BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. belum mendapatkan perhatian serius, sehingga digolongkan dalam penyakit

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit akibat infeksi kecacingan masih dipandang sebelah mata dan belum mendapatkan perhatian serius, sehingga digolongkan dalam penyakit infeksi yang terabaikan atau Neglected Infectious Disease (NIDs). Infeksi kecacingan terjadi hampir di seluruh dunia, terutama di negara beriklim tropis dengan kelembapan udara yang tinggi serta status sosial ekonomi rendah. Sebanyak 130 negara dilaporkan mempunyai angka kejadian soil transmitted helminths (STH) tinggi. Lebih dari 2 miliar populasi dunia terserang infeksi kecacingan dan 300 juta diantaranya mengalami infeksi berat dengan angka kematian mencapai 150 ribu jiwa setiap tahun (Chadijah et al, 2013). Angka kesakitan akibat infeksi STH menimbulkan masalah serius sehingga pada tahun 2001, United Nations Children s Fund (UNICEF) bersama Bank Dunia merekomendasikan deworming programs yaitu program pemberantasan cacing dengan target anak usia sekolah sebagai kelompok yang paling efektif untuk memerangi kesakitan akibat STH. Berdasarkan konsensus Kopenhagen program deworming berada pada urutan keempat dari enam belas target investasi yang paling efektif pada infeksi kecacingan anak sekolah (Gyorkos et al., 2013). Prevalensi STH pada populasi anak usia sekolah diperkirakan mencapai 878 juta kasus dan pada anak usia prasekolah 386 juta di seluruh dunia (Kounnavong et al., 2011., Obala et al., 2013). Berdasarkan data P2PL tahun 1

2 prevalensi infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di Indonesia (survey 175 Kabupaten/Kota) mencapai 0 85,9%, dengan rata-rata prevalensi adalah 28,12%. Pelaksanaan program pengendalian kecacingan perlu di integrasikan dengan program-program yang memiliki sasaran yang sama antara lain program pengendalian filariasis, program UKS untuk anak SD/MI dan program pemberian vitamin A di Posyandu (Kemenkes., 2011). Infeksi kecacingan yang terjadi di Indonesia didominasi oleh 4 jenis cacing yaitu, Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Keempat jenis cacing ini sering dikenal dengan STH karena perkembangbiakannya membutuhkan media tanah, khususnya tanah yang lembab dan hangat. Penelitian Yap et al. (2012), mengungkapkan bahwa Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan hookworm merupakan jenis nematoda yang paling sering ditemukan dan keadaan ini erat kaitannya dengan kemiskinan, perilaku higiene, ketersediaan air serta sanitasi yang buruk. Beberapa faktor penting diduga sebagai faktor yang berperan terhadap penyebaran dan transmisi kecacingan serta peningkatan jumlah penderita kecacingan, antara lain pengetahuan anak dan orangtua, perilaku anak, jenis daerah tempat tinggal, penggunaan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, ketersediaan fasilitas sanitasi yang memadai dan layak pakai, lingkungan yang sehat, serta sosial ekonomi keluarga. Faktor pengetahuan anak dan masyarakat merupakan hal penting yang harus dikaji pada beberapa penelitian kesehatan, pengetahuan berdampak pada sikap serta perilaku individu terhadap hal yang ditemuinya, termasuk diantaranya

3 3 pengetahuan tentang penyakit akan membuat individu tersebut berusaha menghindari atau mengurangi dampak resikonya. Pengetahuan tentang kecacingan berkontribusi terhadap kejadian infeksi STH. Penelitian Jusuf et al., (2013) di kota Ambon mengungkapkan semakin rendah pengetahuan tentang kecacingan, semakin banyak jumlah telur yang ditemukan, 76,3% subyek penelitiannya positif terinfeksi STH yang dihubungkan dengan pengetahuan rendah, sikap negatif dan perilaku kurang baik. Pertiwi et al., (2013), dalam penelitiannya di Pulau Barang Lompo Makassar menemukan 75,7% murid SD terinfeksi kecacingan dihubungkan dengan perilaku. Strunz et al, (2014): infeksi STH di pengaruhi Water Sanitation and Hygiene (WASH), pasokan air bersih tidak memadai, sanitasi jamban buruk, serta penggunaan jamban umum secara bersama berhubungan erat dengan kejadian STH pada anak usia sekolah di kepulauan Pasifik. Ziegelbauer et al., (2012) mengungkapkan ketersediaan dan penggunaan fasilitas sanitasi berhubungan dengan menurunnya prevalensi infeksi STH. Faktor sosial ekonomi memegang peranan penting terhadap kejadian infeksi STH dimana keadaan ekonomi yang rendah menyebabkan akses untuk mendapatkan penghidupan layak terhambat baik dari segi mendapatkan sumber makanan bergizi, menyediakan rumah hunian yang sehat, membangun saranasarana pendukung yang sehat seperti jamban keluarga, keterbatasan mendapatkan sumber air yang sehat, serta hal kompleks lainnya. Shavers (2007) mengungkapkan terdapat berbagai faktor yang saling berinteraksi mempengaruhi kesehatan populasi, faktor yang paling sering terlibat sebagai kontributor adalah

4 4 sosial ekonomi, hal ini sejalan dengan penelitian Kaunnavong et al., (2011) yang mengungkapkan angka kejadian kecacingan lebih banyak terjadi pada anak-anak usia prasekolah dengan status ekonomi keluarga yang sangat miskin. Berdasarkan observasi yang dilakukan di dusun Hurnala ditemukan beberapa rumah masih berlantai tanah, jamban keluarga dibangun seadanya, beberapa sumur dibangun secara sederhana tanpa penutup, dan beberapa orang tua dan anak tidak menggunakan alas kaki saat beraktifitas. Data BPS Maluku Tengah, di kecamatan Leihitu terdapat 5,07% rumah berlantai tanah (BPS Maluku Tengah, 2015). Kondisi lingkungan yang buruk meningkatkan risiko penyebaran parasit cacing, tanah yang lembab dan hangat merupakan media yang baik untuk perkembangan beberapa jenis telur cacing, telur yang dibuahi akan berkembang menjadi infektif dalam beberapa minggu di lingkungan yang sesuai. Tidak tersedianya jamban yang sehat, perilaku masyarakat membuang hajat di sembarang tempat (area terbuka, hutan, buang air besar di pantai atau sungai dan praktik WC terbang) serta penggunaan sumber air bersih dan sumber air minum yang tercemar akan meningkatkan risiko penularan. Tinggi rendahnya frekuensi penularan kecacingan berhubungan erat dengan tercemarnya tanah oleh tinja yang mengandung telur cacing (Mardiana et al, 2000). Berdasarkan observasi lingkungan di dusun Hurnala desa Tulehu dan di dusun Tengah-Tengah ditemukan bahwa, banyak rumah tangga yang belum memiliki jamban sehat, beberapa jamban tidak menggunakan septic tank sehingga tinja dialirkan langsung ke sungai dan pantai, terdapat tumpukan tinja di area terbuka dan di hutan dipang sekitar rumah warga, hal ini memungkinkan terjadinya pencemaran

5 5 tanah, air sumur, air sungai dan pantai sekitarnya. Sumber air yang digunakan warga di daerah Hitu tidak terlindungi dengan baik dan hal ini memungkinkan terjadinya pencemaran. Dampak infeksi kecacingan berpengaruh pada intake, pencernaan, penyerapan sari makanan serta gangguan metabolisme makanan. Apabila keadaan ini terus berlangsung dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan hambatan penyerapan zat gizi. Hambatan penyerapan zat gizi berdampak pada anemia, gangguan perkembangan fisik, gangguan kecerdasan, dan menurunnya produktifitas kerja, serta dapat menurunkan ketahanan tubuh (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2006), Penelitian Joseph et al., (2014); Infeksi STH menyumbang 24,2% kejadian stunting dan dan 8,6% underweight pada 1760 anak di Peruvian Amazon. Penelitian Verhager et al., (2013) di Venezuela yang mengungkapkan kecacingan dan Giardiasis menyebabkan gangguan status nutrisi akut maupun kronis yang tampak pada pengukuran tinggi badan per umur (TB/U), berat badan per umur (BB/U) pada anak usia 4-16 tahun. Berdasarkan penilaian Indeks Pelayanan Kesehatan Masyarakat (IPKM), (Kemenkes RI., 2011), Provinsi Maluku termasuk dalam Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) karena merupakan provinsi kepulauan. Hasil pemantauan penyakit kecacingan tahun 2009 di beberapa puskesmas diketahui prevalensi kecacingan di kota Ambon 51,67% dan Maluku Tengah 57,89% (BTKL & PPM Ambon., 2009). Kabupaten Maluku Tengah berada di Provinsi Maluku, beriklim laut tropis dan iklim musim dengan temperatur rata-rata 23,3 0 C-30,4 0 C serta kelembaban nisbi rata-rata 84,9% (BPS Maluku Tengah, 2013). Populasi

6 6 penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar pada SDN 11 Tulehu, SDN 02 Tengah-Tengah di kecamatan Salahutu dan anak usia sekolah dasar di SDN Oli di kecamatan Leihitu. Kedua wilayah kecamatan memilki karakteristik tanah yang berbeda, kecamatan Salahutu memiliki tanah berpasir dan kecamatan Leihitu memiliki jenis tanah liat. Melianus (2010) dalam penelitiannya menunjukan hubungan yang bermakna antara jenis tanah di pedesaan pulau Ambon dengan kejadian STH. Jenis telur A. lumbricoides dan T. trichiura banyak ditemukan di area dengan jenis tanah liat dengan kelembapan yang tinggi serta terlindung dari sinar matahari. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka peneliti dapat merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: seberapa besar prevalensi STH, apakah terdapat hubungan faktor pengetahuan, kondisi lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kejadian, jenis dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah di Kabupaten Maluku Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui prevalensi, jenis infeksi kecacingan dan faktor resikonya pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui prevalensi STH, jenis infeksi kecacingan (infeksi tunggal atau infeksi ganda) di SDN 11 Tulehu, SDN 2 Tengah-Tengah dan SDN Oli.

7 7 b. Mengetahui hubungan pengetahuan tentang kecacingan terhadap kejadian infeksi, jenis infeksi dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah c. Mengetahui hubungan pengetahuan tentang cara hidup sehat terhadap kejadian infeksi, jenis infeksi dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah d. Mengetahui hubungan kondisi lingkungan terhadap kejadian infeksi, jenis infeksi dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah e. Mengetahui hubungan sosial ekonomi terhadap kejadian infeksi, jenis infeksi dan intensitas infeksi STH pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah D. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan tentang STH dalam hubungan dengan faktor pengetahuan, kondisi lingkungan dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan, tetapi sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian yang dilakukan di daerah Maluku Tengah khususnya di Dusun Hurnala Tulehu, Dusun Oli dan Tengahtengah belum pernah dilakukan. Adapun beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan terkait dengan kejadian infeksi STH ini antara lain : 1. Zainal Fikri (2012) dengan desain Cross-sectional meneliti hubungan antara pengaruh sanitasi lingkungan, perilaku serta sosial ekonomi terhadap infeksi STH pada murid SDN 27 Karang Pule Kota Mataram. Perbedaannya adalah pada variabel yang diteliti; lahan pertanian, lingkungan sekolah, keberadaan

8 8 telur cacing pada tanah dan pengobatan mandiri tidak termasuk dalam sub variabel yang diteliti. 2. Liena Sofiana (2010) dengan desain cros-sectional yang meneliti hubungan higiene perorangan, sanitasi lingkungan rumah (kepemilikan jamban keluarga, sarana air bersih), dan sanitasi lingkungan sekolah dengan infeksi STH pada anak SD di wilayah kerja Puskesmas Kokap I, Kabupaten Kulonprogo. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan adalah peneliti tidak meneliti tentang kebiasaan mandi anak, kebersihan halaman rumah, tempat pembuangan sampah dan sanitasi lingkungan sekolah dan pada variabel perilaku peneliti meneliti tentang kebiasaan makan makanan mentah, kebiasaan makan makanan yang tidak dicuci, serta hubungan sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan. 3. Mohammad Gazali (2008) dengan desai n cross-sectional yang meneliti tentang pengetahuan, higiene perorangan, kondisi kesehatan lingkungan dengan kejadian penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar di Kabupaten Seluma Bengkulu. Perbedaan pada penelitian ini, yang diteliti adalah hubungan faktor sosial ekonomi dengan kejadian, jenis infeksi dan intensitas infeksi STH 4. Salakory Melianus (2010) yang meneliti tentang asp ek ekoepidemiologi dan dinamika populasi geohelminths serta prevalensi dan distribusi helminths di pedesaan pulau Ambon. Perbedaan penelitian adalah peneliti lebih mengarah kepada kasus geohelminth dan lokasi penelitian terbatas di dusun Hurnala.

9 9 5. Jusuf, A., et al. (2013) yang meneliti tentang pengetahuan, sikap dan tindakan petani sayur di desa Waiheru kota Ambon, perbedaan penelitian adalah dalam penelitian ini peneliti tidak meneliti tentang sikap dan tindakan, dan yang diteliti adalah pengetahuan, kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. 6. Salatalohy, N. M., et al. (2012) meneliti pengetahuan ibu tentang infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada anak usia pra sekolah di desa Batu Merah kota Ambon, perbedaan adalah pada subyek penelitian adalah anak usia sekolah dasar, Batu Merah merupakan daerah perkotaan di Ambon, sedangkan Tulehu, Tengah-Tengah dan Oli merupakan daerah pedesaan. E. Manfaat Penelitian Diharapkan setelah dilakukan penelitian ini, diperoleh data tentang prevalensi kecacingan jenis STH, diketahuinya faktor resiko yang berperan terhadap infeksi STH pada anak usia sekolah di kabupaten Maluku Tengah, serta dapat memberikan masukan yang berharga bagi instansi terkait dalam merancang program-program kesehatan terkait infeksi STH, serta diharapkan semua lini ikut terlibat secara aktif melakukan upaya pencegahan terhadap infeksi STH.