BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu kelebihan manusia dari pada makhluk lainnya di muka bumi ini. Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Menurut Poerwadarmita (1985:5), bahasa adalah alat yang digunakan seseorang untuk melahirkan pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan dalam perasaan.ia berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat sebagai pemakai bahasa, sehingga saling menginformasikan gagasan dan perasaannya dari informasi tersebut. Gorys Keraf (1980:16) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi, suara yang dihasilkan oleh alat ucap. Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan seseorang atau lebih berupa lambang bunyi, suara untuk menyampaikan informasi sehingga menginformasikan gagasan dan perasaannya. Kemudian sebagai lambang tertentu ada yang dilambangkan. Maka yang dilambangkan adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud itu. Karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu didalam bahasa merupakan satuan-satuan bahasa yang terwujud morfem, kata frase, klausa, dan kalimat. Semua satuan tersebut mempunyai makna. Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam aspek
kehidupan manusia. Sehingga perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan manusia mempengaruhi perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa adalah media untuk menyampaikan makna kepada seseorang baik lisan maupun tulisan. Salah satu bahasa itu yang ada didunia adalah bahasa Jepang. Bahasa Jepang adalah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat diseluruh pelosok Negara Jepang. Bahasa Jepang dipakai sebagai bahasa resmi, bahasa penghubung antar anggota masyarakat Jepang. Dipakai sebagai bahasa pengantar disemua lembaga pendidikan di Jepang, sejak sekolah taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Dengan demikian bahasa Jepang dapat dikatakan sebagai bahasa yang dipakai oleh sekelompok masyarakat penutur yang berada disuatu wilayah atau suatu negara. Berdasarkan fungsinya bahasa dapat dikaji secara internal dan secara eksternal. Yang dimaksud dengan kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti : struktur fonologis, struktur morfologis, dan struktur sintaksis. Kajian secara internal ini akan menghasilkan varian-varian bahasa tanpa ada kaitannya dengan masalah lain diluar bahasa. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada didalam disiplin ilmu linguistik. Sebaliknya, kajian secara eksternal adalah kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya menggunakan teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan
teori dan prosedur disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yaitu : disiplin sosiologi, disiplin psikologi, dan disiplin antropologi. Bahasa yang kita gunakan diungkapkan dalam bentuk kalimat. Secara garis besarnya kalimat terdiri dari dua macam yaitu : kalimat yang berdasarkan strukturnya dan kalimat yang berdasarkan maknanya. Selanjutnya, kalimat yang berdasarkan strukturnya terbagi atas dua macam yaitu : yang tidak memiliki unsur predikat sering disebut (dokuritsugobun) dan yang memiliki unsur predikat disebut (jutsugobun). Dalam kalimat yang berkonstruksi predikat masih bisa digolongkan lagi berdasarkan pada jenis kata yang digunakan sebagai predikatnya, yaitu kalimat yang predikatnya menggunakan verba, adjektiva, atau nomina. Biasanya jenis kata yang mengisi unsur jabatan ini adalah verba. Verba adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang. Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Verba bahasa Jepang dapat mengalami perubahan ( katsuyou ) dan dapat berdiri sendiri, dengan sendirinya dapat menjadi predikat ( Nomura, 1992:158). Verba ditempatkan sebagai predikat di dalam sebuah kalimat sesuai dengan situasi pemakaiannya jika tidak, maka kalimat akan mengalami kerancuan, karena itu sangat penting mempelajari tata bahasa ( gramatikal ) yang baik dan benar, terutama ketika hendak berbicara dengan seseorang yang tidak sebahasa dengan kita. Hal ini menjadi penting bila kita ingin berkomunikasi dengan orang lain. Kesalah pahaman dalam komunikasi sering terjadi, karena adanya penafsiran makna yang berbeda antar pembicara dan lawan bicara. Ini dikarenakan banyaknya persamaan makna dan asingnya bahasa yang dipakai oleh seseorang yang bukan penutur asli. Seperti halnya penggunaan verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru yang memiliki perbedaan cara penggunaanya dalam kalimat.
Contoh: 学生は学業に励む Gakusei wa gakugyou ni hagemu. Mahasiswa menekuni pelajaran (Seikei dan Matsuki,1994). Penjelasan :Dimana si pembicara atau mahasiswa berusaha untuk tekun dalam belajar atau kata lainnya belajar dengan tekun. 私にとって初めてのマラソンだったが 最後までがんばっては走った Watashi ni totte hajimeteno marason dattaga, saigo made ganbatte hashitta. Bagi saya pertama kali melakukan marathon, saya berlari dengan usaha sampai finish (Shoji dan Hirotase,2002:361). Penjelasan : Dimana si pembicara dalam keadaan berlari /melakukan marathon, sehingga untuk mencapai finish, si pembicara melakukan dengan berusaha tanpa ada kesulitan. 長年の努力が実る Naganen no doryoku ga minoru. Usaha yang bertahun-tahun membuahkan hasil ( Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar). Penjelasan : Dimana si pembicara berusaha menanam selama bertahun-tahun yang tujuan akhirnya membuahkan hasil. Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa, kata hagemu, ganbaru, dan doryoku suru dalam kalimat diatas memiliki arti yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan kata berusaha tetapi intensitas berusaha seseorang itu dapat
diketahui dari verba apa yang digunakannya di dalam kalimat. Dengan demikian, dalam pemakaian dari kata hagemu, ganbaru, dan doryoku suru harus disesuaikan dengan situasinya, sehingga ini menimbulkan adanya pemilihan bahasa yang tepat yang sesuai dari kalimat tersebut. McCready dan Ogata (2006:11) mengatakan bahwa hagemu, ganbaru, dan doryoku suru ditinjau dari segi semantik, ketiga kata tersebut memiliki perbedaan makna. Dengan demikian, selaku pembelajar bahasa Jepang, sebaiknya kita paham benar cara pemakaian kata tersebut, agar lawan bicara paham betul apa yang kita bicarakan.selain itu juga kata hagemu, ganbaru, dan doryoku suru tersebut masingmasing memiliki jenis goi yang bermakna. Misalnya wago, kango, dan gairaigo. Jelasnya, verba hagemu termasuk jenis wago, maka definisi wago adalah kata-kata bahasa Jepang asli yang sudah ada sebelum kango dan gaikokugo (bahasa asing) masuk ke Jepang. Semua joshi dan jodooshi, dan sebagian besar ajektiva, konjungsi, dan interjeksi adalah wago (Tanimitsu, 1995:61). Sedangkan, verba ganbaru dan doryoku suru termasuk jenis kango, maka definisi kango adalah kango ditulis dengan huruf kanji (yang dibaca dengan cara on yomi) atau dengan huruf hiragana. Tanimitsu (1995:62-63) menyebutkan bahwa pada mulanya kango disampaikan dari cina, lalu bangsa Jepang memakainya sebagai bahasanya sendiri,namun tidak jelas pada zaman apa hal itu terjadi. Tetapi diketahui bahwa pada zaman Nara, kango sudah dipakai, pada zaman Heian banyak kango yang terlihat pada karya-karya sastra seperti monogatari cerita. Lalu bersamaan dengan lajunya zaman, kango semakin luas dipakai sehingga sekarang pun lebih dari setengah kata-kata yang terhimpun dalam Kokugo Jiten diduduki oleh kango. Dengan demikian, kango merupakan kata-kata yang
menyerap secara mendalam di dalam kehidupan orang Jepang dengan melewati waktu yang panjang. Dengan alasan tersebut penulis tertarik sekali untuk menganalisis kata tersebut yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul Analisis pemakaian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru di dalam kalimat bahasa Jepang ditinjau dari segi semantik. 1.2 Perumusan Masalah Masalah pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pemaparan secara deskripsi verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru yang dilihat dari segi semantik. Dalam kamus bahasa Indonesia ( 1990:548 ), semantik adalah (1)arti, makna (2) maksud pembicaraan dan penulis, pengertian yang diberikan kepada satu bentuk pembahasan.diatas telah dikemukakan bahwa verba hagemu,ganbaru, dan doryoku suru merupakan kata kerja yang maknanya hampir sama di dalam bahasa Indonesia, dan yang membedakan makna tersebut adalah situasi dan kontekstual pada nuansa yang mempengaruhi dari kata hagemu, ganbaru, dan doryoku suru tersebut dalam pemakaian kalimat bahasa Jepang. Contoh kalimatnya: 1. 学生は学業に励む Gakusei wa gakugyou ni hagemu. Mahasiswa menekuni pelajaran. 2. 私にとって初めてのマラソンだったが 最後までがんばっては走った Watashi ni totte hajimeteno marason dattaga, saigo made ganbatte hashitta.
Bagi saya pertama kali melakukan marathon, saya berlari dengan usaha sampai finish. 3. 長年の努力が実る Naganen no doryoku ga minoru. Usaha yang bertahun-tahun membuahkan hasil. Dari ketiga contoh diatas, menyatakan perbedaan intensitas berusaha dari seseorang. Jelasnya bahwa verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru merupakan kata kerja yang dapat membentuk suatu perubahan walaupun tanpa bantuan kelas kata lain. Maka, didefinisikanlah bahwa Hagemu adalah mencurahkan dengan sepenuh hati dan berusaha dengan bersungguh-sungguh. Ganbaru digunakan ketika seseorang berusaha/bekerja atau membuat suatu usaha untuk memperoleh hasil yang baik, tanpa mengalami kesulitan, dan kesukaran/penderitaan. Sedangkan Doryoku suru adalah perjuangan terhadap suatu hal yang dapat dimasukkan unsur dari tekanan luar kedalam pemikiran, singkatnya/jelasnya usaha menitikberatkan pencapaian sesuatu dengan baik/mantap sampai akhir. Dengan adanya perbedaan nuansa makna dari halnya verba diatas, kita harus paham betul dalam pemakaiannya secara tepat dalam kalimat bahasa Jepang. Sehingga kita dituntut untuk memilih kata nuansa yang tepat untuk dijadikan dalam kalimat yang sesuai dengan situasi dan kontekstualnya.untuk membahas hal tersebut diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa pengertian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru 2. Bagaimana pemakaian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru dalam kalimat bahasa Jepang yang memiliki perbedaan nuansa makna.
Suru 3. Apa-apa saja yang mempengaruhi pemilihan kata hagemu,ganbaru dan doryoku 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Dalam pembahasan skripsi ini penulis membatasi pembahasan pada pemakaian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru pada kalimat bahasa Jepang yang memiliki perbedaan nuansa makna, sebagai akibat dari pengaruh situasi dan kontekstual. Dan pembahasan diatas, analisisnya lebih difokuskan mengenai perbedaan nuansa makna dari verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru yang disebabkan oleh situasi atau kondisi yang mempengaruhi pemakaian kata tersebut. Agar analisisnya lebih akurat, penulis menjelaskan juga mengenai pengertian verba, pengertian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru, dan pilihan bahasa. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.Tinjauan Pustaka Fokus dari penelitian ini adalah menganalisis pemakaian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru serta perbedaannya. Untuk itu, penulis menggunakan konsep atau definisi yang berkait dengan linguistik. Linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia. Sementara (Abdul Chaer, 1994 :1), menyatakan : Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang mengkaji bahasa sebagai objek kajiannya. Biasanya bahasa yang kita gunakan diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat dan predikat dalam sebuah kalimat merupakan bagian yang terpenting. Jenis kata yang mengisi unsur jabatan ini adalah verba. Verba adalah salah satu kelas kata dalam
bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan dengan sendirinya dapat menjadi predikat (Noumura, 1992:158). Verba juga adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou ) dan bisa berdiri sendiri ( Sutedi, 2003:42). Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru yang memiliki makna yang hampir sama tetapi berbeda cara penggunaannya dalam kalimat. Hagemu adalah mencurahkan dengan sepenuh hati dan berusaha dengan bersungguh-sungguh ( Shogakukan, 1994). Ganbaru digunakan ketika seseorang berusaha/bekerja atau membuat suatu usaha untuk memperoleh hasil yang baik, tanpa mengalami kesulitan, dan kesukaran/penderitaan (Shoji dan Hirotase, 2002:361). Doryoku suru adalah perjuangan terhadap suatu hal yang dapat dimasukkan unsur dari tekanan luar kedalam pemikiran, singkatnya/jelasnya usaha menitikberatkan pencapaian sesuatu dengan baik/mantap sampai akhir ( 金木目川頁, 1998:254 ). Hal ini berkaitan dengan tataran linguistik yaitu bidang semantik. Semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi, makna antar suku kata dengan kata lainnya, makna frase dalam sebuah ideom, dan makna kalimat. Sementara di dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (1990:5480) adalah (1) arti:makna (2) maksud pembicara dan penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
2. Kerangka Teori Dalam penulisan skripsi ini penulis mempergunakan kerangka teori berdasarkan pendapat-pendapat pakar yang diperoleh dari sumber pustaka yang dibaca oleh penulis. Menurut Ferdinand de Saussure bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia diturunkan dari kata bahasa Yunani Kuno sema yang berarti tanda atau lambang. Bentuk verbalnya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik. Tanda Linguistik itu terdiri dari komponen penanda yang berwujud bunyi, dan komponen petanda yang berwujud konsep atau makna. Menurut Henri Guntur Tarigan ( 1985 : 18 ) bahwa secara etimologis kata semantik berasal dari bahasa Yunani semantickos yang berarti penting yang diturunkan pula dari semainein yang berarti memperlihatkan/menyatakan yang berasal pula dari sema yang berarti tanda yang terdapat pada kata semapore yang berarti tiang sinyal yang dipergunakan sebagai tanda oleh kereta api. Jadi semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan mayarakat. Verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru memiliki makna yang berbeda, maka untuk menganalisa ketiga kata tersebut penulis menggunakan pendekatan semantik. Banyak teori yang dikembangkan oleh paham filsafat dan linguistik sekitar teori makna dalam studi semantik. Menurut Parera (1990:16) secara umum teori makna dibedakan atas :
1. Teori Referensial/ Korespondensi 2. Teori Kontekstual 3. Teori Mentalisme 4. Teori Formalitas Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik, teori makna yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas adalah teori makna kontekstual. Makna kontekstual merupakan makna sebuah leksem / kata yang berada di dalam satu konteks. (Chaer, 2003:290). Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata / symbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks ( Parera, 1991:18). Dari teori yang dikemukakan oleh Wittgenstein seperti diatas, maka sudah pasti verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru memiliki perbedaan makna dan tidak digunakan dalam konteks yang sama. Untuk itu dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang makna yang ada dalam verba hagemu, ganbaru dan doryoku suru. Menurut Chaer (1994: 59), makna itu terbagi atas dua yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Dalam bahasa Jepang makna leksikal disebut makna kamus ( jisho teki imi ) atau makna kata ( goi teki imi ) yang sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata, sedangkan makna gramatikalnya yang dalam bahasa Jepang disebut makna kalimat ( bunpo teki imi ) yaitu makna yang muncul akibat dari proses gramatikalnya ( Sutedi, 2003 : 105-106 ). Kata hagemu, ganbaru, dan doryoku suru memiliki makna atau pengertian yang sedikit berbeda.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengertian verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru dalam Kontek kalimat bahasa Jepang. 2. Untuk mengetahui pemakaian verba hagemu, ganbaru dan doryoku suru dalam Konteks kalimat bahasa Jepang yang memiliki perbedaan nuansa makna. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Menambah referensi yang berkaitan dengan linguistik. 2. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca akan pengetahuan tentang verba bahasa Jepang, khususnya pengertian, perbedaan, dan persamaan penggunan verba hagemu, ganbaru, dan doryoku suru dalam konteks kalimat bahasa Jepang. 1.6 Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Deskriptif yaitu pemaparan dan penjelasan yang dikembangkan sendiri oleh penulis dengan tetap mengacu kepada sumber informasi dan fakta-fakta yang berkaitan dengan pembahasan yang diangkat dalam skripsi ini. Selain itu, penulis menggunakan metode kepustakaan ( liberary research ) yaitu dengan mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Serta merangkainya menjadi sebuah informasi yang mendukung tulisan ini.
Winarno Surachman dalam bukunya Pengantar Metodologi Ilmiyah (1988:5) menerangkan metode penelitian deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik deskriptif. Diantaranya adalah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa dan mengklasifikasikan. Dan pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interprestasi tentang arti data ini.