II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

dokumen-dokumen yang mirip
Aplikasi microwave pada Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) Microwave Imagener untuk mengukur curah hujan 2012

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 BAB II TEORI DASAR

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN METEOROLOGIS BENCANA BANJIR BANDANG DI WASIOR, PAPUA BARAT

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Miranti Indri Hastuti *), Annisa Nazmi Azzahra

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

ANALISIS PERUBAHAN CURAH HUJAN SATELIT TROPICAL MEASURING MISSION (TRMM) TAHUN 2009 DAN TAHUN 2010

STUDI TENTANG SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI PENDUGA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2003 DAN TAHUN 2004

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

ANALISIS INDEKS KEKERINGAN METEOROLOGIS LAHAN GAMBUT DI PULAU BENGKALIS

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. khususnya dimusim kemarau. Hal ini bukan hanya menjadi masalah nasional

VERIFIKASI DATA CURAH HUJAN TRMM DI SUMBAWA MENGGUNAKAN METODE INVERSE DISTANCE WEIGHTING, MEAN, DAN POINT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Novvria Sagita dan Ratih Prasetya Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado Jl. AA Maramis Bandara Sam Ratulangi, Manado 59374

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Novvria Sagita 1), Ratih Prasetya 2) Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Tabel 2. 1 Faktor-Faktor Penyebab dan Pemicu Tanah Longsor

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1

POTENSI LONGSOR DAERAH MANINJAU BERDASARKAN PENGINDERAAN JAUH

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

ISSN Any Zubaidah, Dede Dirgahayu, Junita Monika Pasaribu. Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana-LAPAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BENY HARJADI-BPTKPDAS-SOLO Peneliti bidang Pedologi dan Inderaja

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Rini. M Sibarani 1, M. Bayu Prayoga 1, Alfan Muttaqin 1 1

dengan jarak penjalaran beberapa kilometer. Pelepasan arus listrik diawali dengan

KAJIAN POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN DATA SATELIT TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSION (TRMM)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

Verifikasi Data Curah Hujan dari Satelit TRMM dengan Pengamatan Curah Hujan BMKG Di Provinsi Kalimantan Selatan

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

TUGAS AKHIR GIATIKA CHRISNAWATI Oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Daftar Isi. Daftar Isi Daftar Gambar Bab 1. Pendahuluan... 5

PEMANFAATAN DATA SRTM DEM DAN TRMM UNTUK MEMBUAT PETA AREA POTENSI MIKROHIDRO INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Alfan.muttaqin.bppt.go.id. Intisari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan bawah, semak-semak, dan pepohonan. Berdasarkan Brown dan Davis (1973), ciri penting dari kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar secara bebas (Heryalianto, 2006). US Forest Service (1956) dalam Heryalianto (2006) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohonpohon besar untuk tingkat terbatas. Kebakaran adalah fenomena alam yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan (Heryalianto, 2006): a. Jenis Bahan Bakar Hawley dan Stickel (1948) dalam Heryalianto (2006), membagi bahan bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran ke dalam 7 kelompok, yaitu : 1. Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut. 2. Semak belukar.

3. Rumput tanaman penutup tanah. 4. Serasah dan humus. 5. Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup. 6. Pohon mati yang masih berdiri. 7. Sisa pembalakan. b. Iklim Mikro Dalam Hutan Musim kemarau yang panjang menyebabkan berkurangnya kelembaban vegetasi, sehingga pemasukan panas yang rendah pun dapat menyebabkan kebakaran yang hebat. Pemanasan menyebabkan evaporasi, mengeringnya material tanaman, meningkatnya suhu hingga 200 0 C serta terbentuknya gas gas yang mudah terbakar dan kebakaran akan meningkat secara cepat karena adanya panas yang dilepaskan dari kebakaran serasah. c. Topografi Istilah topografi mengandung pengertian sebagai seluruh permukaan bumi terutama yang berhubungan dengan bentukan perbukitan, dataran dan aliran-aliran air (Clar dan Chatten, 1954). Ketinggian tempat, letak lereng, dan kondisi permukaan tanah berpengaruh pada penjalaran dan kekerasan pembakaran. Pada daerah yang tidak rata dimana frekuensi dan variasi dari topografi cukup besar, maka penyebaran kebakaran tidak teratur (Hawley dan Stickel, 1948). Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya, dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang

menjalar ke bawah lereng, akan padam jika melalui daerah lembab yang sering mempunyai kadar air yang tinggi (Clar dan Chatten, 1954). d. Waktu Terjadinya Kebakaran Hutan Menurut Saharjo (1999), pada pagi hari dengan suhu yang relatif rendah (18-22 0 C), kelembaban relatif tinggi (95-100%), maka tingkat kadar air bahan bakar juga akan relatif tinggi (> 40%), sehingga api sukar untuk menjalar bila kebakaran berlangsung. Selain itu pola kebakaran yang terjadi relatif tidak berubah dari bentuk lingkaran ini karena kecepatan angin relatif stabil atau boleh dikatakan tidak terlalu berpengaruh. Sementara itu pada siang hari dengan suhu udara yang relatif tinggi sekitar 35 0 C, kelembaban relatif 70 80 %, Kecepatan angin sekitar 60 meter/menit, dan tentu saja kadar air bahan bakar yang relatif rendah (< 30%), membuat proses pembakaran relatif cepat dengan berubah-ubah arah, intensitas kebakaran tinggi membuat bentuk kebakaran yang terjadi tidak beraturan. Bagi bahan bakar yang mengandung kadar air cukup tinggi (>30%), maka relatif memerlukan energi panas yang cukup tinggi guna mencapai temperatur penyalaan. 2.2. Titik Panas (Hotspot) Menurut Anderson, et,al. (1999), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Sebuah titik panas merupakan satu pixel pada potret satelit adalah suatu areal 1.1 km 2, dimana tinggi temperatur permukaannya mengindikasikan adanya kebakaran. Panas

permukaan tersebut diukur oleh satelit NOAA yang dilengkapi oleh sensor-sensor radiometer mutakhir berresolusi sangat tinggi (Fire Fight South East Asia, 2002). Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara diteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pengamatan titik panas (hotspot). Titik panas (hotspot) dapat diditeksi dengan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dilengkapi sensor Advenced Very Hight Resulation Radiometer (AVHRR). Dalam menditeksi kebakaran hutan, satelit NOAA tidak menditeksi kebakaran (suhu) secara langsung namun yang diditeksi adalah hotspot. Titik panas (hotspot) dapat dideteksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi sensor AVHRR yang bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu 42 0 C. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat atau laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah. Sebuah titik panas (hotspot) dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas (hotspot) dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam

hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire FightSouth East Asia, 2002). Titik panas (hotspot) hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas (hotspot) dan atau titik panas (hotspot) yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran (titik api). Data titik panas (hotspot) bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi seperti mengenai penggunaan lahan, penutupan tanaman, habitat binatang atau peta-peta lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas (hotspot) dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002). Areal-areal Hotspot meliputi sebagai berikut (Heryalianto, 2006) : a. Areal dengan deforestasi yang baru terjadi atau tengah terjadi sekarang menghubungkan kombinasi kecepatan atau intensitas yang berbeda dari perubahan penutupan hutan (tinggi, sedang dan rendah) dan keadaan penutupan hutan yang berbeda (rapat, terpecah-pecah dan kerapatan rendah). b. Areal-areal yang memiliki resiko perubahan penutupan lahan yang tinggi. 2.3. Keetch and Byram Drought Index (KBDI) Indeks kekeringan adalah nilai yang mewakili pengaruh bersih (net) evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban

kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala (flammability) bahan-bahan organik pada tanah (Deeming,1995). Sistem bahaya kebakaran ini dikembangkan oleh John E. Deeming tahun 1995 yang didasarkan pada indeks musim kemarau Keetch-Byram. Sistem ini dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1968 sampai sekarang, tetapi KBDI telah diterapkan pula dengan beberapa modifikasi oleh orangorang Australia dan negara lain yang sebagian besar beriklim tropis (Deeming, 1995). Untuk menghitung KBDI pada daerah tertentu harus dimulai pada posisi tertentu harus dimulai pada posisi nol, yaitu pada saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 200 mm dalam seminggu. Dari kemungkinan KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar dari 0 2000 (Keetch dan Byram, 1988) dalam Heryalianto, 2006). Kisaran nilai KBDI 2000 tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kategori dengan pembagian sebagai berikut : Tabel 2.1. Kriteria Kerawanan Kebakaran Berdasarkan Keetch-Byram Drought Index Interval kelas Kategori Rawan 0 999 Rendah 1000 1499 Sedang 1500 2000 Tinggi

2.4. Curah Hujan (Rainfall) Deposisi (precipitation) didefinisikan sebagai bentuk cairan dan air padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi (Tjasyono, 1999). Hujan adalah bentuk umum dari deposisi yang terjadi di Indonesia. Curah hujan adalah salah satu komponen iklim di Indonesia yang memiliki keragaman dalam skala ruang dan waktu. Jumlah curah hujan yang terjadi sebuah lokasi diasumsikan sama dengan jumlah curah hujan di sekitar stasiun curah hujan, tetapi luasan curah hujan sangat bergantung pada homogenitas area dan kondisi cuaca lainnya. Di Indonesia, variabilitas curah hujan sangat tinggi dalam skala ruang dan waktu. Berdasarkan skala ruang, variabilitas curah hujan secara garis besar dipengaruhi oleh faktor geografi (lokasi dari lautan dan benua), topografi, elevasi dan arah angin. Dalam skala waktu, variasi curah hujan dibagi ke dalam curah hujan harian, bulanan dan tahunan. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertanian di suatu daerah. Data rata-rata curah hujan bulanan dapat memberikan gambaran tentang gejala dari suatu pola iklim daerah tertentu, seperti kekeringan atau kebasahan daerah. Data curah hujan bulanan hanya berguna sebagai alat untuk menentukan iklim suatu daerah. Informasi tentang curah hujan sangat berguna untuk memprediksi area yang berpotensi bencana. Wilayah Kota Medan merupakan wilayah yang sangat terpengaruh dengan perubahan musim. Kota Medan memiliki potensi bencana banjir yang tinggi pada musim hujan terutama ketika hujan terjadi secara berturut-turut

dalam beberapa hari (Sirait, 2010). Masalah-masalah tersebut memicu berkembangnya monitoring hujan, bukan hanya menggunakan sensor hujan konvensional tetapi juga menggunakan metode penginderaan jauh (remote sensing)(as-syakur et al., 2011). Berdasarkan Aldrian (2003), propinsi Sumatera Utara termasuk dalam wilayah hujan Australian monsoon yang memiliki 2 puncak musim hujan dan 2 puncak musim kemarau. 2.4.1. Penakar Hujan (Rain Gauge) Observasi dengan menggunakan Penakar Hujan konvensional (Rain gauge) mempunyai akurasi yang tinggi pada titik pengamatan, tetapi pengukuran konvensional ini memiliki kelemahan secara spasial. Sebagai contoh tidak ada penakar hujan yang dipasang di laut dan wilayah tidak berpenduduk (Petty and Krajewski, 1996). Untuk Kota Medan ada 4 (empat) stasiun pengamatan curah hujan di bawah tanggungjawab BMKG yaitu Stasiun Sampali, Tuntungan, Belawan dan Polonia. Namun, sebagian besar penakar hujan terpasang secara menyebar dan tidak proposional pada wilayah tersebut. Selain itu, sebagian besar penakar hujan di Medan merupakan penakar hujan observasi (OBS) (Gambar 2.1). Penakar hujan jenis ini memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam pengamatan karena pengamatan harus dilakukan setiap hari. Oleh karena sistem penakar hujan yang masih konvensional dan manual, hal tersebut memberi peluang terhadap kesalahan pengukuran oleh karena faktor manusia (human factor).

Gambar 2.1. Penakar Hujan Observasi (OBS) 2.4.2. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) diluncurkan pada tanggal 27 Nopember 1997 yang membawa 5 sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared Scanner), LIS(Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Clouds and Earth s Radiant Energy System). Satelit TRMM dapat digunakan untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis (termasuk di dalamnya adalah untuk prediksi curah hujan). Satelit TRMM tersebut merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu Amerika Serikat (NASA : National Aeronautics and Space Administration) dan Jepang (NASDA : National Space Development of Japan; sekarang berubah menjadi JAXA : Japan

Aerospace Exploration Agency), berorbitpolar (non-sun-synchronous) dengan inklinasi sebesar 35 º terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km (pada saat-saat awal diluncurkan), dan diubah ketinggian orbitnya menjadi 403 km sejak 24 Agustus 2001 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost. Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dapat diungkapkan sebagai berikut. Pertama, sensor VIRS (Visible Infrared Scanner) terdiri dari 5 kanal, masing-masing pada panjang gelombang 0,63; 1,6; 3,75, 10,8 dan 12 μm. Sensor VIRS ini terutama digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan dan temperatur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA (Advance Very High Resolution Radiometer, National Oceanic and Atmospheric Administration). Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS ini adalah 2,2 km. Kedua, sensor TRMM Microwave Imager (TMI) merupakan suatu multichannel passive microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 37,0; dan 85,5 GHz polarisasi ganda dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi datadata untuk integrated column precipitation content, air cair dalam awan (cloud liquid water), es awan (cloud ice), intensitas hujan (rain intensity), tipe hujan (rain type) misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI ini memiliki kemiripan dengan sensor SSM/I DMSP (Special Sensor Microwave / Imager, Defense Meteorological Satellite Program). Sensor ketiga adalah sensor

Precipitation Radar (PR). Sensor PR ini merupakan sensor radar untuk pemantauan presipitasi yang pertama di antariksa. Sensor PR ini bekerja pada frekuensi 13,8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 (tiga) dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lautan; serta untuk menentukan kedalaman lapisan presipitasi. Perkembangan baru dari TRMM adalah Tropical Rainfall Measuring Mission Multi Satellite Precipitation Analysis (TMPA). TMPA adalah sebuah satelit multiplatform constellation satellite yang didesain untuk mengkombinasikan estimasi curah hujan dari beberapa sistem satelit dimana hasil estimasi satelit TRMM sama baiknya seperti estimasi dari penakar hujan terestial (Huffman et al., 2007). Produk satelit TRMM memiliki resolusi spasial 0.25 0 x 0.25 0 dan resolusi temporal yaitu setiap 3-jam (Huffman et al., 2007). TRMM system didesain untuk menggabungkan perkiraan hujan dari berbagai satelit sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang sama baiknya dengan penakar hujan (Scheel et al., 2011). TRMM adalah satelit dengan cakupan spasial yang luas dan memungkinkan untuk mengestimasi curah hujan di daerah terpencil dan tidak dihuni manusia (Juaeni et al., 2010). Selain itu, TRMM memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memetakan kejadian hujan ekstrim misalnya pada saat terjadinya ENSO di lautan pasifik (Juaeni et al., 2010).