BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Hutan merupakan penyanggah ekosistem di muka bumi ini, hal ini sangat erat kaitannya dengan Pemanasan global yang sedang menjadi isu sentral di wacana lingkungan dunia. Kurangnya hutan menyebabkan peningkatan suhu permukaan beberapa derajat per tahun sebagai dampak naiknya permukaan air laut beberapa centimeter. Kenaikan ini dipicu oleh mencairnya es di kutub utara dan selatan, yang diakibatkan oleh pemanasan global (Situmorang, 2011). Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi dari negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 miliar ton karbon (FWI, 2003). Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa jumlah karbon tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan karbon suatu
lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT). Untuk itu pengukuran banyaknya karbon yang ditimbun dalam setiap lahan perlu dilakukan. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak (Hairiah dan Rahayu, 2007). Fungsi hutan adalah (1) sebagai proses siklus air dan pengawetan tanah; (2) sebagai pengendali iklim; (3) perlu dalam proses kesuburan tanah; (4) tempat keanekaragaman hayati; (5) sebagai kekayaan sumberdaya alam; (6) sebagai objek wisata (Marit, 2008). Keadaan Lokasi Penelitian (Hutan Pendidikan USU) Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) 2011 antara pihak USU dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, kawasan Hutan Pendidikan USU memiliki luas 1000 ha. Hutan Pendidikan USU merupakan bagian dari Tahura Bukit Barisan. Melalui penelitian Setiawan (2012), tentang pemetaan kawasan Hutan Pendidikan USU, diperoleh luas total 1325 ha. Luas ini dijadikan sebagai usulan peta Hutan Pendidikan. Letak geografis Hutan Pendidikan USU berdasarkan penelitian Setiawan (2012) adalah 3 0 13 LU - 3 0 11 LU dan 98 0 34 BT - 98 0 32 BT, terletak pada jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo. Batas-batas Hutan Pendidikan USU antara
lain, di sebelah utara berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Bukum, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Bukum dan Desa Tanjung Barus, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tanjung Barus dan Desa Barus Julu, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Barus Julu. Gambar 1. Peta Hutan Pendidikan Karbon Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan di seluruh dunia mencapai 830 milyar ton. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfir yang terikat dalam CO 2. Secara kasar, sekitar 40% atau 330 milyar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya sekitar 60% atau 500 milyar ton tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam tanah (Suhendang, 2002).
Panjang jangka penyimpanan karbon di dalam hutan sangat tergantung pada pengelolaan hutannya sendiri termasuk cara mengatasi gangguan yang mungkin terjadi. Hairiah dkk. (2001) menyatakan potensi penyerapan karbon ekosistem dunia tergantung pada tipe dan kondisi ekosistemnya yaitu komposisi jenis, struktur dan sebaran umur (khusus untuk hutan). Karbon menyusun 40 sampai dengan 50 persen berat kering dari pertumbuhan. Sejak reaksi CO 2 meningkat secara global di atmosfir akibat pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara) sehingga diketahui sebagai masalah lingkungan, dan para ekolog tertarik untuk menghitung simpanan karbon di hutan. Hutan tropika mampu menyerap karbon dalam jumlah yang besar sehingga mengandung biomassa dalam jumlah besar pula. Selain pada pohon hidup, karbon juga tersimpan dalam bahan yang sudah mati seperti serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah (Whitmore, 1985). Pengukuran Biomassa dan Karbon Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (ton/ha). Biomassa vegetasi merupakan berat bahan vegetasi hidup yang terdiri dari bagian atas dan bagian bawah permukaan tanah pada suatu waktu tertentu. Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi hutan, hal ini dapat dilakukan karena menurut (Brown, 1997) sekitar 50% biomassa tersusun oleh karbon, sedangkan menurut Hairiah dkk. (2007) biomassa tumbuhan 46% tersusun oleh karbon, dan dalam penelitian ini penulis mengacu pada Hariah dan Rahayu (2007).
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO 2 ) melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Carbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer (Sutaryo, 2009). Biomassa pohon merupakan fungsi dari volume kayu, (yakni diperoleh dari diameter dan tinggi) dan kerapatan kayu (berat kering dalam setiap unit volume kayu segar). Kerapatan bervariasi sesuai dengan spesies, cara hidup, dan factor lingkungan seperti topografi dan kemiringan lahan. Biomassa pohon dapat dihitung dengan metode langsung (pemanenan destructive) atau metode tidak langsung (model allometrik). Model allometrik diketahui dengan mengukur variabel diameter at breast height (DBH), tinggi total dan kerapatan kayu. Banyak studi menggunakan model allometrik dalam pendugaan biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass/abg) karena pemanenan pohon bersifat merusak dan membutuhkan biaya yang besar (Vieira, dkk., 2008). Menurut Hairah, dkk. (2011), pengukuran biomasa tanaman dapat dilakukan dengan cara: 1. Tanpa melakukan perusakan (metode non destructive ), jika jenis tanaman yang diukur sudah diketahui rumus allometriknya.
2. Melakukan perusakan (metode destructive). Metode ini dilakukan oleh peneliti untuk tujuan pengembangan rumus allometrik, terutama pada jenis-jenis pohon yang mempunyai pola percabangan spesifik yang belum diketahui persamaan allometriknya secara umum. Pengembangan allometrik dilakukan dengan menebang pohon dan mengukur diameter, panjang dan berat masanya. Metode juga dilakukan pada tumbuhan bawah, tanaman semusim dan perdu. Menurut Chapman (1976) secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaasn tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara yaitu : 1. Metode Pendugaan Langsung (Destructive Sampling) a. Metode Pemanenan Individu Tanaman Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode Pemanenan Kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik tumbuhan yang dipanen di dalam suatu unit area contoh. c. Metode Pemanenan Individu Pohon yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Ratarata Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran individu seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan kemudian menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua
pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2. Metode Pendugaan Tidak Langsung (Non Destructive Sampling) a. Metode Hubungan Allometrik Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit area tertentu. b. Metode Crop Meter Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut. Dalam inventarisasi karbon hutan, carbon pool yang diperhitungkan setidaknya ada 4 kantong karbon. Keempat kantong karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah. Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan (Sutaryo, 2009):
Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan. Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut. Protokol Kyoto Tahun 1994, telah diberlakukan kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia untuk merespon perubahan iklim, kesepakatan ini disebut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Namun, dengan adanya kenyataan bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat di seluruh dunia, negara-negara penandatangan UNFCCC (disebut Para Pihak dari UNFCCC) mulai melakukan negosiasi untuk menghasilkan sebuah komitmen yang tegas dan mengikat dari negara-negara maju untuk mengurangi emisi. Karena negosiasi tersebut dilaksanakan di Kyoto, Jepang, kesepakatan yang dicapai disebut Protokol Kyoto (Kyoto Protocol).
Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yangdisenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. Yang dimaksud dengan Negara-negara Annex I adalah Negara-negara yang telahmengkontribusikan GRK (Gerakan Rumah Kaca) hasil kegiatan manusia(anthropogenic) sejak revolusi industri tahun 1850-an. Sedangkan Negara-negara Non-Annex I adalah negaranegara selain Annex I, yang mengemisikangrk jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Protokol Kyoto merupakan instrumen hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan konvensi perubahan iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi (Murdiyarso, 2003). REDD dan REDD+ REDD adalah skema untuk memberikan insentif bagi negara-negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan tingkat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Insentif ini dapat mendorong pengelolaan hutan yang lebih lestari dengan menyediakan aliran pendapatan yang berkelanjutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari dapat diperhitungkan sebagai kredit karbon. Kredit tersebut selanjutnya dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melindungi hutannya (Kementerian Kehutanan RI). REDD+ merupakan perluasan dari REDD, yang menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal strategi REDD berupa peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon.
Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) merupakan dua aktifitas yang mengurangi penambahan karbon di atmosfer. Peningkatan simpanan karbon (di dalam REDD+) mengacu pada sequestrasi karbon atau penghilangan karbon dari atmosfer. Ruang lingkup REDD+ dalam konteks yang luas, akan tetapi, juga memasukkan cadangan karbon karena hal ini mengacu pada konservasi hutan dan karbon yang disimpan di hutan yang masih utuh. Cadangan berbeda dengan emisi dimana cadangan tidak berarti sebuah perubahan dalam konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dan oleh karena itu tidak diakui sebagai aktifitas mitigasi pengurangan perubahan iklim (Parker et all., 2009). Menurut Humphreys (1996) dalam Siswoko (2008), deforestasi terjadi ketika areal hutan ditebang habis dan diganti dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Sedangkan degradasi hutan merupakan penurunan kualitas hutan, dan terjadi ketika diversitas dari spesies tertentu dan potensi biomassa mengalami penurunan yang signifikan dikarenakan sebab tertentu misalnya karena adanya pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tidak dilakukan secara lestari. Pendanaan Iklim Gagasan pokok yang melatari REDD+ ialah memberi imbalan berbasis kinerja, yaitu membayar pemilik dan pengguna hutan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan upaya peniadaan emisi. Imbalan jasa lingkungan (PES) memiliki keunggulan sebagai berikut: memberikan insentif langsung yang mengikat kepada pemilik dan pengguna hutan untuk mengelola hutan dengan lebih baik dan mengurangi penebangan kawasan berhutan. PES akan sepenuhnya mengganti rugi pemegang hak atas karbon yang telah yakin bahwa melestarikan hutan lebih
menguntungkan daripada pilihan lainnya. Karbon hutan harus dipantau secara rutin sesuai luas kawasan yang diberi imbalan. Tatanan kelembagaan masyarakat dan pemerintah yang terlibat perlu ditetapkan untuk mengelola imbalan dan informasi, dan untuk mengaitkan sistem PES daerah dengan sistem REDD+ nasional (atau global) (Angelsen et all., 2010). Pembiayaan untuk REDD dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pendanaan sukarale, pasar langsung atau mekanisme hubungan pasar (Angelsen et all., 2010). 1. Dana sukarela dapat digunakan untuk skala nasional ataupun internasional. Official Development Assistance (ODA) seperti komitmen Norwegia untuk menyediakan $2.6 milyar, merupakan contoh pendanaan sukarela. 2. Di dalam mekanisme pasar langsung nilai kredit REDD akan diperdagangkan bersamaan dengan pengurangan emisi bersertifikat (CERs) yang ada, dan dapat digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi target emisi di sistem permodalan dan keuangan nasional mereka. 3. Pendekatan hubungan pasar dapat menghasilkan pembiayaan melalui beragam mekanisme. Bagian kunci dari proses pelelangan ini adalah bahwa pelelangan ini dapat menghasilkan pendapatan pada skala tertentu dan pengurangan emisi akan menambah komitmen yang sudah ada.