MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 19 Oktober 2006 Kepada Yth: 1. Para Gubemur 2. Para Bupati/Walikota di- Seluruh Indonesia SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : SE.5l 7/NIEN/PPK-PNKPADV2006 TENTANG EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PENGAWASAN NORMA KERJA PEREMPUAN Guna meningkatkan perlindungan kepada pekerja./buruh perempuan dalam rangka mencegah perlakuan diskriminasi, mewujudkan kesetaraan dan partisipasi di tempat kerja, meningkatkan perlindungan fungsi reproduksi dan mencegah trafficking in person khususnya pada proses penempatan tenaga kerja baik di dalam maupun di luar negeri, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengawasan norma kerja perempuan. Berdasarkan hal tersebut di atas dan mengingat operasional pengawasan ketenagake{aan berada di Provinsi dan Kabupaten/Kota maka diminta kepada para Gubemur dan Bupati/Walikota agar menginstruksikan kepada Dinas/instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi dan KabupatenKota agar mengoptimalkan peran, tugas dan tanggungjawab Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan pengawasan terhadap penerapan norma kerja perempuan, dengan melakukan : n7
l 2. Pendataan dan pemetaan pekerja/buruh perempuan yang bekerja di dalam hubungan kerja baik di sektor formal maupun informal. Pencegahan dan penghapusarl perlakuan diskriminasi terhadap tenaga kerja dan pekerja/buruh perempuan, yang meliputi : a. Kesempatan memperoleh pekerjaan (pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958). Setiap tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pengusaha dilarang membuat pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar jenis kelamin yang mengakibatkan peniadaan atau pengurangan persamaan kesempatan atau perlakuan dalam memperoleh pekerjaan. b. Kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan dan menduduki j abatan (Pasal 6 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Konvensi ILO Nomor l l l Tahun 1958). Setiap pekerja/buruh baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama tanpa diskiminasi dari pengusaha untuk mengikuti pelatihan dan promosi jabatan. Pengusaha dilarang membuat pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar jenis kelamin yang mengakibatkan peniadaan atau pengurangan persamaan kesempatan atau perlakuan dalam mengikuti pelatihan dan promosi jabatan. c. Pengupahan yang sama antara pekerja./buruh laki-laki dan perempuan untuk jenis pekerjaan yang sama nilainya (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Peraturan PemerintahNomor 8 Tahun 1981 dan Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951). Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi atas dasar jenis kelamin untuk pekerjaan yang sama nilainya. Pekerjaan yang sama nilainya adalah pekerjaan yang rincian tugas dan tanggung jawabnya sama dan pada perusahaan yang sama. Contoh diskriminasi : komponen upah untuk pekerj a./buruh perempuan tidak memasukkan komponen tunjangan keluarga karena pekerj a./buruh perempuan dianggap lajang. Batas usia pensiun (Pasal 6 Undang-Undang Nomor!3 Tahun 2003 dan Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958). Pengusaha dilarang menetapkan pembedaan batas usia pensiun berdasrkan jenis kelamin. Perbedaan perlakuan dalam jaminan sosial (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Konvensi ILO Nomor I I I Tahun 1958). I l8
Contoh : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi pekerja/buruh perempuan dianggap lajang sehingga Jaminan Pemeliharaan Kesehatan tidak berlaku untuk suami dan anak. PHK dengan alasan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya (Pasal 153 Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003). Pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerj a terhadap pekerj a/buruh perempuan dengan alasan yang bersangkutan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menlr:sui bayinya. Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan tersebut batal demi hukum, sehingga pekerja/buruh perempuan harus dipekerjakan kembali. 3. Perlindungan terhadap fungsi reproduksi, meliputi l a. Istirahat haid Pekerja./buruh perempuan yang pada masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid (pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Mekanisme pelaksanaan ketentuan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. b. Istirahat sebelum dan sesudah melahirkan Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan. Istirahat ini dapat diperpanjang, jika hal ini diperlukan untuk menjaga keselamatan ibu dan kandungannya sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan yang merawatnya. c. Istirahat gugur kandungan Pekerja,/buruh perempuan yang istirahat 1,5 (satu setengah) kandungan/bidan. mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh bulan atau sesuai dengan suat keterangan dokter d. Kesempatan menyusui bayi Pekerja,/buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal tersebut harus dilakukan selama waktu kerja. Agar hal ini dapat terlaksana, pengusaha menyediakan mangan khusus untuk menyusui bayi. 4. Perlindungan terhadap pekerja/buruh perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 s/d 07.00, meliputi : a. Pemberian makan dan minum bergizi sekurang-kurangnya memenuhi 1.400 kalori dan tidak boleh diganti dengan uang. r 19
b. Terjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerj4 dengan menyediakan tenaga keamanan di tempat kerja. c. Disediakan angkutan antar jemput, khusus bagi pekerj a/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s/d 05.00. 5. Pencegahan terhadap praktek tral/icking in person (perdagangan manusia) melalui peningkatan pengawasan ketenagakerjaan khususnya pada proses penempatan tenaga kerja baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain mepiluti : a. Proses rekruitmen; b. Standar tempat penampungan; c. Perjanjian kerja; d. Surat Permintaan Tenaga Kerja Indonesia (Job Orderll; e. Pelaksanaanpelatihan; f. Kelengkapan dokumen Tenaga Kerja Indonesia; g. Pemeriksaankesehatan; h. Pelaksanaan Pembekalan Akhir Pemberangkatan; i. Penerapan sanksi terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang melakukan pelanggaran; j. Proses kepulangan Tenaga Kerja Indonesia ke adaerah asal. Dalam melakukan pencegahan trafricking in person (perdagangan manusia) Pengawas Ketenagakerjaan hendaknya berkoordinasi dengan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, apabila telah terbentuk di Provinsi, Kabupater/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 88 Tahun 2002. 6. Apabila terjadi perbedaan penafsiran atas ketentuan yang bersifat normatif tersebut di atas oleh pihak-pihak terkait, seperti antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan mempunyai kewajiban untuk bersikap dan meluruskannya dengan memberikan penjelasan teknis sehingga tidak ada keraguan lagi dalam penerapannya. 7. Berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perlu dijelaskan bahwa Pengawas Ketenagakerjaan tetap memiliki dan tidak terkurangi kewenangannya dalam penegakan hukum sepanj ang ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan tersebut memiliki sanksi hukum dan pelaksanaan pengawasannya dimandatkan dan dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan. tz0
8. Menyampaikan laporan pelaksanaan penerapan norma kerja perempuan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerj aan sesuai formulir terlampir. Diharapkan Gubemur dan BupatiiWalikota melakukan monitoring dan evaluasi terhadap efektifi tas pelaksanaannya. Demikian atas perhatian dan kerjasama Saudara/i disampaikan terima kasih. Mf,NTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, f,rman SUPARNO Tembusan Yth.: 1 Presiden Republik Indonesia; 2. Wakil Presiden Republik Indonesia; 3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu; 4. Pwa Pejabat Eselon I di lingkungan Depnakertrans; 5. Kepala Instansi yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. 't2l