BAB VI PENUTUP Setelah dijelaskan pemaparan sejarah perubahan kota, akar konflik dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari perubahan ruang kini sampai pada bab V yang berisikan saran dan kritik. Bab ini merangkum pembahasan sebelumnya dan berusaha mengetengahkan kritik kepada pemerintah yang memiliki wewenang agar tidak mengorbankan biaya kemanusiaan dalam kebijakan pembangunan di Sleman. A. Kesimpulan Dari bab-bab sebelumnya sudah dibahas bagaimana sejarah menguraikan tata kelola wilayah yang menyisakan persoalan. Yogyakarta sebagai daerah yang dinamis tak bisa menutup pintu untuk para pendatang. Selama perkembangan itu banyak putra daerah lain yang datang ke Yogyakarta. Yogyakarta tercatat sebagai kota di Jawa yang menampung banyak pendatang, selain Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Dari era Belanda hingga sejarah kontemporer tata kelola wilayah menjadi persoalan serius yang belum mendapat penanganan secara maksimal. Pada masa Belanda pembangunan gedung-gedung besar dengan kelengkapan fasilitas tidak membawa dampak langsung seperti terjadinya konflik terbuka. Akan tetapi karena kondisi sosial pada saat itu masih sangat timpang kecemburuan-kecemburuan sosial sangat lumrah terjadi. Banyak bangunan Belanda yang dibuat untuk memfasilitasi keluarga mereka selama di Yogyakarta. Semakin banyak orang Belanda di Yogyakarta maka semakin banyak bangunan dibuat untuk menampung mereka.
Persebaran hunian masyarakat tidak tunggal. Karena hirarki sosial masih sangat tinggi maka hunian cenderung mengelompok. Orang-orang Belanda menepatkan diri pada strata atas jauh lebih mewah. Mereka hidup dengan jaminan kesejahteraan. Kebutuhan pendidikan dan ekonomi mereka sangat terjamin. Lalu diikuti oleh kelompok China yang didatangkan Belanda sebagai pegawai. Mereka menciptakan surga nya sendiri dan hidup berkoloni secara etnis. Meskipun ada sejumlah orang China yang berhasil membaur dengan masyarakat pribumi tetapi jumlahnya tidak banyak. Mereka menguasai bidang ekonomi karena itu memiliki kekuasaan. Selain itu, mereka menganggap pribumi sebagai golongan bawah. Orang-orang pribumi yang berasal bukan dari Yogyakarta lambat laun mulai menapaki jejak di Yogyakarta. Mereka didatangkan oleh Belanda seperti orang-orang China. Artinya, kehadiran mereka untuk mengurus dapur Belanda. Mereka juga diberikan fasilitas kehidupan yang mewah. Secara spasial gejala segregasi sosial itu tampak mengemuka dalam pembagian zonazona pemukiman di kota-kota kolonial di Indonesia. Pemukiman untuk orang-orang Eropa dipisahkan secara spasial dari orang pribumi dan orang Asing Timur. Pemisahan pemukiman ini merupakan karakteristik menonjol dari kota kolonial. Pertambahan penduduk beriringan dengan pesatnya pembangunan pemukiman untuk mereka. Nahasnya, pemerintah kolonial Belanda tidak mengantisipasi kenaikan penduduk di Yogyakarta. Kebijakan mendatangkan orang lain ke Yogyakarta hanya didasarkan pada kebutuhan untuk menjaga sendi-sendi ekonomi. Pemerintah Belanda tidak berinisiatif untuk memikirkan keseimbangan kota dengan pertumbuhan penduduk yang kian cepat.
Pasca kemerdekaan kondisinya tidak jauh berbeda. Sejak jaman kolonial sampai awal kemerdekaan baik pemerintah kolonial belanda maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut, baik yang bersifat preventif dengan cara membatasi jumlah kelahiran dan mengurangi arus migrasi maupun dengan cara menaikkan daya dukung kota (Purnawan Basundoro, 2012: 125-126). Persoalan yang diwarisi kolonial Belanda tidak segera diperbaiki. Alih-alih diperbaiki, persoalan itu justeru dibiarkan menjadi bom waktu. Indonesia, khususnya Yogyakarta, memasuki fase baru yaitu fase kepengaturan di mana aspek keruangan diatur. Akan tetapi istilah kepengaturan di sini tidak dalam arti positif melainkan suatu gambaran kian centang perenangnya wajah sebuah ruang. Paradoks pengelolaan wilayah itu adalah bahwa pemukiman warga dikelola oleh pemerintah yang nahasnya tidak memiliki kompas panduan yang tepat. Isu pemukiman yang pada saat itu mengemuka tidak dibarengi dengan resiko lingkungan. Akibat begitu besarnya hasrat pemerintah untuk membangun pemukiman warga yang tanpa dibarengi dengan antisipasi krisis lingkungan muncul beragam masalah seperti krisis kelangkaan tanah yang pada batas tertentu melambungkan harga tanah itu sendiri. Masyarakat yang berpendapatan rendah sulit untuk menjangkau harga-harga tanah. Lambat laun mereka yang menginginkan tempat tinggal mencari tanah murah untuk dibangun rumah. Keputusan terburuk yang mereka ambil adalah merebut tanah seperti yang terjadi di Blimbingsari. Rumah-rumah yang berdiri adalah hasil dari okupasi tanah pemakaman oleh para penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal.
Pada proses selanjutnya tanah benar-benar menjadi barang mahal dan langka. Para penduduk baik pribumi maupun pendatang dirundung kecemasan dengan masalah pemukiman ini. Efek kenaikan harga tanah hanya bisa diikuti oleh sejumlah kelompok elit yang kaya. Mereka mampu membeli harga rumah yang ditetapkan oleh pengembang. Semua ini dilakukan untuk menunjang kehidupan di Yogyakarta. Tagline Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan membawa dampak tersendiri bagi persoalan pemukiman. Tempat tinggal sementara seperti hotel atau home stay banyak didirikan untuk menunjang turis yang singgah ke Yogyakarta. Para pelajar yang mengenyam bangku pendidikan difasilitasi tempat tinggal berupa kost. Tak hanya di situ, baik rumah toko (baca:ruko) maupun pusat perbelanjaan dengan kemewahan gedungnya bak jamur di musim hujan. Mereka berlomba-lomba meraup keuntungan di tempat yang menjanjikan itu. Dalam konteks inilah Apartemen Uttara didirikan. Meski tidak di tengah-tengah kota titik pembangunan ini ada di tempat yang menjanjikan secara ekonomis. Jalan Kaliurang adalah rute penting yang syarat dengan aktivitas ekonomi. Mobilitas di daerah ini sangat tinggi sehingga baik pagi, siang maupun malam masih ramai. Daya tarik inilah yang menyebabkan Apartemen Uttara the Icon tak mengambil jarak dari keramaian Jalan Kaliurang. Apartemen Uttara ingin mengambil akses yang dekat dari Universitas seperti Universitas Gadjah Mada maupun Universitas Negeri Yogyakarta serta pusat perbelanjaan dan Malioboro melalui Jalan Kaliurang. Tapi, rencana ini menghadapi tantangan serius. Tantangan itu datang dari warga di sekeliling Apartemen yang menolak pembangunan hunian besar itu. Dari temuan di lapangan akar persoalan antara warga dan Apartemen terletak pada pendekatan pihak Apartemen. Pasca sosialisasi pertama warga mulai menyuarakan penolakan karena diketahui bahwa Apartemen
melakukan pembohongan. Mereka merencanakan pembangunan kost-kostan eksklusif bukan Apartemen. Menurut Kepala Padukuhan kesalahan ini sudah coba diperbaiki oleh Apartemen. Tapi warga tidak menerima dan tetap menolak. Konflik ini terus bereskalasi hingga sulit untuk melacak akar konflik itu sendiri. Lantas, apa sesungguhnya akar konflik itu? Dari penelitian ini konflik berasal dari pemberi regulasi yakni pemerintah. Jika ingin diperjelas lagi pemerintah yang dimaksudkan adalah bupati Sleman. Bupati mengizinkan pembangunan PT. Bukit Alam Permata untuk membangun Apartemen Uttara the Icon. Warga RT 01/RW 01 sendiri memahami bahwa akar konflik ini disebabkan ketaksaan regulasi. Jika Bupati tidak memberikan izin makam pembangunan tidak akan ada. Dengan demikian konflik sosial pun tidak akan terjadi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan secara detail kepengaturan tata ruang wilayah. Misalnya bagaimana tugas Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam hal menjaga wilayah mereka sebagaimana mestinya. Nilai strategis suatu kawasan perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah daerah guna menjaga keberlangsungannya. Walau demikian Undang-Undang ini hanya sebatas peraturan belaka yang dalam faktanya banyak ditinggalkan oleh pemerintah daerah sendiri. Pemerintah setingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak memiliki pijakan untuk menata wilayah. Tidak kuatnya peran Undang-Undang ini pada tataran implementasi bisa dibaca sebagai pengabaian pemerintah daerah kepada pusat. Ini bisa dimengerti karena dalam konteks desentralisasi Undang-Undang banyak mengalami distorsi di tingkat yang paling rendah. Di tingkat daerah sendiri bukannya tidak memiliki pijakan sebagaimana pemerintah pusat menelurkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Mereka memiliki Rencana Detail Tata Ruang pembangunan. Di sini pemerintah Kabupaten sendiri masih melakukan banyak
penyimpangan. Pembangunan apartemen melanggar fungsi wilayah Jalan Kaliurang yang notabene sebagai kawasan perdagangan dan jasa deret. Jenjang perizinan yang tertera dalam aturan pemerintah Kabupaten sendiri tidak dapat dipatuhi secara tertib. Efek yang timbul dari tindakan pemerintah Kabupaten ini tidak sedikit. Konflik masyarakat dengan pemodal, perpecahan di tubuh birokrasi, konflik sosial, segregasi sosial, kerusakan lingkungan, kepercayaan publik pada pemerintah dan sejumlah akibat lainnya membayangi perkembangan Sleman. Di level bawah sendiri konflik warga dengan PT. Bukit Alam Permata kian memanas. Tarik ulur dan benturan persepsi serta opini antara warga dengan PT. Bukit Alam Permata mendorong konflik ke arah perang terbuka. Warga membangun persepsi bahwa pembangunan Apartemen adalah langkah-langkah destruktif pemodal untuk merusak lingkungan. Jika Apartemen Uttara berdiri maka krisis air akan dialami warga. Kemacetan lalu lintas juga tak terhindarkan. Dari sisi sosial hubungan antar warga mengalami keretakan. Perbedaan pendapat di masyarakat membuat interaksi dan keintiman warga mulai terpecah. Selain itu, tidak ada peraturan daerah yang mengatur Apartemen. Dengan demikian pembangunan Apartemen bertolakbelakang dari hukum. Sementara itu, pihak Apartemen menilai pembangunan itu sudah selaras dengan aturan. Hal ini didukung pula dengan keterangan Kepala Padukuhan yang mengatakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah dikantongi Apartemen. Departemen Lingkungan juga sudah memberikan lampu hijau pada Apartemen. Apartemen juga akan menyediakan PDAM bagi warga yang dilanda kekeringan sebagai upaya tanggung jawab sosial. Di luar itu semua, pembangunan
Apartemen Uttara the Icon disebut sebagai upaya pelestarian seni lukis Edhi Sunarso yang semula memiliki tanah Apartemen itu. Kebuntuan-kebuntuan itu menyebabkan eskalasi konflik ini kian meluas. Peta kekuatan segera digalang oleh masing-masing pihak. Sekarang tidak hanya pihak warga dan Apartemen. Lingkaran konflik meliputi birokrasi, LSM, advokat, komunitas, bahkan preman yang disewa. Penggalangan dukungan dibarengi dengan berbagai strategi yang efektif oleh mereka. Bisa dilihat bagaimana kedua pihak mengambil strategi untuk memenangman konflik. Juga perubahan-perubahan strategi yang dilakukan warga atas pertimbangan untuk menyesuaikan situasi dan kondisi. Warga membangun wadah untuk mengorganisir perlawanan. Dibentuklah Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU). Anggota PWKTAU ini adalah warga RT 01/RW 01 dan beberapa warga RT lainnya. Berbagai kegiatan dan rapat dalam rangka penolakan apartemen dilakukan melalui paguyuban ini. Melalui paguyuban ini pula warga menjalin pertalian dengan berbagai aktivis dan para advokat. Sementara itu ada Paguyuban Warga Karangwuni Peduli Perubahan (PWKPP) yang mendukung pembangunan. Tidak jelas siapa yang menjadi anggota paguyuban ini. Menurut beberapa keterangan paguyuban ini sengaja dibentuk oleh pihak apartemen untuk mematahkan perlawanan PWKTAU. Dan anggota mereka berasal dari daerah lain yang dimobilisasi oleh apartemen. Selain PWKPP ada pula Forum Masyarakat Madani (FMM) yang juga mendukung apartemen. B. Kritik dan Saran
Konflik yang terjadi secara terbuka ini memang membutuhkan penanganan serius. Kedua pihak yang tengah berkonflik ini akan terus digenangi prasangka yang menyebabkan konflik ini kian menajam. Munculnya persepsi warga tentang Apartemen maupun sebaliknya akan terus membumbui jalannya cerita sepanjang konflik ini. Sikap Bupati yang memberikan restu pada PT. Bukit Alam Permata menjadi petaka tidak saja bagi warga. Di lembaga eksekutif sendiri antara Bupati dengan wakilnya terjadi ketidakharmonisan. Lembaga legislatif juga mengecam tindakan Bupati yang tidak memihak pada rakyat. Artinya kondisi keruh tidak saja terjadi di bawah akar rumput melainkan pula ada keretakan pada birokrasi. Pada batas-batas tertentu kondisi ini jelas akan mengurangi kepercayaan warga pada pemerintah yang dinilai tidak melindungi mereka. Inilah wujud konflik yang diakibatkan tata kelola wilayah yang kurang baik. Persoalan pembangunan yang kian marak di Yogyakarta membawa dampak serius pada kelangsungan hidup masyarakat. Birokrasi daerah yang memiliki wewenang penuh seharusnya memberikan jalan tengah untuk menyelesaikan konflik yang berlarut-larut ini. Jalur dialog adalah jalan ideal yang masih bisa ditempuh. Selama ini pemerintah tidak menggelar dialog secara langsung. Bahkan hingga hari ini warga tidak pernah bertemu dengan bupati untuk membicarakan secara serius masalah ini. Bahkan mereka membiarkan konflik ini menapaki jalur litigasi yang tentu saja merugikan warga. Persoalan yang terjadi di Sleman sesungguhnya tidak bisa dianggap sebagai hal wajar atas perkembangan yang terjadi di Yogyakarta. Di balik kewajaran ini ada sejumlah ancaman besar yang jika tidak ditangani secara serius maka akan merusak kelangsungan hidup masyarakat banyak. Masyarakat, tidak saja warga Karangwuni RT 01/RW 01, perlu menggalang dukungan
untuk menghentikan proyek apartemen yang akan membendung aliran air ke dua Kabupaten/Kota yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jika kerja sama pemerintah antar Kabupaten sendiri tidak terjalin maka masyarakatlah yang harus mengambil inisiatif bersama untuk menjaga kelangsungan hidup tiga Kabupaten/Kota itu sendiri. Dengan sendirinya kasus ini akan terangkat ke taraf yang lebih luas dan bukan lagi isu berlingkup kecil. Di era desentralisasi tentu saja tantangan terbesarnya adalah aturan itu sendiri yang tidak ditaati oleh pemerintah daerah. Akan tetapi pemerintah pusat memiliki wewenang besar untuk mengambil alih persoalan apabila pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. Sangsi untuk pemimpin daerah juga dapat diberikan untuk Bupati Sleman dan Gubernur yang bertanggungjawab atas pembangunan dan mendiamkan persoalan. Pemerintah pusat sebenarnya adalah pihak yang memiliki wewenang penuh untuk melerai persoalan ini. Tentu saja ini semua bergantung pada pemerintah pusat sebagai entitas yang lebih besar di atas pemerintah daerah untuk turun tangan membenahi itu semua.