BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Skripsi ini meneliti tentang efektivitas proses mediasi penanganan kasus cyberbullying pada anak dan remaja oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan pengaduan korban. Fokus dari kajian ini adalah mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan KPAI dalam memediasi pengaduan cyberbullying dilihat dari proses penanganan dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses penanganan. Teknologi informasi telah merubah pandangan manusia. Perkembangannya memasuki kehidupan manusia dan mempengaruhi segala aspek. Teknologi informasi dalam bentuk alat seperti telepon, pada jaman dahulu hanya digunakan untuk menelepon, berkomunikasi dua arah melalui kabel yang mentransmisikan suara. Komputer juga sedianya hanya digunakan untuk mengetik di Microsoft Word atau untuk bermain Solitaire. Sekarang alat teknologi itu dikembangkan dengan canggih menjadi laptop, handphone, gadget dan smartphone dengan desain dan inovasi yang beragam. Alat-alat itu tidak hanya untuk menelepon atau mengetik tapi bisa digunakan untuk mengirim pesan singkat atau short message service (SMS), melakukan panggilan dua arah menggunakan video call sehingga yang terlibat percakapan dapat memandang satu sama lain dan berinternet. Internet ada untuk melakukan pencarian di dunia maya diantaranya untuk mencari tambahan pengetahuan, mendownload musik, mencari bahan tambahan pelajaran, mencari gambar, mendownload video dan bermain game online. 1
Kemudahan internet sebagai media untuk berkomunikasi telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia. Dulu memesan tiket perjalanan harus antri di loket penjualan tiket, kini hanya dengan sekali klik lewat laptop atau smartphone, tiket sudah terpesan. Berbelanja baju, sayuran atau barang-barang juga bisa melalui internet. Berkomunikasi, menelpon teman dan kerabat sambil mengirim gambar atau video tidak mustahil dilakukan selama ada internet. Internet menjadi media komunikasi yang canggih bagi siapa saja yang mengikuti alur perkembangan teknologi. Hal itu didukung dengan perkembangan media sosial seperti Line, Kakao Talk, Blackberry Messanger (BBM), What s App, Facebook, Twitter, Path, Ask.FM dan Instagram. Media sosial itu memudahkan orang-orang untuk berkomunikasi satu sama lain. Baik secara private, hanya dua orang yang terlibat, atau secara publik yang melibatkan banyak orang dengan membuat suatu chat-room group sebagai forum online. Penggunaan internet sebagai media interaksi sosial tidak hanya dilakukan para pekerja kantoran, pegawai atau orang-orang dewasa yang arus pemikirannya sejalan dengan perkembangan teknologi. Anak-anak dan remaja pun menggunakannya. Siswa sekolah menengah di Korea yang termasuk ke dalam kategori anak dan remaja menghabiskan waktu 23 jam/minggu untuk game online sedangkan di China sebanyak 10 juta penduduknya menggunakan 3 jam/hari untuk mengakses internet (Feng dan Chang, 2009). Sementara di Malaysia tahun 2010, social networking menduduki peringkat keempat sebagai salah satu kegiatan online yang populer. Pada tahun itu, 800 juta penduduk Malaysia adalah pengguna aktif Facebook, mengalahkan India, Singapura, 2
Amerika dan China (Nielsenwire, 2010, dalam Ke Guek Nee dan Wong Siew Fan, 2010). Dalam konteks dunia, pada 2012 pengguna internet telah mencapai 2,4 miliar orang di mana Asia menyumbang 49% penduduknya. China sebagai negara dengan penduduk terbanyak adalah pengguna internet terbesar yaitu sebanyak 538 juta penduduk, dimana jumlah tersebut menyumbang 50% dari total pengguna di Asia. Disusul kemudian India dengan 538 juta pengguna dan Jepang dengan 101 juta pengguna (Christine Suniti Bhat et.al, 2013). Amerika sebagai negara yang menggunakan teknologi paling canggih, persentase penggunaan teknologi oleh remaja mencapai 83%, dengan rincian 50,8% untuk mengakses pelajaran sekolah dan 50,1% untuk aktif di media sosial Facebook (Hinduja dan Patchin, 2010, dalam Donegan, 2012). Sedangkan Indonesia pada tahun 2012 menduduki peringkat keempat sebagai negara pengguna mobile phone terbanyak setelah China, India dan Jepang. Disamping itu pada tahun 2014, APJII dan Puskakom UI melakukan survey pengguna internet di 42 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hasilnya, berdasarkan usia pengguna, mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah usia 18-25 tahun yaitu sebesar 49% dari total pengguna. Total pengguna internet di Indonesia sampai tahun 2014 berjumlah 88,1 juta pengguna. Sedangkan pada tahun 2015 diperkirakan berjumlah 107 juta pengguna dan 2016 diperkirakan berjumlah hingga 139 juta pengguna. Anak dan remaja jaman sekarang telah dibekali orang tua mereka dengan smartphone yang canggih demi menunjang gengsi dan kemewahan. Bahkan anak dan remaja menjadi kategori umur yang paling banyak 3
menggunakan media tersebut dibandingkan dengan orang dewasa terutama untuk berinternet. Menurut UNICEF tahun 2012, sebanyak 80% anak dan remaja di Indonesia menggunakan internet untuk online setiap hari atau setidaknya seminggu sekali. Selain untuk mencari bahan tambahan pelajaran atau berbelanja online, kebanyakan mereka menggunakan internet untuk berkomuniasi dengan teman dan kenalan lewat media sosial yang ada. Kemudahan mengakses internet dan mendapatkan smartphone sebagai alatnya membuat anak dan remaja tidak menyadari bahwa internet bak pisau bermata dua. Sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi internet dapat memudahkan siapa saja untuk memperoleh informasi di dunia digital, memberikan manfaat yang besar bagi dunia pendidikan, perekonomian dan aspek kehidupan lainnya sehingga positif untuk mensejahterakan masyarakat, mewujudkan masyarakat yang cerdas dan maju. Hal ini perlu didukung agar anak dan remaja menggunakan internet untuk meningkatkan pengetahuan, memperluas kesempatan dan keberdayaan dalam meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun terkadang manusia kurang waspada terhadap ketajaman pisau yang bisa membuat luka dan infeksi yang susah disembuhkan. Beberapa dampak negatif dari penggunaan internet yang berlebihan, disebutkan bahwa internet telah membawa masalah serius dengan adanya informasi berlebihan atas suatu fenomena, kesenjangan informasi, masalah keamanan informasi dan kebocoran informasi pribadi. Hal itu berawal dari intensitas penggunaan internet yang tinggi sehingga menimbulkan behaviouroriented addiction yaitu ketergantungan secara mental dan fisik terhadap penggunaan internet (Kim dan Kim, 2002). 4
Penggunaan internet membuat siapa saja dengan mudah memberikan identitas diri dan mengungkapkan apa yang seharusnya tidak diungkapkan. Hal ini memberi kesempatan kepada orang-orang tidak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi orang-orang yang tidak berdosa, berbuat kejahatan dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain penindasan atau kekerasan verbal dan non verbal atau biasa disebut bullying. Konteksnya seperti memindahkan bullying dari halaman sekolah ke cyberspace. Dalam bahasa kekinian disebut cyberbullying. Bhat dalam Bhat, mengemukakan definisi cyberbullying yaitu as the use of information and communications technology to intimidate, harass, victimize or bully an individual or a group of individual (2013:36). Sedangkan Someer Hinduja dan Justin W. Patchin dalam Donegan dari Cyberbulling Research Center mendefinisikan cyberbullying, when someone repeatedly makes fun of another person online or repeatedly pick on another person through email or text message or when someone post something online about another person that they don t like (2010:35). Definisi lain datang dari Ted Feinberg dan Nicole Robey yang menyatakan bahwa, Cyberbullying involves sending or posting harmful or cruel text and/or images using the internet or other digital communication device, such as cellphone (2010:1). Definisi-definisi yang telah disebutkan memiliki kesamaan yaitu keterlibatan anak atau remaja, penggunaan kata-kata, video, atau gambar yang tidak pantas, dilakukan secara berulang-ulang, penggunaan internet sebagai media dan telepon atau laptop sebagai alat komunikasi digital. Jadi dapat disimpulkan bahwa cyberbullying adalah mengirimkan pesan, gambar atau video yang tidak pantas dan secara berulang-ulang secara online melalui 5
internet atau alat komunikasi digital seperti laptop atau handphone, yang menyebabkan penerima atau target tersebut merasa malu, tertekan, stres dan depresi. Yana Choria Utami (2013), memberikan gambaran bahwa cyberbullying muncul sebagai akibat penggunaan media sosial yang menyimpang pada remaja. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi membuat mereka memiliki lingkungan baru yaitu lingkungan di dunia maya. Hal ini didukung dengan kemampuan mereka untuk membeli alat teknologi tersebut sehingga banyak anak dan remaja yang menggunakannya untuk membuat jejaring sosial. Jejaring sosial inilah yang kemudian memunculkan dampak penyimpangan penggunaan media sosial, yaitu cyberbullying. Bentuk cyberbullying dikategorikan menjadi dua yaitu cyberbullying direct attack dan cyberbullying by proxy. Direct attack yaitu berbentuk pesan langsung berupa hinaan, ejekan atau ancaman. Sedangkan by proxy berbentuk pengambil alihan akun orang lain. Tindakan cyberbullying disamakan dengan tindakan bullying tradisional secara fisik, hanya berbeda tempat dilakukannya tindakan. Bullying tradisional biasanya dilakukan di sekolah atau di jalanan sedangkan cyberbullying dilakukan menggunakan perantara seperti handphone atau laptop melalui situs jejaring sosial. Penelitian ini menyebutkan bentuk cyberbullying yang diterima siswa tidak hanya berupa olok-olokan di media sosial namun juga pembajakan akun. Dampak dari tindakan tersebut siswa mengalami stres, merasa minder dan tertekan karena tindakan tersebut lebih menyerang mental mereka. Terkoneksinya anak dan remaja dengan internet selama 24/7 membuat mereka rentan untuk menjadi pelaku atau korban cyberbullying. Apalagi 6
identitas yang bisa dipalsukan atau disembunyikan dibalik komputer memudahkan pelaku cyberbullying dalam bertindak. Anonimitas ini memudahkan pelaku cyberbullying untuk menyerang korban tanpa melihat respon fisik korban. Hal ini membuat orang tidak menyadari penyalahgunaan internet. Korban pun berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena terkadang tidak mengetahui siapa pelakunya. Hal tersebut mengakibatkan banyak korban yang menanggung beban sendiri karena tidak melaporkan kasusnya. Orang tua sebagai orang terdekat si anak dan remaja seringkali bertindak lambat dalam menanggapi kasus cyberbullying. Hal ini membuat para pelaku cyberbullying seringkali tidak menyadari konsekuensi yang ditimbulkan atas apa yang telah ia lakukan. Kidshealth.org mengemukakan delapan tanda-tanda anak menjadi korban cyberbullying, yaitu: 1 1. mengalami gangguan emosional selama dan setelah menggunakan internet, 2. menarik diri dari teman dan keluarga, 3. menghindari kegiatan bersama dengan teman sekolah, 4. banyak tidur dan mudah meluapkan kemarahan saat berada di rumah, 5. mengalami perubahan mood, pola perilaku, pola tidur dan pola makan, 6. cenderung menghindari penggunaan komputer dan ponsel, 7. tampak gelisah dan resah saat menerima pesan instan atau e-mail, dan 8. menghindari pembicaraan tentang komputer atau ponsel. 1 Lihat www.kidshealth.org diakses tanggal 1 April 2015 7
Selanjutnya ada beberapa macam tipe cyberbullying. Willard dalam Feinberg dan Robey (2010:1) mengemukakan tujuh tipe cyberbullying sebagai berikut: 1. Flamming: pertikaian secara online menggunakan pesan elektronik dengan amarah dan bahasa yang vulgar. 2. Harassment and stalking: mengirimkan pesan-pesan kejam, buruk dan mengancam secara berulang. 3. Cyber stalking: secara agresif melakukan tekanan melalui kegiatan online sehingga korban merasakan ketidakamanan dan selalu merasa diawasi. 4. Denigration: mengirimkan atau memposting rumor tentang seseorang untuk menghancurkan reputasi atau pertemanan. 5. Impersonation: masuk ke akun email orang lain tanpa ijin dan menggunakannya untuk mengirimkan hal-hal buruk dan memalukan ke orang lain. 6. Outing and trickery: berhubungan dengan seseorang melalui pesan singkat, kemudian mengakali agar orang tersebut membuka rahasia pribadi atau hal sensitif tentang dirinya dan menyebarkan informasi tersebut ke orang lain. 7. Exclusion: secara intensif mengabaikan atau tidak melibatkan seseorang dari grup online, padahal orang tersebut merupakan anggota grup. Cyberbullying telah menjadi tren dengan anak dan remaja sebagai korban terbanyak. Fight Crime: Invest In Kids; 2006 dalam Feinberg dan Robey (2010:1) menyatakan 13 juta anak dan remaja berusia 6 sampai 17 tahun adalah korban cyberbullying. Dalam konteks Asia, China merupakan negara dengan laporan kasus cyberbullying tertinggi disusul Singapura dan India. Di 8
Indonesia, korban dari cyberbullying belum banyak melapor kepada pihak berwajib maka belum ada data statistik yang pasti mengenai banyaknya korban cyberbullying (Cristine Suniti Bhat, 2013). Bullying di media sosial seperti Twitter dan Facebook telah dijadikan isu yang serius di Indonesia. Bullying telah disebut sebagai salah satu tipe pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan penggunaan kata-kata kasar yang dikirim secara berulang kepada korban sehingga korban merasa stres dan tertekan. Peningkatan jumlah pengguna media sosial juga memicu potensi terjadinya cyberbullying karena para pengguna media sosial diberikan kemudahan untuk membangun jaringannya sendiri. Kebebasan berekspresi di media sosial ini kemudian disalahgunakan oleh orang-orang untuk mengintimidasi seseorang dengan mengirimkan kata-kata, gambar dan video yang tidak pantas. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar pengguna media telekomunikasi sangat rentan untuk meningkatkan indikasi adanya cyberbullying. Hal tersebut didukung dengan data oleh IPSOS yang telah melakukan survey online pada tahun 2012 dengan 18.687 responden di 24 negara termasuk Indonesia. Dalam survey tersebut dikatakan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia tentang cyberbullying cukup tinggi yaitu 91%. Dari jumlah tersebut sebanyak 53% responden mengetahui bahwa telah terjadi cyberbullying di lingkungan sekitarnya dan sebanyak 60% responden mengatakan bahwa cyberbullying paling banyak terjadi di media sosial Facebook. Pada penelitian oleh IPSOS yang lain dengan 200.000 responden di 40 negara mengatakan bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara responden, memiliki prosentase tinggi terhadap cyberbullying. Indonesia menduduki 9
peringkat ke tiga setelah Jepang dan Korea Selatan dimana fakta tersebut mengindikasikan bahwa cyberbullying membutuhkan perhatian yang mendesak. Selain itu Kementrian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan UNICEF 2 melakukan survey pada tahun 2011 hingga 2013 yang melibatkan 400 anak dan remaja di 11 provinsi di Indonesia dengan rentang usia 10 hingga 19 tahun. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa sebanyak 13% responden mengaku menjadi korban cyberbullying dengan bentuk hinaan dan ancaman. Cyberbullying menjadi isu publik karena peningkatan jumlah anak dan remaja yang menggunakan dan interaksi dengan internet. Anak dan remaja telah terkoneksi selama 24/7 yang artinya mereka rentan untuk menjadi korban atau pelaku cyberbullying dalam kurun waktu tersebut. Anak dan remaja menjadi korban atas ketidakwaspadaan mereka dalam mencari informasi dan menggunakan teknologi informasi tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya terutama dari pemerintah. Dalam konteks internasional sudah ada beberapa negara yang membuat kebijakan terkait penanganan cyberbullying seperti United States of America (USA), Korea Selatan dan Taiwan. Di USA sudah ada legislasi antibullying. Legislasi ini dibentuk karena adanya peningkatan kasus bunuh diri akibat bullying. Kebijakan serupa telah dilaksanakan di 41 negara bagian termasuk Puerto Rico dan Washington DC. Legislasi tersebut menyebutkan cyberbullying adalah termasuk salah satu tipe bullying dan telah disebutkan 2 Riset Kominfo dan UNICEF Mengenai Perilaku Anak dan Remaja Dalam Menggunakan Internet SIARAN PERS NO. 17/PIH/KOMINFO/2/2014 diakses dari kominfo.go.id tanggal 14 September 2016 10
definisi perilaku bullying serta rencana tindakan untuk menanganinya. Lain lagi di Korea Selatan, negara ini mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan nama sebenarnya ketika berkomunikasi lewat chat room menyusul adanya kasus dua selebriti yang melakukan bunuh diri setelah diintimidasi secara online. Namun implementasi kebijakan ini tidak terlalu sukses karena masih banyak yang tidak menggunakan nama sebenarnya ketika berkomunikasi lewat chat room. Sementara di Singapura legilsali anti-bullying ini masih diperdebatkan. Para pembuat kebijakan di negara tersebut memutuskan bahwa pendidikan dan usaha pencegahan akan lebih membantu dalam penanganan kasus ini. Di Taiwan, kebijakan anti-cyberbullying dimasukkan kedalam Regulations of The Prevention of School Bullying. Pada intinya dasar untuk mencegah cyberbullying secara efektif adalah dengan mendefinisikan secara jelas tindakan dan perilaku yang sejalan dengan konsekuensi dan peningkatan media literasi dan sosial media literasi. Media literasi adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan media dalam variasi bentuk dengan tujuan tertentu yaitu sebagai informasi, hiburan, pengembangan atau komunikasi. Sedangkan sosial media literasi yaitu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, bertanggung jawab dan mengevaluasi percakapan secara kritis dalam ranah sosial berdasarkan teknologi. Belum ada landasan hukum yang secara spesifik mengatur tentang cyberbullying di Indonesia, namun menurut Humas Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) kasus ini masih terakomodasi secara umum di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lebih lanjut dikatakan bahwa domain dari masalah ini adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta KPAI. 11
Terkait dengan hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa setiap anak berhak menerima perlindungan dari segala tindak kekerasan, salah satunya kekerasan psikis. Dalam undang-undang tersebut dibentuk pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang diberi mandat untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI sebagai lembaga independen yang membangun sistem dan jejaring pengawasan anak memiliki peran penting dalam melindungi anak dan remaja dari potensi resiko yang mengancam kehidupan mereka. Komisi ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa dan dari mana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu demi kepentingan terbaik bagi anak. Dengan artian lain bahwa kedudukan KPAI harus bebas dari intervensi oleh siapapun dan dari manapun. Banyaknya kasus bullying yang terjadi di Indonesia memunculkan tuntutan-tuntutan dari masyarakat agar masalah tersebut dapat dicegah dan diatasi. Tuntutan tersebut banyak ditujukan kepada lembaga KPAI. Hal ini juga didukung oleh Kementrian Pendidikan yang menyatakan apabila masyarakat melihat atau mengalami cyberbullying bisa melaporkan kasus tersebut kepada KPAI. KPAI bertugas di tataran kebijakan dan sistem serta mengawal implementasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan perlindungan anak. Kehadiran komisi ini sangat strategis karena bisa mempercepat upaya-upaya perlindungan anak yang menyeluruh dan kompleks. Keterlibatan KPAI dalam penanganan kasus bertujuan untuk lebih mengetahui akar permasalahan guna dicarikan solusi pemecahannya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana efektivitas lembaga Komisi Perlindungan 12
Anak Indonesia dalam menyelenggarakan perlindungan anak khususnya dalam melakukan mediasi untuk menangani pengaduan kasus cyberbullying pada anak dan remaja di Indonesia. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti akan meneliti tentang: Bagaimana efektivitas lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam melakukan mediasi untuk menangani kasus cyberbullying pada anak dan remaja di Indonesia? I.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui efektivitas KPAI dalam menangani anak dan remaja korban cyberbullying di Indonesia dilihat dari keberhasilan atau kegagalan proses mediasi cyberbullying yang ditangani serta dari faktor internal maupun faktor eksternal KPAI yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan tersebut. I.4 Manfaat Penelitian 1. Untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia: setelah mengetahui hal-hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan dan kegagalan dalam penanganan kasus cyberbullying diharapkan agar KPAI dapat memperbaiki faktor penghambat dan mengambil langkah yang lebih baik demi mewujudkan tujuan-tujuan yang belum tercapai dan mengoptimalkan faktor keberhasilan agar urgensi responsifitas dan kepekaan terhadap kasus perlindungan anak yang menyangkut perkembangan teknologi dan 13