuannya. 28 Dari sisi pelaku usaha, dengan semakin leluasanya peredaran barang maupun jasa telah menimbulkan persaingan yang sangat ketat diantara para produsen, sehingga memaksa para produsen untuk senantiasa bersikap kreatif membaca situasi pasar dan kemudian menjabarkannya dalam berbagai kebijakan guna meningkatkan penjualan. 29 Pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan pelaku usaha yang kuat, kerap kali berpikir pendek dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak benar, walaupun dengan harus mengorbankan konsumen. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain dengan 27 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1. 28 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Kencana, 2008), hal.1. 29 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal.9. 21

mengurangi dana untuk menjaga mutu barang, sehingga biaya produksi dapat dikurangi guna keberhasilan dalam persaingan, pemberian informasi yang tidak jelas bahkan cenderung menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya, yang ujungujungnya dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. 30 Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan masih banyaknya konsumen yang belum memahami akan hak-haknya, serta bersikap pasrah terhadap berbagai tindakan yang dilakukan pelaku usaha tanpa ada usaha nyata untuk menggugatnya melalui mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang telah tersedia. Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB, No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, dimana Guidelines for Consumer Protection menghendaki agar konsumen di mana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar tertentu, terlepas dari status sosialnya. Yang dimaksud dengan hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu, dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing. 31 30 A. Zein Umar Purba, Perlindungan Konsumen : Sendi-Sendi Pokok Pengaturan, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.4 Tahun XXII/Agustus 1992, hal. 400. 31 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal. 2.

Bagi pemerintah Indonesia, upaya perlindungan terhadap konsumen antara lain dimaksudkan untuk meletakkan prinsip-prinsip : 32 1. Konsumen pada dasarnya adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa yang perlu diberikan perlindungan hukum; 2. Konsumen merupakan pihak yang sangat menentukan kelangsungan dan pertumbuhan usaha, serta memiliki kedudukan yang setara dengan pelaku usaha; 3. Konsumen perlu diberdayakan potensinya, mengingat selama ini pada umumnya kurang mengerti atau kurang waspada, sehingga mudah tergiur oleh upaya pemasaran yang menarik tanpa atau kurang memahami mutu hasil produk yang ditawarkan. Merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pemerintah untuk membangun setiap negara haruslah ada suatu kesadaran bahwa konsumen bukan sebagai objek yang dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh pelaku usaha demi keuntungan sepihak, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek yang setara kedudukannya dengan pelaku usaha, karena masa depan pelaku usaha sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan diantara kedua belah pihak. 33 Pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen, dilatarbelakangi oleh adanya ketidakseimbangan kedudukan antara para pelaku usaha dan konsumen. Walaupun konsumen dapat dianggap sebagai pihak yang mempunyai kemampuan untuk mengalokasikan sumber dana yang tersedia guna memenuhi kebutuhannya dalam berbagai produk yang tersedia di 32 Dedi Harianto, Op.Cit., hal. 10-11. 33 Ibid.

pasar, tetapi ketergantungan konsumen yang amat besar terhadap produk yang disediakan pelaku usaha menyebabkan posisi tawar (bargaining position) konsumen terhadap pelaku usaha menjadi lemah. Di samping itu, dianutnya asas hukum yang belum berpihak kepada konsumen, menyebabkan konsumen dalam kondisi yang sangat dirugikan. Asas inilah yang kemudian dikenal sebagai caveat emptor atau let the buyer beware, dimana konsumen diharuskan untuk melindungi dirinya sendiri dengan selalu berhati-hati dalam bertransaksi. Konsumen harus memeriksa, menimbang, mencoba sendiri setiap barang atau jasa yang dibelinya, dan apabila ia salah dalam bertransaksi, maka hal itu merupakan kesalahan dan kebodohan konsumen sendiri. 34 Kondisi dan realitas tersebut di atas, mendorong pelaku usaha untuk mengeksploitasi ketidakberdayaan konsumen dengan lebih mengonsentrasikan dirinya untuk memenangkan persaingan dan perluasan pasar. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan memproduksi produk yang tidak memenuhi standar kualiatas, pelayanan purna jual (after sales service) yang buruk, sampai kepada pemberian informasi yang menyesatkan melalui media iklan. Keseluruhan tindakan pelaku usaha tersebut, tentu akan cenderung mengakibatkan kerugian bagi konsumen. 35 Konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. 36 Melihat praktik perdagangan yang hanya menguntungkan pelaku usaha secara sepihak dan tidak adanya perlindungan yang memadai bagi konsumen, 34 Ibid., hal.14-15. 35 Ibid. 36 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.4.

maka timbul pemikiran agar negara dilibatkan untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen sebagai salah satu bentuk pelayanan negara (public service) kepada setiap warga negaranya. 37 Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk hukum. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan kepentingan serta keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen belum memadai. 38 Di Indonesia, gerakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) Nomor 8 Tahun 1999, yang berfungsi sebagai payung dan dasar hukum bagi pengaturan perlindungan konsumen. 39 Rumusan pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 Angka (1) menyatakan : Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen, serta 37 Ibid. 38 Azwir Agus, Arbitrase Konsumen Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen (Medan : USU Press, 2013), hal. 87. 39 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta : PT Grasindo, 2000), hal.77.

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. 40 Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen-pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu. 41 Dalam Pasal 2 UUPK membahas tentang asas perlindungan konsumen, yang menyatakan : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasannya adalah perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 42 40 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.8. 41 Janus Sidabalok, Op.Cit., hal.37. 42 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 25-26.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. 43 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. 44 43 Ibid., hal.26. 44 Ibid., hal.27.

Tujuan yang ingin dicapai oleh UUPK adalah : 45 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif peamakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang konsumen atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan 45 Azwir Agus, Op.Cit., hal. 67.

perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan perlindungan konsumen tersebut. 46 Pengertian peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan ini antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah (Peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan desa dan sebagainya). 47 Selain UUPK, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lainnya yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum bagi perlindungan konsumen sebagai berikut : 48 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 46 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.47-48. 47 Purnadi Purbacaraka, Perundang-undangan dan Yurisprudensi (Bandung : Alumni, 1979), hal.12. 48 Happy Susanto, Op.Cit., hal.20-21.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Senketa Konsumen. 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Jakarta dan Kota Medan. 8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

302/MPP/Kep/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 Tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen. 10. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai berikut : 49 1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan hukum dengan penjual konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan. 2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya guna melindungi atau memperoleh haknya. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan 49 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.49.

posisi yang berimbang dan konsumen dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar pelaku usaha. 50 Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen diyakini bisa dilakukan dengan penuh optimisme. B. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen, Tata Cara Pengaduan Konsumen dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-hak yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, yaitu : 51 1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose); 4. Hak untuk didengar (the right to be heard). 50 Happy Susanto, Op.Cit., hal.4. 51 Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standar Kontrak (Baku) (Jakarta : Bina Cipta, 1980), hal.61.

Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan sejumlah hak-hak pokok konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut, yaitu : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Konsumen perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan, dan tidak boleh tinggal diam ketika hak-haknya sebagai konsumen telah dilanggar, namun konsumen juga mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK, yaitu : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar uang yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen, melainkan juga hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak pelaku usaha tersebut diberikan agar tercipta pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Hak-hak pelaku usaha usaha tersebut tercantum dalam Pasal 6 UUPK adalah sebagai berikut : 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik; 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak yang diberikan, dalam Pasal 7 UUPK terdapat pula kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pelaku usaha, yaitu : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Khusus dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. 52 Seringnya terjadi pelanggaran terhadap masalah perlindungan konsumen dikarenakan ketidaktahuan konsumen maupun pelaku usaha mengenai hak dan kewajibannya masing-masing, meski telah diatur dalam UUPK, masih banyak masyarakat yang belum membaca bahkan belum mengetahui keberadaan undang-undang ini. Maka itu penting untuk konsumen dan pelaku usaha untuk mengetahui hak dan kewajiban masing-masing dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagimana telah dibahas, tujuan dari perlindungan konsumen adalah untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen, yaitu dengan cara menghindarkannya dari efek negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, segala perbuatan yang melanggar hak konsumen harus dihindari. Berikut adalah bentuk pelanggaran hak konsumen yang dilarang dalam Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 : 1. Produk Atau Jasa Yang Dilarang Menurut UUPK Pasal 8 ayat (1), barang atau jasa yang dilarang adalah sebagai berikut. 53 52 Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.Cit., hal.32. 53 Happy Susanto, Op.Cit., hal.44-50.

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etikel barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. 54 Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 55 Jika pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut, barang atau jasa tersebut wajib ditarik dari peredaran. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang bisa menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. 56 Inti dari pasal-pasal diatas adalah agar setiap barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang benar-benar layak edar sehingga konsumen tidak dirugikan. 2. Manipulasi Produk Atau Jasa Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 9 menjelaskan bahwa produk barang dan jasa yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan secara tidak benar (manipulasi) oleh pelaku usaha dilarang, seolah barang/jasa itu : 54 Azwir Agus, Op.Cit., hal. 70. 55 Ibid. 56 Ibid., hal. 72.

a. Telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. Dalam keadaan baik atau baru; c. Telah mendapatkan atau memiliki sponsor persetujuan perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu; d. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi; e. Barang/jasa tersebut tersedia; f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang/jasa lain; j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, serta tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Barang atau jasa tersebut sangat dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dilarang untuk melanjutkan kegiatan penawaran, promosi dan pengiklanan. 3. Informasi Yang Menyesatkan

Berdasarkan UUPK Pasal 10, pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai : a. Harga atau tarif suatu barang/ jasa; b. Kegunaan suatu barang/jasa; c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang/jasa; d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. Bahaya penggunaan barang/jasa. 4. Obral atau Lelang Dalam UUPK Pasal 11 menjelaskan, pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan dengan cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan : a. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat yang tersembunyi; c. Tidak berniat untuk menjual barang/jasa yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain; d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. Menaikkan harga atau tarif barang/jasa sebelum melakukan obral. 5. Pemberian Hadiah Menurut Pasal 13 ayat (1) UUPK pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisonal, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain. 57 Berdasarkan Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian dilarang untuk : a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 57 Erman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen ( Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 104.

6. Pesanan Pasal 16 UUPK mengatur ketentuan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa melalui pesanan dilarang untuk : a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi. 7. Usaha Periklanan Dalam UUPK Pasal 17 mengatur secara khusus tentang ketentuan periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang/jasa; b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang/jasa; c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang/jasa; d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa; e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang perlindungan konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. 58 Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka kesempatan kepada setiap konsumen yang dirugikan untuk mengajukan gugatan kepada pelaku usaha melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud tersebut diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Penyelesaian sengketa secara damai ini dapat dilakukan oleh konsumen langsung bernegosiasi kepada pelaku usaha atau melalui bantuan Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan, Direktorat Perlindungan Konsumen. Sejak tahun 2001 telah dibentuk suatu Direktorat Perlindungan Konsumen di bawah Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang bertugas melaksanakan perumusan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan konsumen di Indonesia. Salah satu sub direktoratnya yaitu Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan bertugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang pelayanan pengaduan konsumen. Sub Direktorat juga 58 Azwir Agus, Op.Cit., hal.4.

melayani pengaduan konsumen yang dirugikan baik konsumen barang maupun konsumen jasa atau klausula baku. Konsumen bisa mendatangi sub direktorat (selanjutnya disingkat subdit) pelayanan pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan. Sebagaimana dijelaskan dalam website resminya, http://pkdtijenpdn.depdag.go.id. Berikut adalah tata cara pengaduan konsumen melalui cara damai tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen : 59 1. Melalui Telepon Konsumen yang menelepon perlu menjelaskan apa saja pokok permasalahannya. Direktorat Perlindungan Konsumen akan menangani segala pengaduan konsumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. 2. Datang Langsung Konsumen bisa membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu melakukan : a. Pengisian formulir registrasi pengaduan; dan b. Menguraikan kronologis singkat permasalahan yang dihadapi. Setelah konsumen menyerahkan formulir dan menjelaskan kronologis permasalahan, petugas akan mengkroscek pendataan pengaduan dan bukti pendukung yang telah diisi oleh konsumen dalam computer file. Kelengkapan laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pejabat penerima 59 Happy Susanto, Op.Cit., hal.57-61

pengaduan dan konsumen yang mengadu. Laporan konsumen menjadi dasar pembuatan surat klarifikasi kepada pelaku usaha, dan setiap surat yang terkirim kepada pelaku usaha, konsumen akan memperoleh tembusan. 3. Media Massa Pengaduan melalui media massa, khususnya surat pembaca, bisa diterima oleh Subdit Pelayanan Pengaduan Direktorat Perlindungan Konsumen, asalkan : a. Surat pembaca tersebut memiliki identitas yang lengkap; b. Masalah yang diajukan menimbulkan gejolak sosial; c. Apa yang diadukan memang berdampak pada keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen; d. Surat pembaca tersebut dikumpulkan dalam bentuk kliping sebagai data awal yang akurat; e. Perlu mengundang kedua belah pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha. 4. Internet Pengaduan lewat internet juga diperbolehkan. Pengaduan melalui internet akan ditindaklanjuti dengan cara sebagai berikut : a. Mengklarifikasi apa permasalahannya. b. Dilakukan pengecekan identitas agar jelas siapa yang mengadukan. c. Atau bisa juga langgsung ditanggapi via internet.

5. Bentuk Pengaduan Konsumen bisa mengadukan haknya ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, baik dalam bentuk pengaduan tertulis maupun pengaduan secara lisan. Bedanya, untuk pengaduan secara lisan akan diisikan apa yang diadukan ke dalam formulir pendaftaran oleh petugas yang bersangkutan. Beberapa cacatan penting yang perlu diperhatikan dalam mengisi formulir pendaftaran pengaduan sebagai berikut : a. Harus jelas identitas konsumen yang mengadukan b. Bisa diajukan dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris c. Yang diadukan memang benar-benar termasuk dalam kategori perliindungan konsumen Segala bentuk pengaduan yang disampaikan kemudian diproses ke dalam registrasi. Proses registrasi adalah proses pemasukan data ke dalam sistem filling oleh petugas yang bersangkutan. Tujuannya adalah agar jalur komunikasi mudah diakses oleh siapapun. Yang akan dilakukan dalam proses registrasi ini, yaitu : a. Mengelompokkan komoditas (barang dan jasa) yang diadukan; b. Dilakukan pembagian kasus oleh petugas yang bersangkutan; c. Diberikan nomor; d. Didata dalam filling; e. Dilakukan pengolahan jawaban kasus; f. Dikirimkan jawaban secara tertulis.

Setelah dilakukan registrasi, dilakukan kajian terhadap masalah yang diadukan oleh konsumen. Penentuan masalah atau perkara merupakan kata kunci untuk menyelesaikan masalah selanjutnya. Dasar untuk menentukan bahwa hal tersebut merupakan masalah perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut : a. Ada kerugian yang dirasakan oleh konsumen b. Konsumen tersebut adalah kosumen akhir c. Ada pelaku usaha d. Produk terdiri atas barang/jassa Apabila suatu perkara bukan merupakan masalah perlindungan konsumen diklarifikasikan melalui surat kepada konsumen yang mengadukan, sehingga dianggap masalah telah selesai. Perkara-perkara yang dianggap sebagai masalah perlindungan konsumen kemudian dilakukan terhadap proses konfirmasi. Proses ini biasanya dilakukan terhadap konsumen dan pengirim surat tembusan, serta instansi/dinas yang terkait. Pengecekan kebenaran materi pengaduan (konfirmasi) dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut : a. Dikirim surat untuk minta konfirmasi konsumen. b. Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang bersangkutan. c. Penentuan jadwal pertemuan dengan konsumen, pelaku usaha dan keduanya dengan pejabat penerima pelayanan pegaduan. Setelah dilakukan proses konfirmasi, pejabat yang bersangkutan akan melakukan : a. Analisis terhadap masalah yang diadukan; b. Klarifikasi kepada konsumen, dengan cara : 1.) Meminta bukti-bukti pendukung; dan

2.) Meminta penjelasan perihal kronologi kejadian secara akurat. Setelah itu dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Maksudnya, proses jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi dari pelaku usaha. Pelaku usaha bisa melakukan sanggahan atas pengaduan dari konsumen dengan mempersiapkan hal-hal berikut : a. Data dan hasil uji b. Kebijakan internal perusahaan c. Peraturan perundang-undangan yang mendukung d. Persiapan melakukan pembuktian terbalik Jika ternyata masalahnya belum menemui titik kejelasan, perlu dilakukan beberapa langkah sebagi berikut : a. Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang berposisi netral. Pihak ketiga ini hanya membantu saja, tidak berwenang memberikan keputusan b. Konsiliasi, yaitu penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa didampingi oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator. Soal bentuk dan ganti ruginya menjadi kewenangan kedua belah pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha. Jika kedua media diatas belum menghasilkan suatu keputusan bisa dilakukan langkah-langkah selanjutnya, seperti : a. Pelimpahan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). b. Melakukan jalur yuridis (pengadilan) secara formil.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 60 Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang dimata hukum. Ada 4 (empat) kelompok yang dapat menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut : 61 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; 4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Bentuk penyelesaian sengkta konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) mengatakan : Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 60 Shidarta, Op.Cit., hal. 185. 61 Ibid., hal.185-186

Berdasarkan pasal ini, bisa dikatakan bahwa ada dua penyelesaian sengketa konsumen, yaitu : 62 1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. 2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur pengadilan atau proses legitasi Penyelesaian sengketa konsumen yang telah disebutkan diatas dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu 62 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal.98.

diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikaan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan. 63 b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disingkat BPSK), untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja setelah gugatan diterima BPSK wajib memberikan putusannya. 64 Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan sangat sederhana. 65 Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau. Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 15 ayat (2) dan (3), setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK. Permohonan dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan 63 Ibid., hal 99-103. 64 Azwir Agus, Op.Cit., hal. 83. 65 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK (Jakarta : Piramedia,2004), hal.17.

yang berlaku atau terhadap orang asing/warga negara asing. Pengaduan secara lisan atau tulisan tersebut disampaikan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tindakan tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. 66 Dalam penjelasan Pasal 47 UUPK dikatakan bahwa bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasna yang formal. 66 Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 138.

Ada 3 (tiga) tata cara penyelesaian sengketa berdasarkan Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : 1.) Konsiliasi Pengertian konsiliasi menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 menjelaskan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Jadi, dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugian. Konsiliator atau pihak ketiga hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat (1) dan (2) menyatakan hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara pihak yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.

2.) Mediasi Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat 1 dan 2 mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator. Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi, yang membedakan di antara keduanya adalah kalau mediasi didampingi oleh majelis yang aktif, sedangkan komsiliasi didampingi majelis yang pasif. Dalam proses mediasi, mediator bertindak lebih aktif dangan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. 67 Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara pihak yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk pserjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. 68 3.) Arbitrase Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 1 angka 11 67 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal.110. 68 Ibid., hal 111.

arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga cenderung lebih informal dan lebih sederhana dibandingan proses letigasi, prosedurnya tidak kaku dan lebih dapat menyesuaikan, serta tidak sering mengalami penundaan. 69 Hanya perkara perdata saja yang dapat diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga arbitrase. 70 Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase badan atau majelis yang dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. Cara pertama yang dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang bersengketa perihal perundang-undangan yang berkenaan dengan hukum perlindungan konsumen. Lalu, masing-masing pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja yang dipersengketakan. Nantinya keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa ini adalah menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut. 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan Pengadilan merupakan lembaga formal yang umum dipergunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang dihadapinya, termasuk penyelesaian sengketa konsumen. Tetapi tidak semua sengketa konsumen layak untuk diajukan ke pengadilan karena jumlah nominal sengketa 69 Ibid., hal 115. 70 Ibid.

tersebut sangat kecil, sedangkan untuk beracara di pengadilan membutuhkan biaya yang cukup besar serta jangka waktu penyelesaian sengketa yang sangat lambat. 71 Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia. 72 Pada dasarnya putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan mengikat, yang artinya tidak terdapat upaya hukum bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan majelis BPSK tersebut. Akan tetapi, sifat final dan mengikat putusan BPSK masih harus dipertanyakan kembali karena dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK membuka peluang bagi para pihak untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK ke pengadilan negeri, serta masih dibuka lagi kesempatan utuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Terhadap pengajuan keberatan tersebut, UUPK memberi waktu yang pasti bagi penyelesaian konsumen yang timbul, yakni jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari proses pada tingkat pengadilan negeri dan 30 (tiga puluh) untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14 (empat belas) hari untuk mengajukan ke Pengadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung. 73 71 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal.237. 72 Happy Susanto, Op.Cit., hal.76. 73 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran (Bandung : Nusa Media,2008), hal.128.

C. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan untuk melaksanakan fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan. 74 Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen agar mendapatkan hak-haknya. Sementara itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha. 75 berikut : 1. Pembinaan Penjelasan terhadap fungsi pembinaan dan pengawasan adalah sebagai Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat (1) mengemukakan, Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis 74 Happy Susanto, Op.Cit., hal.63. 75 Ibid.