BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB lv HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sejumlah 30 siswa agar layak dan cukup memenuhi kriteria sampel skripsi.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

BAB ll KAJIAN TEORI. bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata,

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying lebih dikenal dengan istilahistilah

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB II LANDASAN TEORI. sadar, insaf, mengerti dan pandai. kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai tingkat efektivitas

BAB III METODE PENELITIAN. pola asuh otoriter) dan variabel terikat (perilaku bullying) sehingga

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kajian Teori. berkaitan dengan masalah penelitian ini, untuk menggambarkan prinsip-prinsip,

BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan adalah sebuah negara republik yang terletak di Semenanjung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

Perilaku Bullying dan Peranan Guru BK/Konselor dalam Pengentasannya (Studi Deskriptif terhadap Siswa SMP Negeri 3 Lubuk Basung)

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

SOSIALISASI KONSELING ONLINE GEBER SEPTI (GERAKAN BERSAMA SEKOLAH SEMARANG PEDULI DAN TANGGAP BULLYING)

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH

PSYCHOLOGICAL IMPACT ON STUDENTS HIGH SCHOOL BULLYING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

No. Daftar Pernyataan STS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Data Sampel Penelitian. 1. Teknik Komputer Jaringan siswa. 2. Multimedia siswa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa. Tindakan ini disebut bullying,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

STRATEGI COPING KORBAN BULLYING VERBAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SOSIAL DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS X SMK NEGERI 1 PRINGSURAT SKRIPSI

PENCEGAHAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH. Abstrak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB II TINJAUAN TEORI

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

EFEKTIVITAS PELATIHAN PENGENDALIAN DIRI UNTUK MENGATASI PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Sosial 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Sedangkan menurut Thorndike (dalam Goleman, 2006) kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dengan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk membaca teman bicaranya. Kesimpulannya adalah kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang disekitarnya. 2.1.2 Aspek- aspek Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu kesadaran sosial dan social facility. Kesadaran sosial, yaitu kesadaran sosial atau kepekaan seseorang terhadap sesama dan social facility, yaitu apa yang kita lakukan dengan kesadaran itu sendiri. 7

1) Kesadaran Sosial Kesadaran sosial mengarah pada sebuah spectrum dan yang secara tidak langsung merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, memahami perasaan dan pikirannyauntuk ikut terlibat dalam situasi yang sulit. Kesadaran sosial ini meliputi: a) Primal Empathy (empati terpenting); perasaan terhadap seseorang yang lain, merasakan tanda isyarat emosi. b) Attuntment (penyesuaian atau adaptasi); mendengarkan dengan kemauan penuh, membiasakan diri mendengarkan seseorang. c) Empathic accuracy (empati yang tepat); memahami pikiran gagasan, perasaan dan kehendak orang lain. d) Social cognition (kesadaran sosial); mengetahui bagaimana kehidupan bersosialisasi terjadi. 2) Kecakapan Sosial Secara sederhana yakni merasakan perasaan orang lain, atau sekedar tahu apa yang mereka pikirkan ataupun inginkan, tidak sama sekali menjamin sebuah keberhasilan dalam suatu interaksi. Kecakapan sosial terbentuk dalam kesadaran sosial untuk memenuhi sebuah interaksi yang lancar dan efektif. Spektrum kecakapan sosial meliputi: a) Synchrony (Sinkroni) : Menginteraksikan dengan lancar pada level non verbal. b) Self Presentation (Presentasi Diri Pribadi) : Mempresentasikan diri sendiri dengan efektif. c) Influence ( Pengaruh) : Menghadirkan jalan keluar dari interaksi sosial. 8

d) Concern ( Peduli) : Peduli terhadap orang lain sesuai dengan kebutuhan dan perilaku masing-masing individu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran sosial dan kecakapan sosial dua-duanya mencakup jangkauan mulai dari dasar, kapasitas yang rendah, hingga mencakup artikulasi yang kompleks. Oleh karena itu, sinkroni dan primal empati tergolong dalam kapasitas rendah, sementara empati yang tepat dan pengaruh bercampur antara tinggi dan rendah, dan sama lembutnya dengan beberapa keterampilan yang mungkin terlihat, terdapat jumlah yang mengejutkan tentang ujian-ujian dan skala untuk menilainya. Kedua aspek tersebut merupakan hal yang mempengaruhi seseorang memiliki kecerdasan sosial dalam bermasyarakat kesadaran sosial adalah perasaan seseorang dimana dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain disekitarnya, dan kecakapan sosial adalah suatu perasaan seseorang dimana dirinya cepat tanggap dalam merasakan atau hanya sekedar tahu apa yang dirasakan orang disekitarnya, kedua hal ini melahirkan suatu kecerdasan yang disebut dengan kecerdasan sosial. 2.1.3 Faktor Kecerdaan Sosial Perkembangan sosial berarti seseorang memiliki kemampuan untuk memahami dan bergaul dengan orang lain. Perkembangan sosial siswa juga berarti proses perkembangan sosial siswa dalam berhubungan dengan orang lain di masyarakat (Syah, 2004). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan (2004) dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah. 9

a. Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dalam belajar untuk kehidupan sosial. Dari keluarga seseorang belajar bagaimana norma-norma lingkungan, internalisasi norma-norma, perilaku dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Pola asuh, status sosio-ekonomi, keutuhan keluarga, sikap orang tua dapat mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak. Faktor sosioekonomi bukan suatu faktor mutlak yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, hal itu semua tergantung kepada sikap orang tua dan interaksinya di dalam keluarga. Namun, kesempatan bagi siswa yang memiliki latar belakang keluarga sosioekonominya tinggi, akan lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi di dalam dirinya. Keutuhan keluarga baik dari struktur keluarga seperti perceraian maupun orang tua yang tidak harmonis, itu sangat penting perannya dalam perkembangan sosial seorang siswa. Siswa yang memiliki keluarga yang tidak utuh seperti salah satu orang tua tidak ada, atau bercerai maupun orang tua yang sering bertengkar itu akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan sosial siswa. Dalam penelitian Pengasuhan Otoriter berpotensi menurunkan Kecerdasan Sosial, Self- Esteem dan Prestasi Akademik Remaja, memberikan hasil bahwa kecerdasan sosial dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Skor kecerdasan sosial akan semakin tinggi jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoritatif juga tinggi dan jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter tinggi, maka skor kecerdasan sosial yang dihasilkan rendah. Selain itu, seseorang yang berasal dari keluarga besar, atau seorang anak bungsu dalam keluarga, seorang anak yang 10

masuk playgroup atau taman kanak-kanak, akan memiliki inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak tunggal yang kurang memiliki kesempatan bergaul dengan anak-anak lain (Alder, 2001). b. Sekolah Pendidikan selain untuk memiliki ilmu pengetahuan, juga efektif untuk keterampilan negosiasi, konseling, pidato, atau berbicara di muka umum, mengajar, mewawancarai, dan keterampilan-keterampilan lain yang termasuk dalam kategori inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial. (Alder, 2001). Sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menambah ilmu pengetahuan saja tetapi juga perkembangan sosial anak. Anak yang berinteraksi dengan teman sebaya, guru, staf yang lebih tua dari dirinya akan dapat mengajarkan sesuatu yang tidak hanya sekedar pengembangan intelektualitas saja. Di sekolah akan dapat bekerja sama dalam kelompok, aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang semuanya termasuk dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan sosial anak. Selain itu, empati sebagai aspek dari kecerdasan sosial juga dipengaruhi oleh teman sebaya seorang anak. 2.2 Perilaku Bullying 2.2.1 Pengertian Bullying Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif, Krahe (dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi perilaku agresif yaitu agresi ringan (bullying), agresi sedang, dan agresi berat. Menurut Coloroso (2007) bullying adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Tindakan 11

penindasan ini diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa berupa fisik seperti memukul, menampar, dan memalak. Bersikap verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasi. Sejiwa (2008) menyatakan kata bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti banteng yang suka menanduk. Masih dalam Sejiwa (2008) mendefinisikan bullying sebagai sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seseorang atau kelompok. Pihak yang kuat dalam tindakan bullying ini tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga mental dari sang pelaku bullying (bully), dalam hal ini korban tindak mampu mempertahankan dan melindungi dirinya baik secara fisik ataupun mentalnya karena korban merasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk melawan pelaku bullying tersebut, dan yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bukan hanya sekedar tindakan yang dilakukan, namun juga dampak tindakan tersebut bagi si korban. Sedangkan menurut Olweus (1993) telah mendefinisikan bullying yang mengandung tiga unsur dasar perilaku, yaitu : 1) Bersifat menyerang (agresif) dan negatif 2) Dilakukan secara berulang kali 3) Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. 12

Jadi dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan salah satu dari perilaku agresif yang bersifat negatif yang dilakukan secara berulang kali dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. 2.2.2 Bentuk-bentuk Bullying Bentuk bullying menurut Coloroso (2007) dibagi menjadi empat jenis, sebagai berikut: 1) Bullying fisik. Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya, namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden penindasan yang di laporkan siswa. Jenis penindasan secara fisik adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, mengigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius. Anak yang secara teratur memainkan peranan ini kerap merupakan penindasan yang paling bersalah diantara penindasan yang lainnya, dan yang paling cenderung beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih serius. 2) Bullying verbal. Kata-kata adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan semangat seorang anak yang menerimannya. Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan, baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikan di hadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Penindasan 13

verbal dapat diteriakkan di teman bermain bercampur hungga binar yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya di anggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik diantara teman sebaya. Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celan, fitnahan, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual. 3) Bullying relasional. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian atau penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditunjukkan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa, mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar. 4) Bullying elektronik. Pelakunya menggunakan sarana ekektronik dan fasilitas internet seperti komputer, hadphone, kamera dan website atau situs pertemanan jejaring sosial diantarannya, chatting, e-mail, facebook, twitter, dan sebagainya. Hal tersebut ditunjukkan untuk meneror korban bullying dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar, vidio, atau film yang sifatnya mengitimidasi, menyakiti, dan menyudutkan. Menurut Olweus (2003), ada 3 pengelompokan bentuk bullying: 1) Bullying Verbal Tindakan bullying jenis ini terjadi melalui kata-kata (verbal) dari pelaku bullying, biasanya pelaku melakukan kekerasan jenis ini didepan teman- 14

teman agar dapat disaksikan oleh siswa lain di sekolah. Contoh bullying verbal diantaranya memaki, menghina, meneriaki, menuduh, menyoraki, mefitnah, mengosip. 2) Bullying Fisik Jenis bullying ini paling dapat terdeteksi oleh indera, karena terjadi kontak fisik secara langsung antara korban dan pelaku. Contoh dari bullying fisik adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, memukul. 3) Bullying Relasional atau Mental Bullying jenis ini paling susah terdeteksi oleh indera, karena bullying relasional atau mental ini bersifat melemahkan harga diri seseorang. contoh dari bullying relasional atau mental ini adalah memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan didepan umum, mendiamkan, mengucilkkan, memelototi, meneror. Jadi dapat disimpulkan terdapat 3 jenis bullying yaitu bullying verbal dimana dalam bullying jenis ini dilakukan melalui kata-kata yang dapat membuat korbannya sakit hati, malu, dan terpojok. Yang kedua adalah bullying fisik dimana bullying jenis ini pelaku melakukan kekerasan dengan kontak fisik secara langsung kepada korban seperti memukul, menendang, menampar, dan yang terakhir adalah bullying mental, dimana bullying jenis ini bersifat melemahkan harga diri seseorang sehingga menurunkan mental seseorang seperti mengucilkan, memelototi, meneror. 15

Melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa (2007) terangkum pendapat orang tua tentang alasan anak-anak menjadi pelaku bullying, diantaranya: a) Karena mereka pernah menjadi korban bullying. b) Ingin menunjukkan eksistensi diri. c) Ingin diakui. d) Pengaruh tayangan TV yang negatif. e) Senioritas. f) Menutup kekurangan diri. g) Mencari perhatian. h) Balas dendam. i) Iseng. j) Sering mendapatkan perlakuan kasar dari pihak lain. k) Ingin terkenal. l) Ikut-ikutan. 2.2.3 Pelaku-pelaku dalam Bullying Olweus (dalam Suharto, 2014) menyatakan terdapat beberapa pelaku yang terlibat dalam tindakan bullying diantaranya : 1) Pelaku Bullying Pelaku bullying adalah pemeran utama dalam tindakan bullying, remaja pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingindipatuhi secara mutlak dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai orang lain. 16

2) Korban Bullying Bullying terjadi pasti terdapat orang yang menjadi sasaran dalam tindakan kekerasan ini. Umumnya orang yang menjadi sasaran dalam tindakan ini memiliki kelemahan baik secara fisik maupun mental, korban merasa tidak berdaya melawan pelaku bullying, sehingga hal ini membuat pelaku semakin mudah dalam melancarkan aksinya. 3) Bystander Bullying Dalam tindakan bullying, selain terdapat pelaku dan korban, tentu di dalamnya pasti terdapat penonton yang menyaksikan tindakan bullying tersebut atau yang kita sebut dengan bystander. Bystander dalam tindakan bullying terbagi menjadi 3 yaitu penonton yang ikut aktif menjadi pendukung pelaku, penonton yang membela korban, dan penonton yang bersikap netral atau diam saja, merasa acuh tak acuh dengan kejadian tersebut. Sementara itu Lipkins (2008) menyebutkan terdapat beberapa pihak yang ikut menjadi pelaku-pelaku dalam kegiatan bullying, diantaranya : 1) Pelaku Bullying (Perpetrator) 2) Korban Bullying 3) Penonton (Bystander)Penonton aktif, dan penonton pasif 4) Para Penyelia 5) Para pengurus 6) Masyarakat Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perilaku bullying terdapat 3 komponen yang terlibat didalamnya yaitu pelaku bullying itu sendiri yang berusaha menyakiti korban, kemudian ada korban bullying dalam hal ini jelas sebagai 17

individu yang dijadikan sasaran pelaku, dan yang terakhir adalah bystander bullying atau sering kita sebut sebagai penonton yang menyaksikan secara langsung atau melihat saat tindakan bullying tersebut terjadi. 2.3 Penelitian yang Relevan Wulandari (2010) melakukan penelitian dengan judul Hubungan kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta dengan hasil yang menunjukkan nilai rxy 0,421 dengan p= 0,001(p<0,01) dengan angka tersebut membuktikan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Dari penelitian mengenai hubungan kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa kelas Xl PM SMK T & I Kristen Kota Salatiga yang dilakukan oleh Susanto (2014) menunjukkan nilai rxy 0,632 dengan p=0, 000. Dengan hasil tersebut membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan sosial dan perilaku agresif pada siswa SMK T&I Kristen Kota Salatiga. 2.4 Hipotesis Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis atau jawaban sementara atas hubungan keterkaitan antar variabel dalam penelitian yang masih perlu diuji. Hipotesis yang penulis rumuskan adalah: Ada hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan sosial dengan perilaku bullying. 18