Potensi Usahatani Jagung di Lahan Rawa Lebak Kalimantan Selatan Rosita Galib Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jln. Panglima Batur Barat No: 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan Telp : 0511-4772346 Fax : 0511-781810 E-mail : rosita1411@gmail.com. Abstrak Kalimantan Selatan memiliki beragam agroekosistem (lahan pasang surut/lebak. Lahan tadah hujan dan lahan kering), yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pertumbuhan pangan dan sesuai bagi usahatani, terutama padi dan jagung. Seiring dengan pesatnya penambahan usaha ternak ayam (baik ayam buras maupun ayam pedaging), maka kebutuhan terhadap jagung sebagai bahan pokok dalam pakan ayam menjadi meningkat pesat. Jagung yang diusahakan di lahan lebak awalnya hanya ditujukan untuk konsumsi dalam bentuk tongkol bukan pipilan kering saja. Produksi jagung yang diperoleh berkisar antara 30.000 35 tongkol/ha. Rata-rata luas pertanaman adalah 0,15 0,4 ha dan varietas yang ditanam adalah jagung lokal dengan warna biji putih, dijual langsung setelah panen dalam bentuk tongkol segar. Jagung varietas unggul dibudidayakan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), tingkat produktivitas dapat mencapai 4,5 ton/ha atau lebih, dengan input rendah. Pengkajian dilakukan di Desa Prima Tani Balangan, pada MT. 2008 dengan dosis pupuk Urea 25 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha, kapur dolomite 1000 kg/ha, penyiapan lahan menggunakan herbisida. Kata kunci : Usahatani, jagung, rawa lebak, Kalimantan Selatan, lahan Pendahuluan Kalimantan Selatan memiliki sekitar 600 ribu hektar lahan rawa yang terdiri dari lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Dari lahan rawa lebak seluas 113.000 ha baru diusahakan seluas 60.000 ha. Lahan rawa lebak yang terluas Nagara yang di Kalimantan Selatan mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Tengah dan Utara (Anonim, 1992 dan Muryadi 1983). Lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering. Lahan lebak dikategorikan berdasarkan ketinggian genangan air pada musim hujan yang membagi daerah lebak menjadi 4 bagian yaitu : Lahan rawa lebak pematang yang dikenal dengan pematang, yang ketinggian airnya kurang dari 25 cm; lahan rawa lebak dangkal yang dikenal dengan watun I, ketinggian airnya antara 25 50 cm; lahan rawa lebak tengahan yang dikenal dengan watun II, ketinggian airnya, antara 50 100 cm; dan lahan rawa lebak yang dikenal dengan watun III; dengan ketinggian air 100 cm (Muryadi, 1983 dan Anonim, 1984). Keadaan curah hujan sangat berpengaruh terhadap tinggi dan lamanya genangan air serta waktu mulai surutnya air. Dengan rata-rata curah hujan yang mencapai 2000 3000 mm/tahun, lahan lebak rata-rata memiliki 9 bulan basah dan 3 bulan kering. Permulaan musim kemarau jatuh pada bulan Mei dan permulaan musim hujan jatuh pada bulan Oktober. Pada bulan Desember umumnya air mulai menggenangi seluruh permu- 526
kaan lahan rawa lebak dan mencapai puncak tertinggi pertama pada bulan Januari, kemudian turun dan naik lagi hingga mencapai puncak tertinggi kedua pada bulan Maret dan setelah ini genangan turun terus sampai mengering. Pada bulan Mei Juni pada daerah lahan watun I airnya sudah mengering sedang pada watun II mulai kering pada bulan Juli dan watun III pada bulan Agustus bahkan sampai bulan September (Noor et al., 1993 dan Anonim, 1984). Lahan dengan kondisi yang terluapi air sungai setiap tahun dengan membawa endapan yang mengandung mineral dan bahan organik akan memperbaiki kesuburan tanah, sehingga walaupun setiap tahun petani melakukan budadaya tanaman tanpa melakukan pemupukan, tidak mengurangi hasil dan hasil tetap memiliki tingkat stabilitas yang tinggi (Wijaya-Adhi, 1986 dan Noor et al., 1993). Masalah utama dalam usahatani di lahan lebak di kalimantan Selatan adalah kondisi fisik lahan yang cukup berat dengan vegetasi yang cepat tumbuh, ketergantungan dengan kondisi iklim, masalah kekeringan dan kebanjiran, kurangnya tenaga kerja, teknologi budidaya yang masih rendah, kondisi sosial ekonomi petani, pemasaran serta dukungan sarana dan prasarana terutama angkutan yang masih kurang (Muryadi, 1983 dan Noor et al., 1993). Bahan dan Metode Pendekatan Kegiatan pengkajian ini menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman jagung terpadu (PTT), bersifat partisipatif, dilaksanakan di lahan petani (on farm research). Introduksi pengkajian berupa perbaikan teknologi budidaya, menggunakan varietas hibrida Bisi- 2 (disukai petani), penggunaan pupuk rendah yaitu dengan dosis pupuk; urea 25 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 75 Kg/ha, kapur dolomit 1000 kg/ha, penyiapan lahan secara minimal yang dilakukan dengan menggunakan herbisida. Pengumpulan Analisa data Data yang dikumpulkan untuk pertanaman jagung meliputi hasil dan pertumbuhan tanaman jagung pada musim tanam 2008. Data ekonomi seperti harga, inputoutput dan upah. Data tersebut dikumpulkan selama proses kegiatan pengkajian berjalan, dan kemudian analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa biaya dan pendapatan. Hasil dan Pembahasan Sumberdaya Petani Luas pemilikan lahan lebak rata-rata petani 2,25 ha dengan kisaran 0,5 4 ha dan kisaran usahatani adalah 0,5 2,0 ha sementara luas pertanaman jagung adalah 0,15-0,4 ha.lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan yang berada di tiga kabupaten umumnya dihuni oleh penduduk lokal setempat yang sudah lama mengusahakan lahan lebak sebagai lahan untuk budidaya pertanian (lebih dari 20 tahun). Penduduk di desa rawa lebak desa Primatani Kabupaten Balangan ini lebih dari 95% penduduk adalah petani dan yang lainnya adalah pedagang serta pegawai negeri dan buruh tani. Umur kepala keluarga berkisar antara 25 55 tahun dan rata-rata tanggungan 3,5 jiwa per KK. Pendidikan ratarata sekolah dasar dan tenaga kerja yang tersedia rata-rata 633 HOK. Tanaman jagung umumnya ditanam di lahan lebak pematang, watun I dan lebak tengahan tanpa guludan, baik secara monokultur maupun tumpangsari 527
dengan kacang tanah. Proporsi lebak tengahan ini cukup besar yaitu 41,2% dari total lebak yang ada. Budidaya Jagung Jagung di lahan lebak ini umumnya menggunakan bibit jagung lokal, dipanen muda (umur 85 90 hari) untuk dijual dalam bentuk tongkol muda untuk direbus atau dibakar. Jagung monokultur ditanam dengan jarak tanam 75 x 40 cm (tak beraturan) dan populasi sekitar 30.000 tongkol sampai 35.000 tongkol per ha, tanpa pupuk kimia (Urea, TSP dan KCl). Jagung tumpangsari dengan kacang tanah jarak tanam umumnya adalah 400 x 50 cm, sehingga populasi dalam 1 ha sekitar 5000 tongkol. Usahatani jagung ini ditujukan untuk menambah pendapatan dalam rumah tangga, sehingga petani sudah cermat dalam menghitung biaya yang harus dikeluarkan. Varietas yang ditanam petani umumnya jagung putih varietas lokal (kima), rata-rata menggunakan 30 kg/ha tanpa perlakuan benih. Jagung di lahan lebak dibudidayakan pada musim kemarau saat lahan tidak digenangi air yaitu pada bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Teknologi budidaya jagung yang diterapkan sangat sederhana sekali, yaitu lahan dibersihkan, dibakar dan lahan langsung dapat ditanami. Penyiangan kadang-kadang dilakukan pada umur 40 hari (melihat keadaan gulma dipertanaman), tanpa pemupukan, tanpa pengendalian hama penyakit, sehingga biaya yang dikeluarkan dan tenaga kerja yang dicurahkan kurang dari 60 HOK, relatif sedikit saja. Petani jagung dilahan lebak ini selain bertanam jagung juga mempunyai mata pencaharian diluar usahatani seperti mencari ikan, beternak atau usahatani padi dan hotikultura. Hal itu karena dalam pengelolaan usahataninya tidak banyak menggunakan input-modern dan curahan tenaga kerja yang digunakan cukup hemat tanpa pemeliharaan yang intensip. Sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih tinggi melalui perbaikan teknik budidaya dan perubahan penyelenggaraan usahataninya diperlukan pengaturan dan penyuluhan yang terencana dengan baik. Introduksi teknologi baru harus betul-betul mempunyai keunggulan dibanding yang biasa dilakukan petani terutama dalam hal pendapatan yang akan diperoleh, kuantitas produksi,curahan tenaga kerja dan resiko usaha. Dasar pertimbangan petani yang sangat menonjol dalam melakukan usahataninya adalah kecukupan kebutuhan pangan dan gizi bagi keluarga sepanjang tahun disamping terpenuhinya kebutuhan lain berupa aneka macam barang dan jasa. Hal ini dipenuhi dari menjual hasil produksi usahataninya atau dari pendapatan keluarga diluar usahatani (off dan non farm activitie). Lama usahatani jagung dilahan lebak ini berkisar 2,5 sampai 3 bulan saja dan hanya satu kali dalam satu tahun, sehingga selain di lebak pematang dan watun I memungkinkan juga dilakukan dilahan lebak tengahan. Besarnya biaya dan penerimaan usahatani jagung di lahan lebak dapat dilihat pada Tabel 1. 528
Tabel 1. Biaya dan penerimaan usahatani jagung per ha MK. 2008 No Uraian Jumlah fisik Harga (Rp) Nilai (Rp) 1. Produksi (tongkol) 30.000 350 10.500.000 2. Biaya - bibit (kg) 30 2.500 75.000 - tenaga kerja (HOK) 56 30.000 1.680.000 3. Pendapatan (1 2) 8.745.000 4. R/C (1:2) 8,29 Budidaya jagung yang diperbaiki Penyiapan lahan untuk pertanaman di lahan lebak pada kegiatan pengkajian dimulai pada bulan Juni dan panen pada bulan September. Hasil penelitian yang dilakukan di desa Prima Tani Balangan, menggunakan varietas jagung hibrida (Bisi-2) seluas 5 hektar, pada musim tanam tahun 2008, memberikan hasil berkisar 3,39 sampai 6,29 t/ha atau rata-rata 4,84 t/ha. Apabila harga jual Rp 1950/kg, maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp.9.438.000,- dan paket tek-nologi yang dipergunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balittra (2000) di lokasi lahan lahan lebak dangkal, Sungai Kupang, Hulu Sungai Selatan MK.2000, dapat dilihat keragaan 17 genotipe/varietas jagung yang ditanam dan 1 varitas lokal (kima) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Paket Teknologi. Budidaya Jagung Bisi-2, di lokasi PrimaTani Balangan MT 2008 No Komp. Teknologi Uraian 1. Penyiapan lahan Minimum,dengan cangkul/tajak/traktorkecil/herbisida. 2. Benih (kg/ha) 15-20, perlakuan benih 2,5 g metalaksil/1kg benih. 3. Jarak tanam 75 x20 cm, 1 biji/lubang atau 75 x 40 cm, 2 biji/lubang 4. Dosis Pupuk (kg/ha) Urea.25 ;SP-36. ; 100KCL.7, 5cara ditugal disamping lubang tanam. Kapur 1000, ditabur 15 hari sebelum tanam. 5. Penyiangan/pembumbunan 1-2 kali dengan alat atau herbisida. 6. Pengendalian hama/penyakit Insektisida pada batas ambang ekonomis 7. Panen dan Pasca panen Masak fisiologis, kadar air kurang 30 % 529
Tabel 3. Hasil evaluasi genotipe/varietas jagung di lahan lebak dangkal. Sungai Kupang, Hulu Sungai Selatan, MK. 2000 No Genotipe/varietas Hasil (t/ ha) Sumber : Balittra (2000) Tinggi tanama n (cm) Tinggi letak tongkol (cm) Umur berbung a (hari) Umur panen (hari) 1 Across S 9623 3,09 275 140 48 90 2 Poza Rica S 9623 3,48 225 130 49 91 3 Cotaxtla S 9623 2,92 245 118 51 91 4 Bako S 9623 3,37 250 100 52 91 5 Across S 9649 4,33 255 118 49 91 6 Poza Rica S 9649 3,28 285 160 48 90 7 Cotaxtla S 9649 6,40 247 110 49 90 8 Bako S 9649 5,82 230 100 49 90 9 Ferke 9449 SR (TIWD) 4,92 265 84 48 90 10 Synthetic NVE- SR (TIWD) 6,11 295 105 48 90 11 ICA V-157 # (WSD) 4,27 245 100 51 91 12 ICA V-258 # (WSD) 2,19 230 105 48 90 13 Across 9349 3,40 241 95 50 91 14 Sinematiali 9423 RE 2,88 304 120 49 90 15 Tux seq c6 (S1) C1 2,87 245 105 50 91 16 Pulut 2,57 325 138 51 91 17 Bayu 3,12 230 110 48 90 18 Kima (lokal) 2,82 225 75 48 90 Hasil jagung ini dapat ditingkatkan lagi mencapai 6,34 t/ha dengan pemakaian pupuk organik berupa biomasa abu sekam padi 3,6 t/ha. Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil perolehan produktivitas jagung dengan pemakaian pupuk organik berupa biomas gulma Ipomoea aquatica, enceng gondok dan abu sekam dengan takaran tertentu. Tabel 4. Pengaruh macam dan takaran pupuk organik terhadap hasil jagung di lahan lebak, Inlitra Tanggul MK. 2000 Takaran pupuk organik Hasil jagung (t/ha) (t/ha) Ipomoea aquatica Enceng gondok Abu sekam padi 0 5,37 5,58 5,97 1,8 5,82 5,34 5,20 3,6 5,41 6,13 6,34 4,8 5,70 5,60 6,09 Sumber : Balittra (2000) 530
Kesimpulan 1. Lahan rawa lebak yang belum diusahakan masih luas (sekitar 53.000 ha) dapat dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan seperti jagung. Usahatani di lahan lebak berkisar 0,5-2,0 ha dan usahatani jagung hanya 0,15 0,4 ha. 2. Tenaga kerja yang tersedia rata-rata 633 HOK sementara tenaga kerja yang dibutuhkan untuk jagung hanya 56 HOK berarti petani masih dapat melaksanakan pekerjaan diluar usahatani jagung. 3. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik (Urea, SP36, KCL) biomasa gulma air, enceng gondok dan abu sekam padi dapat dijadikan alternatif dengan pencapaian hasil jagung cukup memadai (5,20 6,34 t/ha). 4. Usahatani jagung di lahan lebak cukup menjanjikan terutama dilihat dari pencapaian hasil sehingga dapat dijadikan alternatif untuk mencukupi keperluan masyarakat terhadap jagung yang terus meningkat setiap tahun. Daftar Pustaka Anonim, 1984. Studi Pengembangan WPP I Banua Lima Propinsi Kalimantan Selatan. Hasil Survei Kerjasama Dinas Pertanian Tingkat I Kalimantan Selatan dengan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. ----------, 1992. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Balittra, 2000. Peningkatan Produktivitas Jagung dan Kedelai dengan Varietas Adaptif dan Pemupukan di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Laporan Tahun 2000. Banjarbaru. Hal. 23. Diperta Kalsel, 2001. Laporan Tahunan 2000. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Djamhuri, M., 1996. Aspek Sosial Ekonomi Pendayagunaan Lahan Gambut. Aspek -aspek Sosial Ekonomi Usahatani Lahan Marginal di Kalimantan. Balittra. Banjarbaru. Hidayat, Dj., Noor dan Khairuddin, 1994. Potensi Gembili Nagara dalam Usahatani di Lahan Rawa Lebak Kalimantan Selatan. Makalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubi Jalar untuk Mendukung Agroindustri. Balittan. Malang, hal 384-392. Muryadi, 1983. Prospek Pengembangan Lahan Lebak di Kabupaten Dati II Hulu Sungai Utara. Makalah pada Pertemuan PPS Tingkat Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Rosita Galib, 1993. Profil Usahatani Jagung di Lahan Kering Kalsel dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Jagung. Balittan Banjarbaru. Wayan, S., Sriwidodo dan Idha, H., 1990. Aspek Sosial Ekonomi dalam Perencanaan Usahatani di Lahan Pasang Surut. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS-II. Badan Litbang Pertanian. Tanggal, 19 21 September 1989. Bogor. Wijaya-Adhi, IPG., 1986. Pengelolaan Lahan Pasang Surut dan Lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 5 (I) : 1-9. 531