BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB 1 PENDAHULUAN. Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

Infeksi HIV pada Anak. Nia Kurniati

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MATURASI SEL LIMFOSIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. syaraf pusat. Penyakit ini disebabkan infeksi human immunodeficiency virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired

BAB I PENDAHULUAN. helper Cluster of Differentiation 4 (CD4) positif dan makrofag),

Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi virus Human. merupakan virus RNA untai tunggal, termasuk dalam famili Retroviridae, sub

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IMUNOPATOGENESIS INFEKSI HIV. Oleh : Sunarjati Sudigdoadi Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

BAB I PENDAHULUAN. tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab. yang penting di dunia sehingga pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi penuh sejak janin berada dalam rahim(kira-kira pada. gestasi minggu ke-8). Tanpa adanya jantung yang berdenyut dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempengaruhi masyarakat dalam cara mendeteksi dini penyakit HIV.

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Pertahanan tubuh yang menurun

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini. pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan.

Virologi - 2. Virologi - 3. Virologi - 4

Partikel virus (virion), terdiri dari : Virologi adalah ilmu yang mempelajari tentang virus dan agent menyerupai virus:

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

Transkripsi:

21 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi HIV Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus golongan Ribonucleic acid (RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV merupakan bagian dan genus lentivirus, famili retroviridae. Infeksi HIV dapat berkembang menjadi AIDS yaitu penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV dengan manifestasi munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. 5,6 2.2 Struktur HIV HIV merupakan virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 100 nm, terdiri dari bagian inti (core) berbentuk silindris dan dikelilingi oleh selubung (envelope) sehingga virus ini peka terhadap inaktivasi. Inti virus terdiri dari untaian RNA, protein struktural dengan protein utama p7 dan p9, serta enzim-enzim reverse transcriptase, integrase dan protease yang diperlukan pada proses replikasi virus. 5,7 Selubung virus tersusun oleh lapisan lipid bilayer dengan adanya 70 80 buah tonjolan (knoblike projection) yang tertanam pada permukaan selubung lipid dengan dua macam glikoprotein yaitu gp 120 dan gp 41. Gp 120 berperan pada pengikatan HIV dengan sel yang mempunyai reseptor CD4+ sedangkan gp 41 bertanggung jawab terhadap fusi antara virus dengan membran sel tubuh ketika virus akan memasuki sel tubuh. Struktur RNA genom sepanjang 10 kilo pasang basa meliputi 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur-struktur virus, yaitu gen gag (group associated antigen) yang mengkode pembentukan protein, gen pol (polymerase) yang mengatur pembentukan enzim-enzim reverse transcriptase, protease dan endonuklease serta gen env (envelope) yang mengatur pembentukan glikoprotein

22 envelop. Selain itu pada HIV-1 masih ada 6 gen tambahan, 3 di antaranya adalah gen tat (transactivation of transcription), rev (regulator of expression of virion), dan nef (negative regulatory factor). Struktur polipeptida utama dari inti adalah p24, polipeptida lain yang terdapat sekeliling inti adalah p17, sedangkan polipeptida yang membentuk kompleks dengan RNA virus adalah p15. Polipeptida-polipeptida serta glikoprotein di atas bersifat antigenik sehingga di dalam serum penderita yang terinfeksi HIV akan terbentuk antobodi terhadap antigen-antigen tersebut. 7,8 Gambar 2.2.2 Struktur HIV 2.3 Prevalensi HIV Saat ini diseluruh dunia terdapat setiap harinya sekitar 2000 anak-anak dibawah usia 15 tahun terinfeksi HIV akibat penularan ibu ke bayinya, dan sekitar 1400 anak-anak usia dibawah 15 tahun meninggal akibat AIDS. Negara Sub-Sahara Afrika merupakan negara penyumbang infeksi HIV terbesar di dunia, sedangkan Indonesia termasuk negara dengan perkembangan epidemi HIV tercepat di Asia. 1,8 Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia sampai dengan Desember 2013, jumlah penderita AIDS di Indonesia berdasarkan usia yaitu kurang dari 1 tahun (234 orang), 1 sampai dengan 4 tahun (921 orang), 5 sampai dengan 14

23 tahun (418 orang), dan 15 sampai dengan 19 tahun (1710 orang). Propinsi Sumatera Utara menduduki peringkat ke 20 dari 33 propinsi di Indonesia dengan jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak, dengan jumlah kumulatif penderita HIV 7967 orang dan penderita AIDS 1301 orang. 9,10 2.4. Penularan HIV Infeksi HIV pada anak dan bayi sebagian besar terjadi akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak (lebih dari 80%), hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi. 11-13 Transmisi dapat terjadi saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. Diagnosis HIV pada anak didasarkan pada adanya anamnesis pajanan HIV, gejala klinis yang mencurigakan, dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium penunjang. 14-15 Beberapa faktor risiko yang juga mempengaruhi transmisi vertikal adalah kelahiran prematur (usia gestasi <34 minggu), berat badan lahir rendah, jumlah cluster differentiation-4 (CD4) ibu yang rendah, ketuban pecah dini, dan kelahiran pervaginam. 16,17 Transmisi HIV saat intrauterin terjadi secara transplasenta sedangkan penularan intrapartum terjadi akibat kontak kulit/membran mukosa bayi dengan darah ibu atau sekret genitalia ibu. Lima puluh persen kasus infeksi HIV anak terdeteksi pada umur kurang dan 1 tahun, dan 82% berumur kurang dari tiga tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal yang belum memperlihatkan gejala AIDS saat usia 10 tahun. 18 2.5. Diagnosis HIV Bayi yang lahir dari ibu penderita HIV harus dilakukan pemeriksaan virus spesifik yaitu kultur HIV, Polymeruse Chain Reaction (PCR) Deoxyribonucleic acid (DNA) ataupun RNA, dan viral antigenassay untuk mendeteksi antigen p24 immune complex dissociated. Diagnosis definitif laboratorium infeksi HIV pada anak yang

24 berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologi. Pemeriksaan serologi tidak dapat digunakan sebagai diagnostik karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga anak berusia 18 bulan. Hasil uji virologi positif memastikan terdapat infeksi HIV, bila akses uji virologi terbatas, World Health Organization (WHO) menganjurkan uji ini dilakukan pada usia 6-8 minggu sehingga bayi yang tertular intrauterin dan intrapartum dapat tercakup. Sedangkan diagnosis definitif infeksi HIV pada anak lebih dari 18 bulan dapat menggunakan uji serologi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. 18-20 Diagnosis HIV pada anak didasarkan pada adanya anamnesis pajanan HIV, gejala klinis yang mencurigakan, dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium penunjang. Poin penting anamnesis dan gejala klinis yang dapat mengarahkan ke diagnosis HIV berdasarkan penyakit yang terangkum dalam Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) dari WHO, diantaranya pneumonia, malnutrisi, dan diare kronik. Beberapa gejala klinis yang sering menjadi keluhan anak dengan HIV yaitu gangguan pernafasan seperti tuberkulosis atau pneumonia (58.4%), diare (52.8%), dan gizi buruk (56.9%). 12,18,21 Anak dengan infeksi HIV biasanya memperlihatkan tanda dan gejala tidak spesifik seperti berat badan menurun, gagal tumbuh, diare kronis, demam berulang, batuk, anemia, limfadenopati, hepatosplenomegali dan infeksi bakteri yang berulang. Infeksi yang terjadi umumnya oleh mikroorganisme oportunistik yang ada di lingkungan anak, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa, yang lazimnya tidak menyebabkan penyakit pada anak normal.walaupun begitu, tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu untuk diagnostik yang lebih baik. 10,22

25 2.6 Replikasi Virus Siklus hidup HIV pada sel tubuh dimulai dengan penempelan virus pada sel limfosit T- helper dan sel-sel lain yang mempunyai reseptor CD4+ pada permukaannya. Interaksi spesifik ini dimungkinkan karena adanya gp 120 yang kemudian diikuti dengan fusi selubung virus dan masuknya virion ke dalam sel tubuh. Dengan bantuan enzim reverse transcriptase kemudian disintesis DNA untai ganda dari RNA genom virus yang dikenal sebagai DNA intermediate dan DNA ini kemudian memasuki inti sel tubuh dan berintegrasi dengan DNA sel tubuh dengan bantuan enzim integrase membentuk provirus. DNA virus ini kemudian mengadakan transkripsi dengan bantuan enzim polimerase II sel tubuh menjadi mrna dan selanjutnya mengadakan translasi dengan protein-potein struktural sampai terbentuk protein. Setelah mengalami proses glikosilasi dan proteolisis, virus akan melekat pada membran sel tubuh dan virion akan terangkai. Melalui proses budding pada permukaan membran sel virion akan dikeluarkan dari sel tubuh dalam keadaan matur. 23,24 Gambar 2.2.6. Replikasi HIV

26 2.7 Proses Imunodefisiensi Infeksi oleh HIV terjadi melalui 3 cara, yaitu infeksi langsung ke dalam pembuluh darah melalui permukaan mukosa yang rusak atau dari ibu kepada anaknya secara in utero, selama persalinan atau melalui air susu. Molekul CD4 diperlukan untuk perlekatan HIV dan masuk ke dalam beberapa sel. Sesaat setelah infeksi HIV dalam bentuk partikel virus bebas atau di dalam sel-sel T CD4+ yang terinfeksi akan mencapai limfonodus regional dan merangsang respons imun selular dan humoral yang penting untuk melawan infeksi virus. Namun banyaknya sel-sel limfosit pada limfonodus akan menyebabkan sel-sel CD4 semakin banyak terinfeksi. Setelah beberapa hari akan terjadi limfopenia dengan menurunnya secara cepat jumlah sel-sel T CD4+ dalam sirkulasi. Selama periode awal ini virus-virus bebas dan protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi di dalam darah dan jumlah sel-sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini virus mengadakan replikasi secara cepat dengan sedikit kontrol dari respons imun. Kemudian setelah 2 4 minggu akan terjadi peningkatan yang sangat mencolok dari jumlah sel-sel limfosit total karena peningkatan jumlah sel-sel T CD8 sebagai bagian dari respons imun terhadap virus. CD4 kembali dalam kadar hampir sama dengan sebelum infeksi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga, namun pada beberapa kasus respons ini berlangsung lebih lambat sampai beberapa bulan. Selama fase akut kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia, dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan rash. 25,26 Imunopatogenesis pada infeksi HIV berlangsung melalui tahap-tahap berikut ini : a. Kontrol sistem imun pada replikasi virus. 24,26 Setelah fase akut, akan terjadi penurunan mendadak jumlah HIV bebas di dalam darah maupun di dalam sel sebesar 100.000 kali lipat. Mekanisme

27 yang pasti tentang hal ini belum diketahui namun analogi dari hal ini dapat digambarkan seperti resolusi pada fase akut infeksi virus secara umum dan dapat berlanjut menjadi persisten. Pada gambar 2.2.7 dapat dilihat sel-sel imun yang terlibat dalam infeksi virus dengan peranan sel-sel T CD4+ sebagai pengatur respons imun. Gambar 2.2.7 Peran sentral sel CD4 pada respons imun terhadap virus Pada infeksi virus secara umum tampak bahwa sel limfosit T sitotoksik adalah populasi sel efektor kritis dalam mengontrol infeksi akut karena sel ini mampu mengenal dan menghancurkan sel-sel yang terinfeksi oleh virus yang menyebabkan kerusakan sel tubuh tubuh anak, sehingga dapat menghambat replikasi virus dan menghambat pembentukan virion baru. Pada infeksi HIV terdapat jumlah sel-sel T sitotoksik spesifik HIV sangat tinggi dan dapat dideteksi pada sel-sel yang baru diisolasi tanpa adanya ekspansi prekursor sel-sel T sitotoksik yang telah aktif secara in vitro. 25 Beberapa penelitian membuktikan tingginya aktivitas sel-sel T sitotoksik

28 spesifik terhadap protein HIV pada pasien selama atau sebelum serokonversi yang menghubungkan adanya jumlah prekursor sel T sitotoksik spesifik HIV yang tinggi dengan penurunan cepat dari jumlah HIV bebas. Adanya sel-sel T sitotoksik merangsang pembentukan antibodi netralisasi dalam waktu beberapa bulan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah virus bebas dan virus yang ada di dalam sel disebabkan oleh lisis sel-sel terinfeksi HIV oleh selsel T sitotoksik CD8+. Dibuktikan pula secara in vitro bahwa sel-sel CD8+ yang aktif menghasilkan sitokin yang mampu menghambat replikasi virus pada sel-sel CD4+ tanpa menyebabkan lisis sel. 23,26 Respons ini juga terjadi pada infeksi akut sebelum serokonversi dan kemungkinan berperan di dalam mengontrol pembentukan virus. Hubungan antara aktivitas sel T sitotoksik, antibodi dan penurunan jumlah virus selama infeksi akut dan fase resolusi dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Jumlah CD8+ akan meningkat secara cepat dan sel-sel T sitotoksik ini akan mengontrol produksi virus dengan membunuh atau menekan sel-sel yang terinfeksi sedangkan sel CD8+ tetap dalam kadar yang lebih tinggi dari normal. 27 Gambar 2.2.7.1 Imunopatogenesis infeksi virus selama dan setelah infeksi primer

29 b. Fase asimtomatik infeksi HIV. 24,28 - Virus persisten pada limfonodus. Setelah resolusi dari fase akut, kebanyakan individu yang telah terinfeksi dalam waktu beberapa tahun tidak menunjukkan gejala-gejala klinik infeksi HIV yang nampak, walaupun pada tahap ini jumlah sel-sel CD4 terus menurun. Pada periode ini virus bebas dan sel terinfeksi virus di dalam darah atau sel-sel mononuklear dalam darah perifer jumlahnya rendah. Jumlah sel CD4 di dalam darah menurun secara perlahan-lahan, yang pada suatu penelitian didapatkan bahwa terjadi L tiap tahun. Namun kerusakan pada sistem penurunan rata-rata sebanyak 65 sel/ imun tidak bersifat laten dan akan mengalami perbaikan terutama di dalam limfonodus. - Penggantian virus baru dan sel-sel T CD4+ secara cepat. 24,26 Walaupun jumlah virus di dalam darah didapatkan rendah selama fase asimtomatik, namun pada penelitian akhir-akhir ini dilaporkan bahwa pada pasien yang bergejala dan mendapatkan terapi didapatkan peningkatan jumlah virus dan sel-sel terinfeksi virus sebanyak 108 virion di dalam darah setiap hari. Berdasar bukti ini kemungkinan pembentukan virion HIV pada fase asimtomatik individu yang tidak mendapat pengobatan juga akan sama. Penelitian ini juga membuktikan bahwa waktuparuh virus berlangsung selama 2 hari. Perkiraan penggantian sel-sel T CD4+ secara normal adalah 2 X 109 per hari akan menurun pada kasus ini menjadi 20 200 X 106 per hari. Tingginya penggantian sel-sel T dan virus di sini menunjukkan aktivitas sistem imun selama infeksi. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam penurunan sel-sel CD4 dan kaitannya dengan imunopatogenesis.

30 - Apoptosis sel-t. 24,25 Pembunuhan langsung sel-sel T oleh HIV merupakan mekanisme yang paling penting dan menyebabkan rusaknya membran sel T karena proses budding virus secara masif yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi sel oleh RNA, DNA dan protein virus sehingga menyebabkan apoptosis sel. Kekacauan di dalam mekanisme signalling di dalam sel-sel T dapat menyebabkan apoptosis. Antigen virus pada permukan sel-t yang terinfeksi dapat menyebabkan penyerangan imun. Gp 120 bebas dapat berikatan dengan CD4 sel-sel yang tidak terinfeksi sehingga merubah selsel ini menjadi target untuk diserang oleh mekanisme imun humoral maupun mekanisme selular. - Kegagalan dalam penggantian sel T. 25,28 HIV akan menghambat haemopoiesis dengan menginfeksi sel-sel CD34+ sumsum tulang, yang sangat esensial sebagai pengganti prekursor sel T. Infeksi HIV akan menekan timosit melalui infeksi pada sel-sel CD4+ dan CD8+ imatur serta kerusakan sel-sel epitelial timus yang diperlukan untuk maturasi sel T yang menyebabkan terjadinya kerusakan timus. Pada infeksi awal HIV akan berada di dalam limfonodus dan akan merusak strukturnya. Ini akan dikeluarkan dari lingkungan di dalamnya di mana sel T dalam keadaan normal kontak dengan antigen, proliferasi dan maturasi yang menyebabkan terjadinya kerusakan limfonodus. Beberapa protein HIV yang larut dapat mencegah sel T4 berproliferasi setelah kontak dengan antigen sehingga menurunkan kapasitas ekspansi dan penggantian klon sel T. Sistem imun dalam mengontrol kerusakan yang disebabkan oleh virus tersebut di atas dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun hal ini dapat mengalami perubahan dan pada suatu saat mengalami kegagalan. Dengan demikian dapat terjadi kerusakan selama

31 fase asimtomatik sehingga hal ini menimbulkan pertentangan pendapat untuk memberikan terapi antiviral dan imunoterapi sedini mungkin. Defek fungsi sel T CD4+. Banyak penelitian yang difokuskan unrtuk menentukan penyebab dan awal terjadinya defek fungsi sel-sel CD4 pada infeksi HIV. Walaupun pada fase awal L, namun infeksi HIV didapatkan jumlah sel CD4 masih tinggi yaitu lebih dari 500/ telah ada penurunan di dalam kemampuan sel CD4+ mengadakan proliferasi pada respons terhadap beberapa antigen yang berbeda dan hilangnya kemampuan di dalam membentuk sitokin yang penting dalam fungsi penolong. Hilangnya fungsi sel-sel CD4 dapat dilihat dari kemampuan berproliferasi dalam respons terhadap aktivasi secara in vitro, yaitu ketidak mampuan dalam respons terhadap antigen (bakteri, virus, dan toksin) diikuti dengan hilangnya respons terhadap sel-sel asing (respons alogenik) dan respons terhadap mitogen nonspesifik seperti fitohemaglutinin. Penurunan jumlah sel T CD4+ selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel T CD4+ seperti hipersensitivitas tipe lambat, transformasi blast limfosit yang dirangsang mitogen, dan aktivitas limfosit T sitotoksik. Defek fungsi sel CD4+ juga menyebabkan gangguan pada ekspresi reseptor IL-2, defek pada pembentukan IL-2 yang dirangsang oleh antigen dan mitogen, serta penekanan pada respons sel T sitotoksik HLA-tertentu. c. Hilangnya kontrol sistem imun. 24,27 Mekanisme yang pasti dari kerusakan sistem imun pada infeksi HIV fase yang lebih lanjut serta munculnya kembali HIV bebas belum diketahui secara jelas. Yang pasti adalah penurunan populasi sel CD4 secara bertahap dan hilangnya fungsi sel-sel ini sangat penting. Munculnya strain HIV yang lebih patogenik dan lebih cepat bereplikasi pada tubuh

32 merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Diketahui pula bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik L atau mungkin lebih akan menurun bila jumlah sel CD4 mencapai kurang dari 200/ cepat. Karena sel-sel ini berfungsi mengontrol sel-sel yang terinfeksi virus juga berperan penting dalam pembersihan pada tahap awal infeksi akut, maka dapat dikemukakan bahwa hilangnya aktivitas anti-hiv sel CD8 mempunyai efek penting dalam penambahan jumlah virus. Kemungkian lain adalah terjadinya mutasi virus sehingga tidak dikenal oleh sel-t sitotoksik. Walaupun sel CD8 berada dalam jumlah yang cukup, namun hal ini menjadi masalah dalam mengontrol HIV karena menurunnya bantuan dari sel-sel CD4 yang menghasilkan sitokin lebih sedikit seperti IL-2. Selain penurunan jumlah sel T CD4+, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan abnormalitas pada sistem imun yang lain. Walaupun beberapa dari abnormalitas ini disebabkan oleh sel T CD4+ yang menurun, fungsi imun yang tidak tergantung sel T juga akan terganggu. Pada infeksi HIV fungsi sel B juga sangat terganggu. Sel-sel B pada individu yang terinfeksi HIV berada pada tahap aktivasi kronis. Kebanyakan penderita AIDS menunjukkan proliferasi sel B spontan, terjadi peningkatan sel-sel pembentuk plak hemolitik, dan hipergamaglobulinemia. Selain itu terjadi defek intrinsik dalam responrespon yang dirangsang sel B seperti antigen dan mitogen, sehingga merangsang pembentukan imunoglobulin pada semua tahap infeksi. Kebalikan dari sel-sel T dan sel-sel B, fungsi sel-sel makrofag-monosit relatif normal pada infeksi HIV. Dalam hal ini penglepasan anion superoksid, aktivitas tumorisidal, antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), respons, dan produksi tumor necrotic factor

33 (TNF) masih berlangsung normal. Peranan makrofag-monosit sebagai sel penyaji antigen masih dalam kadar normal. Namun pada pengamatan terjadi suatu defek tertentu dalam fungsi monosit-makrofag seperti gangguan pada khemotaksis, fungsi reseptor Fc, clearence melalui reseptor C3, dan proliferasi sel T yang tergantung pada monosit. Dengan demikian pada penderita pada stadium khronik yang sering menunjukkan kerusakan fungsi monosit-makrofag belum diketahui secara jelas defek yang mana yang spesifik pada infeksi HIV. Belum diketahui pula apakah monosit-makrofag spesifik jaringan seperti makrofag paru dan otak menunjukkan adanya kelainan fungsi. Pada individu terinfeksi HIV terjadi pula defek fungsi sel-sel natural killer (NK). Secara spesifik sel-sel NK dari individu terinfeksi HIV menunjukkan penurunan di dalam kemampuan sitotoksik yang akan kembali normal bila diberikan IL-2, mitogen tertentu atau ion kalsium. Dengan demikian maka sel-sel NK ini tidak dapat diaktifkan bila kontak dengan target. Akan tetapi, sekali sel-sel NK yang defek diaktifkan maka akan siap mengalami sitolisis. Hal yang lebih baru diketahui adalah populasi sel NK CD16+/CD8+ secara selektif ditekan pada infeksi HIV sejak awal perjalanan penyakit. 2.8 Stadium imunologis WHO telah membuat klasifikasi penyakit HIV berdasarkan stadium imunologis. Parameter imunologis digunakan untuk menilai imunodefisiensi, memulai pemberian antiretrovirus dan penggunaannya harus bersamaan dengan penilaian klinis. Hitung absolut CD4+ dan total limfosit pada bayi sehat jauh lebih tinggi dari orang dewasa, dan menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. Persentase

34 CD4+ hampir tidak berubah pada usia berapapun, dan hal ini digunakan sebagai dasar penilaian imunologis pada anak kurang dari 5 tahun. 22,23 Berikut klasifikasi status imunologi anak HIV/AIDS berdasarkan umur menurut CDC 11,26 : Tabel 1. Klasifikasi imunodefisiensi berdasarkan total dan persentase CD4+ 11 Imunodefisiensi Usia menurut umur < 11 bulan 11 35 36 59 5 tahun bulan bulan CD4/μL (%) CD4/μL (%) CD4/μL (%) (sel/mm 3 ) Tidak ada > 35 %) > 30 > 25 > 500 Ringan 30 35 25 30 20 25 350 499 Sedang 25 30 20 25 15 20 200 349 Berat < 25 < 20 < 15 < 200 atau < 15% Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah CD4+ antara lain 27-30 : 1. Usia Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi terutama terkait pada waktu memulai terapi yang sangat berkorelasi dengan respon CD4+. Jumlah CD4+ dan hitung limfosit total pada bayi sehat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa, dan nilainya menurun sampai mencapai nilai orang dewasa pada usia 6 tahun. 2. Jenis kelamin Pria dan wanita telah diketahui merespon suatu penyakit secara berbeda-beda, namun sampai saat ini kontribusi relatif dari hormon seks belum jelas diketahui.

35 Jumlah CD4+ lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki, dipengaruhi oleh perbedaan faktor genetik intrinsik antara perempuan dan lakilaki yang terlepas dari kadar hormon seks steroid. 3. Viral load plasma Viral load plasma merupakan suatu indikator langsung dari keseluruhan jumlah sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang yang terinfeksi HIV.Terdapat hubungan antara viral load dengan jumlah CD4+, jika viral load meningkat maka jumlah CD4+ akan turun sehingga mempermudah untuk terjadinya infeksi oportunistik. Penelitian menyatakan didapatkan hubungan yang kuat antara viral load dengan kecepatan penurunan jumlah CD4+. 4. Stadium klinis Stadium klinis merupakan derajat keparahan suatu penyakit. Berdasarkan stadium HIV/AIDS pada anak yang diklasifikasikan menurut penyakit yang secara klinis berhubungan dengan HIV, masing-masing stadium memiliki infeksi tertentu yang mengindikasikan seorang pasien anak HIV/AIDS berada pada stadium tersebut. Semakin berat manifestasi klinis maka semakin tinggi stadium klinis pasien. Stadium klinis secara tidak langsung mempengaruhi jumlah CD4+ yaitu dengan mengganggu asupan nutrisi sehingga anak jatuh pada kondisi status gizi yang buruk dikarenakan adanya infeksi oportunistik. 5. Asupan nutrisi Infeksi HIV akan mempengaruhi status nutrisi baik makronutrien maupun mikronutrien serta sistem imun pasien HIV/AIDS. Perubahan status nutrisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain yaitu anoreksia, hipermetabolik, hiperkatabolik, infeksi kronis, depresi, efek samping obat, radiasi, dan kemoterapi. Pasien HIV anak dengan status gizi buruk memiliki persentase jumlah CD4+ yang rendah dan keadaan tersebut berkaitan dengan angka mortalitas yang tinggi.

6. Kepatuhan minum obat dan lama terapi ARV Sel CD4+ merupakan target utama infeksi HIV dan deplesi sel CD4+ merupakan petanda progresi infeksi HIV maka pengukuran jumlah CD4+ merupakan petanda progresi penyakit yang sangat baik. Penelitian perjalanan penyakit infeksi HIV menunjukan bahwa jumlah sel CD4+ merupakan prediktor timbulnya AIDS. Selain itu, jumlah sel CD4+ sering kali meningkat sebagai respon terapi AR.Apabila pasien tidak patuh terhadap pengobatannya, virus secara cepat menghilangkan kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut. Selain itu akan menyebabkan penurunan viral load yang lambat sehingga terjadi viremia berkepanjangan. Adanya viremia berkepanjangan yang terpapar ARV akan menghasilkan suatu resistensi obat yang dapat membatasi keberhasilan terapi. Resistensi akan obat dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang berbentuk RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel dan memproduksi virus baru. Peningkatan yang cepat pada jumlah CD4+ selama beberapa minggu pertama setelah memulai terapi ARV merupakan akibat dari redistribusi sel dari sistem lymphoreticular. 2.9 Patogenesis supresi imunitas penderita HIV Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi menyebar melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada viral load individu yang terinfeksi. 31,32 Viral load ialah jumlah copy RNA per mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada tubuh yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar luas dalam tubuh tubuh. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai oleh virus, bisa CD4 sel T dan manosit di dalam 33, 34 darah atau CD4 sel T dan makrofag pada jaringan mukosa. 36

37 Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada limfosit-t CD4 atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik kemudian berdifusi dengan limfosit CD4 yang akan bermigrasi kedalam nodus limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. 32,35 Dalam jangka waktu beberapa hari sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar secara hematogen dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus HIV bereproduksi dalam nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru ini dapat berikatan dengan limfosit CD4 yang berdekatan dan menginfeksinya, sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam nodus limfatikus. 33.36 Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini, namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi HIV dan berkembang menjadi AIDS. Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang berikatan dengan lektin

38 yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan limfoid sel dendrit akan melepaskan HIV ke CD4 sel T melalui kontak langsung sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak sekali replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus HIV dalam darah penderita. 31,35,36 Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis. Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan infeksi sel T-helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4 yang disebabkan oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan mati. Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode asimtomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung virus, tetapi kerusakan CD4 sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung selama periode laten dan jumlah CD4 sel T tersebut terus menurun di dalam sirkulasi darah. 32,34 Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepatmenghasilkan CD4 sel T baru untuk menggantikan CD4 sel T yang rusak. Tetapi pada tahap ini, lebih dari 10% CD4 sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang menyebabkan kematian sel T dan penurunan jumlah CD4 sel T di jaringan limfoid dan sirkulasi. Selama fase lanjutan infeksi HIV ini penderita akan rentan terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap

39 infeksi ini akan merangsang produksi virus HIV dan kerusakan jaringan limfoid semakin menyebar. Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan limfoid di dalam tubuh penderita dan jumlah CD4 sel T dalam darah turun di bawah nilai normal 1.500 sel/mm. 33,35 Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (HIV nefropati), infeksi pada pulminal dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS berkaitan ensefalopati). Oleh karena CD4 sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis infeksi termasuk infeksi pada sistem pulmonal. 34 Manifestasi klinis HIV pada sistem saluran pernafasan secara garis besar dapat dibagi menurut penyebabnya menjadi infeksi, non infeksi dan malignansi.penyakit infeksi yang tersering diantaranya adalah pneumoni bakterialis, Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan tuberkulosis.penyakit non infeksi adalah Lymphoid interstitial pneumonia (LIP), bronkiektasis, dan penyakit alveolar difus. Malignansi yang jarang ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, diantaranya adalah Limfoma non-hodgkin, atau Sarcoma Kaposi. 37-39 2.10 Tata laksana infeksi HIV Kombinasi Trimetropin-sulfametoxazole (TMP-SMX) merupakan pilihan pertama dalam pengobatan PCP. Dosis kotrimoksazol yang digunakan untuk terapi adalah dosis TMP 15 sampai dengan 20 mg/kg/hari dengan maksimum 320 mg/hari diberikan selama 21 hari untuk mencegah seringnya kekambuhan klinis maupun histologis. Terdapat rekomendasi WHO untuk pemberian profilaksis kotrimoksazol pada semua anak terinfeksi HIV usia kurang dari 12 bulan tanpa melihat kadar CD4, anak usia lebih dari 12 bulan dengan stadium klinis WHO 2, 3 dan 4, atau kadar CD4

40 < 15% (usai 1 sampai dengan 5 tahun), dan CD4 < 350 sel/mm 3 (usia lebih dari 5 tahun). Dosis yang diberikan berupa dosis TMP 5mg/kg/hari sekali sehari. 40,41 Studi uji klinis acak yang dilakukan pada anak dengan HIV di Afrika menunjukkan hasil bahwa pemberian profilaksis jangka panjang bersifat aman, dan memberikan angka rawatan di rumah sakit serta kejadian infeksi yang lebih sedikit dibandingkan penderita HIV yang tidak melanjutkan profilaksis kotrimoksazol. 42 (level of evidence 1b). Studi di Uganda mendapatkan bahwa pemberian profilaksis kotrimoksazol berhubungan dengan penurunan morbiditas, mortalitas dan efek yang menguntungkan pada kadar CD4 dan viral load dalam darah. 43 (level of evidence 2b) Tata laksana infeksi HIV bersifat komprehensif, meliputi pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, medikamentosa, dan psikososial.pemantauan berkala tumbuh kembang merupakan bagian penting dalam tatalaksana infeksi HIV pada anak. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa anak yang menderita infeksi HIV dan anak yang tidak terinfeksi HIV tapi dengan ibu HIV simtomatis akan mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang. 44,45 Pengobatan medikamentosa mencakup pemberian obat-obatan ARV dan pengobatan infeksi oportunistik. Pertimbangan untuk memulai pemberian ARV adalah berdasarkan stadium klinis, usia, persentase dan hitung CD4 serta gejala klinis. Anak yang berusia lebih dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif dan dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 kurang dari 25% sebaiknya mendapat ARV. 46,47 Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk menyembuhkan, namun untuk perbaikan kualitas hidup penderita. Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi, mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, menguatkan dan memperbaiki sistem imun dan mengurangi infeksi oportunistik, menekan replikasi

41 virus HIV dan mencegah progresifitas penyakit, mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidup. 10,48 Obat ARV terdiri dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), Protease Inhibitor (PI), fusion inhibitor dan antiintegrase. Kombinasi NRTI dan NNRTI dan PI dikenal sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Studi kohort tahun 2010 menyebutkan dalam 4 bulan penggunaan HAART menunjukkan mortalitas yang tinggi,dan anak-anak yang selamat pada periode ini memiliki kemungkinan yang kecil untuk meninggal dalam 2 tahun berikutnya.rejimen lini pertama adalah dua NRTI ditambah satu NNRTI. Rejimen lini kedua yang direkomendasikan WHO adalah satu golongan PI ditambah dua NRTI. Golongan PI yang dipilih yaitu lopanavir atau ritonavir. Jika NRTI yang digunakan pada rejimen lini pertama adalah zidovudin atau stavudin dan lamivudin maka pilihan lini kedua adalah abacavir dan lamivudin. 49-51 Pemantauan efek samping ARV yang perlu dilakukan meliputi lipodistrofi, neuropati perifer (stavudin), gejala gastrointestinal, anemia, neutropenia (zidovudin) dan reaksi alergi serta hepatotoksisitas (nevirapin). 52 2.11 Prognosis HIV Prognosis anak penderita HIV berbeda sesuai usia saat, stadium klinis dan terutama persentase nilai CD4 yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Studi kohort selama 5 tahun di Thailand melaporkan angka harapan hidup 5 tahun pada anak penderita HIV yang mendapat ARV pertama kali saat usia dibawah 1 tahun sebesar 76.7%, dan pada anak usia diatas 1 tahun sebesar 94.8%. selain itu, persentase CD4 dan malnutrisi berat berhubungan kuat dengan angka mortalitas yang tinggi pada anak usia lebih tua, namun tidak pada bayi. 52 (level of evidence 1b) Studi di Afrika Selatan mendapatkan beberapa faktor risiko seperti usia saat inisiasi ARV adalah < 3 tahun, CD4<10%,

42 diare kronis, gizi buruk, dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas pada penderita HIV. 53 (level of evidence 2b) 2.12 Pneumonia sebagai komplikasi HIV Gejala klinis masalah saluran pernafasan terkait HIV berupa batuk, takipnu, dan sesak nafas. Demam dijumpai jika penyebab utamanya adalah infeksi yang merupakan penyebab tersering. Pneumoni bakterial merupakan infeksi bakteri serius yang paling sering dijumpai yang menjadi penyebab perawatan di rumah sakit dan penyebab mortalitas. 54,55 Gejala gangguan respiratori pada pneumonia berdasarkan algoritme dari World Health Organization (WHO) adalah sesak nafas, batuk dan demam. Kasus pneumonia yang sangat berat disertai dengan gejala klinis sianosis, takipnudan adanya tarikan otot-otot dinding dada seperti retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal hingga gagal nafas. Takipnu sering digunakan sebagai penanda klinis yang mengarah ke pneumonia yang digunakan pada semua kategori usia. Beberapa penelitian melaporkan, takipneu merupakan prediktor yang buruk pneumonia pada anak terutama durasi penyakit kurang dari 3 hari. 56 Etiologi pneumonia bakterial pada pasien HIV lebih kurang sama dengan pasien non HIV. Gejala dan tanda infeksi oleh berbagai penyebab tidak khas. Pneumonia sering terjadi oleh berbagai etiologi secara bersamaan. 57,58 Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan gambaran gejala klinis, gambaran radiologis, dan pemeriksaan laboratorium penunjang berupa pemeriksaan darah perifer lengkap, C-reative protein (CRP), uji serologis dan mikrobiologis. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil leukosit yang meningkat yaitu 15000 sampai dengan 40 000 per millimeter kubik. Pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan hiposekmia tanpa hiperkapnia. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari infiltrasi interstisial yang ditandai dengan peningkatan corak bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi infiltrasi

43 alveolar yang ditandai konsolidasi dengan air bronchogram dan gambaran bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru dan disertai dengan peningkatan corak peribronkial. Sampai saat ini masih sangat sulit untuk mengidentifikasikan mikroorganisme patogen penyebab kematian pada kasus pneumonia anak karena belum ada pemeriksaan tunggal ataupun kombinasi yang benar-benar handal untuk membedakan mikroorganisme penyebab pneumonia pada anak. 59-61 Terapi untuk infeksi bakterial pada pasien HIV anak sama dengan pasien non HIV. Antibiotik spektrum luas diberikan secara empirik dengan mempertimbangkan pola kuman setempat. Kombinasi ß-laktam dengan aminoglikosid dapat digunakan, atau sefalosporin generasi kedua atau ketiga secara tunggal. Bila ada hasil biakan, terapi antibiotik disesuaikan. 62,63 Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis jirovecii, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Pada awalnya, Pneumocystis dipikirkan sebagai protozoa, namun dalam 20 tahun terakhir, dengan perkembangan pemeriksaan biologi molecular, teknik imunologi dan lainnya, Pneumocystis digambarkan sebagai suatu jamur.infeksi PCP merupakan infeksi oportunistikyang paling sering menyerang paru penderita AIDS, baik pada anak (55%) maupun dewasa, umumnya terjadi bila kadar CD4 kurang dari 200 sel/mm 3. 48 Gejala klinis PCP pada penderita AIDS umumnya lebih ringan dibandingkan penderita PCP dengan sistem imun yang baik, serta durasi gejala yang lebih lama mencapai minggu hingga bulan sebelum diagnosis PCP dipertimbangkan. Gejala klinis bersifat tidak spesifik berupa, demam, batuk non produktif, dan dyspnea yang dapat bersifat progresif. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai takipnea, takikardia, ronki basah, adanya retraksi dan nafas cuping hidung. Dari pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai hipoksemia pada analisa gas darah arteri. Serum laktat dehidrogenase

44 (LDH) dijumpai meningkat pada infeksi PCP, dengan spesifisitas 75%. Pada pemeriksaan radiologis, dapat dijumpai infiltrat alveolar dan interstitial yang difus tersebar dari daerah hilus atau basal dan meluas ke daerah perifer, hiperekspansi paru, adanya bronkogram udara, konsolidasi lobar, adenopati hilus, bronkiektasis, efusi pleura, atau pneumotoraks spontan. 48-50 Diagnosis PCP sulit untuk ditegakkan oleh karena gejala dan tanda yang tidak spesifik. Menurut Centers for Disease Control (CDC), diagnosis presumtif PCP dapat ditegakkan bila dijumpai sebagai berikut: 51,52 1. Keluhan sesak nafas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan terakhir 2. Gambaran foto thorax berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau gambaran penyakit paru difus bilateral 3. Tekanan oksigen (O2) kurang dari 70 mmhg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas difusi rendah (kurang dari 80% prediksi) atau peningkatan PaO2 4. Tidak terbukti pneumonia bakterialis Diagnosis PCP ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis.diagnosis definitif ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan tropozoit dan kista Pneumocystis jirovecii. Bahan pemeriksaan dapat berasal dari jaringan paru, induksi sputum, atau bilasan bronkoalveolar (BAL / bronchoalveolar lavage). Bahan yang berasal dari induksi sputum dapat memberikan informasi yang berguna dengan ditemukan kista dan tropozoit dari Pneumocystis carinii. Apabila tidak dapat ditemukan dari sediaan sputum, dapat dilakukan pemeriksaan BAL dan biopsi jaringan paru yang memberikan nilai sensitifitas lebih tinggi, namun dengan risiko yang lebih besar. 48,50 Di Amerika Serikat, insiden pneumonia bakteri diperkirakan 11 per 100 orang anak HIV. Pneumonia rekuren dan bakterimia merupakan indikator penyakit AIDS, dengan umur rata-rata 10 bulan. Di Afrika Selatan, dari hasil pemeriksaan post

45 mortem ditemukan klinis pneumonia yang berat dan fatal dihubungkan dengan bakteri S. pneumoniae atau H. Influenza. Penelitian di Johannesburg menemukan bahwa bakteremia lebih banyak terdapat pada anak HIV dengan pneumonia yang berat, yang dihubungkan S. pneumoniae, H. influenza dan E. coli. 63 Penelitian pada anak HIV di Thailand, didapatkan kematian terbanyak (50%) disebabkan oleh pneumonia. Pada penelitian ini, kejadian pneumonia pada anak HIV 44,7%. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbanyak terutama pada anak berusia 1-4 tahun (28,1%). Kemungkinan penyebab definitif bakteri pada pasien pneumoni tersebut belum dapat ditentukan oleh karena tidak ada data bakteriologis. 64 Perkiraan risiko pneumonia pada tahun pertama kehidupan anak yang terinfeksi HIV perinatal antara 7%-20%. Munculan klinis biasanya mulai didapatkan pada masa bayi, sering sebagai keluhan pertama, dan hasil terapinya buruk walaupun terdapat beberapa pilihan terapi. 63 Penelitian yang dilakukan di Jakarta, menerangkan bahwa anak penderita HIV dengan tersangka pneumonia, diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan respons yang buruk terapi antibiotik dan gambaran radiologis yang menunjang pneumonia. Sebagian besar anak HIV dengan pneumonia pada kelompok umur 1-4 tahun 10,5% dengan status malnutrisi berat 5,2%, dan status imunitas supresi berat 7,8%. Kejadian pneumonia juga sebagai penyebab kematian pada 2 kasus (28,5%) dari penyebab kematian seluruhnya. 65 Data otopsi anak HIV di Afrika membuktikan bahwa pneumonia sering ditemukan pada anak usia kurang dari 6 bulan. Penelitian prospektif menunjukkan bahwa insiden pneumonia pada anak HIV yang tidak mendapat profilaksis kotrimoksazol dan dirawat dengan pneumonia berat antara 15%-17%, dengan umur rata-rata 3 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia biasanya muncul sebagai infeksi primer. Berdasarkan kategori CDC, maka sebagian besar termasuk dalam kategori B (57,9%), diikuti oleh C (34,2%) dan A (7,8%). 63

46 2.13. Kerangka teori Ibu HIV Vertikal : Intrauterin, persalinan, ASI Anak HIV Transfusi Pelecehan seksual CD 4+ rendah Gizi buruk Usia Ekonomi sosial Neuropsikiatri : HIV yang berkaitan dengan kelainan neurokognitif : Infeksi oportunistik HIV berkaitan kardiomiopati, endokarditis Kepala dan leher : HIV berkaitan dengan retinopati Kardiovaskular: Spesifik : Tuberkulosis pulmonal Pulmonar : HIV berkaitan hipertensi pulmonal, empisema Non spesifik : Pneumonia, pneumonitis Endokrin : lipodistropi Gastrointestinal : Hepatitis viral, Sarkoma Kaposi Genito-urinaria : Muskuloskletal : Osteonekrosis, osteopenia infeksi seksual transmisi

47 2.14. Kerangka konseptual Transmisi Vertikal Transfusi Anak HIV Infeksi Oportunistik Pneumonia Spesifik Non pneumonia Non spesifik Keterangan : Yang diamati dalam penelitian