BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

dokumen-dokumen yang mirip
Takrif/pengertian. 1/2/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik dengan atau tanpa kejang. Peristiwa kejang dihasilkan dari pelepasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kejang berulang disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang datang dalam serangan-serangan berulang secara spontan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENUNTUN PRAKTIKUM NEUROPSIKIATRI CONVULSANT & ANTICONVULSANT

2/19/2017 MATERI DEFINISI EPILEPSI PENATALAKSANAAN EPILEPSI. Definisi Konseptual

BAB I PENDAHULUAN. Kejang merupakan masalah neurologi yang paling sering kita jumpai pada

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat.

Matakuliah: Farmakologi dan Toksikologi II Program Studi Sarjana Farmasi (T.A. 2016/2017) ANTIEPILEPSI. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.

SMF/lab Neurologi Referrat Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman EPILEPSI. Dipresentasikan pada tanggal: 01 Mei 2013.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terdapat 204 resep (50,62%) dan pasien berjenis kelamin laki-laki

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

DRUGS USED IN EPILEPSI

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GANGGUAN KESADARAN PADA EPILEPSI. Pendahuluan

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses

KEJANG PADA ANAK. Oleh: Nia Kania, dr., SpA., MKes

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang

BAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EPILEPSI. No. Dokumen : No. Revisi : Tanggal Terbit : Halaman : 1/2

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Kejang Pada Neonatus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Epilepsi merupakan salah satu penyakit pada otak tersering mencapai 50 juta

Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. dengan obat-obatan masih merupakan pilihan utama untuk terapi epilepsi pada

Epilepsi (Epilepsy, Ayan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penderitanya semakin mengalami peningkatan. Data statistik kanker dunia tahun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai di masyarakat, baik anak-anak, remaja, dewasa. maupun lanjut usia. Cedera kepala dapat dikaitkan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan. Kelainan penyerta yang timbul pada bayi baru lahir akan menghambat

Biasanya Kejang Demam terjadi akibat adanya Infeksi ekstrakranial, misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

MANAJEMEN KEJANG PASCA TRAUMA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5%

BAB 1 PENDAHULUAN. 60 bulan disertai suhu tubuh 38 C (100,4 F) atau lebih yang tidak. (SFSs) merupakan serangan kejang yang bersifat tonic-clonic di

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. poliuria neurohormonal. Karbamazepin merupakan lini pertama untuk. pengobatan trigeminal neuralgia (Aronson, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. setelah penyakit jantung dan kanker (World Health Organization (WHO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. 1,2 Demam

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

Materi 13 KEDARURATAN MEDIS

BAB I PENDAHULUAN. Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BIPOLAR. Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya infeksi ataupun kelainan yang jelas di intrakranial. 2,3 Demam adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan masalah kesehatan, sosial, ekonomi yang penting di seluruh dunia dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia mempunyai dua faktor yang berpengaruh besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke, yang juga dikenal dengan istilah cerebrovascular

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Curiculum vitae. Dokter umum 1991-FKUI Spesialis anak 2002 FKUI Spesialis konsultan 2008 Kolegium IDAI Doktor 2013 FKUI

BAB 1 PENDAHULUAN. serta tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan intrakranial. Dikatakan demam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut American Heart Association (2015), Penyakit Jantung Bawaan

REFERAT KEJANG. DISUSUN OLEH: Wilson William PEMBIMBING: dr. Susatyo Pramono Hadi, Sp. S

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang

Diagnosis & Tatalaksana Gangguan Depresi & Anxietas di Layanan Kesehatan Primer Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

Vitamin D and diabetes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi serius dan kronik. Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak dengan gejala berupa serangan berulang akibat cetusan listrik pada neuron secara berlebihan dari sebagian atau seluruh jaringan otak. Hal tersebut dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom maupun psikis (Wibowo dan Gofir, 2006). Prevalensi dan insidensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi daripada negara maju. Angka prevalensi epilepsi di negara maju 4-7/1000 orang dan 5-74/1000 orang di negara berkembang. World Health Organization menyebutkan, insiden epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 penduduk (Raharjo, 2007). Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada anak-anak dan merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut (Pinzon, 2006). Insidensi epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).

Pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi (OAE) bersifat individual dan khas. Sifat khas ini yakni jangka waktu pengobatan yang lama dan seringkali memerlukan lebih dari satu obat, sehingga berpotensi menimbulkan efek samping. Penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid dkk. (2011) menunjukkan semakin lama pengobatan epilepsi maka semakin besar kemungkinan terjadi gangguan memori. Obat antiepilepsi mempunyai efek negatif maupun positif terhadap kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat antiepilepsi dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmitter, dan efek psikotropika. Obat antiepilepsi mempengaruhi sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat menurunkan aktivasi epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal. Aktivasi OAE tersebut apabila dirangsang secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan aktivitas motorik, psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan memori. Penelitian oleh Wijayatri (2012) mengemukakan kejadian efek samping OAE pada monoterapi dibandingkan dengan politerapi adalah 20% vs 14%. Dari penelitian tersebut monoterapi memberikan kejadian efek samping obat yang lebih besar dibandingkan politerapi, namun hasil wawancara dengan pasien menunjukkan efek samping pada monoterapi jauh lebih ringan dan tidak mengganggu kenyamanan pasien.

Dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berupa evaluasi efek samping OAE politerapi pada pasien pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak (INSKA) Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe A yang berada pada posisi tertinggi dalam sistem rujukan rumah sakit di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan (Anonim, 2009). Pemilihan lokasi penelitian di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito dikarenakan sekitar 70% pasien di sini merupakan pasien epilepsi. Subyek penelitian yang akan dipilih oleh peneliti adalah pasien pediatrik karena insidensi epilepsi tertinggi di Indonesia adalah pada usia anak-anak yakni 40-50% dari keseluruhan pasien epilepsi. B. Rumusan Masalah Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah: 1. Bagaimana pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015? 2. Bagaimana efek samping OAE pada pengobatan politerapi pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015. 2. Mengetahui jenis efek samping OAE politerapi yang terjadi pada pasien pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait pola pengobatan dan kejadian efek samping OAE politerapi pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015. 2. Bagi rumah sakit Hasil penelitian dapat menyumbangkan masukan dalam menetapkan strategi pengobatan rasional epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik, yakni pengobatan dengan efek terapi maksimal dan efek samping minimal. E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Epilepsi Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai dengan kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan

disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak (Ikawati, 2011). Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama pada pediatrik. Seseorang dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami 2 kali bangkitan tanpa provokasi. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus, epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental (Pinzon, 2006). Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai gejala yang timbul mendadak, hilang spontan, dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subjektif), gangguan motorik atau kejang (objektif), gangguan otonom, dan perubahan tingkah laku (psikologis). Hal tersebut tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya (Gurnett dan Dodson, 2009). 2. Epidemiologi Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh dunia. Diduga terdapat sekitar 50 juta penderita epilepsi di dunia (WHO, 2012). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahun (WHO, 2006). Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000 penduduk (Forsgren dan Hesdorffer, 2009). Prevalensi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada

negara maju yaitu 5-74/1000 orang banding 4-7 /1000 orang (Oktaviani dan Khosama, 2014). Jumlah kasus epilepsi di Indonesia sulit diperkirakan. Hal ini dikarenakan pada kondisi tanpa serangan pasien terlihat normal dan semua data laboratorium juga normal, selain itu ada stigma tertentu pada penderita epilepsi sehingga malu atau enggan mengakui (Ikawati, 2011). Ada studi yang melaporkan bahwa insidensi epilepsi berkisar antara 11-34 orang/100.000 penduduk. Prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5%- 2% dari jumlah penduduk atau sebanyak 1-4 juta jiwa (Raharjo, 2007). Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Insidensi epilepsi pada anak di negara berkembang lebih tinggi daripada negara maju, berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi yang pasti untuk epilepsi pada anak sulit ditemukan (Aulina dkk., 2014). Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%- 50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).

3. Etiologi Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat bagi pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan berdasarkan umur antara lain sebagai berikut: Tabel I. Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik Neonatus (<1 bulan) Bayi dan Anak-anak (>1 bulan, <12 tahun) Remaja (12-18 tahun) (Kasper dkk., 2008) Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur Hipoksia dan iskemia pada perinatal Trauma dan hemoragi intrakranial Infeksi akut pada sistem saraf pusat Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, defisiensi piridoksin) Gejala putus obat Gangguan perkembangan Penyakit genetik Kejang karena demam Penyakit genetik Infeksi sistem saraf pusat Gangguan perkembangan Trauma Idiopatik Gangguan perkembangan Infeksi Tumor otak Penggunaan obat terlarang Trauma Idiopatik Menurut (Kusumastuti dan Basuki, 2014) etiologi epilepsi dapat dibagi dalam tiga kategori, sebagai berikut: a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi struktural pada otak, misalnya: cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan obat), metabolik, dan kelainan neuro degeneratif. 4. Patofisiologi Serangan epilepsi disebabkan oleh proses eksitasi di dalam otak yang lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltagegated-ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting dalam inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat, dan asetilkolin. Neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin (Madara dan Pomarico-Denino, 2008). Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuronneuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Serangan epilepsi akan tampak secara klinis apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007).

5. Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi adalah sebagai berikut (Kusumastuti dan Basuki, 2014). a. Kejang parsial 1) Parsial sederhana 2) Parsial kompleks 3) Parsial yang diikuti kejang umum sekunder b. Kejang umum 1) Absence (petit mal) 2) Tonik-klonik (grand mal) 3) Tonik 4) Klonik 5) Atonik 6) Mioklonik c. Kejang yang tak terklasifikasi Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography), kejang dibagi menjadi 4 (Ikawati, 2011). a. Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama.

Kejang umum (generalized seizure) yang terdiri dari : 1) Atonic seizure 2) Myoclonic seizure 3) Abscense attacks/ petit mal 4) Clonic seizure 5) Tonic seizure 6) Tonic-clonic convulsion (grand mal) 7) Spasme Infantil Tabel II. Klasifikasi Kejang Umum Keterangan Jarang terjadi. Bisa mengalami kehilangan kekuatan otot, terutama lengan dan kaki, sehingga bisa jatuh. Kejang ini sangat singkat, hanya beberapa detik, tetapi mungkin terjadi beberapa kali sehari. Kadang-kadang pasien memiliki epilepsi tambahan seperti absence atau myoclonic seizure. Biasanya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur. Terdiri dari sentakan tiba-tiba seperti terkena sengatan listrik, umumnya terjadi pada dua sisi tubuh. Pasien mungkin secara tidak sadar akan menjatuhkan benda yang dipegangnya. Jenis yang jarang. Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Onset mendadak, biasanya tidak ada atau hanya minimal manifestasi motorik. Penderita tiba-tiba melotot dengan pandangan kosong, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai. Tidak responsif bila diajak bicara. Kejadiannya hanya beberapa detik, dapat terjadi beberapa kali sehari, dan bahkan sering tidak disadari oleh penderita sendiri. Jarang terjadi. Terdiri dari gerakan sentakan ritmik dari tangan dan kaki, terkadang terjadi kedua sisi tubuh pasien. Kekuatan otot meningkat sehingga tubuh, lengan, dan kaki pasien memegang/ mengencang secara tiba-tiba. Sering terjadi saat pasien tidur dan melibatkan seluruh bagian otak sehingga mempengaruhi seluruh tubuh. Sering terjadi penyimpangan pada mata dan kepala ke arah satu sisi, kadang-kadang rotasi dari seluruh tubuh. Ada kehilangan kesadaran secara immediate. Jika pasien berdiri saat kejang ini terjadi, pasien akan jatuh. Bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Pasien bisa tiba-tiba kehilangan kesadaran, diikuti dengan kejang yang disebut fase tonik selama 30-60 detik, kemudian kejang klonik selama 30-60 detik. Bisa terjadi sianosis, inkontinensi urin, atau menggigit lidah. Pasca kejang pasien mendapatkan kembali kesadaran, mungkin merasa sangat lelah dengan sakit kepala dan kebingungan. Pasien tidak memiliki memori tentang apa yang terjadi, dan mungkin menemukan dirinya di lantai dalam posisi yang aneh. Seringkali jatuh ke dalam tidur nyenyak. Jenis yang sama (tetapi non-epileptik) bisa terjadi pada orang normal. Sentakan tiba-tiba yang diikuti dengan penegangan. Lengan tangan terentangkan dengan cepat, lutut tertarik ke atas dan tubuh membungkuk ke depan (jack knife seizures). Sering terjadi setelah bangun tidur dan jarang terjadi dalam kondisi tidur.

b. Kejang parsial/ fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang Parsial yang terdiri dari : 1) Simple partial seizure 2) Complex partial seizures ( Ikawati, 2011 dan WHO, 2002) Tabel III. Klasifikasi Kejang Parsial/ Fokal Keterangan Pasien tidak kehilangan kesadaran sehingga dapat memberitahu apa yang terjadi, tetapi pengalaman yang dialami mungkin sangat aneh sehingga mungkin tidak dapat mengekspresikan dengan baik. Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh. Gejala yang muncul tergantung pada bagian otak yang dipengaruhi, antara lain : a) gejala motorik, fokusnya adalah pada korteks motor utama. b) gejala somatosensory atau special sensory, fokusnya di post central gyrus (primary sensory cortex). Mungkin ada perasaan kesemutan, tertusuk pin dan jarum, dingin atau panas, atau mati rasa anggota badan. Kadang-kadang mungkin ada perasaan aneh dengan tanda-tanda visual, mendengar, atau sensasi bau. c) gejala autonomik, terkait dengan fokus di lobus temporal. Mungkin ada sensasi naik dari epigastrum ke tenggorokan, palpitasi, berkeringat, atau flushing. d) gejala psikis: terdiri dari perubahan suasana hati, memori, atau pikiran. Melakukan gerakan-gerakan tak terkendali antara lain gerakan mengunyah dan meringis, tanpa kesadaran. Berawal sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang untuk penurunan kesadaran. Tidak kehilangan kesadaran secara penuh, ia sedikit menyadari apa yang terjadi tetapi tidak bisa merespon apa-apa. Ada aura, perasaan aneh di perut naik ketenggorokan dan kepala, atau sensasi cahaya, bau, suara atau rasa. Kadang-kadang terjadi dengan halusinasi atau dengan gejala psikomotor seperti otomatisasi yaitu gerakan otomatis, misalnya menarik-narik pakaian, karet, memukul bibir, atau gerakan berulang tanpa tujuan. Recovery yang lambat pasca kejang dan disertai periode kebingungan. c. Unclassified seizures yaitu semua jenis kejang yang tidak dapat diklasifikasikan karena ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukan dalam kategori klasifikasi yang tersebut di atas (Ikawati, 2011). d. Status epileptikus yaitu kejang yang terjadi terus menerus selama 5 menit atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan

kesadaran di antara dua kejang tersebut. Status epileptikus merupakan kondisi darurat yang memerlukan pengobatan secara tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian. Status ini mungkin bisa terjadi sebagai epilepsi pertama bagi pasien, atau dapat dipicu oleh penghentian antikonvulsan secara tiba-tiba (Ikawati, 2011). 6. Diagnosis Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Kusumastuti dan Basuki (2014), langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah sebagai berikut: a. Anamnesis, baik auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan. Anamnesis lain yang perlu dilakukan adalah anamnesis terhadap faktor pencetus, usia, durasi, dan frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat saat berada dalam kandungan- kelahirantumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat.

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. c. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut: 1) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya pemberian OAE. 2) Pemeriksaan pencitraan otak Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara noninvasif, seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT), Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning. 3) Pemeriksaan laboratorium a) Pemeriksaan hematologis Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2 bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek

samping OAE, rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE. b) Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien. 7. Penatalaksanaan Terapi Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi dosis untuk mengoptimalilasi terapi OAE, dalam hal ini maksimal dalam mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membebaskan pasien dari bangkitan tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang berlangsung lama. Sasaran terapi epilepsi adalah keseimbangan neurotransmiter GABA di otak. Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan, mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron (Ikawati, 2011). Terapi epilepsi dapat menggunakan terapi non-farmakologi mapun terapi farmakologi.

a. Terapi Farmakologi Terapi farmakologi epilepsi adalah terapi dengan menggunakan OAE. Prinsip terapi farmakologi epilepsi menurut Gunadharma dkk. (2014) adalah sebagai berikut: 1) OAE diberikan kepada pasien ketika diagnosis epilepsi sudah ditegakkan, terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun, dan bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari. 2) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan, jenis sindrom epilepsi, dan kondisi pasien. 3) Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sesuai kondisi klinis pasien sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Hal ini untuk meningkatkan kepatuhan pasien. 4) Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi. 5) Menghindari atau meminimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif untuk mengurangi toleransi, efek pada intelegensia, memori, dan kemampuan motorik. 6) Jika memungkinkan, terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi nonsedatif, jika gagal dapat diberikan antiepilepsi sedatif atau dengan politerapi.

7) Variasi individual pasien terhadap respon obat antiepilepsi memerlukan pemantauan ketat dan penyesuaian dosis. Jika memungkinkan dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah sebagai dasar dilakukan penyesuaian dosis disertai dengan pengamatan terhadap kondisi klinis pasien. 8) Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan atau efek samping dialami pasien, maka OAE disubstitusi dengan obat lini pertama lain. Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila diperoleh respon yang buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respon dengan OAE kedua tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal. 9) OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. 10) Interval waktu tertentu, perlu memonitoring kemungkinan timbul ketoksikan. 11) Terapi OAE dilanjutkan pada pasien bebas kejang hingga 1-2 tahun. 12) Jangan memutus OAE tanpa mengecek EEG pasien. 13) Penghentian OAE dilakukan dengan menurunkan dosis secara perlahan.

b. Terapi non-farmakologi Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi nonfarmakologi seperti pembedahan dan diet ketogenik. 8. Obat Antiepilepsi (OAE) Menurut Wibowo dan Gofir (2006) mekanisme kerja OAE dibagi menjadi 2 bagian besar, yakni efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan neurotransmitter. a. Efek langsung pada membran yang eksitabel 1) Fenitoin Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui channel Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun alliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi. Fenitoin juga dapat menghambat efek channel Ca dan menunda aktivasi ion K keluar aksi potensial, menyebabkan kenaikan periode refraktori dan penurunan cetusan ulangan. Fenitoin berefek stabilitas pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel. (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis pediatrik fenitoin sebagai antikonvulsan diberikan secara oral seperti pada dosis dewasa. Dosis awal 15-20 mg/kg dalam 3 dosis terbagi. Dosis pemeliharaan 300mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi menggunakan dosis lepas lambat (rentang 200-1200mg/hari) (Lacy, 2009).

Efek samping tidak bergantung dosis yang sering timbul pada pediatrik adalah hiperplasia gusi. Efek samping fenitoin bergantung dosis antara lain: masalah penglihatan (nystagmus, diplopia, blurred vision), pusing, sakit kepala, mual, muntah, mengantuk, ataksia (tidak seimbang), letargi (kelemahan otot), dan masalah dermatologi(kemerahan, pruritus) (Lacy, 2009). 2) Karbamazepin Derivat dari antidepresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme kerja obat ini dengan memblokade channel Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis awal untuk anak <6 tahun 10-20 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi (tablet) atau 4 kali sehari (suspensi), dosis dinaikkan setiap minggu sampai respon optimal dan kadar terapeutik tercapai. Dosis pemeliharaan 3-4 kali sehari dengan dosis maksimum 35mg/kg/hari (Lacy, 2009). Dosis awal untuk anak 6-12 tahun 200mg/hari dalam 2 dosis terbagi (tablet/tablet lepas lambat) atau 4 dosis terbagi (suspensi). Dosis pemeliharaan 400-800 mg/hari dengan dosis maksimum 1000 mg/hari. Dosis untuk anak >12 tahun seperti pada dosis dewasa yakni dosis awalan 400 mg/hari dalam 2 (tablet atau tablet lepas lambat) atau 4 (suspensi) dosis terbagi, dinaikkan 200mg/hari setiap

minggu dengan aturan pakai 2x sehari (tablet lepas lambat) atau 3-4 kali sehari (formula lain) sampai tercapai kadar terapeutik. Dosis maksimal anak 12-15 tahun 1000 mg/hari dan anak >15 tahun 1200 mg/hari (Lacy, 2009). Efek samping yang paling sering terjadi berupa sedasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia yang umumnya bersifat sementara (kurang dari 2 minggu). Kurang lebih 40% dari pengguna masih mengalami rasa kantuk setelah 1 tahun, reaksi kulit juga agak sering terjadi. Efek lainnya adalah anoreksia dan gangguan psikis. Dapat terjadi gangguan darah, hepatitis dan lupus erythematodes, maka harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu atau bulan. Kombinasi dengan fenobarbital dan fenitoin dapat menyulitkan terapi. Obat ini dapat menembus plasenta, berakumulasi di jaringan janin dan dapat mengganggu pertumbuhan janin sehingga penggunaan pada kehamilan tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja, 2013). 3) Etosuksimid Mekanisme kerja obat ini menghambat channel Ca tipe T. Arus Ca tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis dari serangan absens (Katzung dkk., 2009). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absens pada anak-anak yang tidak

disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis awal untuk anak 3-6 tahun 250 mg/hari dengan kenaikan dosis setiap 4-7 hari. Dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 1,5 g/hari dalam dosis terbagi. Dosis untuk anak >6 tahun seperti pada dosis dewasa yakni dosis awal 500 mg/hari, dinaikkan 250 mg sesuai kebutuhan setiap 4-7 hari sampai 1,5 g/hari dalam dosis terbagi (Lacy, 2009). Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang terjadi, namun gambaran darah, fungsi hati dan urin perlu dikontrol secara terarur (Tjay dan Rahardja, 2013). 4) Asam valproat Asam valproat menghambat channel Ca tipe T. Asam valproat juga meningkatkan fungsi GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini meningkatkan sintesis GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006). Asam valproat merupakan drug of choice untuk epilepsi general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat digunakan untuk serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan Sindrom

Lennox. Asam valproat adalah second-line pada terapi spasme infantile dan first-line pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis asam valproat untuk anak dengan simplex dan complex absence seizures serta complex partial seizures yakni dosis awalan 15 mg/kg/hari, dinaikkan 5-10 mg/kg/hari setiap minggu sampai kadar terapeutik tercapai. Dosis maksimum 60 mg/kg/hari. Depakote dalam formulasi lepas lambat tidak direomendasikan pada anak <10 tahun (Lacy, 2009). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna yang bersifat sementara, sedasi, ataksia, udema pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan berat badan terutama remaja putri (Tjay dan Rahardja, 2013). b. Efek melalui perubahan neurotransmitter 1) Blokade aksi glutamate (glutamate blockers) a) Felbamat Mekanisme kerja felbamat dengan memperkuat aktivitas GABA yakni dengan memblokade reseptor NMDA. Felbamat memblokade channel Na voltage-dependent, tetapi tidak berefek pada reseptor GABA. Felbamat terbukti efektif pada politerapi maupun terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia 14 tahun, obat ini juga bermanfaat untuk Sindrom Lennox-Gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006).

Dosis awal untuk anak >14 tahun adalah 1200 mg/hari dalam 3-4 dosis terbagi dengan kenaikan dosis 600 mg setiap 2 minggu sampai 2400 mg/hari berdasarkan respon klinik kemudian sampai 3600 mg/hari sesuai indikasi. Anak 2-14 tahun dengan Sindrom Lennox-Gastaut membutuhkan dosis awal 15 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi, bisa dinaikkan 15 mg/kg/hari setiap minggu sampai 45 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi (Lacy, 2009). Efek samping berupa mual, muntah, gangguan penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta anemia aplastik (Tjay dan Rahardja, 2013). b) Topiramat Memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat reseptor glutamat subtipe Alpha amino 3 hidroxy 5 methylisoxazole 4 - propionicacid (AMPA), menghambat karbonat anhidrase dengan lemah, menghambat channel Na high-voltaged-activated, memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi potensial aksi, dan menghambat GABA dengan mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general tonikklonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik primer dan Sindrom Lennox-Gastaut (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200 mg/hari sampai 600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih

besar dari 1000 mg/hari. Efek samping bergantung dosis paling sering terjadi dalam empat minggu pertama, meliputi rasa kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi, kegelisahan, dan bingung (Porter dan Meldrum, 2012). 2) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran pasca-sinaptik dan neuron a) Klonazepam Klonazepam merupakan agonis reseptor GABA yang mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor GABA-A. Obat ini efektif untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus, serangan umum dan sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir, 2006). Dosis awal untuk anak <10 tahun adalah 0,01-0,03 mg/kg/hari (maksimal 0,005 mg/kg/hari) diberikan 2-3 kali sehari. Dosis dinaikkan tidak lebih 0,5 mg setiap 3 hari sampai kejang terkontrol dan efek samping terlihat. Dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kg/hari dalam 3 kali sehari, tidak melebihi 0,2 mg/kg/hari. Dosis untuk anak >10 tahun seperti dosis dewasa, yakni dosis awal harian tidak melebihi 1,5 mg diberikan 3 kali sehari. Dosis bisa dinaikkan 0,5-1 mg setiap 3 hari sampai

kejang terkontrol (maksimal 20 mg/hari). Dosis pemeliharaan 0,05-0,2 mg/kg, tidak boleh lebih dari 20 mg/hari (Lacy, 2009). Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, seperti mengantuk dan pusing. Dapat pula terjadi kelemahan otot dan sekresi ludah berlebihan yang dapat membahayakan pernapasan terutama pada anak-anak (Tjay dan Rahardja, 2013). b) Fenobarbital Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan channel Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Fenobarbital merupakan obat entiepilepsi dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya kognitif, namun pada status epileptikus obat ini masih digunakan sebagai first drug (Wibowo dan Gofir, 2006). Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan menimbulkan rachitis pada anak (Tjay dan Rahardja, 2013). Dosis pediatrik untuk penanganan status epileptikus diberikan secara intra vena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi. Pemberian dosis tambahan 5

mg/kg/dosis setiap 15-30 menit sampai kejang terkontrol atau tercapai dosis total 40 mg/kg. Dosis pemeliharaan kejang pada infants dapat diberikan 5-8 mg/kg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi 2. Dosis pemeliharaan pada anak 1-5 tahun 6-8 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi, 5-12 tahun 4-6 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi, dan >12 tahun 1-3 mg/kg/hri dalam dosis terbagi atau 50-100 mg 2-3 kali sehari (Lacy, 2009). 9. Pemilihan OAE pada Pediatrik Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini karena pada pediatrik masih terjadi pertumbuhan dan perkembangan dalam profil farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US. Department of Health and Human Service, 2014). Populasi pediatrik dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berdasarkan usia. Tabel IV. Klasifikasi Pediatrik Berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Neonatus Infant Anak-anak Remaja (ICH Guideline E11, 2001) Usia 0-27 hari 28 hari-23 bulan 2-11 tahun 12-18 tahun Pemilihan OAE untuk pada pasien epilepsi pediatrik membutuhkan perhatian. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain AEDspecific variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping, farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan

status sosial ekonomi), dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE) (Glauser dkk., 2006). Tabel V. Pemilihan OAE Tiap Seizure pada Pediatrik Tipe Bangkitan Obat Lini 1 Obat lini 2 Kejang umum tonik-klonik Absens Mioklonik Tonik Atonik Spasme infantil Kejang fokal dengan/tanpa kejang umum sekunder Karbamazepin Lamotrigin Valproat Topiramat Etosuksimid Lamotrigin Valproat Valproat Topiramat Lamotrigin Valproat Lamotrigin Valproat Steroid Vigabatrin Karbamazepin Lamotrigin Okskarbazepin Valproat Topiramat (NICE Guideline, 2012) Klobazam Levetirasetam okskarbazepin Klobazam Klonazepam Topiramat Klobazam Klonazepam Lamotrigin Levetirasetam Pirasetam Klobazam Klonazepam Levetirazetam Topiramat Klobazam Klonazepam Levetirazetam Topiramat Klobazam Klonazepam Valproat Topiramat Klobazam Gabapentin Levetirasetam Fenitoin Tiagabin Alternatif/obat lain yang dapat dipertimbangkan Aserazolamida Klonazepam Fenobarbital Fenitoin Pirimidon Obat yang harus dihindari (mungkin memperburuk kejang) Tiagabin Vigabatrin - Karbamazepin Gabapentin Okskarbazepin Tiagabin Vigabatrin - Karbamazepin Gabapentin Okskarbazepin Tiagabin Vigabatrin Asetazolamida Fenobarbital Fenitoin Pirimidon Asetazolamida Fenobarbital Pirimidon Nitrazepam Asetazolamida Klonazepam Fenobarbital Pirimidon Karbamazepin Okskarbazepin Karbamazepin Okskarbazepin Fenitoin Karbamazepin Okskarbazepin Pemberian OAE perlu dilakukan titrasi dosis yaitu diinisiasi dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien (Ikawati, 2011). Dosis merupakan salah satu AED-specific variables yang akan -

mempengaruhi efektifitas dan efek samping (Glauser dkk., 2006). Berikut ini adalah regimen pemberian OAE pada pasien pediatrik. Tabel VI. Regimen OAE pada Pediatrik Obat Dosis awal (mg/kg/hari) Dosis maintenance (mg/kg/hari) Fenitoin 5 5-15 1-2 Karbamazepin 5 10-25 2-4 Okskarbazepin 5 10-50 2-3 Lamotrigin 0,5 2-8 1-2 Zonisamid 2-4 4-8 2 Etosuksimid 10 15-30 1-2 Felbamat 15 30-45 3-4 Topiramat 0,5-1 5-9 2 Clobazam 0,25 0,5-1 1-2 Clonazepam 0,025 0,025-0,1 2-3 Fenobarbital 4 4-8 1-2 Pirimidon 10 20-30 1-2 Vigabatrin 40 50-150 1-2 Gabapentin 20 20-40 3 Valproat 10 15-40 2-3 Frekuensi pemberian (kali/hari) Levetiracetam 10 20-60 2 Tiagabin Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun (Brodie dkk., 2005) 10. Politerapi OAE Enam puluh persen pasien epilepsi dapat bebas kejang melalui monoterapi OAE, sisanya merupakan pasien epilepsi refrakter dan membutuhkan terapi tambahan OAE, bedah, maupun vagus nerve stimulation (VNS). Berdasarkan informasi tersebut sedikitnya 14% pasien epilepsi direkomendasikan untuk menjalani politerapi OAE (Louis, 2009). Berdasarkan NICE (2012), politerapi adalah terapi dengan menggunakan 2 obat atau lebih, dalam hal ini adalah OAE. Politerapi OAE diterapkan pada pasien intractable epilepsy atau epilepsy refractory. The American Academy of Neurology/American Epilepsy Society (AAN/AES) Practice Guidelines untuk terapi epilepsi refrakter mendukung penggunaan politerapi OAE pada

epilepsi parsial refrakter. Penelitian terbaru AAN/AES mengenai randomized, blinded, controlled trials dari OAE generasi kedua dan ketiga yang sebagian besar studi merupakan studi politerapi retrospective case series dan uncontrolled trials, menunjukkan 15% - 35% pasien dengan kejang parsial menjadi bebas kejang dan 12 29% pasien megalami >50% pengurangan kejang dengan politerapi. Penelitian lain prospective, randomized trial menemukan bahwa 11% pasien yang gagal dengan monoterapi fenitoin atau karbamazepin menjadi bebas kejang dengan politerapi (Louis, 2009). Politerapi OAE pada pasien epilepsi harus rasional mengingat terapi epilepsi merupakan terapi jangka panjang, semakin banyak obat yang digunakan akan memperbesar kejadian efek samping. Kombinasi OAE efektif yang disarankan oleh Lawthom dan Smith (2001) adalah karbamazepin, lamotrigin atau fenitoin dengan gabapentin, levetiracetam, tiagabin atau topiramat GABAmimetik - penghambat kanal Na. 11. Efek Samping Obat Efek Samping Obat /ESO (Adverse Drug Reactions /ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan yang terjadi pada penggunaan dosis lazim untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik (BPOM RI, 2012). Obat antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk mengontrol kejang, sehingga berpotensi menimbulkan banyak efek samping yang merugikan pada pasien (Tan dkk., 2008).

Tabel VII. Efek Samping yang Signifikan secara Klinik Penggunaan OAE pada Pediatrik OAE Efek Samping yang Signifikan Asetazolamida Kehilangan nafsu makan, depresi, kesemutan, perasaan di ekstremitas, poliuria, haus, sakit kepala, pusing, kelelahan, mudah marah, dan sesekali mengantuk. Karbamazepin Reaksi alergi kulit, gangguan akomodasi (penglihatan kabur, diplopia), ataksia, dan mual, terutama pada awal pengobatan atau jika dosis awal terlalu tinggi. Klobazam Mengantuk, toleransi jika digunakan dalam waktu lama. Etosuksimid Mual, sakit kepala, dan mengantuk. Klonazepam Mengantuk dan kelelahan merupakan efek sementara dan menghilang secara spontan dengan atau tanpa pengurangan dosis. Gabapentin Mengantuk, kelelahan, pusing, hiperkinesia (kejadian 2% atau lebih), labilitas emosional (>10%). Lamotrigin Ruam kulit yang muncul dalam 8 minggu setelah memulai pengobatan. Efek samping lain yang dilaporkan meliputi mengantuk, diplopia, pusing, sakit kepala, insomnia, kelelahan, demam (terkait dengan ruam sebagai bagian dari sindrom hipersensitivitas), agitasi, kebingungan, dan halusinasi. Fenobarbital Mengantuk, lesu, depresi mental, reaksi alergi pada kulit, dan hiperkinesia. Primidon Mengantuk dan lesu, namun hanya terjadi pada awal pengobatan. Tiagabin Pusing, kelelahan, kegelisahan (non-spesifik), tremor, kesulitan konsentrasi, dan perasaan depresi. Fenitoin Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam kulit, mengantuk, ataksia, dan bicara cadel. Biasanya terkait dosis. Merendahkan fitur wajah, hiperplasia gusi, dan hirsutisme jarang terjadi. Beberapa komplikasi haemopoetik telah dilaporkan termasuk anemia, motor twitchings, dyskinesias (jarang), tremor (jarang), dan kebingungan mental. Valproat Sedasi dan tremor sesekali dilaporkan. Rambut rontok sementara, kembali normal ketika obat dihentikan. Sodium valproate dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari malformasi janin jika dikonsumsi pada kehamilan. Efek samping yang terkait dosis sering dilaporkan. Peningkatan berat badan juga dapat terjadi. Gangguan lambung sering terjadi pada awal pengobatan. Kadang-kadang hiperaktif, agresi, dan gangguan perilaku. Kerusakan hati yang parah sangat jarang dilaporkan. Ensefalopati dan pankreatitis mungkin jarang terjadi. Hyperammonaemia tanpa perubahan tes fungsi hati sering terjadi dan bersifat sementara serta diskrasia darah dapat terjadi. Topiramat Sakit kepala, mengantuk, pusing, parestesia, dan penurunan berat badan. Peningkatan risiko nefrolitiasis, gangguan memori dan konsentrasi atau perhatian telah dilaporkan. Kasus reaksi mata - sekunder akut glaukoma sudut tertutup berupa mata merah menyakitkan atau miopia akut. Levetirasetam Pusing, mengantuk, mudah marah, insomnia, labilitas emosional, ataksia, tremor, sakit kepala, dan mual. Okskarbazepin Diplopia, sakit kepala, mual, ruam kulit, ataksia, dan kebingungan. Vigabatrin Kejadian yang umum dilaporkan: mengantuk, eksitasi, mual, agitasi, agresi, mudah marah, depresi, dan psikosis. Cacat bidang visual telah dilaporkan pada satu dari tiga orang yang memakai vigabatrin dengan onset pengobatan bulanan sampai tahunan. (NICE Guidelines, 2012)

Penilaian efek samping yang terjadi pada pasien pediatrik menggunakan Kuesioner Pediatric Epilepsy Side Effect Questionnaire (PESQ) Version 1.2 (Morita, Glauser, dan Modi Cincinnati Children s Hospital Medical Center ). PESQ merupakan suatu kuesioner berdasarkan metode self-report/ parent-report yang bertujuan untuk mengukur keparahan kejadian efek samping yang hanya disebabkan oleh OAE pada pasien epilepsi pediatrik. F. Keterangan Empirik Pengobatan epilepsi secara politerapi dibutuhkan oleh sekitar 30-40% pasien yang gagal mencapai kontrol kejang dengan monoterapi. Obat antiepilepsi minimal dikonsumsi selama 2 tahun. Pasien yang sudah mencapai kontrol kejang dalam kurun waktu 2 tahun kemudian menjalani EEG untuk mengevaluasi gelombang epileptik otak. Jika dari hasil EEG diperoleh gelombang otak normal maka terapi OAE tetap harus dilanjutkan dengan penurunan dosis menuju penghentian terapi obat. Politerapi dalam jangka waktu lama ini berpotensi menimbulkan banyak efek samping. Efek samping yang sering dikaitkan dengan penggunaan OAE adalah idiosinkrasi, gangguan kognitif, dan komplikasi lain akibat penggunaan jangka panjang. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kejadian efek samping dari penggunaan obat OAE secara politerapi yang diresepkan pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari-Maret 2015.