Jurnal GEA Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 5, No.9, April 2005

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

PERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH. Oleh : Tri Harningsih, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat dijelaskan di dalam Undang-Undang

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK

BAB I PENDAHULUAN. membuang sampah di jalan, saluran selokan, sungai dan lahan-lahan terbuka.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Gambar 2.1 organik dan anorganik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH PERKOTAAN (Studi Kasus Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jatibarang)

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB II TINJAUAN UMUM

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas perkotaan di beberapa kota besar di Indonesia timbul berbagai masalah yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

ANALISIS KONSENTRASI GAS HIDROGEN SULFIDA (H2S) DI UDARA AMBIEN KAWASAN LOKASI PEMBUANGAN AKHIR (LPA) SAMPAH AIR DINGIN KOTA PADANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

Praktik Cerdas TPA WISATA EDUKASI. Talangagung

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

B. Bangunan 1. Umum Bangunan harus dibuat sesuai dengan peraturan perundangundangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup,

Pengaruh Pencemaran Sampah Terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal Di TPA Mojosongo Surakarta 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB II TINJAUAN UMUM

DAMPAK SAMPAH TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pola pemukiman penduduk di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

III. METODOLOGI PENELITIAN

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai

4.1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Promosi Hygiene

BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT. Lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB III STUDI LITERATUR

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

SANITASI DAN KEAMANAN

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali dengan luas kurang lebih 5.636,66 km 2. penduduk yang mencapai jiwa sangat rentan terhadap berbagai dampak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Derajat kesehatan merupakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

Transkripsi:

KAJIAN KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) LEUWIGAJAH DALAM KONTEKS TATA-RUANG Oleh : Nandi ABSTRAK Keberadaan sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah memang diperlukan oleh suatu daerah, karena sampah senantiasa diproduksi oleh penduduk dalam segala aktivitasnya. Selama penduduk terus berkembang maka produksi sampah pun semakin besar. TPA sebagai terminal akhir sampah memerlukan ruang dalam menampung sampah yang masuk. Penempatan ruang itu tentunya memerlukan perencanaan dan pemikiran yang sangat matang dari para pengelolanya, termasuk pemerintah daerah sebagai penyedia fasilitas itu. Salah satu lokasi yang dijadikan TPA adalah Leuwigajah. Secara administratif TPA Leuwigajah berada di kawasan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Dan Kota Cimahi mempunyai andil besar sebagai pemasok sampah untuk TPA Leuwigajah, kerena lokasi TPA Leuwigajah selama ini dijadikan sebagai penampung dari ketiga kawasan tersebut. Dengan volume sampah yang setiap harinya masuk mencapai 5 ton, TPA Leuwigajah semakin lama semakin tidak sanggup menampungnya. Dengan menggunakan sistem open dumping, yaitu membiarkan tumpukan sampah menggunung dan diitimbun pada lahan yang terbuka maka secara tidak langsung dengan proses waktu akan menyebabkan lokasi tersebut akan mengalami ketidakseimbangan terhadap dayadukung lingkungan sekitar, maka selain pencemaran lingkungan yang ditimbulkan seperti bau yang menyengat, sumber penyakit, ledakan dan lainnya, juga menyebabkan terjadinya bencana longsor sampah, karena secara topografis TPA Leuwigajah berada pada kemiringan yang cukup ditambah tumpukan sampah yang semakin menumpuk maka lokasi tersebut rentan terhadap bahaya longsor. Karena itu dibutuhkan strategi dalam pengelolaan sampah dimulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan menuju lingkungan sanitasi yang dituju. 1. PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk di wilayah Bandung Raya memberikan dampak terhadap peningkatan volume sampah dan kerusakan lingkungan sekitarnya, seperti yang dikemukakan oleh Alikodra dalam (Sarbi Dkk: 2004: 70) bahwa pada umumnya masalah lingkungan hidup timbul karena berbagai sebab : (1) Urbanisasi yang cepat dan penggunaan teknologi yang kurang bijaksana dan cenderung untuk memusatkan penduduk dan sampah pada tempat yang relatif sempit. (2) Konsentrasi sampah yang melebihi lingkungan (tanah, udara, air, dan biologis) untuk mengasimilasikannya disebabkan oleh kemunduran mutu lingkungan hidup untuk kehidupan biologis termasuk manusia. (3) Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kegiatan pembangunan yang mengakibatkaqn terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan di Indonesia. Sering dijumpai pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta kesesuaian lahan, sehingga timbul masalah seperti lahan kritis, hilangnya lahan pertanian yang subur, dan terjadinya pencemaran tanah. (4). Pertumbuhan ekonomi dan industri yang menyebabkan terjadinya kecenderungan kepada perubahan siklus alami, terutama mengenai perubahan-perubahan sungai dan kegiatan lain yang dapat mengurangi produktivitas biologis. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang. Ruang tempat mereka tinggal dalam upaya meningkatkan status dan kualitas hidupnya yaitu dengan mengolah sumber daya, baik itu sumber daya alam atau pun sumber daya manusia itu sendiri. Disadari atau tidak dalam proses pemanfaatan sumber daya itu manusia menghasilkan sampah, dan sampah tersebut akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Seperti rumusan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003) Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai dan dianggap sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan. Sedang pencemaran lingkungan sendiri,

menurut Sunu (2001:4) adalah masuk atau dimasukannya mahluk hidup, zat, energi, dan komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegitan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkunganmenjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Penguraian sampah sendiri disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme. Pembusukan sampah ini akan menghasilkan gas metana (CH 4 dan H2S ) yang bersifat racun bagi tubuh makhluk hidup. Sampah yang tidak dapat membusuk adalah sampah yang memiliki bahan dasar plastik, logam, gelas, karet. Untuk pemusnahannya dapat dilakukan pembakaran tetapi dapat menimbulkan dampak lingkungan karena menghasilkan zat kimia, debu dan abu yang berbahaya bagi makhluk hidup. Peningkatan jumlah sampah disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, keadaan sosial ekonomi, dan kemajuan teknologi. Volume Sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Leuwigajah itu adalah sampah-sampah yang datang dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Setiap harinya, sampah yang dibuang ke TPA tersebut berasal dari Kota Bandung sebanyak dua ton, dari Kabupaten Bandung satu ton dan dari Kota Cimahi sekitar 400 kuintal. Upaya mengurangi volume sampah yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi sebagai penyuplai sampah utama di wilayah Bandung Raya dengan cara membakarnya di lahan terbuka telah menimbulkan polusi asap dan debu. Karena itu Pemerintah Kabupaten dan Kota tersebut menganggap perlu memiliki lokasi tempat pembuangan yang memadai dan memenuhi persyaratan ambang batas lingkungan hidup. 2. TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH LEUWIGAJAH Pada tahun 1986 Pemerintah kabupaten Bandung mulai membangun TPA Leuwigajah. Leuwigajah dinilai cukup cocok untuk dijadikan TPA karena lahannya yang miring yang dapat dijadikan tempat pengumpul sampah dan lokasinya yang jauh dengan pemukiman penduduk. Areal ini semula merupakan bekas lahan galian tanah karena secara bersamaan di lokasi sekitar dijadikan tempat penambangan galian C. Areal TPA Leuwigajah saat ini mencakup dua desa yang secara administratif terbagi dalam dua daerah yaitu Kampung Cilimus dan kampung Gunung Aki Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar yang masuk kedalam Pemerintah Kabupaten Bandung, dan Kampung Cireundeu serta Kampung Pojok yang berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan masuk ke Kota Cimahi. TPA ini sejak dibuka tahun 1986 menerapkan sistem Open Dumping atau penimbunan sampah secara terbuka pada lahan terbuka sehingga menyerupai gunungan sampah dengan total area sekira seluas 25 ha. Seiring dengan penambahan volume sampah yang masuk setiap harinya maka luas areal penimbunan pun bertambah pula sehingga mengakibatkan jarak lokasi TPA dengan pemukiman penduduk semakin mendekat. Pada awalnya perencanaan pembangunan lokasi TPA ini hanya berdasarkan pada potensi fisik saja yaitu memanfaatkan kemiringan lereng yang diapit oleh dua buah gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik tanpa memperhitungkan akibat yang akan timbul dikemudian hari yang justru dapat merugikan kondisi penduduk dan lingkungan sekitar. Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni : pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir/pengolahan. Tahapan kegiatan tersebut merupakan suatu sistem, sehingga masing-masing tahapan dapat disebut sebagai sub sistem.

Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut : Pengumpulan Pengangkutan Pembuangan Akhir/Pengolahan LINGKUNGAN SANITASI YANG DITUJU Gambar 1. Tahapan kegiatan pengelolaan sampah sistem Open Dumping Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS/Dipo). Untuk melakukan pengumpulan (tanpa pemilahan), umumnya melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu. Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahapan ini juga melibatkan tenaga yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses. Sidik et al (1985) mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir, yakni : open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary lanfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup; sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup. Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat mengalami proses lanjutan. Tehnologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah : 1. Teknologi pembakaran (Incinerator). Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini adalah : a. dapat mengurangi volume sampah 75% - 80% dari sumber sampah tanpa proses pemilahan, b. abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan bisa langsung dapat dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurug, dan

c. pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas 300 ton/hari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik ( 96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1985). 2. Teknologi komposting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah. 3. Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik logam dan kaca/gelas. Secara sederhana pelaksanaan pengelolaan sampah yang umum diterapkan di perkotaan, sebagai berikut : PEMDA 1. PENYEDIA SARANA ANGKUTAN, PERSONIL DAN PERALATAN 2. PEMUNGUTAN RETRIBUSI 3. PENYEDIA DANA PELAKSANAAN DENGANKOORDINASI MEMPERLANCAR PEMBUANGAN SAMPAH KE TPA KOTA YANG TERTIB, BERSIH DAN INDAH Gambar 2. Tata laksana pengelolaan sampah di perkotaan 3. TATA-RUANG DAN PENENTUAN LOKASI TPA Penentuan lokasi TPA harus memperhatikan beberapa hal, seperti dibawah ini sesuai dengan Keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman Departemen kesehatan No. 281 tahun 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah yaitu : 1. Pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mencapai derajat kesehatan yang mendasar. 2. Masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan gangguan kesehatan akibat pengelolaan sampah sejak awal hingga tempat pembuangan akhir. Dalam lampiran Keputusan Dirjen tersebut dijelaskan pula persyaratan kesehatan pengelolaan sampah untuk Pembuangan Akhir Sampah yang dinyatakan antara lain: 1. Lokasi untuk TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Tidak merupakan sumber bau, asap, debu, bising, lalat, binatang pengerat bagi pemukiman terdekat (minimal 3 KM)

b. Tidak merupakani pencemar bagi sumber air baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat. c. Tidak terletak pada daerah banjir. d. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan airnya tinggi. e. Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memperhatikan aspek estetika. f. Jarak dari bandara tidak kurang dari 5 KM. 2. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembang biak dan tidak menimbulkan bau. b. Memiliki drainase yang baik dan lancar. c. Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran. d. TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi tanda khusus dan tercatat di Kantor Pemda. e. Dalam hal tertentu jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok gril atau tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan perbaikan caracara pengelolaan sampah. 3. TPA yang sudah tidak digunakan: a. Tidak boleh untuk pemukiman b. Tidak boleh mengambil air untuk keperluan sehari-hari Tempat pembuangan akhir sampah juga harus memenuhi persyaratan lingkungan dan geologi. Namun, yang terjadi di TPA Leuwigajah adalah penumpukan sampah saja, tidak ada upaya melindungi lingkungan sekitar dari pencemaran akibat sampah. Pada tumpukan sampah yang terbuka akan timbul pembusukan akibat sampah menjadi basah karena masuknya air. Pembusukan akan menimbulkan gas yang berbahaya bagi manusia. Tanpa adanya penutupan, air sampah juga akan masuk ke tanah dan mencemari air tanah. Untuk menentukan sebuah lokasi tempat pembuangan akhir (TPA), pemerintah daerah seharusnya melakukan penelitian dan menentukan dua atau tiga alternatif wilayah yang layak untuk dijadikan TPA. Dari alternatif yang diajukan, akan dinilai mana lokasi yang memenuhi syarat sebagai TPA dengan skor paling tinggi. Berikut adalah kajian tentang keberadaan TPA leuwigajah dalam konteks tata-ruang, : Lokasi TPA sampah Leuwigajah terletak pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan air laut, diapit dua gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik. Bagian Selatan lokasi TPA sampah merupakan daerah pertanian (persawahan) dan beberapa permukiman seperti Kp. Gunung Aki dan Kp. Cilimus di Kecamatan Batujajar dan Kp. Pojok di Kecamatan Cimahi Selatan yang berada pada ketinggian 640 meter lebih. Kondisi topografis dan geografis TPA sampah Leuwigajah dapat direkam pada citra satelit SPOT-5 milik Prancis pada tahun 2004 seperti analisis citra satelit yang dilakukan Wikantika (2005) sebelum terjadinya bencana longsor sampah di TPA Leuwigajah. Citra satelit ini mempunyai resolusi spasial 2,5 meter, yang artinya jika ada objek yang mempunyai luas sebesar 2,5 m x 2,5 m persegi akan teridentifikasi pada citra. Blok-blok perumahan dan gedung-gedung yang berada di kawasan industri dapat teridentifikasi dengan jelas, termasuk jalan tol, jalan utama dan jalan yang relatif lebih sempit menuju lokasi TPA sampah. Sebaran sawah dan vegetasi di sekitar TPA sampah juga dapat dikenali secara visual.

Tipe vegetasi yang tumbuh di daerah perbukitan pada umumnya berupa semak belukar dengan tutupan kanopi yang tidak rapat, sehingga rentan longsor jika terjadi hujan deras yang berkepanjangan. Uniknya, TPA sampah tersebut terletak di antara perbukitan tetapi lokasinya relatif dekat dengan area permukiman (100-200 meter) baik yang berada di wilayah Kota Cimahi maupun Kabupaten Bandung, sehingga memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan permukiman di sekitar lokasi TPAS, seperti bau menyengat selama bertahun-tahun. Di samping itu, air tanah pada daerah perbukitan dan air permukaan seperti sungai akan tercemar akibat terjadinya proses pembusukan pada sampah. Maka dapat ditemukan beberapa hasil dari kajian tersebut yaitu,: 1) Sebuah lokasi tidak layak dijadikan TPA jika jarak terhadap sungai dan danau kurang dari 150 meter. Jarak yang terlalu dekat akan menyebabkan pencemaran terhadap air sungai dan danau, Secara hidrologi, Leuwigajah tidak ideal untuk lokasi TPA. Pasalnya, tidak ada sistem drainase yang optimal untuk menampung air limpasan dari perbukitan Aki. Air akhirnya masuk ke badan sampah. Kondisi itu diperburuk dengan ketiadaan instalasi pengeluaran leachate di dasar TPA. 2) Demi keselamatan operasional, jarak TPA dari sesar aktif tidak boleh kurang dari 100 meter dan berada dalam zona kerentanan gerakan tanah tinggi. Leuwigajah memiliki topografi yang juga tidak mendukung untuk dijadikan TPA. Lokasi ini memiliki lereng yang terjal. Kemiringannya sekitar 25 hingga 40 derajat hingga sangat memungkinkan untuk terjadinya longsor. Selain itu, secara geologi, mengungkapkan Leuwigajah berjenis tanah yang lembek. Jenis tanah dasarnya ialah sandstone dan conglomerate alias mengandung tanah liat (clay). Jenis tanah dasar ini akan menjadi licin ketika berinteraksi dengan air dan memperbesar kemungkinan longsor. Agar tidak mudah ambruk, kemiringan lereng TPA yang terbaik adalah nol hingga lima derajat, berada di daerah bercurah hujan nol hingga 1.000 milimeter, potensi gerakan tanahnya sangat rendah, pada lahan semak belukar, jarak terhadap sumber air atau aliran air yang dimanfaatkan masyarakat lebih dari 2.000 meter, dan Jarak terhadap muka air tanah lebih dari 25 meter. Sementara itu, TPA Leuwigajah juga tidak memiliki pipa pengumpul dan ventilasi gas. Akibatnya, TPA ini rawan ledakan gas methan (CH4). Begitu terjadi ledakan di tempat yang terjal dan bertanah dasar lembek maka longsor pun tidak bisa dihindarkan lagi. 3) TPA juga tidak bisa berada dalam daerah banjir berkala yang periode ulangnya 25 tahun, atau lebih sering. 4) Selain itu, jika berada di sekitar pantai, jarak TPA dari garis pantai tidak boleh kurang dari 500 meter serta tidak boleh berada pada daerah pasang surut. 5) TPA juga tidak boleh berada dalam kawasan lindung agar tidak ada aktivitas pembukaan lahan di kawasan tersebut. 6) Jarak TPA dengan pemukiman, jalan utama, dan jalan kereta api harus lebih dari 300 meter. Pertimbangannya adalah estetika agar tidak terjadi gangguan asap dan bau. Agar tidak ada gangguan asap terhadap penerbangan, jarak TPA dari lapangan terbang harus lebih dari 3.000 meter. 7) Demi terjaganya ketersediaan pangan, TPA tidak boleh ada di daerah sawah irigasi. TPA juga tidak boleh berada di kawasan wisata. 8) Sebuah TPA yang bersistem sanitary landfill membutuhkan tanah lempung yang dipadatkan untuk menutup timbunan sampah. Penutupan ini dimaksudkan agar terjadi proses di mana sampah kembali menjadi tanah dan menghindari masuknya air pada sampah, yang mengakibatkan pembusukan dan menambah beban timbunan.

9) Idealnya, Sebuah TPA harus dekat dengan lahan penyedia tanah lempung sebagai penutup. Jarak idealnya maksimal 1.000 meter. TPA Leuwigajah sebenarnya sudah memenuhi sebagian syarat, antara lain, berada di daerah dengan jenis batuan breksi dan andesit yang kurang menyerap air. Jadi, air yang dihasilkan sampah tidak mencemari air tanah. Jarak TPA kurang dari 30 kilometer dari sumber sampah dan dekat dengan jalan tol sehingga mempermudah distribusi sampah. 4. PENUTUP Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara. Karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin kompleks dan rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Oleh karena itu penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di desa-desa Tempat permbuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah yang telah menerapkan system Open Dumping, pada kenyataannya masih memberikan dampak negatif pada lingkungan, sehingga secara operasional diperlukan penyempurnaan melalui proses monitoring dan evaluasi secara berkala. Dampak negatif yang perlu mendapat perhatian serius adalah terjadinya akumulasi berbagai bahan pencemar baik pada air, udara, dan tanah dan adanya bencana longsor sampah. Strategi pengelolaan sistem lama yang mengandalkan pada sistem pengangkutan, pembuangan dan pengolahan menjadi bahan urugan perlu diubah karena dirasakan sangat tidak ekonomis (cost center). Disamping memerlukan biaya operasional dan lahan bagi pembuangan akhir yang besar juga menimbulkan banyak dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan masyarakat kota serta akan menumbuhkan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungannya.. DAFTAR PUSTAKA Aboejoewono, A. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan Permasalahannya; Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus. Jakarta. BPPT Ungkap Penyebab Tragedi TPA Leuwigajah. Sabtu, 12 Maret 2005. Tersedia dalam Republika Online: Http://www.republika.co.id. Daniel, T. S., Hasan, P. dan Vonny, S. 1985. Tehnologi Pemanfaatan Sampah Kota dan Peran Pemulung Sampah : Suatu Pendekatan Konseptual. Bandung. PPLH ITB. Ketut Wikantika. 2005. Analisis Citra satelit Longsor Leuwigajah. Artikel. Pikiran Rakyat edisi Kamis 3 maret 2005. Pramudya Sunu. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta. Grasindo. Sukadji Karbi, Dkk. 2004. Model Pengelolaan Sampah Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus Di Parepare). Bandung.Jurnal Pendidikan Geografi FPIPS UPI.