8 BAB II LANDASAN TEORI A. Religiusitas dalam Karya Sastra Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkutpaut dengan religi. Sedangkan religi ialah kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia, kepercayaan (animisme, dinamisme, danagama), (Soeharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 418). Religiusitas pada dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi, karena itu tidak bekerja dalam pengertianpengertian (otak), tetapi dalam pengalaman dan penghayatan yang mendahului analisis dan konseptualisasi. Dengan demikian, religiusitas tidak langsung berhubungan ketaatan ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, sebab huruf membunuh, sedangkan roh menghidupkan (Mangunwijaya dalam Ratnawati,dkk. 2002: 2). James dalam Wachid (2002: 176) mengemukakan bahwa bereligi berarti menyerahkan diri, taat, tetapi dalam pengertian positif, yakni berkaitan dengan kebahagiaan seseorang yang seakan memasuki dunia baru yang penuh kemuliaan. Sementara itu, perasaan keagamaan adalah segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, seperti perasaan takut kepada Tuhan, perasaam berdosa, mengakui kebenaran Tuhan. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas di pihak lain melihat aspek yang 8
9 terdapat di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kepada pribadi manusia. Seorang religius adalah orang yang memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari yang lahiriah saja. Orang yang beragama idealnya sekaligus religius, namun ada orang yang beragama tetapi tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat menusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribasi manusia (Nurgiyantoro, 2007: 327). Religiusitas sesungguhnya merupakan sikap atau tindakan manusia yang dilakukan secara terus-menerus dalam upaya mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek eksistensialnya. Akan tetapi, jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak akan pernah diperoleh karena ia hanya bagai bayangan yang berkelebat di dalam batin kita. Dengan demikian, religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius, sehingga yang muncul hanya rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak, (Najib dalam Ratnawati, dkk., 2002: 2). Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman religius adalah dengan meningkatkan kepekaannya menangkap simbol atau lambang-lambang yang ada di sekelilingnya. Dengan menangkap simbol atau lambang-lambang itu manusia akan memperoleh pengalaman estetik, dan pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau membangkitkan pengalaman religius. Di sinilah letak keeratan hubungan antara pengalaman estetis dan pengalaman religius. Jika diibaratkan sebuah simpul, dalam pengalaman estetis simpul baru mulai diuraikan, sedangkan dalam pengalaman religius simpul sudah terurai (Hartoko dalam Ratnawati, dkk., 2002:2-3).
10 Pada dasarnya karya sastra adalah wujud representasi dunia dalam bentuk lambang (kebahasaan). Oleh karena itu, sesuai dengan kenyataan tersebut, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi sumber pengalaman estetis yang ada gilirannya akan mengantar seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Hal itu dikatakan demikian karena persona atau tokoh-tokoh di dalam karya sastra juga memiliki keinginan dan kerinduan seperti halnya manusia sehingga mereka juga berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial mengenai dirinya. Itulah sebabnya, langsung atau tidak, karya sastra juga mengandung sesuatu yang oleh Darma (dalam Ratnawati, dkk., 2002: 3) disebut amanat atau moral yang mampu membangkitkan religiusitas manusia (pembaca). Kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesustraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini ( realitas alam dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah (Wachid, 2002: 177-178). Berkaitan dengan hal tersebut menurut Hadikusumo (1996: 13) dimensi kemanusiaan (humanisme) meliputi empat hal yaitu dimensi humanisme manusia
11 sebagai makhluk hidup, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila dan dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama. Pertama, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk hidup adalah kesadaran manusia akan keindividualitas dirinya bisa mengarah pada dua dimensi yaitu dimensi kedirian dan dimensi keegoisan. Kedua, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain atau kelompok lain, hal inilah yang menjadikan manusia memliki naluri kemanusiaan terhadap sesama makhluk hidup untuk saling tolong menolong dan hidup bermasyarakat. Ketiga, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk susila adalah dengan mengukur sejauh mana kedalaman manusia itu untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini manusia ditekankan sebagai makhluk yang menilai. Apabila dilihat dari sumbernya, nilai susila dappat berasal dari Tuhan dan dari manusia. Namun dalam diri manusia terdapat nilai yang dianggap tidak bisa diubah dan nilai yang dibiarkan berubah (Hadikusumo, 1996: 14). Keempat, dimensi humanisme manusia sebagai makhluk beragama berkaitan dengan pengakuan manusia tentang adanya Tuhan dan kesadaran manusia bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya di dalam kehidupan ini. Bertolak dari pernyataan itulah pengamatan dan penelitian terhadap religiusitas dalam karya sastra menjadi sangat penting dan perlu dilakukan. Penelitian semacam itu dianggap penting bukan hanya karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiusitas dalam sastra, melainkan juga karena secara pragmatis, sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi,
12 religiusitas merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan mental manusia (pembaca) yang saat ini dinilai mengalami reduksi akibat merebaknya paham nasionalisme (Ratnawati, dkk., 2002: 3). Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Agama menurut sastra religius bukan kekuasaan melainkan sebagai pedemokrasian (Atmosuwito, 1989:126). Religius dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama semakin intens. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Pada awalnya segala sastra adalah religi, istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan. berdampingan bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Dengan demikian religius bersifat mengatasi lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi. Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup atau penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Karya sastra merupakan wujud representasi dunia dalam bentuk lambang (kebahasan) Oleh karena itu, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi satu pengalaman estektik yang mengantarkan seseorang untuk mencapai religius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman estetik dan itu pula yang mengarahkan atau membangkitkan religius. Untuk mengetahui konsep religiusitas dalam karya sastra khususnya puisi peneliti
13 menggunakan teori simbol, dalam mengkaji puisi peneliti akan mencoba untuk memaknai simbol-simbol religi yang terdapat dalam puisi. B. Simbol dalam Puisi Kata simbol yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti menghubungkan atau menggabungkan. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak lengsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo,2004:119). Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejalagejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji istimewa suatu puisi; (3) kesejarahan agama, yang diikat kepercayaankepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci. Kedua, konsep simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh
14 fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlingusitik hanya bisa dijelaskan oleh linguistik. Contoh : simbol kakbah bagi Islam berati wajah Tuhan. Antara kakbah dan wajah Tuhan merupakan dimensi nonlinguistik karena tidak ada hubungannya, kakbah makna semantiknya adalah batu kemudian berubah menjadi wajah Tuhan. Akan tetapi keduanya mempunyai dimensi linguistik karena kakbah dan wajah Tuhan mempunyai simbol semantik yang dibangun dari kultur islam (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009:28). Ciri makna semantik simbol diindentifikasi dengan melihat hubungan makna harfiah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku ulang yang membahas aspek simbol. Di sini teori metafora berguna mengungkap simbol sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi model untuk perluasan makna. Makna simbol bertentangan dengan makna harfiah. Simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna simbolik, tentu tidak ada dua makna, maka dua makna itu menjadi satu tingkatan (gerakan) yang memindahkan dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat (nonlinguistik) yang keduanya berasimilasi menjadi makna yang dicari. Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna pertama adalah satu-satunya sarana memasuki makna tambahan. Arti primer memberi makna sekunder, betul-betul sebagai arti dari suatu arti (the meaning of a meaning). Simbol hubungan maknanya lebih kacau, tidak dapat dijabarkan dengan baik dan logis. Simbol berbicara tentang asimilasi/pembaruan bukan
15 aprehensi/pengertian. Simbol mengasimilasi sesuatu yang ditandai dari satu hal ke hal lain (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 29). Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika minimal diperlukan demi fungsinya simbolisme apapun. Akan tetapi, penjabaran linguistik tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan simbolisme yang khas semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan tidak dapat terjadi jika karya mediasinya tidak diperjelas oleh hubungan langsung antara makna dan hierofani di bawah pertimbangan. Oleh karena itu, kesucian alam mengatakan dirinya simbolik (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009: 30). Menurut Ricoeur, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda. Di dalamnya terdapat makna lapis pertama yang disebut makna referensial atau denotatif. Makna lapis pertama ini mesti dirujuk pada makna lapis kedua, yaitu makna konotatif dan sugestif yang tersembunyi di balik lapis pertama (Thompson dalam Rafiek, 2010: 12). Namun sebagai teori sastra yang berkaitan dengan penafsiran sebagai telaah untuk memahami karya sastra, penafsiran tidak harus diarahkan pada fenomena makna ganda simbol tetapi juga, harus memandang simbol sebagai sesuatu yang kaya akan makna. C. Hermeneutika Paul Ricoeur Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa itu sendiri.
16 Karya sastra perlu ditafsirkan sebab disatu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan. Hermeneutika mempunyai tiga pengertian umum, yaitu menyatakan atau berbicara, menafsirkan atau menjelaskan, dan menerjemahkan. Dewasa ini hermeneutika berkembang menjadi salah satu cabang ilmu telah mengalami perubahan yang meluas. Bentuk dasar makna pertama dari hermeneuein adalah to epress (mengungkapkan), to assert (menegaskan ) atau to say (menyatakan). Ini terkait dengan fungsi pemberitahuan dari Hermes. Signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari kata latin sermo, to say (menyatakan), dan bahasa latin lainnya verbum, word (kata). Ini mengansumsikan bahwa utusan, di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu; fungsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan (proclaim) (Palmer, 2005: 16-17). Palmer (2005: 23)mengatakan bahwa hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermenautik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern. Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Perihermeneias atau De Interpretatione yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
17 Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan dalam bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (Sumaryono, 1999:24). Sedangkan Ratna (2011:44) mengungkapkan Hermeneutika baik sebagai ilmu maupun metode, memegang peranan penting dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya sebatas metode. Di antara metodemetode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Metode hermeneutika bertujuan untuk menopang teori persepsi yaitu teori dimana pembaca sendiri harus memberi makna pada karya sastra yang dihadapinya bagi dirinya sendiri. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno untuk menafsirkan teks sastra klasik dan kitab suci. Semula hermeneutika merupakan seni pemahaman, tetapi dewasa ini ada usaha memberi wujud metodologis dan teoritis kepada teknik penafsiran menjadi ilmu pengetahuan hermeneutika. Hermeneutika modern berdekatan dengan disiplin ilmu semiotik yang memiliki dasar yang lebih luas dan filosofis, dan juga berkaitan dengan psikologi dan metodologi ilmiah. Hermeneutika modern menjadi filsafat pemahaman tidak hanya teks, tetapi hakikat ekstensi manusia. Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu
18 teks agama sama dengan karya sastra. Perbedaannya, agama merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman Tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek Illahi maupun subjek kreator, agama dan sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak, seperti disebutkan sebelumnya, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak yang lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan (Ratna, 2011:45-46). Paul Ricoeur, dalam De Interpretation, mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika, unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat di sana: mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra (Palmer, 2005: 47-48). Berkaitan dengan hal tersebut peneliti menggunakan hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur. Ricoeur dalam Kurniawan (2009: 18) menjelaskan
19 bahwa teks adalah sebuah wacana yang membakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam hermeneutika Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme. Konsep makna ini mengacu pada apa yang dilakukan pembaca dan apa yang dilakukan kalimat. Makna teks sebagai proposisi merupakan sisi objektif makna ini. Sisi objektif wacana itu sendiri bisa dijelaskan dengan dua cara berbeda. Boleh diartikan apa wacana dan tentang apa wacana. Apa - nya wacana adalah sense dan tentang apa wacana adalah reference-nya. Jika sense itu imanen terhadap wacana dan objektif dalam arti ideal, sedangkan reference mengungkapkan gerak ketika bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain, sense berkolerasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat, dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia (Ricoeur dalam Kurniawan, 2009:20). Untuk mengkaji hermeneutika Paul Ricoeur, tidak perlu melacak akarnya kepada perlengkapan hermeneutika sebelumnya. Penempatan posisi hermeneutika Paul Ricoeur terpisah dari tokoh-tokoh hermeneutik yang dibahas sebelumnya, yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci, hermeneutika metode filologi, hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika fondasi dari ilmu kemanusiaan dan hermeneutika fenomenologi desain (Palmer, 2005: 38-47).
20 Teori hermeneutika, yang mengacu pada Paul Ricoeur, memandang karya sastra sebagai wacana tertulis. Karya sastra tergolong wacana, kerana ia merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata, yang satuan terkecilnya adalah kalimat yang terdiri dari kata dengan fungsi subjek dan kata dengan fungsi predikat. Menurut Ricoeur, setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan (Sumaryono 1999: 43). Ricoeur memperluas definisi hermeneutika dari sekedar interpretasi terhadap simbol-simbol menjadi perhatian kepada teks. Hermeneutika Ricoeur dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulis. Dengan demikian Ricoeur secara lengkap memberi batasan definisi hermeneutikanya dengan interpretasi terhadap teks. Hermeneutika Ricoeur adalah suatu jenis pembacaan yang merespon otonomi teks dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen pemahaman dan penjelasan serta menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang kompleks. Sebuah teks harus dikonstruk dan ditafsirkan sebagai satu keseluruhan yang mengakui karakternya sebagai satu totalitas struktur yang tidak dapat direduksi ke dalam kalimat-kalimat yang menyusunnya. Sebagai satu konstruksi, hermeneutika Ricoeur membutuhkan satu dugaan dan yang satu memperkirakan yang lainnya. Hal ini disebabkan teks yang mengandung pluralitas makna yang inhern yang memungkinkan ditafsirkan dengan berbagai macam cara. Hal ini menandakan bahwa interpretasi merupakan proses yang terbuka, tetapi tidak
21 berarti sewenang-wenang dan berubah-ubah. Dalam melakukan penafsiran yang mendalam. Penafsir memasuki dunia teks mengikuti gerak pemahaman ke makna lain (referensial), dari struktur internal ke dunia yang diproyeksikan. Menurut Ricoeur dalam Sumaryono (1999:105) kata-kata adalah simbolsimbol juga, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.