BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kebijakan pembangunan kesehatan telah ditetapkan beberapa program dan salah satu program yang mendukung bidang kesehatan ialah program upaya kesehatan masyarakat. Adapun tujuan program ini antara lain meningkatkan mutu kesehatan, mencegah terjadinya penyebaran penyakit menular, menurunkan angka kesakitan dan kematian, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, 2003). Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduk yang hidup dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Program kesehatan masyarakat juga menitik beratkan pada penguasaan terhadap faktor lingkungan yang ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial, yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2010b). Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah bagi kesehatan, namun kurang mendapat perhatian (neglected disease). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglated disease ini memang tidak menyebabkan wabah yang muncul tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahanlahan menggerogoti kesehatan manusia. Kecacingan dapat menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Sudomo, 2008). Ada berbagai jenis cacing yang dapat menginfeksi manusia di seluruh dunia, salah satu jenis penyakit dari kelompok neglected disease yang menjadi perhatian para ahli adalah soil-transmitted helminthiasis (STH), karena jumlah kasusnya yang besar di seluruh dunia (Utzinger 2012). Soil-transmitted helminthiasis merupakan kelompok penyakit parasitik yang disebabkan oleh 1
2 cacing nematoda yang ditularkan kepada manusia melalui tanah terkontaminasi tinja (WHO, 2012c). Cacing yang tergolong dalam kelompok STH adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Cacing usus golongan STH yang masih menjadi persoalan pada manusia adalah Ascaris lumbricoides, atau yang dikenal sebagai cacing gelang, Trichuris trichiura atau cacing cambuk dan Necator americanus serta Ancylostoma duodenale yang dikenal sebagai cacing tambang (Gandahusada et al, 2004). Penularan STH terjadi melalui masuknya telur dari tanah yang terkontaminasi ( Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura) ke dalam saluran pencernaan (WHO, 2006) dan melalui penetrasi larva cacing tambang pada bagian kulit yang terkena tanah dan air (Asaolu & Ofozie, 2003). Secara lebih spesifik, Feachem (1983) mengemukakan tiga jalur transmisi utama Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, yaitu: transmisi melalui tanah dan komponen yang terkontaminasi tinja, khususnya penularan pada anak-anak, kedua transmisi pada orang yang bekerja di lahan yang tanah kompos atau limbah digunakan sebagai pupuk serta transmisi pada orang yang mengonsumsi sayuran yang tumbuh dari lahan yang menggunakan tanah kompos atau limbah. Ada berbagai faktor risiko yang terkait dengan infeksi STH antara lain: higiene perorangan (Feachem, 1983), iklim (Weaver et al, 2010), pendidikan kesehatan (Asaolu & Ofozie, 2003), tipe lantai rumah (Magalhaesa et al, 2011), suplai air (Esrey et al, 1991) dan sanitasi (Ziegelbauer et al, 2012). Faktor lain yang menyebabkan masih tingginya infeksi cacing adalah rendahnya personal hygiene (perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan tidak cuci tangan sebelum makan, kondisi kuku yang tidak bersih, perilaku jajan di sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku BAB tidak di WC yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih (Winita et al, 2012). Lebih spesifik faktor higiene perorangan yang secara signifikan berkaitan dengan
3 intensitas infeksi kecacingan adalah kebiasaan anak makan tanah (Nishiura 2002) dan kebiasaan tidak cuci tangan setelah defekasi (Knopp et al, 2010). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Isa pada tahun 2013 yang hasil penelitiannya menunjukkan prevalensi infeksi kecacingan pada siswa SDN Jagabaya 1 Kabupaten Lebak sebesar 65,85 %. Variabel yang memiliki hubungan dengan kejadian infeksi kecacingan adalah higiene perorangan, kebersihan, pendidikan ibu, dan kepemilikan jamban. Variabel yang memiliki hubungan paling kuat (dominan) adalah kebersihan kuku, kepemilikan jamban, dan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (Isa, 2013). Kecacingan bukan hanya penyakit yang bisa terjangkit pada anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa. Adapun yang membedakan kecacingan pada anak dan pada orang dewasa adalah, anak-anak masih tumbuh dan berkembang, sementara orang dewasa sudah tidak lagi tumbuh dan berkembang. Orang dewasa juga masih bisa survive, bisa melawan sendiri cacing yang ada di dalam tubuhnya (WHO, 2012b). Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah parasit yang ditularkan secara intensif, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan (WHO, 2012b). Infeksi STH terjadi secara global. Sekitar 438,9 juta orang mengalami infeksi cacing tambang, 819,0 juta orang mengalami infeksi oleh cacing gelang dan 464,6 juta orang mengalami infeksi cacing cambuk (Pullan et al, 2014). Prevalensi kecacingan di Indonesia masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu (Sangsoko, 2002). Secara umum ditemukan 90% anak usia sekolah di daerah kumuh terinfestasi cacing usus secara tunggal atau multipel (Nora & Heri, 2008). Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi kecacingan tinggi, tetapi intensitas infeksi (jum lah cacing dalam perut) berbeda (Depkes RI, 2010a). Angka prevalensi bervariasi antar daerah, yaitu berkisar antara 2,7% - 60,7% (Ditjen PP dan PL, 2008). Pada tahun 2011 prevalensi kecacingan berkisar antara 0,4% - 76,67% (Ditjen PP dan PL, 2011), di tahun 2014 prevalensi kecacingan meningkat berkisar 0 85,9% dengan
4 rata-rata prevalensi 28,12% (Ditjen PP dan PL, 2014). Data ini menunjukkan bahwa infeksi kecacingan masih merupakan masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian di Indonesia. Dampak kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan, dan produktivitas penderitanya (Depkes RI, 2006b). Terkait dengan aktivitas cacing menghisap darah, karbohidrat dan protein dari tubuh manusia, terdapat kerugian besar secara ekonomi perharinya bila dilakukan proyeksi pada penduduk Indonesia. Cacing gelang menghisap 0,14 gram karbohidrat & 0,035 gram protein, cacing cambuk menghisap 0,005 ml darah, dan cacing tambang menghisap 0,2 ml darah. Secara kumulatif bila dikalkulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi, rata-rata jumlah cacing yang mencapai 6 ekor/orang, dan potensi kerugian akibat kehilangan karbohidrat, protein dan darah akan menjadi sangat besar. Kerugian akibat cacing gelang bagi seluruh penduduk Indonesia dalam kehilangan karbohidrat diperkirakan senilai Rp 15,4 miliar/tahun serta kehilangan protein senilai Rp. 162,1 miliar/tahun. Kerugian akibat cacing tambang dalam hal kehilangan darah senilai 3.878.490 liter/tahun, serta kerugian akibat cacing cambuk dalam hal kehilangan darah senilai 1.728.640 liter/tahun (Ditjen P2MPL Kemenkes RI, 2010). Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi DIY, diketahui bahwa Kabupaten Gunungkidul memiliki angka sanitasi yang masih belum memenuhi persyaratan kesehatan. Angka cakupan kepemilikan jamban sebesar 78% dari target nasional 85% pada tahun 2014. Jenis sarana air minum yang paling banyak digunakan adalah penampungan air hujan (PAH). Angka rumah sehat sebesar 65,36%, dan untuk angka yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (SPAL) sebesar 81%. Hal ini diperkuat dengan angka rumah tangga yang menerapkan perilaku hidup bersih yang masih rendah yaitu sebesar 24%. Pernah dilakukan penelitian di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2010 didapatkan hasil 15,3% siswa sekolah dasar negeri positif terinfeksi cacing dari total responden 498 siswa. Distribusi telur cacing yang
5 menginfeksi adalah telur Hookworn sebesar 47,4%, sedangkan yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides sebesar 39,5%. Menurut data penyehatan lingkungan Kabupaten Gunungkidul, salah satu puskesmas yang memiliki akses sanitasi yang kurang baik adalah Puskesmas Tepus II yang terletak di Kecamatan Tepus. Dari hasil survei pendahuluan dan wawancara kepada petugas sanitarian diketahui bahwa keadaan sanitasi lingkungan di wilayah kerja puskesmas ini masih rendah. Beberapa indikator dalam penyehatan lingkungan, di antaranya akses kepemilikan jamban masih rendah. Masih ada warga yang menggunakan jamban cemplung yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk buang air besar. Untuk ketersediaan sarana air bersih di daerah ini masih sangat terbatas, masing-masing rumah menyediakan tempat penampungan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Pada musim kemarau, sebagian besar warga masyarakat membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terdapat beberapa warga masyarakat yang memiliki sarana pembuangan air limbah. Selain itu, warga masyarakat memiliki kebiasaaan yang kurang baik dalam pengelolaan limbah rumah tangga dengan mengalirkan limbah ke halaman rumah. Berdasarkan hasil survey Environmental Health Risk Assesment (EHRA) pada tahun 2015 di Kabupaten Gunungkidul, khususnya Kecamatan Tepus, didapatkan hasil beberapa indikator, yaitu persentase untuk kelangkaan air (71%), penggunaan sumber air tidak terlindungi (85%), pencemaran karena SPAL (69%), sampah yang tidak diolah (82%), perilaku tidak cuci tangan pakai sabun (92,86%), lantai dinding yang tidak bebas tinja sebesar (46%), perilaku buang air besar sembarangan ( 27%) dan masyarakat yang tidak melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (61%). Puskesmas Tepus II memiliki wilayah 14 SDN yang tersebar di 3 desa. Masih banyak murid SD yang belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Pada tahun 2000, telah diadakan penjaringan kecacingan ke beberapa SDN oleh petugas Puskesmas Tepus II. Adapun prevalensi kecacingan pada saat itu sebesar 50% murid SD positif kecacingan, namun sampai saat ini belum lagi dilakukan penjaringan infeksi kecacingan tersebut di Puskesmas Tepus II. Hal ini
6 dikarenakan program pemberantas kecacingan tidak termasuk kedalam program pengendalian penyakit di puskesmas tersebut. Pendidikan dan penyuluhan yang diberikan di sekolah sebatas pemeriksaan gigi dan mulut, dan higiene perseorangan sebatas pemeriksaan kuku jari tangan. Salah satu dampak dari infeksi kecacingan adalah menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan pada anak. Menurut data dan wawancara dengan petugas bagian kurikulum dari UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Tepus, diketahui terdapat beberapa SD yang menempati peringkat terbawah dilihat dari nilai rata-rata sekolah yaitu SDN Gesing, SDN Belik, SDN Kropak dan SDN Tepus I. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas sanitarian Puskesmas Tepus II didapatkan informasi bahwa keadaan sanitasi lingkungan rumah sekitar sekolah masih tersebut belum memenuhi persyaratan kesehatan terutama untuk rumah sehat, kepemilikan jamban yang yang memenuhi syarat dan kondisi SPAL yang memenuhi syarat masih rendah. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah, Higiene Perorangan dan Karakteristik Orangtua dengan Kejadian Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar Negeri di Wilayah Kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi kecacingan pada murid SDN Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul? wilayah kerja Puskesmas 2. Bagaimana hubungan antara higiene dengan kejadian infeksi kecacingan pada murid SDN wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul?
7 3. Bagaimana hubungan antara karakteristik orangtua murid dengan kejadian infeksi kecacingan pada murid SDN wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mendeskripsikan hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah, higiene perorangan dan karakteristik orangtua dengan kejadian infeksi kecacingan pada murid sekolah dasar negeri wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. 2. Tujuan khusus Tujuan umum dapat dijabarkan secara lebih spesifik menjadi tujuan khusus sebagai berikut: a. Mendeskripsikan kejadian kecacingan, khususnya pada murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. b. Mendeskripsikan kondisi sanitasi lingkungan rumah pada murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. c. Mendeskripsikan higiene perorangan murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. d. Mendeskripsikan karakteristik orangtua murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. e. Menganalisis hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian kecacingan pada murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. f. Menganalisis hubungan antara higiene perorangan murid dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul.
8 g. Menganalisis hubungan antara karakterisitik orangtua murid dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi penulis Untuk menyelesaikan tugas akhir dalam meraih gelar S-2 di bidang kesehatan masyarakat dan untuk melatih serta mengembangkan kemampuan penulis dalam penelitian terkait dengan hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah higiene perorangan dan karakteristik orangtua dengan kejadian infeksi pada murid SDN di wilayah kerja Puskesmas Tepus II Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul. 2. Bagi Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Kesehatan Lingkungan FK UGM Sebagai literatur dalam menambah wawasan mengenai keilmuan di bidang kesehatan lingkungan bagi Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. 3. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai bahan untuk perbaikan, pertimbangan, dan evaluasi kerja dalam rangka pengambilan kebijakan untuk melakukan upaya pengendalian serta meningkatkan kebersihan sanitasi rumah dan personal hygiene yang berhubungan dengan kejadian infeksi kecacingan pada siswa SD. 4. Puskesmas Bagi petugas Puskesmas Tepus II, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan untuk memberikan penyuluhan dan obat cacing kepada anakanak SD sebagai pencegahan dan mengobati penyakit kecacingan. 5. Sekolah Dasar Sebagai tambahan informasi pada bidang pendidikan tentang higiene perorangan anak SD kaitannya dengan kasus kecacingan, sehingga dapat
9 memberikan bimbingan kepada murid-murid SD dalam upaya pencegahan penyakit kecacingan. E. Keaslian Penelitian 1. Priyanto (2008), melakukan penelitian dengan judul Faktor resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2008/2009. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada rancangan penelitian. Penelitian Priyanto menggunakan pendekatan analisis disain kasus kontrol sedangakan rancangan penelitian yang peneliti gunakanan adalah cross sectional, dan perbedaan juga terletak pada waktu dan lokasi penelitian. 2. Soleman et al, (2013) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Perilaku Tentang Penyakit Kecacingan dengan Infestasi Cacing pada Pelajar Sekolah Dasar Negeri 47 di Kelurahan Sumompo Kecamatan Tuminting Kota Manado Tahun 2013. Perbedaan penelitian Soleman dengan penelitian ini terletak pada variabel independen, yaitu kondisi lingkungan rumah, personal hygiene dan karakteristik orangtua murid terhadap infeksi kecacingan. 3. Sumanto (2010) melakukan penelitian dengan judul Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari Karangawen, Demak). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sumanto adalah pada rancangan penelitian. Penelitian tersebut menggunakan desain kasus kontrol, sedangkan penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Perbedaan lainnya terletak pada objek penelitian. Penelitian tersebut diteliti pada masyarakat sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan pada pelajar sekolah dasar kemudian pada penelitian tersebut hanya meneliti variabel umum saja, sedangkan yang penelitian yang akan dilakukan diteliti subvariabelnya. 4. Gazali (2008) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Higiene Perseorangan Anak Sekolah Dasar dan Kondisi Kesehatan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit Kecacingan di Kecamatan Air Periukkan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Perbedaan penelitian terletak pada variabel karakteristik orangtua dan pada penelitian tersebut hanya meneliti
10 variabel umum saja, sedangkan penelitian ini diteliti subvariabelnya. Perbedaan lain adalah kondisi lingkungan wilayah Kecamatan Air Periukkan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu sudah baik, dan hampir semua warga memiliki sarana air bersih, yaitu sebesar 98%. Kemudian, data kepemilikan jamban adalah sebesar 75% dan 92% sudah memenuhi syarat, sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Tepus II adalah wilayah sulit air (kelangkaan air sebanyak 71%) dan masih banyak warga yang belum memiliki jamban memenuhi syarat. 5. Ratag et al, (2010) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Hiegene Perorangan dengan Infestasi Cacing Usus Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 119 Manado. Perbedaan penelitian adalah pada variabel kondisi lingkungan rumah, karakteristik orangtua murid, waktu dan tempat penelitian. 6. Rifdah (2007) melakukan penelitian yang berjudu l Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Tahun 2007. Perbedaan terletak pada variabel orangtua dan pada sub variabel higiene perorangan yaitu Kebiasaan buang air besar, kebiasaan memakai alas kaki disekolah, kebiasaan menghisap jari tidak di teliti lagi oleh peneliti karena di dalam penelitian tersebut sudah ada hubungan yang signifikan dengan kejadian kecacingan, lalu terdapat perbedaan waktu dan tempat penelitian.