3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 04 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG OBYEKNYA DIKUASAI PIHAK KETIGA BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

PARATE EXECUTIE PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI PERLINDUNGAN ASET KREDITOR DAN DEBITOR

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang adalah di bidang ekonomi. Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

Imma Indra Dewi Windajani

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi sebagai salah satu bagian yang terpenting dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB III PENUTUP. ditentukan 3 (tiga) cara eksekusi secara terpisah yaitu parate executie,

BAB I PENDAHULUAN. satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan

HUTANG DEBITUR DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PENGOSONGAN OBJEK LELANG OLEH : H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH. HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB I PENDAHULUAN. badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk

Transkripsi:

KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan parate executie Hak Tanggungan dan bagaimana prosedur parate executie atas jaminan kredit bank. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Undang- Undang No. 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan merupakan pengganti dari ketentuan Hipotik yang diatur dalam KUH. Perdata, namun dalam beberapa hal, masih terdapat hubungan antara keduanya. Pengaturan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah antisipasi terhadap lembaga jaminan baru yang diamanatkan oleh UUPA. 2. Parate executie didasarkan pada perjanjian antara pihak debitur dengan pihak kreditur, seperti dalam perjanjian kredit bank yang dibebani Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya perjanjian, atau terjadi cidera janji atau wanprestasi, berakibat dapat dimohonkan parate executie kepada Kantor Lelang Negara setempat. Kata kunci: Kewenangan, menjual sendiri, jaminan kredit, hak tanggungan. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang selanjutnya disingkat Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), mengatur perihal Eksekusi Hak Tanggungan pada Bab V yang dalam Pasal 20 ayat (1), disebutkan bahwa: Apabila debitur cedera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Merry E. Kalalo. SH, MH; Liju Z. Viany, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 14071101289 b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. 3 Eksekusi Hak Tanggungan menurut Pasal 20 ayat (1) huruf a tersebut adalah parate executie, yang berarti: pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan. 4 Menurut Adrian Sutedi, 5 parate executie adalah pelaksanaan eksekusi tanpa melalui bantuan pengadilan. Apabila debitur cedera janji, kreditur berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak Tanggungan berkaitan dengan objek jaminan dalam kredit bank, oleh karena lembaga perbankan membutuhkan landasan hukum yang kuat agar dana yang disalurkannya dalam bentuk kredit itu dapat ditarik atau dikembalikan lagi oleh debitur sesuai jangka waktu yang diperjanjikan. Jaminan kredit pada hakikatnya adalah bentuk jaminan yang dapat memberikan kekuatan bagi pihak bank yang menyalurkan kredit, bahwasannya kredit itu jika debitur cedera janji atau wanprestasi, dapat dikembalikan lagi kepada pihak bank. Menurut Muhammad Djumhana, 6 dalam pemberian kredit terkait selalu perlunya suatu jaminan dalam arti keyakinan bahwa debitur akan sanggup untuk melunasi kreditnya. Di pihak bank untuk mendapatkan keyakinan dari seorang debitur bahwa krediturnya akan dapat melunasi pinjamannya, akan didapat apabila pihak bank telah meneliti dan menganalisis debitur tersebut. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang 3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 5 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 152 6 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 511 121

Perbankan, yang menjelaskan bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor yang penting yang harus diperhatikan oleh bank. 7 Dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit bank, jika dikemudian hari debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya membayar utang (pinjamannya) beserta bunganya kepada kreditur (pihak bank) misalnya debitur melakukan wanprestasi, hal seperti ini jika debitur tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, inilah yang disebut dengan wanprestasi. 8 Pada Perjanjian Kredit Bank, tercantum hakhak dan kewajiban-kewajiban antara kreditur maupun debitur yang salah satunya jika objek jaminan kredit berupa hak atas tanah, akan menggunakan ketentuan dalam Undang- Undang Hak Tanggungan yang menurut Pasal 6 disebutkan bahwa: Apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. 9 Ketentuan Pasal 6 tersebut diberikan penjelasannya bahwa Hak untuk menjual Objek Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Praktik pengumuman pelelangan Hak Tanggungan melalui surat kabar, menggunakan dasar hukumnya menurut Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan tersebut, sehingga eksekusi Hak Tanggungan tidak dilakukan melalui lembaga peradilan, melainkan dilakukan sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 6 tersebut menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 10 dijelaskan sebagai hak yang diberikan oleh undang-undang. Meskipun demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan atas hak atas tanah. Hubungan hukum antara kreditur dengan debitur dalam Perjanjian Kredit Bank berupa Perjanjian Kredit atau Akad Kredit menjadi dasar adanya hubungan hukum yang di dalamnya memuat sejumlah hak dan kewajiban baik bagi kreditur maupun bagi debitur, dan salah satunya berisikan ketentuan jika debitur lalai atau melakukan wanprestasi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, kewenangan melakukan penjualan objek Hak Tanggungan berada pada kreditur dengan melakukan penjualannya melalui pelelangan umum dan dipertegas lebih lanjut oleh ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, misalnya menurut Pasal 25 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), disebutkan bahwa Hak Milik dapat dijadikan 7 Lihat UU No. 10 Tahun 1998 jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Penjelasan Pasal 8 ayat (1). 8 I.Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal. 19 9 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 6 10 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Sari Hukum Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 248 122

jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 11 Sertifikat Hak Milik atas tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan proses pembebanannya diwujudkan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, dan menjadi dasar hukum dalam hubungan hukum pemberian kredit bank. Penerapan parate executie itu sendiri ternyata terdapat kerancuan dalam praktiknya, oleh karena terdapat pemikiran dan praktiknya melalui lembaga peradilan. Menurut Herowati Poesoko, 12 pelaksanaan parate executie yang terjadi dalam kurun waktu sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 sampai dengan berlakunya Undang- Undang No. 4 Tahun 1996 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan oleh Bank selaku kreditur karena adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, yang salah satu ratio decidendi Putusan MA dalam perkara ini, jika pelaksanaan pelelangan dilaksanakan sendiri oleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I (Bank Kreditor) dan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, maka menurut MARI lelang umum tersebut bertentangan dengan Pasal 224 HIR, sehingga pelelangannya adalah tidak sah. Penulis berpendapat, penerapan parate executie berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan hingga sekarang ini, sudah terlaksana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, dalam arti kata, tanpa melalui lembaga peradilan. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan materi penelitian dan pembahasan ini merupakan peraturan umum (das Sollen), sedangkan sejumlah masalah terkait dengan pelaksanaan parate executie merupakan peristiwa konkret (das 11 Lihat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 25 12 Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Objek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hal. 5 sein). Menurut Abintoro Prakoso, 13 disebutkannya sebagai proses kongkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan parate executie Hak Tanggungan? 2. Bagaimana prosedur parate executie atas jaminan kredit bank? C. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. 14 Untuk mendapatkan sumber data sekunder, digunakan beberapa bahan hukum yang meliputi: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier atau penunjang. 15 PEMBAHASAN A. Pengaturan Parate Executie Pada Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 (UUHT) mengatur beberapa ketentuan sebagai dasar hukum parate executie. Pertama, pada Pasal 6 dan Kedua, pada Pasal 14 ayat-ayatnya, serta Ketiga, pada Pasal 20 ayat-ayatnya. Menurut Pasal 6 UUHT, disebutkan bahwa Apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketentuan ini diberikan penjelasan bahwa, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janjian yang diberikan 13 Abintoro Prakoso, Penemuan Hukum. Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur Dalam Menemukan Hukum, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2016, hal. 54 14 Soerjono Soeaknto dan Sri Mamudji, Peneliktian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 24 15 Ibid, hal. 38 123

pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberian Hak Tanggungan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 UUHT tersebut, jelaslah telah ada janji-janji yang terjalin di antara pemberi Hak Tanggungan dengan penerima Hak Tanggungan yakni pihak debitur dan pihak kreditur yang tertuang dalam perjanjian mengenai hal-hal tertentu yang harus ditepati oleh para pihak. Janji-janji tersebut tertuang dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 (UUHT), dirumuskan bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada debitur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. 16 Salim HS menjelaskan, pada prinsipnya akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan notaris maupun PPAT harus dibuat secara sempurna dan tidak ada perubahan, baik penggantian, penambahan, pencoretan maupun penyisipan. 17 Sehubungan dengan janji-janji yang tertuang ke dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, disebutkan janjijanji, antara lain: 18 a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima yang sewa di muka kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk dan tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 16 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUPA) Pasal 1 Angka 5) 17 Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 3 18 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT), Pasal 11 ayat 2 c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan debitur sungguh-sungguh cedera janji; d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah atau menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan undang-undang; e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuatan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji; f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabutnya haknya untuk kepentingan umum; i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan; j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; k. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). Ketentuan Pasal 11 ayat (2) tersebut diberikan penjelasannya bahwa, janji-janji yang dicantumkan pada ayat ini sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap 124

sahnya akta. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dengan dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Huruf a dan b, Pemberi Hak Tanggungan masih diperbolehkan melakukan kewenangan yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada huruf-huruf ini sepanjang untuk itu telah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan. Huruf c, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Oleh karena itu, janji tersebut haruslah disertai persyaratan bahwa pelaksanannya masih memerlukan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum mengeluarkan penetapan tersebut Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan pendengar pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan Pemberi Hak Tanggungan serta debitur apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitur. Huruf d. Dalam janji ini termasuk pemberian kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk atas biaya pemberi Hak Tanggungan mengurus perpanjangan hak atas tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan untuk mencegah hapusnya hak atas tanah, dan melakukan pekerjaan lain yang diperlukan untuk menjaga agar objek Hak Tanggungan tidak berkurang nilainya yang akan mengakibatkan berkurangnya harga penjualan sehingga tidak cukup untuk melunasi utang yang dijamin. Huruf e. Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini. Huruf f. Janji ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan kedua dan seterusnya, dengan adanya janji ini, tanpa persetujuan pembersihan dari pemegang Hak Tanggungan kedua dan seterusnya tetap membebani objek Hak Tanggungan, walaupun objek itu sudah dieksekusi untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan pertama. Huruf g. Yang dimaksud pada huruf ini adalah melepaskan haknya secara sukarela. Huruf h. Yang dimaksud pada huruf ini, adalah pencabutan hak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Huruf j. Janji ini penting untuk dapat memperoleh harga yang tinggi dalam penjualan objek Hak Tanggungan. Huruf k. Tanpa dicantumkannya janji ini, sertifikat hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan diserahkan kepada pemberi Hak Tanggungan. B. Prosedur Parate Executie Atas Jaminan Kredit Bank Pembahasan tentang produser pelaksanaan Hak Tanggungan melibatkan para pihak yang perlu terlebih dahulu diuraikan dari kedudukan para pihak yang bersangkutan. UUHT menentukan para pihak yang dimaksudkan ialah pihak pemberi Hak Tanggungan, dan pihak pemegang Hak Tanggungan. Pihak sebagai pemberi Hak Tanggungan melakukan perbuatan hukum berupa suatu perjanjian dengan pihak pemegang Hak tanggungan Hubungan hukum inilah yang mendasari perbuatan hukum kedua belah pihak serta segala akibat hukum atau konsekuensi hukumnya. Pihak pemberi Hak tanggungan lazimnya disebut sebagai debitur atau orang yang berutang, sedangkan pihak pemegang Hak Tanggungan lazimnya dinamakan sebagai kreditur, yang menurut Pasal 8 ayat-ayatnya dari UUHT, disebutkan bahwa : (1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. (2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Tanggungan dilakukan. Ketentuan Pasal 8 ayat-ayatnya hanya diberikan penjelasannya pada ayat (2) yang menjelaskan, karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus 125

dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pada Penjelasan Umum Angka 7 UUHT, 19 dijelaskan bahwa proses pembebasan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu : a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin; b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Guna menghindari multitafsir terhadap eksekusi Hak Tanggungan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 20 memberikan rumusan dan pedoman sebagai berikut: 1) Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibedakan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 2) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian, lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT 19 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Penjelasan Umum 20 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, Jakarta, 2007, hal. 427-430 (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996. 3) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang- Undang No. 4 Tahun 1996. 4) Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak tanggungan tersebut, pemegang Hak Tanggungan eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 5) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang- Undang No. 4 Tahun 1996). 6) Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut hanta dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya (Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996). 7) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b. Tidak memuat kuasa substitusi; 126

c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan. 8) Hal yang berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 BW dan Pasal 11 ayat (2) c Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang Hak Tanggungan pertama, janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak Tanggungan pertama saja. Apabila pemegang Hak Tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, maka apabila ada Hak Tanggungan lain-lain dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak Tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka Hak Tanggungan yang tidak terbayar itu akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Adapun parate executie merupakan kewenangan untuk menjual sendiri Hak Tanggungan melalui pelelangan umum yang didasarkan atas cidera janji atau wanprestasinya debitur. Kekuasaan menjual sendiri tersebut didasarkan pada adanya janjijanji yang telah disepakati dan ditandatangani bersama. Dalam hal kredit bank yang macet, kekuasaan menjual sendiri Hak Tanggungan dilakukan atas permohonan bank selaku kreditur kepada Kepala Kantor Lelang setempat. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan merupakan pengganti dari ketentuan Hipotik yang diatur dalam KUH. Perdata, namun dalam beberapa hal, masih terdapat hubungan antara keduanya. Pengaturan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah antisipasi terhadap lembaga jaminan baru yang diamanatkan oleh UUPA. 2. Parate executie didasarkan pada perjanjian antara pihak debitur dengan pihak kreditur, seperti dalam perjanjian kredit bank yang dibebani Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya perjanjian, atau terjadi cidera janji atau wanprestasi, berakibat dapat dimohonkan parate executie kepada Kantor Lelang Negara setempat. B. Saran Lembaga jaminan Hak Tanggungan memegang peranan penting oleh karena nilainya (Objeknya) yang besar, sehingga dapat menggerakkan roda perekonomian dan keuangan masyarakat. Untuk itu perlu usaha pemahaman para pelaku usaha terhadap hak dan kewajibannya. Dibutuhkan komitmen dan kejujuran dalam pelaksanaan pelelangan objek Hak Tanggungan, sehingga kepentingan dan perlindungan debitur dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Buku Abdurrahman, dan Wahidin, Samsul, Beberapa Catatan Tentang Hukum Jaminan dan Hak-Hak Jaminan Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1985. Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. HS, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015. Meliala, Djaja S, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2016. Poesoko, Herowati, Dinamika Hukum PArate Executie Objek Hak Tanggungan, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013. 127

Sutedi, Adrian, Hukum Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013. Suyatno, Thomas, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991. Kamus Komaruddin, Kamus Perbankan, Rajawali Pers, Jakarta, 1984. Marwan, M, dan Jimmy. P, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009. Rudyat, Charlie, Kamus Hukum, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun. Sudarsono, Kamus Hukum, Asdi Mahasata, Jakarta, 2007. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 128