BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

I. PENDAHULUAN. Hal ini menunjukan ekosistem mangrove mengalami tekanan-tekanan

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. atas sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) seperti perikanan,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang lahir dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan akibat ekstraksi sumberdaya alam berlebih. Konsep ini menghendaki pembangunan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhinya (WCED, 1987). Sejak deklarasi Stockholm tahun 1972 dalam UN Conference on Human Environment sampai Konferensi Rio+20 konsep pembangunan berkelanjutan telah berusaha untuk diimplementasikan oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Pembangunan berkelanjutan menginginkan keseimbangan pengelolaan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial (Iskandar, 2009). Namun demikian, integrasi di antara ketiga hal tersebut masih banyak menemui kendala dalam implementasinya. Samekto (2005) menguraikan bahwa perubahan tatanan sosial baik dalam skala global maupun lokal telah mempengaruhi daya implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Dalam konteks lokal, terjadinya reformasi dan berlakunya sistem desentralisasi kekuasaan menyebabkan paradigma pertumbuhan ekonomi semakin menguat di daerah sehingga kerap mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Implementasi pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir mempunyai tantangan tersendiri. Interaksi antara aktivitas sosial ekonomi, tata ruang, dan kependudukan menyebabkan permasalahan lingkungan pada kawasan pesisir menjadi semakin meningkat (Damai,2012). Untuk itu, pembangunan pada kawasan pesisir membutuhkan perlakuan dan strategi pengelolaan tersendiri yang berbeda seperti pada pembangunan kawasan daratan umumnya (Dahuri et al., 2001). Mangrove merupakan ekosistem unik yang menempati kawasan transisi di sekitar pantai tropis maupun subtropis (Giri et al., 2007; Nagelkerken et al.,, 2008). Karakteristik khas ekosistem hutan mangrove adalah selalu dipengaruhi

2 oleh pasang surut, toleran terhadap salinitas tinggi, serta mampu tumbuh pada kondisi tanah berlumpur dengan reaksi anaerob (Nagelkerken et al., 2008; McLeod dan Salm, 2006). Perpaduan antara ekosistem daratan dan perairan menjadikan ekosistem mangrove penuh dengan sumberdaya yang produktif (Bouillon, et al., 2008). Dengan potensi sumberdaya alam dan lahan yang dimiliki hutan mangrove banyak dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya perikanan, sumber kayu, serta destinasi pariwisata. Selanjutnya, pemanfaatan kemudian semakin berkembang bukan hanya pada aspek lahannya saja tapi juga sebagai sumber bahan baku pulp, obat, dan bahan pangan (Giri et al., 2007). Pemanfaatan sumberdaya mangrove secara tidak bijaksana telah berimplikasi pada menurunnya kualitas lingkungan dan luas hutan mangrove secara keseluruhan. Hutan mangrove yang masih tersisa di Indonesia diperkirakan tinggal 3,5 juta ha dengan laju degradasi yang terjadi rata-rata mencapai 530.000 ha/tahun (Noor et al., 2006; Anwar dan Gunawan, 2006). Tekanan terhadap hutan mangrove menjadi permasalahan krusial karena dapat berkontribusi nyata terhadap emisi karbon serta meningkatkan resiko bahaya banjir, intrusi air laut maupun abrasi (Bouillon et al., 2008; Datta et al., 2010). Teluk Lampung merupakan salah satu lokasi sebaran hutan mangrove di Pulau Sumatera. Kawasan tersebut mencakup Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran dan Kota Bandar Lampung sebagai ibu kota Provinsi. Pesatnya dinamika sosial ekonomi di Teluk Lampung ditandai dengan tumbuhnya berbagai aktivitas seperti kawasan permukiman, pertambakan, pelabuhan, militer dan industri. Hal ini menyebabkan perubahan kualitas lingkungan seperti pencemaran serta perubahan pada tata ruang kawasan pesisir tersebut (Kagungan, 2010; Damai, 2012). Desa Sidodadi adalah salah satu bagian wilayah administratif Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran yang terletak di Teluk Lampung. Secara keseluruhan luas hutan mangrove di desa tersebut kini tinggal 27,38 ha (Rahmayanti, 2009) dari 60 ha total hutan mangrove yang pernah tumbuh alami (Idram et al., 1999). Optimasi pembangunan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan tekanan penduduk di lain pihak justru menjadi faktor pendorong

3 terjadinya kerusakan hutan mangrove. Padahal, seperti pada kawasan Teluk Lampung lainnya, mangrove di sekitar wilayah Desa Sidodadi tumbuh secara alami cenderung tipis hanya sekitar 50-100 m saja (Soeroyo dan Suyarso, 2000). Karakteristik pantai dengan ketebalan mangrove yang relatif tipis memiliki potensi kerentanan terhadap perubahan ekosistem menjadi lebih besar jika terjadi tekanan ekologis di dalamnya. Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Sidodadi akibat penebangan tegakan mangrove mulai terjadi sejak tahun 1988-an. Selanjutnya, intensitas semakin meningkat sampai tahun 1990-an terutama pada saat terjadi krisis ekonomi. Menurut Pemkab Pesawaran (2011) dan Harja (2001) permasalahan dalam pengelolaan hutan mangrove di kawasan tersebut adalah ancaman alih fungsi hutan mangrove untuk pertambakan dan pariwisata. Meskipun demikian, sejak tahun 2000an kegiatan alih fungsi hutan mangrove untuk tambak sementara tidak terjadi signifikan dan sebagian tambak justru menjadi terlantar. Kerusakan lingkungan takibat penebangan hutan mangrove tersebut adalah terjadinya intrusi pada sebagian wilayah pesisir Desa Sidodadi. Selanjutnya, wilayah Desa Sidodadi juga menjadi salah satu daerah sebaran penyakit malaria karena keberadaan kolam bekas tambak justru menjadi tempat perindukan berbagai jenis nyamuk Anopheles sp. (Idram, 1999). Upaya perbaikan pengelolaan hutan mangrove telah dilakukan seperti dengan rehabilitasi pada kawasan yang telah rusak. Meskipun demikian, bentuk pengelolaan terkadang menjadi kurang berkelanjutan karena tidak adanya keterpaduan di antara dimensi pembangunan. Pengelolaan hutan mangrove masih dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan prioritas serta karakteristik kondisi lingkungan yang dimiliki masing-masing wilayah. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Desa Sidodadi maka dibutuhkan kajian mengenai strategi kebijakan pengelolaan berdasarkan status keberlanjutan dan indikator sensitif yang mempengaruhinya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) dijelaskan bahwa fokus pengelolaan mangrove adalah pada sinergi kebijakan pada dimensi utama pengelolaan yaitu

4 ekologi, ekonomi dan sosial, kelembagaan serta peraturan perundang-undangan (Perpres RI No. 73 Tahun 2012). Setiap dimensi pengelolaan hutan mangrove memiliki indikator tersendiri yang secara spesifik melekat pada masing-masing dimensi sesuai kondisi lingkungan setempat. Keberadaan indikator-indikator pengelolaan tersebut sangat bermanfaat dalam menilai status keberlanjutan pengelolaannya (Brang et al., 2002; Datta et al., 2010). Stork et al. (1997) menguraikan lebih lanjut bahwa indikator merupakan instrumen yang diperlukan pada saat mengumpulkan data dan informasi sehingga mempermudah dalam proses penyusunan konsep, evaluasi dan implementasi pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Menurut Susilo (2003) indikator-indikator dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan dapat digunakan untuk menilai secara cepat (Rapid appraisal) status keberlanjutannya. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan pendekatan analisis multi variabel non parametrik yang disebut Multidimensional Scaling (MDS). Metode ini mudah dilakukan, stabil dan cukup akurat dalam menentukan staus keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam sehingga juga dilaporkan pernah digunakan untuk mengkaji status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di kawasan Seram Barat (Pattimahu, 2010), hutan perbatasan di Kalimantan Barat (Marhayudi, 2006) serta Daerah Aliran Sungai (DAS) di Ciliwung hulu Kabupaten Bogor (Suwarno, 2011). Hasil analisis status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove kemudian dapat dijadikan dasar dalam membangun strategi kebijakan pengelolaan berdasarkan kondisi yang ada. Dengan demikian, diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan gambaran mengenai kondisi eksisting sekaligus strategi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Sidodadi dan Kawasan Teluk Lampung secara umum. 1.2 Perumusan Masalah Desa Sidodadi yang secara administratif berada di Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung memiliki kondisi hutan

5 mangrove dan potensi perikanan yang cukup besar. Modal dasar sumberdaya alam yang melimpah diperlukan untuk melakukan proses pembangunan di daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove maka perlu ditopang oleh strategi pengelolaan yang berkaitan dengan hal tersebut. Untuk itu, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi beberapa hal yang berkaitan dengan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove, faktor kunci yang memiliki pengaruh tinggi dalam pengelolaan hutan mangrove, dan setelah itu strategi yang dapat dilakukan dalam mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama pada penelitian ini adalah untuk menentukan strategi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam upaya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka dapat ditempuh melalui dua tujuan antara yaitu: 1. Menentukan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial serta hukum dan kelembagaan 2. Menentukan faktor kunci yang memiliki pengaruh tinggi dalam pengelolaan hutan mangrove 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menentukan arah dan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove serta dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal : 1. Manfaat akademik (untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi), penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah berdasarkan temuan di lapangan sebagai penunjang (acuan) serta melengkapi penelitian lanjutan yang akan dilakukan. 2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi stakeholder terkait, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Pesawaran

6 dalam menentukan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. 1.5 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang berkaitan dengan tema keberlanjutan pengelolaan hutan dan sumberdaya alam telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hasil penelitian terdahulu tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel. 1 Hasil Penelitian Terdahulu No. Peneliti/Judul/Tahun Tujuan/Metode Hasil 1. Marhayudi, P.2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat 2. Bohari, R., B. Pramudya., H.S. Alikodra dan S. Budiharsono.2008. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir Pantai Makassar Sulawesi Selatan Tujuan penelitian membangun model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimant Barat. Metode yang digunakan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Index Sustainable for Forestry Managament (Rap- Insusforma Tujuan penelitian adalah mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir Makasar. Metode yang digunakan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Coastal Area Makassar City (Rap- Coastalmak). Dimesi pengelolaan yang digunakan adalah ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknologi dan infrastuktur Status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat adalah kurang berkelanjutan. Simulasi model untuk mencapai kondisi ideal membutuhkan nilai indeks 22,90% Status keberlanjutan wilayah pesisir pantai adalah kurang berkelanjutan berdasarkan dimensi ekologi, sosial budaya, ekonomi, teknologi dan infrastuktur, serta hukum dengan nilai indeks 41,09% 4. Pattimahu, DV.2010. Kebijakan Pengelolaan Tujuan penelitian ini menyusun kebijakan Status keberlanjutan pengelolaan hutan

7 Lanjutan No. Peneliti/Judul/Tahun Tujuan/Metode Hasil Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku 5. Joko Suwarno.2011. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan status keberlanjutan. Metode yang digunakan analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Mangrove Forest (Rap-Mforest). Dimensi pengelolaan yang digunakan adalah ekologi, sosial dan ekonomi Tujuan penelitian melakukan analisis institusi lokal dan menyusun skenario pengembangan kebijakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu. Metode yang digunakan adalah analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rap-DAS Ciliwunghulu (Rapid Appraisal Sustainibility Index for DAS Ciliwung Hulu). Dimjensi pengelolaan yang digunakan adalah ekologi; ekonomii; sosial; kelembagaan; infrastuktur dan teknologi Mangrove di Kabupaten Seram Barat adalah kurang berkelanjutan dengan nilai indeks 36,08%. Kebijakan konservasi menjadi prioritas yang dapat dilakukan. Status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove adalah cukup berkelanjutan dengan nilai indeks 55,63%. Strategi kebijakan pengelolaan yang dapat ditempuh adalah skenario optimis sehingga nilai indeks meningkat menjadi 60,94% dengan status tetap cukup berkelanjutan Berdasarkan pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa penelitian mengenai strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan sampai saat ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Provinsi Lampung, khususnya di sekitar Desa Sidodadi. Penggunaan metode analisis MDS untuk menilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam secara spesifik pada tipe ekosistem hutan mangrove juga baru dilakukan oleh Pattimahu (2010) di Seram Barat. Dimensi pengelolaan yang digunakan dalam penelitian tersebut hanya mencakup tiga dimensi pengelolaan saja yaitu ekologi, ekonomi serta sosial dengan jumlah indikator keberlanjutan sebanyak 22 buah. Sebagai unsur kebaruan pada penelitian ini menambahkan satu

8 dimensi pengelolaan yaitu hukum dan kelembagaan dengan jumlah indikator sebanyak 33 buah yang telah disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian. Penggunaan jumlah indikator pada setiap jenis penelitian terdahulu selalu berbeda yang telah dimodifikasi sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam yang diteliti dan lokasi wilayah penelitian. Sementara itu, perbedaan dimensi pengelolaan dengan penelitian terdahulu lainnya adalah dengan tidak dipergunakannya dimensi teknologi atau infrastuktur dalam pengelolaan hutan mangrove. 1.6 Kerangka Pemikiran Pembangunan berkelanjutan menghendaki pemenuhan kebutuhan generasi saat ini maupun generasi mendatang secara adil. Implementasi dari pembangunan berkelanjutan pada pengelolaan hutan mangrove membutuhkan penanganan secara holistik dan terintegrasi antar dimensi. Berkaitan dengan hal tersebut untuk mengetahui kondisi keberlanjutan pengelolaan saat ini maka perlu dilakukan penilaian terhadap status keberlanjutannya. Di lain pihak, analisis kondisi setiap indikator pada masing-masing dimensi pengelolaan akan menghasilkan faktorfaktor kunci untuk kemudian dirumuskan menjadi strategi pengelolaan hutan mangrove agar lebih berkelanjutan. Secara lebih rinci konsep kerangka pemikiran penelitian ini seperti disajikan pada Gambar 1.

9 Penurunan luas hutan mangrove di Desa Sidodadi Alih fungsi hutan mangrove untuk tambak Kondisi eksisting saat ini Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Dimensi Hukum dan Kelembagaan Indikator-indikator sensitif Faktor-faktor kunci Status Keberlanjutan Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pemikiran

10