BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah World Health Organization (WHO) (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia tertentu tersebut biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun (WHO, 2009). Menurut National Institute Of Mental Health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (WHO, 2009). Kejadian tersebut akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai negara. Gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan mental di Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah tentang kebijakan kesehatan nasional meskipun masih belum menjadi program prioritas utama kebijakan kesehatan nasional. Namun dari riset nasional menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia masih banyak. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (Depkes, 2013) di Indonesia, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur 15 tahun berdasarkan (Self Reporting [1]
Questionnaire) Indonesia 2013 adalah 6,0% mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007 adalah 11,6%. Prevalensi gangguan jiwa berat adalah 1,7 permil atau sebanyak 1.728 orang di Indonesia. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur 15 tahun berdasarkan Self Reporting Questionnaire menurut provinsi Maluku adalah 4,9%. Gangguan jiwa dapat berdampak pada hubungan sosial manusia itu sendiri dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan ini disebut interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan dinamis yang menyangkut hubungan antar individu-individu, individu-kelompok, dan kelompok dalam bentuk kerjasama. Interaksi sosial tidak dapat berjalan tanpa adanya komunikasi didalamnya (Mubarak, 2009). Komunikasi adalah penyampaian informasi verbal dan non verbal untuk mencapai kesamaan pengertian dari pengirim informasi kepada penerima, sehingga menimbulkan tingkah laku yang diinginkan oleh pengirim dan penerima informasi. Komunikasi merupakan sarana yang digunakan oleh seseorang untuk mengadakan hubungan dengan orang lain untuk mencapai tujuan (Suliswati, 2005). Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara perawat dan pasien untuk mengetahui kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu komunikasi terapeutik memegang [2]
peranan penting. Komunikasi terapeutik terjadi diantara perawat dengan pasiennya yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dialami oleh pasien, dengan maksud perawat dapat mengubah perilaku pasien menuju kesembuhan (Mundakir, 2006). Menurut Sundeen (1990) menyatakan bahwa hubungan terapeutik adalah hubungan kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto 1994). Dalam berkomunikasi dengan pasien, perawat harus memahami teknik komunikasi terapeutik seoptimal mungkin untuk mengubah perilaku pasien ke arah yang positif. Penerapan komunikasi terapeutik dengan efektif, perawat harus mempunyai keterampilan yang memadai. Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki oleh perawat, karena komunikasi merupakan proses yang dinamis yang digunakan untuk mengumpulkan data pengkajian, memberikan pendidikan atau mempengaruhi pasien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring, memberikan rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai pasien. Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus yaitu interaksi interpersonal antara perawat dan pasien dengan berfokus pada kebutuhan khusus pasien untuk meningkatkan [3]
pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan pasien. Berkomunikasi dalam menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP 1-2) pada pasien harga diri rendah memiliki kesulitan tertentu karena dalam SP 1-2 perawat jiwa harus mampu mengidentifikasi kemampuan positif yang dimiliki pasien, menilai kemampuannya, memilih kemampuan yang akan dilatih, melatih kemampuan tersebut dan lainnya. Strategi Pelaksanaan (SP 1-2) merupakan strategi yang digunakan untuk pasien harga diri rendah dan mempunyai pengaruh terhadap kesembuhan pasien harga diri rendah. Khaeriyah (2013), melakukan penelitian tentang Pengaruh Komunikasi Terapeutik (SP 1-4) Terhadap Kemauan Dan Kemampuan Personal Hygiene Pada Klien Defisit Perawatan Diri Di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang dengan jenis penelitian quasi eksperiment dengan rancangan one-group pre test and post test design dengan sampel sebanyak 50 responden menunjukkan bahwa ada pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kemauan personal hygiene (makan dan mandi) dengan masing-masing p value 0,000 dan kemampuan personal hygiene (makan, mandi, dan eliminasi) dengan masing-masing p value 0,000. Dari penelitian tersebut adanya pengaruh penerapan komunikasi terapeutik (SP 1-4) terhadap pasien defisit perawatan diri. Namun berbeda dengan pasien harga diri rendah karena menurut Keliat (1999) gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga [4]
diri, merasa gagal mencapai keinginan. Pasien gangguan harga diri rendah merupakan pasien gangguan konsep diri. Dalam hal ini kenapa peneliti mengambil kasus harga diri rendah dikarenakan masalahmasalah kejiwaan bisa muncul lebih serius dimulai dari harga diri rendah. Harga diri rendah juga dapat memberi gambaran bagaimana seseorang mengalami gangguan konsep diri yaitu harga diri rendah dan dampaknya yang komplek seperti isolasi sosial: menarik diri, gangguan persepsi sensori: halusinasi, dan perilaku kekerasan. Dari hasil wawancara dengan perawat di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku bahwa perawat belum maksimal dalam melaksanakan komunikasi terapeutik, walaupun dilakukan berdasarkan kebiasaan atau rutinitas sehari-hari dan belum sepenuhnya memperhatikan pentingnya penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1-2) yang merupakan standar prosedur asuhan keperawatan jiwa pada pasien harga diri rendah. Dari hasil wawancara singkat perawat mengatakan bahwa pasien lebih diarahkan melakukan kegiatan seperti membersihkan lingkungan RSKD dan lainnya. Kurangnya fungsi kontrol perawat terhadap aktivitas pasien terkhususnya pasien gangguan harga diri rendah (HDR), kurangnya penerapan komunikasi terapeutik khususnya pada pasien HDR sehingga pasien tetap memiliki persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kurangnya penerapan SP 1-2 pada pasien HDR. Selain itu, peneliti memilih Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku karena merupakan rumah sakit jiwa di Maluku [5]
dan merupakan rumah sakit rujukan dari Maluku Utara. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti penerapan strategi pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat kepada pasien harga diri rendah di Ruang Sub Akut Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku. 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti meneliti masalah dengan pertanyaan yakni Bagaimana penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat kepada pasien harga diri rendah di ruang sub akut Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku. 1.3 Signifikansi dan Keunikan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat bagi tenaga kesehatan terutama perawat jiwa dalam menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP) pada pasien gangguan jiwa khususnya pasien harga diri rendah yang juga tetap memperhatikan komunikasi dalam pelaksanaannya. Selanjutnya dapat membantu perawat dalam mengubah maupun meningkatkan kualitas perawat jiwa dalam menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP) yang merupakan asuhan keperawatan kepada pasien gangguan jiwa. Pada penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini dilakukan oleh Danayanti (2009) dengan judul Analisis penerapan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Widiodiningrat Lawang- [6]
Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah perawat dan keluarga penderita gangguan jiwa. Pengambilan subjek ditentukan dengan purposive sampling, dengan subjek penelitian sejumlah 78 orang. Namun dalam penelitian Danayanti hanya menjelaskan tentang penerapan komunikasi terapeutik sedangkan penelitian ini menjelaskan tentang penerapan Strategi Pelaksanaan (SP) dengan memperhatikan komunikasi perawat dalam penerapan SP tersebut dengan menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif. Jumlah subjek penelitian melalui purposive sampling yaitu 4 perawat. Sehingga penelitian ini memiliki keunikan dalam penelitian. 1.4 Tujuan Penelitian Menganalisa penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat kepada pasien harga diri rendah di ruang sub akut Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Perawat Memberikan tambahan informasi dalam memperkaya dan memperluas pengetahuan terkhususnya penerapan strategi pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat kepada pasien harga diri rendah yang mengalami gangguan konsep diri. [7]
1.5.2 Institusi pendidik Memberikan tambahan informasi dalam bidang keperawatan jiwa dalam penerapan strategi pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat pada pasien harga diri rendah di RSKD. 1.5.3 Peneliti Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya yang mengangkat tema tentang penerapan strategi pelaksanaan (SP 1-2) komunikasi perawat kepada pasien harga diri rendah dan mengembangkannya dalam penelitian lain. 1.5. Keaslian Penelitian 1.5.1. Evie, dkk (2016) dengan judul Pengalaman Perawat Dalam Mengimplementasikan Strategi Pelaksanaan (Sp) Tindakan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman perawat dalam mengimplementasikan SP tindakan keperawatan pada pasien halusinasi. Penelitian ini menggunnakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenology. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi perawat dalam mengimplementasikan SP tindakan keperawatan pada pasien [8]
halusinasi. Hasil penelitian setelah dilakukan proses analisa tematik, teridentifikasi sembilan tema yaitu merawat pasien halusinasi membutuhkan suatu pemahaman dan tehknik pendekatan, ketidakefektifan penerapan SP di ruang akut, ketidaksesuain dokumentasi dengan pelaksanaan, SP mempunyai manfaat sebagai standarisasi bagi perawat dalam melakukan tindakan, mispersepsi perawat tentang keberhasilan SP halusinasi, kelemahan SP pada pasien halusinasi, kendala dalam aplikasi SP pada pasien halusinasi, Ketidaksesuain tekhnik pelaksanaan SP pasien dan SP keluarga pada pasien halusinasi, dan perilaku aneh (Bizar) pasien terhadap respon SP. 1.5.2. Nisa (2012) dengan judul Pengaruh Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Waham Terhadap Kemampuan Menilai Realita Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh strategi pelaksanaan komunikasi terhadap kemampuan pasien waham dalam menilai realita dengan menggunakan uji t-test. Hasil penelitian paired-test menunjukkan hasil yaitu p = 0.000 (p < 0.05), artinya ada perbedaan kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam menilai realita pre-post test pada kelompok intervensi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan strategi pelaksanaan komunikasi waham dapat [9]
membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam menilai realita. 1.5.3. Danayanti (2009) dengan judul Analisis penerapan komunikasi terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Widiodiningrat Lawang-Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah perawat dan keluarga penderita gangguan jiwa. Pengambilan subjek ditentukan dengan purposive sampling, dengan subjek penelitian sejumlah 78 orang. Hasil : Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku perawat dalam penerapan komunikasi terapeutik. Sedangkan keikutsertaan pelatihan memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan sikap dan perilaku dalam penerapan komunikasi terapeutik, namun tidak ada hubungan yang bermakna dengan peningkatan pengetahuan, karena pengetahuan tidak hanya diperoleh lewat pelatihan. Pengetahuan dan keikutsertaan pelatihan memberikan sumbangan yang sangat bermakna terhadap penerapan komunikasi terapeutik, sedangkan sikap tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap penerapan komunikasi terapeutik, karena harus menghadapi situasi dan kondisi klien yang buruk. [10]