MENCARI MANDAR OLEH MUHAMMAD AHLUL AMRI BUANA
MENGAPA MANDAR GUNAKAN AKSARA BUGIS? Penemuan sistem tulisan oleh suatu kelompok masyarakat menjadi penentu bermulanya peradaban di daerah tersebut. Peradaban-peradaban besar di muka bumi ini pasti mengenal tulisan. Beberapa di antaranya seperti: hieroglif di Mesir, aksara kanji di Cina dan Jepang, hang-geul di Korea, alfabet latin dari kekaisaran Romawi, serta huruf hijaiyyah dari Arab. Jika ditilik dari bangsa manakah yang pertama kali menemukan tulisan, maka oleh para sejarawan Mesopotamia dianggap sebagai peradaban tertua di muka bumi karena telah menggunakan cuneiform (huruf paku) berbahasa Sumeria sejak enam milenium lalu. Aksara Lontaraq merupakan bukti dari ketinggian prestasi peradaban Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Konon aksara ini ialah turunan dari aksara Pallawa, India sebagaimana halnya aksara-aksara Nusantara lainnya. Di Indonesia, kita mengenal kurang lebih ada 12 macam aksara lokal. Aksara-aksara tersebut antara lain: Hanacaraka (Jawa dan Bali), aksara Sunda Kuno, Cacarakan (Sunda modern), Surat Batak, Incung (Kerinci), Rejang, Rencong (Surat Ulu), Had Lampung, Lota Ende, Urupuq Lontaraq (Bugis), serta Jangngang-Jangngang Makassar. Aksara Lontaraq Bugis atau yang dalam istilah lokal disebut dengan nama ukiq sulappaq eppaq (huruf segiempat) 1 terdiri atas 23 huruf dengan lima macam tanda baca. Awalnya, sesuai namanya, aksara ini dituliskan di atas daun lontar. Setelah kertas mulai dikenal di Sulawesi Selatan, aksara ini pun disalin ke atas media baru tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya modifikasi dari bentuk-bentuk aslinya. Aksara Lontaraq, Siapa Penciptanya? Alkisah, aksara lontaraq diciptakan oleh seorang syahbandar kerajaan Gowa bernama Daeng Pamatteq pada abad ke-16. Ia diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sombayya ri Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparrisi Kallonna (1512-1546). 2 Pendapat ini mengacu pada sebuah paragraf di dalam naskah Lontaraq Gowa: 1 Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge, Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 34. 2 Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A., Islamisasi Kerajaan Gowa, Yayasan Obor, 2005, hal. 37.
Iapa anne karaeng uru appareq rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannaraqna minne karaenga nikana Daeng Pamatteq. Ia sabannaraq, ia tu mailalang, ia tommi Daeng Pamatteq ampareki lontaraq Mangkasaraq. 3 Siapakah Daeng Pamatteq ini? Sosoknya masih merupakan misteri karena tidak ada sumber sejarah lain yang memberitakan tentang dirinya. Mukhlis PaEni beranggapan bahwa sebenarnya Daeng Pamatteq tiada lain ialah Benjamin F. Matthes, misionaris asal Belanda yang mengumpulkan naskah La Galigo serta mempelajari Bahasa Bugis dan Makassar dengan bantuan Retna Kencana Arung Pancana Toa Colliq PujiE Datu Tanete. 4 Selain sukses menghimpun naskah La Galigo sebagai karya sastra terpanjang di dunia, Matthes juga berjasa dalam membakukan aksara Lontaraq yang berbentuk sulappaq eppaq agar mudah dalam proses percetakan. 5 Kenyataan sejarah itulah yang kemudian menimbulkan anggapan bahwa nama Pamatteq yang tidak ditemukan artinya di dalam Bahasa Makassar 6 sebenarnya merupakan perubahan bentuk dari nama Daeng Matthes, si orang Belanda yang suka mencari tahu tentang sejarah serta kekayaan budaya Bugis- Makassar selama 23 tahun karirnya di Sulawesi Selatan (sejak 1848). Tapi, tunggu dulu. Bukankah Lontaraq Gowa itu adalah catatan resmi kerajaan? Lalu, bagaimana caranya sehingga tokoh penting yang memegang jabatan syahbandar oleh official record kerajaan maritim macam Gowa diampu oleh seorang misionaris dari Belanda yang tidak punya darah kebangsawanan lokal sama sekali? Apakah masuk akal jika penginjil yang dijuluki Tuan Panrita dan sebelum bertemu dengan Colliq PujiE ditolak sana-sini oleh orangorang Bugis karena ingin menyalin lontaraq mereka kemudian menjadi seorang Daeng Pamatteq sebagaimana dikisahkan dalam Lontaraq Gowa? Kedengarannya ganjil. Nah, teori kedua, ada yang menyimpulkan jika sebenarnya Daeng Pamatteq adalah figur sejarah yang nyata. Daeng Pamatteq memang memiliki peran yang penting dalam perkembangan huruf lontaraq, akan tetapi ia bukanlah pencetus pertama aksara ini. Dalam menafsirkan kata ampareki lontaraq Mangkasaraq, almarhum Muhammad Salim menerjemahkannya tidak sebagai pembuat aksara namun menyusun pustaka dalam bahasa Makassar. Teori ini juga didukung oleh almarhum Mattulada, dimana beliau meyakini 3 Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, La Galigo Press, 2012, hal. 120. 4 Ibid. 5 Islamisasi Kerajaan Gowa, hal. 40. 6 Suara-Suara dalam Lokalitas, hal. 120.
bahwa Daeng Pamatteq bukanlah orang yang menciptakan huruf Lontaraq melainkan orang yang memodifikasinya. 7 Teori berikutnya penulis sadur dari tulisan Cho Tae Yang (yang pada waktu itu merupakan kandidat Doktor Ilmu Linguistik dari Universitas Hasanuddin). Pada tulisan yang berjudul Tradisi Bahasa Tulisan di Sulawesi Selatan itu ia mengutip bahwa Daeng Pamatteq sebagai pencipta lontaraq Jangngang-Jangngang, bukanlah sosok yang menciptakan lontaraq sulappaq eppaq: Syahbandar Daeng Pamattek diperintah oleh Raja Tumapa risi Kallonna, untuk menciptakan sistem aksara, beliau, dengan meniru bentuk seekor burung dari berbagai sisi, menciptakan aksara Jangang-Jangang. Oleh karena proses penciptaannya, nama aksara ini disebut Jangang-Jangang (Syarifuddin Daeng Kulle & Zainuddin Tika, 2003: 16) Menurut Tae Yang, penggunaan aksara Jangngang-Jangngang tidak sepopuler ukiq sulappaq eppaq karena bentuknya yang tidak praktis sehingga susah untuk dituliskan. Aksara Jangngang-Jangngang digunakan sebagai aksara resmi kerajaan Gowa, akibatnya penggunaan aksara ini tidak meresap hingga ke masyarakat lapisan bawah. Kemudian muncullah Lontaraq Bugis yang menggantikan kedudukan lontaraq Jangngang-Jangngang sebagai aksara bersama suku-suku di Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Teori terakhir, Daeng Pamatteq dipercaya sebagai Daeng Pamatteq, dan Matthes dipercaya sebagai Matthes; maksudnya kedua orang tersebut merupakan sosok yang berbeda dan tidak ada sangkut-pautnya satu-sama lain. Masalah yang sebenarnya bukan berada pada sosok, melainkan dalam penafsiran kita akan kata lontaraq Mangkasaraq. Masih dikutip dari buku Suara-Suara dalam Lokalitas buah karya Ibunda Nurhayati Rahman, lontaraq tidak selamanya bermakna tulisan atau naskah. Lontaraq bisa bermakna undang-undang, hukum, sejarah, astronomi, obat-obatan, dan berbagai ilmu pengetahuan tradisional orang Bugis- Makassar lainnya. Jadi, bisa saja yang dimaksud dengan lontaraq Mangkasaraq sebagaimana yang dipetik dari deskripsi mengenai Daeng Pamatteq di atas bermakna: orang yang pertama kali menuliskan sejarah Makassar. Lalu, apakah usia aksara lontaraq memang semuda itu dibandingkan dengan aksara Jawa dan aksara Nusantara lainnya? Rasa-rasanya terlalu gegabah jika aksara lontaraq yang kita kenal sekarang ini baru diciptakan menjelang masuknya pengaruh agama Islam ke 7 Suara-Suara dalam Lokalitas, hal. 121.
Sulawesi Selatan. Jauh sebelum masa hidup Daeng Pamatteq, menurut Fachruddin Ambo Enre, Sureq Galigo yang terkenal itu telah ditulis menggunakan aksara lontaraq, yaitu sekitar abad ke-14 Masehi. 8 Selain itu, berdasarkan sebuah berita Cina Dinasti Sung dari tahun 977 Masehi mengenai surat berbentuk seperti gulungan pita yang diterima kaisar dari raja P uni (Brunei), maka kemungkinan besar bentuk awal aksara lontaraq (yang naskahnya di Sulawesi Selatan juga berbentuk seperti gulungan pita) sudah ada sejak zaman Sriwijaya (abad ke-7 hingga 10 Masehi). 9 Aksara Lontaraq, Perkembangannya? Di dalam buku Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo karangan Nurhayati Rahman, ada pembahasan khusus yang lengkap mengenai teori-teori para ahli terkait asalmuasal aksara ini. Pakar seperti Noorduyn berpendapat bahwa aksara Bugis sebenarnya berasal dari pengembangan karakter aksara Kawi (Jawa Kuno). Fachruddin Ambo Enre berpendapat bahwa huruf Lontaraq yang berbentuk segiempat ini berasal dari rumpun aksara Sriwijaya. Ide ini didukung pula oleh Kern yang melihat adanya persamaan antara aksara Lontaraq dengan aksara Sumatera sehingga berpendapat bahwa tulisan tersebut diturunkan oleh induk yang sama. Hipotesa-hipotesa di atas kemudian disingkapi oleh Nurhayati Rahman sebagai suatu kelumrahan jika terjadi proses saling mempengaruhi antara satu aksara dengan aksara yang lain, baik berupa sistem bunyi maupun sistem bentuknya, apalagi di kawasan seperti Asia Tenggara. 8 Islamisasi Kerajaan Gowa, hal. 38. 9 Suara-Suara dalam Lokalitas, hal. 120.