BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

SKIZOFRENIA. Ns. Wahyu Ekowati, MKep., Sp.J. Materi Kuliah Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman (unsoed)

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Tujuan C. Manfaat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menjelaskan skizofrenia sebagai suatu sindrom klinis dengan variasi

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Masalah gangguan kesehatan jiwa menurut data World Health

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kecacatan, atau kerugian (Prabowo, 2014). Menurut Videbeck (2008), ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP FREKUENSI KEKAMBUHAN KLIEN SKIZOFRENIA DI IGD RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyatakan dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan,

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia menurut Manualy Statisticaly of Mental Disorder IV adalah dua

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan dalam kehidupan dapat memicu seseorang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DI UNIT RAWAT INAP RS JIWA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi 2.1.1. Pengertian Persepsi Persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada diluar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2004) Menurut Najati dalam Bahri (2008), persepsi merupakan fungsi yang penting dalam kehidupan. Dengan persepsi, makhluk hidup dapat mengetahui sesuatu yang akan mengganggunya sehingga ia pun dapat menjauhinya, juga dapat mengetahui sesuatu yang bermanfaat sehingga ia pun dapat mengupayakannya. 2.1.2. Macam-Macam Persepsi Ada dua macam persepsi, yaitu : 1) External Perceptian, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu 2) Self Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. (Sunaryo, 2004) 7

8 2.1.3. Proses Terjadinya Persepsi Persepsi melewati tiga proses yaitu : a. Proses fisik (kealaman) objek stimulus reseptor atau alat indra. b. Proses fisiologis stimulus saraf sensoris otak. c. Proses psikologis proses dalam otak sehingga individu menyadari stimulus yang diterima. Jadi, syarat untuk mengadakan persepsi perlu ada proses fisik, fisologis dan psikologis. Secara bagan dapat digambarkan sebagai berikut : Objek Stimulus Reseptor Saraf sensorik Otak Saraf Motorik Persepsi Skema 2.1. Proses terjadinya persepsi (Sunaryo, 2004)

9 2.1.4. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Sementara itu menurut Sarwono dalam Bahri (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut: a. Perhatian. Biasanya kita tidak menangkap seluruh rangsang yang ada di sekitar kita sekaligus, tetapi kita memfokuskan perhatian kita pada satu dua obyek saja. b. Set. Set adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul. c. Kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang, akan mempengaruhi persepsi orang tersebut. Dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, akan menyebabkan pula perbedaan persepsi. d. Sistem Nilai. Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi. e. Ciri Kepribadian. Ciri kepribadian akan mempengaruhi pula persepsi. f. Gangguan Kejiwaan. Gangguan kejiwaan dapat menimbulkan kesalahan persepsi yang disebut halusinasi. Berbeda dari ilusi, halusinasi bersifat individual, jadi hanya dialami oleh penderita yang bersangkutan saja. 2.2. Keluarga 2.2.1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap

10 anggota keluarga. Secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang paling dasar, tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan antar individu (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidaksetabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005, dalam Kurniawan, 2014). 2.2.2. Tipe Keluarga Dalam Suprajitno (2004), Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Keluarga Inti (Nuclear Family)adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

11 2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakeknenek, paman-bibi). Susman dalam Ali (2009), menguraikan beberapa bentuk keluarga, terdiri dari : 1) Keluarga inti. Keluarga inti terdiri dari suami (pencari nafkah), seorang ibu (ibu rumah tangga) dan anak-anak. Akhir-akhir ini ada kecenderungan keluarga inti tradisional bergeser menjadi bentuk keluarga inti nontradisional. Kecendurungan ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain suami-istri keduanya pekerja/berkarir dan keluarga tanpa anak. 2) Keluarga besar tradisional. Keluarga besar tradisional adalah bentuk keluarga yang pasangan suami-istri sama-sama melakukan pengaturan dan belanja rumah tangga dengan orang tua, sanak saudara dan kerabat lain dalam keluarga tersebut. 3) Keluarga dengan orang tua tunggal. Keluarga ini hanya memiliki satu kepala rumah tangga, ayah atau ibu (duda/janda/belum menikah). Jumlah ibu remaja yang tidak menikah akhir-akhir ini cenderung meningkat karena berbagai alasan antara lain kemiskinan dan pergaulan bebas (melahirkan diluar pernikahan).

12 2.2.3. Fungsi Keluarga Friedman dalam Ali (2009), membagi fungsi keluarga menjadi 5 yaitu : 1) Fungsi Afektif. Berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan dasar kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan dengan baik dan penuh rasa kasih sayang. 2) Fungsi sosialisasi. Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu menghasilkan interaksi sosial dan individu tersebut melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga dan belajar disiplin, norma budaya dan perilaku melalui interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan didalam masyarakat. 3) Fungsi reproduksi. Fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. 4) Fungsi ekonomi. Fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain 5) Fungsi perawatan keluarga. Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan dan asuhan kesehatan/keperawatan.

13 2.2.4. Tugas Keluarga Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Friedman, 2010, dalam Nuraenah, 2012) yang meliputi : a. Kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien dengan skizofrenia, keluarga perlu mengetahui peneyebab tanda-tanda klien kambuh. b. Kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan skizofrenia, menanyakan kepada orang yang lebih tahu. c. Kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan merawat anggota keluarga dengan riwayat skizofrenia. d. Kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di masyarakat. e. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan. Tugas kesehatan keluarga menurut Bailon dan Maglaya dalam Efendi (2009), yaitu : 1) Mengenal masalah kesehatan 2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat 3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit 4) Merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat 5) Memodifikasi lingkungan atau menciftakan suasana rumah yang sehat

14 2.3. Skizofrenia 2.3.1. Pengertian Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses fikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek/emosi, kemauan dan psikomotor disertai distoris kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi; asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi (Herman, A, 2011). Skizofrenia adalah sebuah sindrom kompleks yang dapat menimbulkan efek merusak kepada diri sendiri atau kepada orang lain (Pieter, 2011). Menurut Davison (2006), skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik. Menurut Eugen Bleuer (dalam Mark Durand dan David H.Barlow, 2007), mengatakan bahwa skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan pikiran yang terpecah (Split) yang mendasari perilaku menyimpang (tidak lazim), seperti asosiative spliting dalam fungsi fungsi dasar kepribadiannya.penderita skizofrenia kerap kali menunjukkan kesulitan dalam menjaga konsistensi jalan pikirannya. Definisi skizofrenia menurut Mark Durand dan David H. Barlow (2007), skizofrenia ialah gangguan psikotik yang bersifat merusak yang malibatkan gangguan berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi, dan perilaku. Sedangkan menurut Melinda Hermann (2008), skizofreni sebagai

15 penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi,dan perilaku sosialnya. 2.3.2. Etiologi Menurut Videbeck (2008), faktor penyebab skizofrenia adalah: a. Faktor Genetik Kebanyakan penelitian genetik berfokus pada keluarga terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, dan cucu-cucu untuk melihat apakah skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan bahw kembar identik berisiko mengalami gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal berisiko hanya 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa skizofrenia sedikit diturunkan. Penelitian penting lain menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki risiko 15%; angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia. b. Faktor Neuronatomi dan Neurokimia Penelitian menunjukkan bahwa individu penderrita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit, hal ini dapat memperlihatkan suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan selanjutnya. Riset secara konsisten menunjukkan penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal individu penderita skizofrenia.

16 Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya perubahan sistem neurotransmiter otak pada individu penderita skizofrenia. Tampaknya terjadi malfungsi pada jaringan neuron yang mentransmisikan informasi berupa sinyal-sinyal listrik dari sel saraf melalui aksonnya dan melewati sinaps ke reseptor pascasinaptik di selsel saraf yang lain. c. Faktor Imunovirologi Perubahan patologi otak pada individu penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan virus, atau respons imun tubuh terhadap virus dapat mengubah fisiologi otak. 2.3.3. Jenis - Jenis Skizofrenia Menurut Videbeck (2008), klasifikasi tipe skizofrenia dikelompokkan atas lima bagian, yaitu : 1) Skizofrenia Tipe Paranoid Skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau di mata-matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadangkadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan. 2) Skizofrenia Tipe Disorganisasi Skizofrenia tipe tidak terorganisasi ditandai dengan afek datar atau afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstern.

17 3) Skizofrenia Tipe Katatonik Skizofrenia tipe katatonik ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata, baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktivitas motorik yang berlebihan, negativism yang ekstrem, mutisme, gerakan volunteer yang aneh, ekolalia, atau ekopraksia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor. Aktivitas motorik yang berlebihan terlihat tanpa tujuan dan tidak dipengaruhioleh stimulus eksternal. 4) Skizofrenia Tipe Tak Terbedakan Skizofrenia tipe tak terbedakan ditandai dengan gejala-gejala skizofrenia campuran (atau tipe lain) disertai tipe gangguan pikiran, afek, dan perilaku. 5) Skizofrenia Tipe Residual Skizofrenia tipe residual ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta asosiasi longgar. 2.3.4. Gejala Umum Skizofrenia Gejala-gejala skizofrenia tidak semuanya menunjukkan gejala-gejala yang sama jenisnya. Setiap gejala-gejala skizofrenia bervariasi dari satu orang ke orang lain. Di dalam Pieter (2011), gejala-gejala yang lazim dari penderita skizofrenia yaitu :

18 1) Delusi Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang atau anggota masyarakat sebagai misinterpretation terhadap realitas dari pengalaman atau persepsi. Seringkali waham terjadi dalam bentuk penyiaran pikiran, yaitu mereka percaya bahwa pikiran pribadinya telah disiarkan ke dunia luar. Selain itu juga, mereka sering kali percaya bahwa perasaan, pikiran dan tindakan bukan dilakukannya, tetapi digerakkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Delusi penderita skizofrenia kerap kali berupa keyakinan yang tidak realistis, ganjil, dan tidak dimiliki orang lain. Jenis-jenis tema delusi skizofrenia antara lain : a. Delusi kejar, adalah keyakinan bahwa dia sedang diikuti, dikelabui, dan disiksa ataupun dibuat sebagai bahan ejekan. b. Waham referensial, adalah keyakinan pada kabar, pernyataan artikel, mass media atau berita yang didengar penderitanya sebagai pernyataan buruk atas keberadaan dirinya. c. Waham kebesaran, adalah suatu keyakinan bahwa dirinya memiliki kekuatan yang lebih, terkenal, berkuasa, dan dia cenderung membesar-besarkan dirinya. d. Waham somatik, adalah keyakinan bahwa pada bagianbagian tubuhnya berpenyakitan yang sebenarnya tidak ada.

19 e. Delusi kontrol atau pengaruh, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa ada orang lain yang menguasai atau mengontrol kekuatan, pikiran, perasaan, dan tindakannya. f. Delusi keterhubungan, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa dia berhubungan dengan sesuatu hal atau peristiwa yang sebenarnya hal ini tidak ada kaitannya. g. Delusi persekusi, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa dirinya telah tersaingi oleh kekuatan-kekuatan lain. h. Delusi nihilisme, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa semua orang di dunia ini sudah mati dan kembali kepada rohkematian. i. Capgras syndrome, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa orang lain telah menggantikan keberadaan dirinya. j. Cortad syndrome, adalah keyakinan penderita skizofrenia bahwa ada bagian tubuhnya telah mengalami perubahan yang musykil. 2) Halusinasi Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa ada input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow (2007), mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-kejadian yang tidak mendasar pada kejadian eksternal. Halusinasi bisa terjadi pada pendengaran, penglihatan, ataupun penciuman.

20 Penderita skizofrenia kerap kali mengalami halusinasi pendengaran, seperti mendengarkan suara-suara orang meninggal. Selain itu juga penderita skizofrenia sering mengalami halusinasi penglihatan dan pendengaran terhadap orang terdekat yang sudah meninggal. Ketika penderita skizofrenia mengalami halusinasi pendengaran, mereka sering mendengarkan suara-suara aneh yang dianggapnya sesuatu yang terpisah dengan alam pikirannya. Suara-suara aneh ini sering memerintahnya untuk melakukan tindakan yang mencederai dirinya atau orang lain. 3) Pembicaraan Disorganisasi Pola pembicaraan penderita skizofrenia ditandai dengan pembicaraan disorganisasi (ketidakteraturan pembicaraan). Ciri-ciri pembicaraan disorganisasi yaitu : a. Topik pembicaraan yang melompat-lompat dari topik. b. Pembicaraan yang serampangan dan kehilangan asosiasi. c. Pembicaraan yang tidak berhubungan dengan topik. d. Neologisme (menciptakan kata atau kalimat yang aneh-aneh). e. Tidak menjawab pertanyaan dan memberikan jawaban yang menyimpang dari pertanyaan atau clanging (berbicara dengan kata dan kalimat yang tidak dapat dimengerti). 4) Timbulnya Masalah-masalah Perilaku Pengulangan sikap motorik tertentu, seperti menggosok-gosok kepala, meremas-remas, atau merobek-robek pakaian dalam situasi tertentu merupakan bentuk perilaku abnormal dari penderita skizofrenia.

21 Tindakannya tanpa tujuan dan berulang-ulang, atau sebaliknya pula penderita skizofrenia sama sekali tidak melakukan gerakan hingga mereka mencapai tahap catatonic stupor (tidak melakukan apapun dan tidak bergerak sama sekali dalam kurun waktu yang lama). Masalah-masalah perilaku yang ditunjukkan para penderita skizofrenia yaitu : a. Bergerak dengan kegaduhan. b. Agitasi liar dan imobilitas katatonik. c. Wally flexibelity (mempertahankan sikap tubuh pada posisi yang sama ketika orang lain berusaha menggerakkannya). d. Cara berpakaian yang tak jelas dan tak pas pada situasinya. e. Afek yang tidak pas pada situasi. f. Tidak memperdulikan higienis personality. 5) Avolisi Avolisi adalah ketidakmampuan seseorang untuk memulai dan mempertahankan berbagai macam kegiatan ataupun aktivitas. Biasanya penderita skizofrenia akan menunjukkan sikap yang apatis, tidak berminat melakukan aktivitas dan tidak memedulikan masalah kesehatandan higienis pribadinya. 6) Alogia Alogia berasal dari kata a (tanpa) dan logos (kata), yakni ketiadaan pembicaraan. Penderita skizofrenia akan menunjukkan alogia dalam bentuk jawaban pendek, terbatas, dan tidak tertarik untuk bercerita.

22 7) Pendataran Afek Kira-kira ¼ penderita skizofrenia mengalami pendataran afek. Pendataran afek penderita skizofrenia ditandai dengan ketiadaan emosi, pandangan kosong, bicara datar tanpa ontonasi, tidak terpengaruh situasi lingkungan sekitarnya, dan tidak memiliki ekspresi wajah. Ciri-ciri pendataran afeksi adalah gangguan mood (suasana perasaan) atau psikosis, yang ditandai pada perasaan bahagia yang luar biasa (manic elation) atau perasaan sedih yang luar biasa (manis depresisive). Penderita memiliki perasaan tumpul, datar dan tidak tepat. Pengaruh tumpul ditandai dengan sedikitnya suasana emosi. Penderita tidak adanya ekspresi emosional menurut situasi dan adanya anhedonia (tanpa memperlihatkan ekspresi emosi). 8) Anhedonia Penderita skizofrenia seringkali mengalami anhedonia. Anhedonia ialah ketiadaan perasaan senang (bahagia) yang ditandai dengan sikap tidak peduli atas kegiatan kegiatan yang biasa dianggap menyenangkan, seperti tidak tertarik makan atau relasi seks. 9) Penarikan Diri dari Kehidupan Sosial Seperti telah diuraikan diatas ciri-ciri umum skizofrenia ialah kondisi emosional yang tidak stabil dan kurangnya minat terhadap lingkungan sosial, membuat para penderitanya selalu asik dengan pemikiran dirinya sendiri dan mereka secara berangsur-angsur mengurangi keterlibatan dengan orang lain.

23 Faktor-faktor penyebab skizofrenia tidak tertarik dalam hubungan sosial dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial adalah minimnya atensi dan kegagalan menjalin komunikasi dan membina relasi personal. Kondisi ini menyebabkan penderitanya menjadi orang yang hipersensitif dan orientasi pola berpikirnya berfokus pada dirinya sendiri. 2.3.5. Penanganan Skizofrenia Menurut Herri Zan Pieter, dkk (2011), penanganan Skizofrenia terdiri dari sebagai berikut : 1) Penanganan Psikologis Secara umum langkah-langkah penanganan psikologis yang dapat diambil ialah membantu klien dan keluarganya memahami jenis penyakit skizofreniadan faktor-faktor pencetusnya, apakah akibat kejadian traumatis, sikap permusuhan, menyediakan sumber daya untuk mengahdapi tantangan emosional, dan mengajarkan keterampilan komuniksai kepada klien dan anggota keluarganya. 2) Terapi Perilaku a. Ajarkan klien untuk memiliki rasa percaya diri. b. Bantu klien untuk menghilangkan pola pikir salah, waham, dan halusinasinya. c. Bantu klien untuk untuk menghilangkan kecemasannya. d. Fokuskan pada konsekuensi perilaku disfungsional dan cara-cara mengubahnya.

24 e. Ajarkan klien untuk belajar dalam keterampilan sosial atau aktivitas sehari-hari. f. Ajarkan klien untuk berkomunikasi. g. Ajarkan klien untuk memiliki ekspresi afeksi. h. Gunakan sistem penghargaan untuk menguatkan perilaku yang diinginkan sesuai dengan hak-hak pribadinya. 3) Terapi Kelompok a. Fokus pada keterampilan kehidupan sehari-hari. b. Ajarkan cara-cara mengelola stresor lingkungan. c. Ajari klien dalam membina hubungan interpersona. d. Bantu klien untuk mengembangkan rasa percaya diri. e. Berikan interaksi yang bersifat mendukung dan memberikan umpan balik langsung kepada klien. f. Menyediakan tempat bagi klien untuk mengekspresikan perasaannya dan membicarakan masalah-masalahnya. g. Hadirkan kesempatan untuk memberikan dan menerima dukungan kepada klien. 4) Terapi Keluarga a. Fokuskan pada peningkatan pengetahuan tentang struktur dan fungsi sistem keluarga. b. Membantu keluarga untuk bisa bersikap mendukung dan merawat penderita tanpa menjadi over protective. c. Anjurkan kejujuran dalam mengekspresikan perasaan.

25 d. Tingkatkan cara-cara efektif dalam mengatasi perasaan negatif dan konflik keluarga. e. Koreksi komunikasi yang tidak sesuai. f. Tingkatkan kemampuan mengatasi gangguan jiwa kronis. g. Klarifikasi pembatasan dan peran keluarga. h. Diskusikan kebutuhan sosial dalam berbagai kesempatan. 5) Latihan Keterampilan Sosial Langkah-langkah yang dapat diambil yaitu : a. Dapat dilakukan dengan membuat setting rumah sakit atau lingkungan sosia, misalnya dengan memberikan suasana lingkungan yang nyaman, terstruktur, dan kondusif. b. Mengajarkan keterampilan sosial, seperti mengurus diri sendiri, mandi, dan makan. c. Mengajarkan keterampilan vokasional kepada klien. d. Dukung kemampuan klien dalam membuat keputusan. e. Tingkatkan aktivitas-aktivitas yang mampu mengalihkan delusi atau halusinasi klien. f. Tingkatkan pengontrolan terhadap perilaku agresivitasnya. 6) Penggunaan Obat-obatan Memeberikan obat-obat neuroleptik yang dapat membantu klien dalam menjernihkan pikiran dan menghilangkan delusi dan halusinasi. Terapi dengan pemakaian obat-obatan harus konsisten agar efektif. Dosis

26 yang inkosisten akan memperberat gejala yang sudah ada dan menciptakan gejala psikotik yang baru. Pada fase akut, obat fenotiazin diberikan dalam dosis besar, sering dengan ECT. Fenotiazin efektif mengurangi waham, halusinasi serta gangguan pemikiran dan perilaku, tetapi kurang efektif dalam mengatasi gejala negatif seperti penumpulan emosi dan kehilangan kemauan. Harus diberikan terapi pemeliharaan selama beberapa tahun, angka kekambuhan akan meninggi, sewaktu obat dicoba untuk dihentikan. Karena banyak pasien gagal minum obat secara teratur, maka banyak dipakai preparat bersama kerja lama (misal flufenazin dekanoat) yang diberikan setiap dua sampai empat minggu. 2.4. Kekambuhan Skizofrenia 2.4.1. Pengertian Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejala- gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari Rumah Sakit mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki keterampilan sosial (Widodo dalam Purwanto, 2010). Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (Andri, 2008 dalam Saputra, 2010).

27 Secara umum, istilah relaps ditujukan untuk gejala perburukan atau rekuensi gejala positif daripada gejala negatif (Simanjutak, 2008). Skizofrenia memerlukan rehabilitasi intensif, sosial, industrial, dan jumlah rangsangan harus cocok dengan kebutuhan individu. Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan diri dan kronitas, relaps (kekambuhan) seringkali timbul setelah adanya peningkatan peristiwa hidup. Kebanyakan dari pasien mengalami peristiwa hidup itu dengan frekuensi tinggi dalam tiga minggu sebelum kambuh dan hal ini akan terjadi lebih sering bila pasien menjadi sasaran permusuhan dalam konflik keluarga. Anggota keluarga dapat bereaksi negatif terhadap anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia yaitu dengan menunjukkan sikap bingung, marah, tidak mengerti, bermusuhan, overprotektif. Reaksi keluarga ini disebut sebagai High Expressed Emotion (HEE). Keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah dikatakan sebagai keluarga yang supportif, menunjukkan simpati, kasih sayang, perhatian, tanpa menjadi overprotektif. Pasien yang tinggal dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi memiliki resiko terjadinya relaps makin besar (Yulia, 2011). Jika keluarga skizofrenia memperlihatkan emosi yang diekspresikan (EE) secara berlebihan, misalnya pasien sering diomeli atau terlalu banyak dikekang dengan aturan-aturan yang berlebihan, maka kemungkinan kambuh juga akan semakin besar. Jika pasien tidak mendapat neuropletik (obat). Angka kekambuhan di rumah dengan EE rendah dan pasien minum obat teratur, sebesar 12%; dengan

28 EE rendah dan tanpa obat 42%; EE tinggi tanpa obat, angka kekambuhan 92%(riset oleh Leff dan Wing dalam Yulia, E.W, 2011). Angka kekambuhan pada penderita skizofrenia yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang berperan sangat penting adalah ekspresi emosi tinggi keluarga yang ditampilkan kepada penderita, seperti critical comment dan emotional over involvement atau terlalu protektif (Fadli dan Mitra, 2012). 2.4.2. Gejala-Gejala Kambuh Menurut Mansjoer (1999) dalam Anggraeni dan Sunaryanti (2009), pada klien skizofrenia terdapat dua gejala, yaitu: 1) Gejala-gejala positif Meliputi halusinasi (pendengaran, somatik taktil, penciuman, pengecapan), delusi, waham (cemburu, rasa bersalah/berdosa berlebihan, kebesaran, curiga berlebihan dan lain-lain), tingkah laku bizarre (mematung, tingkah laku yang berulang-ulang, tingkah laku agresifagitasi), gangguan arus pikir (tangentiality, inkoheren, illogically). 2) Gejala-gejala negatif Meliputi afek datar yaitu ekspresi muka yang tidak berubahubah, spontanitas menurun, tidak ada kontak mata, afek tidak spesifik, sikap tubuh ekspresif, alogia yaitu gangguan pikir, apathy yaitu warna emosi yang tumpul, acuh tidak peduli, anhedonia-asosiety yaitu ketidakmampuan mengekspresikan kesenangan dan mempertahankan kontak sosial, gangguan perhatian yaitu ketidakmampuan memfokuskan pikiran.

29 2.4.3. Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan Skizofrenia Keliat (2009) dalam Fitra (2013), menyebutkan faktor-faktor penyebab kekambuhan pasien skizofrenia meliputi: a. Klien Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal meminum obat dengan teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Klien skizofrenia khusunya sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan membuat keputusan. b. Penanggung jawab Setelah klien pulang ke rumah, maka perawat tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. Penanggung jawab kasus mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertemu klien sehingga dapat melihat gejala dini dan segera melihat tindakan. c. Keluarga Dukungan dan bantuan merupakan variabel yang sangat penting dalam kepatuhan pengobatan pasien skizofrenia. Pasien yang ditinggal sendirian secara umum memiliki angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan dapat mempengaruhi kepatuhan. d. Lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat tempat tinggal klien yang tidak mendukung juga dapat meningkatkan frekuensi kekambuhan. Misalnya masyarakat

30 menganggap klien sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan klien, mengejek klien dan seterusnya. Sullinger (Kaplan dan Sadock, 2006) dalam Fitra (2013), mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia, yaitu: a. Penderita Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur. b. Dokter Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. c. Penanggung Jawab Penderita Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung jawab atas program adaptasi penderita di rumah. d. Dukungan Keluarga Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika, keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah.

31 Terdapat empat faktor penyebab pasien skizofrenia kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa, yaitu: pasien, keluarga, dokter dan case manager. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan pasien baik itu sehat maupun sakit. Status kesehatan dalam suatu keluarga dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap keluarga (Ryandini 2011 dalam Pratama, 2013). Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat dapat memicu stress. sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit (Pratama, 2013).