PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

G091 ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

SMP NEGERI 3 MENGGALA

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RENCANA STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

BAB I PENDAHULUAN. utama terus mengalami pergeseran dan lebih membuka diri bagi aktor non-state

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

II. TINJAUAN PUSTAKA. lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

I. PENDAHULUAN. Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu dari dua. taman nasional yang terdapat di Provinsi Lampung selain Taman Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perlukah Membangun Koridor Orangut an?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

Selama menjelajah Nusantara, ia telah menempuh jarak lebih dari km dan berhasil mengumpulkan spesimen fauna meliputi 8.

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai megadiversity country. Sebagai negara kepulauan yang

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006),

I. PENDAHULUAN. Dari sebelas Taman Hutan Raya yang ada di Indonesia, salah satu terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa dan terletak sekitar 30 kilometer di Utara wilayah Provinsi Daerah

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi fauna melimpah yang tersebar di

Transkripsi:

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah satu pulau di Indonesia yang dapat menjadi gambaran kekayaan daerah tropis di Asia. Hal tersebut bisa dilihat dari flora dan fauna yang ada di pulau ini, yaitu satu diantaranya adalah badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814). Terdapat lima jenis badak yang masih hidup di dunia, tiga jenis berada di Asia yaitu Rhinoceros unicornis (badak India), Rhinoceros sundaicus (badak Jawa), Dicerorhinus sumatrensis (badak Sumatera) dan dua jenis lainnya berada di Afrika yaitu Ceratotherium simum (badak putih Afrika) dan Diceros bicornis (badak hitam Afrika) Lekagul & McNelly (1977). Dari tiga jenis badak yang hidup di Asia, dua jenis diantaranya hidup di Indonesia, namun kedua jenis badak ini statusnya terancam punah (endangered). Badak Sumatera tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Akan tetapi daerah penyebaran badak di Kalimantan sudah sangat langka dan jarang ditemui, hanya terdapat di Sabah dengan jumlah populasi 25 individu. Demikian pula di Sumatera jumlahnya semakin menurun dengan peta sebaran yang sudah sangat terbatas pada daerah tertentu saja terutama berada di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh), Taman Nasional Kerinci Seblat (Jambi), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Sumatera Selatan) dan Taman Nasional Way Kambas, Lampung (YMR 1998). Menurut Penny (1987) badak Sumatera mempunyai daerah penyebaran yang luas yaitu meliputi daerah Bengal (India), Burma, Pegunungan Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos dan Malaysia (Foose & van Strein 1997; WWF 2002). Berdasarkan dari Hasil survey Program konservasi Badak Indonesia (PKBI) pada tahun 2004 diketahui populasi badak sumatera berdasarkan data jejak (footprint) ini yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Way kambas Lampung hanya berjumlah 15-25 ekor, sedangkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 60-80 ekor, dan Taman Nasional Kerinci Seblat 2-3 ekor, dan hasil survey terbaru pada tahun 2005 populasi badak Sumatera berdasarkan data

15 jejak (footprint) yang dilaporkan hanya tinggal 20-27 ekor (Isnan et al. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa populasi yang ada sekarang ini sangat mencemaskan, dan dikhawatirkan kondisi populasi yang sudah kecil itu akan semakin menurun. Kondisi ini disebabkan oleh masih terus berlangsungnya perambahan dan penjarahan hutan di TNWK termasuk aktivitas perburuan liar. Dari informasi yang kami dapat terlihat bahwa populasi badak Sumatera dewasa ini semakin terancam keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah semakin maraknya perburuan liar, rusaknya habitat alamnya yang disebabkan oleh konversi hutan yang cenderung tidak terkendali. Menurut Alikodra (2002) populasi satwa liar dapat berkembang stabil ataupun menurun sesuai dengan kondisi perubahan komponen lingkungannya. Selain faktor diatas terancamnya populasi badak Sumatera juga akibat hidupnya yang soliter dan sensitif terhadap aktivitas manusia dan pengganggu lainnya, serta proses perkembangbiakan yang lambat dengan keturunan yang dihasilkannya pun sangat terbatas. Badak Sumatera memiliki periode masa mengandung (gestation period)-nya selama 15-18 bulan dengan 1 anak per kelahiran. Badak Sumatera mulai bereproduksi pada usia 7-8 tahun dengan jarak 3-4 tahun antar periode anakan atau masa sapih (Nowak 1991). Periode generasi (generation period) yang panjang atau lama dan permasalahan dalam tingkat reproduksi (reproduction rate) yang rendah merupakan ciri dari populasi mahluk hidup yang rentan dengan kepunahan, dan hilangnya keanekaragaman genetik akan lebih cepat pada populasi kecil dibandingkan dengan populasi yang besar (Christine et al. 1983; Primack 1998). Populasi kecil lebih rentan pada sejumlah efek genetik yang merugikan, misalnya penurunan keragaman karena efek inbreeding serta terfiksasinya beberapa alela tertentu dalam populasi sehingga hewan tersebut menjadi monomorf dan mengalami penurunan kemampuan berevolusi atau adaptasinya pada lingkungan yang berubah. Selain itu berkurangnya populasi, faktor lain adalah terjadinya fragmentasi suatu habitat yang akan mendorong putusnya aliran gen (gen flow) dan meningkatnya genetic drift dan inbreeding (kawin silang dalam) antar populasi (Frankham et al. 2002).

16 Akibat dari populasi yang menurun dengan tajam di alam akan mengakibatkan hewan ini berada pada status meningkatnya peluang menuju kepunahan (Ellstrand et al. 1993). Mempertahankan keanekaragaman genetika dalam suatu populasi merupakan salah satu cara dari managemen populasi bagi spesies yang terancam punah. Dalam usaha melindungi semua jenis satwa liar dari kepunahan termasuk badak Sumatera, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan perundangan untuk perlindungan semua jenis satwa liar yang dikeluarkan pada tahun 1931 No. 266. Di samping itu badan Internasional yang bergerak dalam bidang konservasi sumberdaya alam IUCN (Internasional Union For Conservation of Nature and Natural Resources) juga telah memberikan perhatian terhadap kelestarian badak yang dimasukan dalam kategori Endangered atau genting (IUCN 1996) dengan membuat Suaka Rhino Sumatera (SRS). Di SRS telah melakukan usaha konservasi berupa konservasi semi insitu dalam bentuk penangkaran. Suaka ini terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas dengan areal seluas 9000 Ha, didominasi oleh ekosistem hutan hujan dataran rendah sedangkan lainnya adalah hutan rawa dengan lingkup yang kecil, dan dikelola secara khusus dan intensif. Tujuan dari suaka badak ini adalah untuk peningkatan reproduksi dalam menambah jumlah populasi di alam. Apabila usaha ini berhasil maka sangat mendukung dalam menekan laju kepunahan dan dapat melestarikan keberadaan badak sumatera tersebut. Keragaman genetik turut menentukan keberhasilan konservasi populasi. Oleh karena itu penelitian keragaman genetik dari populasi Badak Sumatera merupakan langkah penting yang harus dilakukan, dan apabila penelitian ini berhasil maka langkah konservasinya lebih terarah. Walaupun data mengenai filogeni (kekerabatan) badak Sumatera belum banyak dilaporkan, akan tetapi beberapa peneliti sudah mulai mengeksplorasinya, diantaranya Morales et al. (1997) mengungkapkan keragaman genetik, dan konservasi badak Sumatera. Dilaporkan juga oleh Xu et al. (1996) mengenai perbandingan DNA antara badak putih Afrika, badak hitam Afrika dengan badak India dengan analisis seluruh pada genom DNA mitokondria (12SrRNA, 16SrRNA, ND1, ND2, CO I, CO II, ATP, CO III, ND3, ND4, ND5, ND6, Cyt b

17 dan D-loop), dan Fernando et al. (2006) mengungkapkan keragaman genetik, filogeni dan konservasi badak Jawa dengan analisis pada genom DNA D-Loop. Selain itu Jama et al. (1993) mengukapkan mengenai sekuensi daerah D-loop, dan bagian, trna, trna Pro, dan trna Phe dari badak hitam Afrika (Diceros bicornis). Pada penelitian ini penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera terutama keragaman individu dalam populasi dilakukan dengan menggunakan Cytochrome Oxidase I (CO I) dan D-Loop dari genom DNA mitokondria (mtdna). Penelilitian penentuan keragaman genetik spesies badak Sumatera di Indonesia belum pernah dilakukan, dan penelitian ini adalah yang pertama di Indonesia. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan data base dalam usaha manajemen populasi dan konservasinya. Tujuan Penelitian 1. Menentukan tingkat keragaman genetik individu antar spesies. 2. Menentukan tingkat kekerabatan individu antar spesies. 3. Mengetahui jarak genetik dari empat individu. Manfaat Penelitian Diharapkan dapat memberikan informasi tentang keragaman genetik badak Sumatera sebagai penanda dalam usaha pengelolaan program-program penangkaran atau usaha konservasi seperti untuk perkawinan dalam mencegah terjadinya in breeding. Disamping itu juga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari keragaman genetik dan biologi populasi badak Sumatera serta informasi proses penurunan keragaman genetik, dan memberikan kontribusi terhadap upaya penyelamatan badak Sumatera agar terhindar dari kepunahan. Hipotesis Daerah Cytocrom oksidase I merupakan bagian dari genom mitokondria yang bersifat hypervariable juga. Pada daerah inipun didapat keragaman genetik yang bersifat spesifik, dan dapat mengungkapkan adanya perbedaan intraspesies secara filogeografi.

18 Daerah D-Loop merupakan bagian dari genom mitokondria yang bersifat hypervariable. Adanya keragaman genetik pada daerah ini bersifat spesifik, yang dapat mengungkapkan adanya perbedaan intraspesies secara filogeografi.