5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN

dokumen-dokumen yang mirip
7. PERUBAHAN PRODUKSI

PENDAHULUAN Latar Belakang

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

3. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I = PCB

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Analisis Data

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

Aspek Perubahan Lahan terhadap Kondisi Tata Air Sub DAS Cisangkuy-DAS Citarum

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A)

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

PENERAPAN TEORI RUN UNTUK MENENTUKAN INDEKS KEKERINGAN DI KECAMATAN ENTIKONG

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

Pengaruh Pergeseran Jadwal Tanam Terhadap Produktivitas Padi di Daerah Irigasi Krueng Aceh

8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

REKAYASA SUMBERDAYA AIR (WATER RESOURCES ENGINEERING ) OPERASI WADUK

Kebutuhan Informasi Perencanaan Sumberdaya Air dan Keandalan Ketersediaan Air yang Berkelanjutan di Kawasan Perdesaan

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

Transkripsi:

5. PERUBAHAN KARAKTERISTIK DEBIT, VOLUME DAN SEDIMEN 5.1. Latar Belakang Perubahan tataguna lahan di wilayah hulu dari 15 SWS di Jawa dan Madura (Departemen Pekerjaan Umum dan Prasarana Wilayah, 21) telah menyebabkan kondisi kritis bagi penyediaan air baik dalam aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius pada musim kemarau. Keadaan tersebut juga menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan pencemaran kimia air sungai atau waduk. Hal ini berdampak pada pendangkalan waduk, korosivitas pada peralatan produksi PLTA dan PDAM dan kerugian bagi pengguna air di wilayah hilir. Perubahan penutup lahan DAS Citarum di wilayah hulu (up-stream) akan menyebabkan perubahan pada karakteristik hidrologi wilayah tengah (in-stream) dan wilayah hilir (down-stream). Perubahan karakteristik tersebut meliputi defisit, volume dan sedimentasi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu. 5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan karakteristik hidrologis (debit, volume dan sedimen) dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder di beberapa Bagian Lingkungan Kantor UBP Saguling, PJB - UP Cirata dan Perum Jasa Tirta II. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Sumberdaya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 26 sampai bulan Juli 26. 5.3. Bahan dan Metode Analisis Perubahan Fungsi Hidrologis DAS Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dari seluruh data dan informasi historis (historical data). Bahanbahan tersebut terdiri dari :

99 1. Data curah hujan harian, bulanan dan tahunan periode 1993 23 Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur. Data curah hujan tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan laporan hasil pengukuran UBP Saguling. 2. Data evaporasi harian diperoleh dari laporan hasil pengukuran UBP Saguling (1993-23). 3. Data debit dan volume (air masuk dan keluar) diperoleh dari laporan hasil pengukuran PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur (1993-23). 4. Data sedimentasi diperoleh dari laporan hasil pemeruman Waduk Saguling (1985-24), Waduk Cirata (1987-22) dan Waduk Jatiluhur (1987-2). Analisis terhadap data-data sekunder tersebut dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear. Pendugaan perubahan karakteristik debit dan volume dan sedimentasi antara tahun 1993-23 dilakukan simulasi dengan menggunakan software GR4J. 5.3.1. Analisis Perubahan Debit dan Volume Pada Dua Sistem Penggunaaan Lahan. Analisis perubahan karakteristik hidrologis DAS dilakukan berdasarkan aplikasi model prediksi debit harian GR4J (Perrin, 23). Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model GR3J yang dikembangkan oleh CEMAGREF, Perancis. Struktur model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bab 2). Untuk mensimulasi debit harian, model GR4J membutuhkan input data hujan, evapotranspirasi potensial (ETP) dan debit harian serta 4 parameter model yang dibangkitkan saat validasi. Keempat parameter tersebut adalah : 1. X 1 ; kapasitas maksimum simpanan produksi (maximum capacity of the production store). 2. X 2 ; koefisien tukar air (water exchange coefficient). 3. X 3 ; kapasitas maksimum simpanan pengalihan (maximum capacity of the routing store). 4. X 4 ; waktu dasar hidrograf satuan (time base of unit hydrograph).

1 Dalam penelitian ini debit air terdiri dari 3 jenis yaitu debit air masuk (DAM), debit air keluar (DAK) dan debit air masuk lokal (DAML). Debit air masuk adalah debit air yang bersumber dan mengalir dari wilayah hulu masingmasing Sub DAS dan memasuki badan air (sungai utama dan waduk). Debit air keluar adalah debit air yang keluar dari outlet masing-masing PLTA untuk menggerakkan turbin. Debit air masuk lokal adalah debit air masuk yang bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari debit air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu (sungai utama Citarum). Dengan demikian DAK PLTA Saguling tidak merupakan DAML bagi PLTA Cirata dan DAK PLTA Cirata tidak merupakan DAML bagi PLTA Jatilihur. Karena citra satelit (foto) yang digunakan dalam penelitian ini dibuat pada November 1992 maka untuk menduga pengaruh perubahan penutup lahan (kondisi biofisik) DAS Citarum Wilayah Hulu (1992-22) terhadap karakteristik hidrologis maka data yang digunakan dalam simulasi model GR4J adalah curah hujan (CH), evaporasi waduk (ETP) dan debit air masuk lokal (DAML) harian dari tahun 1993-23. Pada Tabel 14 disajikan hasil simulasi dengan tahapan pemodelan software GR4J adalah : a. Menentukan parameter simulasi (X 1, X 2, X 3 dan X 4 ) dengan memasukkan input data CH, ETP dan DAML harian tahun inisial (1993) dengan hasil Q1. Parameter default (standar) yang digunakan menurut Perrin (23) adalah X 1 = 5,9, X 2 = 2,, X 3 = 4,5 dan X 4 =,2. b. Validasi parameter tahun inisial 1993 dengan meng-input nilai parameter baku ke dalam fungsi tranfer dan melakukan solver. Validasi terhadap parameter tersebut menghasilkan nilai kemiripan (koefisien Nash) dengan besaran antara -1. Model dinyatakan valid apabila koefisien Nash memiliki nilai yang lebih besar dari 5. c. Parameter hasil validasi digunakan untuk mensimulasi tahun selanjutnya dengan input data tahun tersebut tanpa melakukan solver.

11 d. Besaran parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan input data curah hujan pada tahun selanjutnya (1994) dengan hasil sebesar Q2, tahun 1995 sebesar Q3, dan seterusnya sampai tahun 23 sebesar Q11. e. Nilai Q2 sampai dengan Q11 hasil simulasi dibandingkan dengan Q1 hasil validasi. f. Perbedaan nilai-nilai (dq) tersebut diduga merupakan pengaruh perlakuan (perubahan penutup lahan) DAS terhadap debit. Tabel 14. Hasil simulasi debit dengan aplikasi model GR4J. Parameter Kondisi Penutup Lahan simulasi 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 x1 q1.1 q1.2 q1.3 q1.4 q1.5 q1.6 q1.7 q1.8 q1.9 q1.1 q1.11 x2 q2.1 q2.2 q2.3 q2.4 q2.5 q2.6 q2.7 q2.8 q2.9 q2.1 q2.11 x3 q3.1 q3.2 q3.3 q3.4 q3.5 q3.6 q3.7 q3.8 q3.9 q3.1 q3.11 x4 q4.1 q4.2 q4.3 q4.4 q4.5 q4.6 q4.7 q4.8 q4.9 q4.1 q4.11 Hasil Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q1 Q11 dq1 dq1 Q1-Q2 sampai dengan Q1-Q11 Validasi Q Q Aktual Kalibrasi Parameter Standar Perrin (23) dan Koefisien Nash Sebagaimana diuraikan tedahulu bahwa untuk menganalisis adanya perubahan karakteristik debit akibat perubahan kondisi biofisiknya, terlebih dahulu model GR4J divalidasi dengan menggunakan input data tahun inisial, yang dianggap merepresentasikan kondisi biofisik DAS saat belum mengalami perubahan (1992). Setelah validasi, akan didapatkan parameter model pada tahun inisial, yang selanjutnya parameter tersebut digunakan untuk simulasi debit dengan menggunakan input data pada tahun selanjutnya yang diduga merepresentasikan kondisi biofisik DAS yang telah berubah (22). Dengan membandingkan debit pengukuran dengan debit simulasi melalui analisis neraca air DAS, tingkat perubahan aliran sungai akibat perubahan kondisi biofisik DAS dapat diketahui. Permodelan GR4J telah diformulasikan dalam bahasa excel tahun 23 oleh CEMAGREF Perancis. Hasil simulasi debit harian akan digunakan untuk menghitung volume air harian dan tahunan. Regresi linear digunakan dalam pengujian hubungan CH, debit dan volume air hasil simulasi dengan nilai hasil pengukuran.

12 5.3.2. Pendugaan Sedimentasi Perilaku sedimen dipelajari dari dua hal yaitu berdasarkan data hasil pemeruman yang pernah dilakukan di ketiga waduk dan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sedimen. Pemeruman adalah pengukuran tingkat (perkembangan) sedimentasi yang terjadi di dasar waduk terutama pada kapasitas tampung mati (dead storage). Jumlah sedimen yang terdapat di sungai atau waduk atau kolam penampungan juga dapat diprediksi melalui persamaan regresi berganda dengan 4 variabel yaitu erosi lahan (Ep), volume aliran permukaan (Ro), faktor tanaman dan konservasi (CP), dan luas Sub DAS (A), pada tingkat akurasi 86,4% (Sa ad, 22) dengan persamaan sebagai berikut : Y = bo. Ep b1. Ro b2. CP b3. A b4 ; Keterangan : Y = sedimen sungai (ton ha ¹) Ep = erosi permukaan dari soilpan (ton ha ¹) Ro = volume aliran permukaan satu periode hujan (m³) CP = faktor tanaman (tindakan konservasi tanah) A = luas Sub DAS (ha) bo, b1, b2, b3, b4 = konstanta Dalam penelitian ini beberapa asumsi yang digunakan adalah : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) (Sa ad, 22) sama dengan erosi lahan yang besarnya berdasarkan penelitian Sutono et. al (23) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) (Sa ad, 22) sama dengan volume air masuk lokal (VAML) hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP) (Sa ad, 22), besarnya didasarkan pada hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) dalam Asdak (24) dan Amarjan (23) khusus pada nilai CP permukiman. 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS sesuai dengan hasil pengolahan digitasi peta tataguna lahan dan citra satelit 1992 dan 22. Penggunaan GIS dalam pendugaan sedimentasi waduk dengan penggunaan model telah digunakan di Thailand sebagaimana dilaporkan Lorsirirat (1997).

13 5.4. Hasil dan Pembahasan 5.4.1. Sifat hujan dan hubungannya dengan DAML dan VAML a. Curah Hujan Jumlah dan distribusi aliran permukaan di DAS Citarum Wilayah Hulu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, karakteristik biofisik dan manajemen DAS. Hasil pengolahan data curah hujan (CH) harian periode 1993 23 didapatkan informasi bahwa curah hujan tahunan rata-rata di Sub DAS Saguling adalah 2.25,48 mm, Sub DAS Cirata sebesar 3.495,46 mm, Sub DAS Jatiluhur sebesar 2.637,5 mm dan DAS Citarum Wilayah Hulu sebesar 2.186,62 mm per tahun. Pada periode pengamatan 1993 23, walaupun CH tahunan di sub DAS Saguling mengalami kenaikan rata-rata 2,39 mm/th, namun secara keseluruhan DAS Citarum Wilayah Hulu mengalami penurunan jumlah CH yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 8,21 mm/th. Penurunan jumlah CH tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pawitan (24) yang menyatakan bahwa di DAS Citarum telah terjadi penurunan CH tahunan sebesar 1 mm/th selama periode pengamatan 1896 1994 dan akan menurunkan ketersediaan air untuk berbagai penggunaan di wilayah tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan Boer et.al (24) yang menyatakan bahwa penurunan curah hujan tahunan di wilayah DAS Citarum sebesar 6 mm/th. Secara umum pada periode 1993-23 musim kemarau (April- September) di wilayah DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki CH bulanan ratarata sebesar 118,35 mm dengan simpangan baku 45,8 mm, dan musim hujan (Oktober-Maret), CH bulanan rata-rata sebesar 246,9 mm dengan simpangan baku 43,85 mm. Pada Tabel 15 ditampilkan Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 23.

14 Tabel 15. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 23. Wilayah CH Bulanan (mm) Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 95,39 132,96 17,53 37,57 MH 198,2 242,12 286,22 44,1 Sub DAS Cirata MK 151,3 215,77 28,51 64,74 MH 33,89 366,8 429,72 62,92 Sub DAS Jatiluhur MK 152,13 24,85 329,57 88,72 MH 286,59 365,4 444,21 78,81 DAS Citarum Wil. Hulu MK 73,27 118,35 163,43 45,8 MH 22,24 246,9 289,94 43,85 Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Secara grafis, keragaman CH bulanan yang terjadi di wilayah masingmasing Sub DAS disajikan pada Gambar 18. Dari Tabel 15 dan Gambar 18 diperoleh gambaran bahwa secara kuantitas (jumlah) CH bulanan rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu relatif kecil yaitu sebesar 118,35 mm (MK) dengan keragaman yang cukup besar 45,8 mm dan 246,9 mm (MH) dengan keragaman 43,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau cenderung semakin kering (keragaman besar) dan pada musim hujan cenderung semakin basah (keragaman kecil). Keadaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Boer et.al (24) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan CH musim hujan di wilayah selatan Indonesia khususnya Lampung, Jawa dan sebagaian kawasan Indonesia timur akan semakin basah, sebaliknya CH musim kemarau akan semakin kering. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian utara (Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Sumatera bagian utara) CH musim hujan akan semakin berkurang sedangkan CH musim kemarau akan semakin basah. Kondisi seperti hal tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan iklim di Indonesia (Boer et.al, 24).

15 Keragaman CH Bulanan DAS Citarum Wil. Hulu CH Bulanan (mm/bln) 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 mean+stdev mean mean-stdev MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Gambar 18. Keragaman CH di DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode 1993 23.(Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku). b. Debit dan Volume Air Masuk Lokal Debit air masuk lokal (DAML) adalah debit air masuk yang semata-mata bersumber dari anak sungai dan mengalir dari wilayah hulu masing-masing Sub DAS dan tidak termasuk debit air masuk yang bersumber dari air keluar PLTA yang berada di wilayah hulu. DAML harian rata-rata DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar 151,98 m³/dt (MK) dengan simpangan baku sebesar 44,45 m³/dt dan 265,4 m³/dt (MH) dengan simpangan baku sebesar 61,64 m³/dt dan secara rinci di ketiga Sub DAS disajikan pada Tabel 16. Besarnya keragaman debit dapat memberikan gambaran bahwa telah terjadi fluktuasi DAML terutama yang berubah menjadi debit aliran (run-off). Peningkatan keragaman debit aliran menunjukkan bahwa luas penutup lahan di wilayah DAS hulu semakin menurun dan fraksi CH yamg berubah menjadi aliran permukaan semakin besar (Boer et.al, 24). Peningkatan luas penutup lahan di wilayah hulu sangat penting artinya bagi penurunan perbedaan debit aliran musim hujan dan musim kemarau, sehingga dapat menekan resiko banjir dan kekeringan. Akan tetapi Pawitan (24) menyatakan bahwa pengamatan di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penghutanan kembali padang rumput dengan pohon

16 pinus tidak hanya menurunkan aliran sungai sejumlah 44 mm/th, tetapi juga menurunkan aliran rendah sebesar 15 mm/th. Sehingga disimpulkan bahwa pengaruh hutan terhadap aliran rendah sangat site spesific dan tidak ada jaminan penghutanan akan meningkatkan aliran rendah pada musim kemarau. Tabel 16. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993-23. Wilayah DAML harian (m³/dt) Musim mean-stdev mean mean+stdev stdev Sub DAS Saguling MK 42,62 65,15 87,68 22,53 MH 92,15 117,2 142,25 25,5 Sub DAS Cirata MK 47,11 6,25 73,39 13,14 MH 84,3 17,88 131,46 23,58 Sub DAS Jatiluhur MK 3,86 26,58 49,29 22,71 MH 11,92 4,32 68,72 28,4 DAS Citarum Wil. Hulu MK 17,53 151,98 196,42 44,45 MH 23,76 265,4 327,4 61,64 Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Dari Tabel 16 dan Gambar 19 diperoleh informasi bahwa keragaman debit MK dan MH Sub DAS Cirata lebih kecil dibandingkan dengan Sub DAS Saguling dan Sub DAS Jatiluhur. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi luas hutan di wilayah Sub DAS Cirata (27,61%) bagian hulu lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Saguling (25,61%) dan sub DAS Jatiluhur (11,82%). Untuk mengetahui degradasi lingkungan di wilayah hulu DAS, karakteristik CH dan DAML serta hubungan keduanya dapat digunakan. Hasil pengolahan data bahwa proporsi curah hujan yang berubah menjadi debit semakin meningkat dari tahun ke tahun selama periode pengamatan (1993-23), yaitu pada musim kemarau, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 1,2 mm (25,8%) dengan laju peningkatan per tahun 4,4%, pada musim hujan, CH harian yang berubah menjadi DAML harian adalah sebesar 3,47 mm (42,4%) dengan laju peningkatan per tahun 2,4%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fraksi CH menjadi DAML. Kondisi seperti ini mengindikasikan adanya degradasi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Dari Gambar 2, diperoleh

17 gambaran bahwa waktu yang diperlukan hujan untuk berubah menjadi debit aliran semakin kecil (singkat). Hal ini juga merupakan indikator adanya kerusakan ekosistem di wilayah hulu DAS terutama penurunan luas penutup lahan hutan. Secara grafis, hubungan antara CH harian dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu tahun 1993 disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan data sekunder menunjukan bahwa rata-rata DAML harian Sub DAS Saguling sebesar 9,78 m³/dt, Sub DAS Cirata 85,37 m³/dt, Sub DAS Jatiluhur 34,4 m³/dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu 21,55 m³/dt. Laju penurunan DAML harian selama periode 1993-23 di Sub DAS Saguling adalah 5,15% (4.67 m³/dt), Sub DAS Cirata 4,19% (3,57 m³/dt), Sub DAS Jatiluhur 21,43% (7,37 m³/dt) dan DAS Citarum Wilayah Hulu 7,42% (15,62 m³/dt). Untuk mengetahui pengaruh CH terhadap DAML dilakukan uji-t sebagaimana pada Tabel 17. Keragaman DAML DAS Citarum Wil. Hulu 35 3 25 DAML (m3/dt) 2 15 mean-stdev mean mean+stdev 1 5 - MK MH MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Gambar 19. Keragaman DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 23. (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).

Karakteristik CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 18 4 35 ch daml 3 25 2 15 1 5 Karakteristik CH dan DAML DAS Citarum tahun 1993 3 25 ch daml 2 15 1 5 1 13 25 37 49 61 73 85 97 19 121 133 145 157 169 181 193 25 217 229 241 253 265 277 289 31 313 325 337 349 361 1 13 25 37 49 61 73 85 97 19 (mm) 121 133 145 157 169 181 193 25 217 229 241 253 265 277 289 31 313 325 337 349 361 hari Karakteristik CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993 7 6 ch daml 5 4 (mm) 3 2 1 1 13 25 37 49 61 73 85 97 19 121 133 145 157 169 181 193 25 217 229 241 253 265 277 289 31 313 325 337 349 361 hari Karakteristik CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 7 6 ch daml 5 4 (mm) 3 2 1 1 13 25 37 49 61 73 85 97 19 121 133 145 157 169 181 193 25 217 229 241 253 265 277 289 31 313 325 337 349 361 hari (mm) hari Gambar 2. Karakteristik CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993

19 Hub. CH dan DAML sub DAS Saguling Tahun 1993 Hub. CH dan DAML sub DAS Cirata Tahun 1993 4. 7. Series1 Linear (Series1) 6. Series1 Linear (Series1) 3. 5. DAML (mm) 2. 1. y =.2612x + 2.7118 R 2 =.227 DAML (mm) 4. 3. 2. y =.488x + 2.532 R 2 =.3712 1... 1. 2. 3. 4. CH (mm) Hub. CH dan DAML sub DAS Jatiluhur Tahun 1993.. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. CH (mm) Hub. CH dan DAML DAS Citarum Tahun 1993 7. 35. 6. Series1 Linear (Series1) 3. Series1 Linear (Series1) 5. 25. DAML (mm) 4. 3. y =.1162x + 8.955 R 2 =.294 DAML (mm) 2. 15. y =.3611x + 2.7566 R 2 =.3913 2. 1. 1. 5... 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. CH (mm).. 5. 1. 15. 2. 25. 3. 35. CH (mm) Gambar 21. Hubungan CH dan DAML harian DAS Citarum Wilayah Hulu pada tahun 1993. Tabel 17. Uji-t pengaruh CH harian terhadap DAML harian periode 1993-23. No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi,727,544,45,73 2. R kuadrat,529,295,23,494 3. Konstanta 3,768 52, 16,442 77,674 4. Koefisien,322,138,62,54 5. Nilai t 11,978* 7,327* 5,72* 11,183* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5 t-tabel = 1,96. Dari hasil uji-t tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang kuat dan berpengaruh signifikan baik di masing-masing Sub DAS maupun DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel (1,96). Koefisien regresi menunjukkan tingkat pengaruh curah hujan terhadap DAML. Setiap penambahan curah hujan harian 1 mm, akan menyebabkan peningkatan DAML harian sebesar,322 m³/dt (Sub DAS

11 Saguling),,138 m³/dt (Sub DAS Cirata),,62 m³/dt (Sub DAS Jatiluhur) dan,54 m³/dt (DAS Citarum Wilayah Hulu). Pada Tabel 18 disajikan perkembangan VAML di DAS Citarum Wilayah Hulu. Volume air masuk lokal (VAML) rata-rata tahunan adalah sebesar 2.865,29 juta m³ (Sub DAS Saguling), 2.639,85 juta m³ (Sub DAS Cirata), 1.48,66 juta m³ (Sub DAS Jatiluhur) dan 6.553,8 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Tabel 18. Rata-rata volume air masuk lokal tahunan DAS Citarum Wilayah Hulu. Tahun Sub DAS/DAS (juta m³) Saguling Cirata Jatiluhur Citarum Hulu 1993 3.589,4 3.75,24 2.646,24 9.31,52 1994 3.11,63 3.19,67 1.963,18 8.84,47 1995 2.933,36 2.871,28 1.111,38 6.916,2 1996 3.3,73 2.813,42 1.465,32 7.282,46 1997 1.71,11 1.814,91 1.668,12 5.184,14 1998 4.25,86 3.68,1 564,76 7.658,72 1999 2.71,53 2.64,14 352,29 5.693,96 2 2.56,55 2.175,23 256,95 4.938,73 21 3.477,43 3.181,68 492,84 7.151,95 22 2.424, 2.43,4 692,49 5.546,89 23 2.53,9 1.948,33 321,71 4.323,94 Rata-Rata 2.865,29 2.639,85 1.48,66 6.553,8 Sumber : Hasil pengolahan data. Laju penurunan per tahun VAML berturut-turut adalah sebesar 5,36% (153,51 juta m³), 4,27% (112,69 juta m³), 22,17% (232,45 juta m³), dan 7,61% (498,66 juta m³). Berdasarkan hasil analisa regresi (Tabel 19) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAML harian dengan VAML tahunan, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar,998 (Sub DAS Saguling),,997 (Sub DAS Cirata),,998 (Sub DAS Jatiluhur) dan,997 (DAS Citarum Wilayah Hulu). Variabel DAML berpengaruh nyata terhadap VAML di semua wilayah Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dibuktikan dengan nilai t- hitung yang lebih besar dari t-tabel (1,96). Pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan adalah sebesar 2.613.474 (Sub DAS Saguling), 2.626.993 (Sub DAS Cirata), 2.614.727 (Sub DAS Jatiluhur) dan 2.619.447 (DAS Citarum Wilayah Hulu). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAML harian akan menyebabkan peningkatan VAML tahunan sebesar 2.613.474 m³ (Sub DAS Saguling), 2.626.993 m³ (Sub DAS Cirata), Saguling), 2.626.993 m³ (Sub DAS Cirata), 2.614.727 m³ (Sub DAS

111 Jatiluhur) dan 2.619.447 m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu). Grafik hubungan CH tahunan, DAML harian dan VAML tahunan disajikan pada Gambar 22 (Sub DAS Saguling), Gambar 23 (Sub DAS Cirata) dan Gambar 24 (Sub DAS Jatiluhur). Tabel 19. Uji-t pengaruh DAML harian terhadap VAML tahunan. No Parameter Sub DAS DAS Citarum Saguling Cirata Jatiluhur Wil. Hulu 1. Korelasi,998,997,998,997 2. R kuadrat,996,994,996,993 3. Konstanta 485.789,4-862.568-72.869, -13.252 4. Koefisien 2.613.474 2.626.993 2.614.727 2.619.447 5. Nilai t 18,5* 147,58* 181,384* 139,434* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5 t tabel = 1,96. CH_DAML_VAML Saguling CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 75 15 225 3 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 tahun Gambar 22. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Saguling. Hasil analisis data dan kecenderugan diperoleh informasi bahwa CH, DAML dan VAML memiliki karakteristik yang hampir seragam (homogen) kecuali pada: 1. Tahun 21 22 di Sub DAS Saguling, dengan tingkat CH yang relatif sama dengan tahun sebelumnya menghasilkan DAML dan VAML yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh semakin tingginya kerusakan lahan di wilayah hulu Sub DAS Saguling, sehingga memperbesar porsi CH yang langsung menjadi aliran debit (run off)

112 CH_DAML_VAML_Cirata CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 75 15 225 3 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 tahun Gambar 23. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Cirata. 2. Tahun 1998 21 di Sub DAS Jatiluhur, dengan CH yang tinggi menghasilkan DAML dan VAML yang relatif kecil. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya pemakaian air oleh petani untuk sawah tadah hujan baru di wilayah hulu (laju pertumbuhan sawah tadah hujan 17,94% dalam periode 1992-22). CH_DAML_VAML Jatiluhur CH (mm/th) DAML (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 75 15 225 3 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 tahun Gambar 24. Grafik curah hujan tahunan, debit air masuk lokal (DAML) harian, dan volume air masuk lokal (VAML) tahunan Sub DAS Jatiluhur.

113 c. Fluktuasi Debit Perbandingan (fluktuasi) antara debit air masuk lokal maksimum dengan debit air masuk lokal minimum (rasio Qmax-min) juga merupakan ukuran indikator kondisi ekosistem dan lingkungan wilayah hulu DAS. Dari pengolahan data diperoleh rata-rata rasio Qmax-min Sub DAS Saguling sebesar 63,26 (laju kenaikan 5,19%), Sub DAS Cirata 178,66 (laju kenaikan 8,6%) dan Sub DAS Jatiluhur 153,9 (laju kenaikan 3,91%). Nilai rasio Qmax-min yang tinggi (lebih besar dari 4) mengindikasikan wilayah hulu Sub DAS berada pada kondisi yang kritis (Boer, 24). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu termasuk kritis (buruk). Secara rinci perkembangan rasio Qmax-min dari tahun ke tahun disajikan pada Tabel 2. Pada Gambar 25 disajikan perkembangan rasio Q max-min masing-masing Sub DAS dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993-23. Dari Gambar 25 tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio Q max-min meningkat dari tahun ke tahun terutama pada periode 1999 23. Hal ini menunjukan bahwa laju kerusakan ekosistem DAS Citarum Wilayah Hulu pada periode tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya (1993 1998). Tabel 2. Rasio Qmax-min (1993-23). No Tahun Sub DAS Saguling Cirata Jatiluhur 1 1993 44,84 167,91 118,1 2 1994 78,8 185,24 168,1 3 1995 33,18 21,7 12,6 4 1996 45,16 139,78 199,1 5 1997 93,12 167,25 172,9 6 1998 56,85 81,85 114,23 7 1999 4,84 131,75 138,39 8 2 71,51 152,9 163,64 9 21 73,36 221,91 164,18 1 22 8,57 194,9 174,36 11 23 77,65 311,89 178,13 Rata-rata 63,26 178,66 153,9

114 Rasio Qmax-min Qmax-min 35 3 25 2 15 1 5 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 Tahun Saguling Cirata Jatiluhur Gambar 25. Grafik rasio Qmax-min tahun 1993-23. 5.4.2. Karakteristik Air Keluar a. Debit dan Volume Air Keluar Debit air keluar (DAK) dan volume air keluar (VAK) waduk merupakan gambaran besarnya volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan turbin PLTA sesuai dengan rencana operasi. Secara umum dari hasil pengolahan data diketahui bahwa pada periode 1993 23 DAK rata-rata harian PLTA Saguling adalah 83,59 m 3 /dt, PLTA Cirata 164,65 m 3 /dt, PLTA Jatiluhur 178,42 m 3 /dt dan total 3 PLTA sebesar 426,67 m 3 /dt, dengan laju penurunan berturut-turut adalah 4,2% (3,51 m 3 /dt), 4,5% (6,66 m 3 /dt), 5,86% (1,45 m 3 /dt) dan 4,83% (2,62 m 3 /dt) setiap tahun. Pada Tabel 21 disajikan keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu musim hujan dan musim kemarau serta secara grafis pada Gambar 26. DAK harian di 3 waduk memiliki keragaman yang relatif sama antara MK dengan MH yaitu keragaman DAK harian di waduk Saguling adalah 3,21% atau 22,16 m³/dt (MK), 21,3% atau 19,21 m³/dt (MH), waduk Cirata 23,1% atau 34,37 m³/dt (MK), 2,79% (MH) atau 36,26 m³/dt dan waduk Jatiluhur 2,25% atau 35,32 m³/dt (MK) serta 18,74% atau 33,56 m³/dt (MH). Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa keragaman DAK harian pada musim kemarau lebih besar

115 daripada musim hujan. Dengan kata lain, dapat mengindikasikan adanya keragaman yang sama pada DAML dan CH. Tabel 21. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993-23. Waduk DAK harian (m³/dt) Musim mean-stdev mean' mean+stdev stdev Saguling MK 51.19 73.35 95.51 22.16 MH 72.38 91.65 11.93 19.27 Cirata MK 115. 149.38 183.75 34.37 MH 138.17 174.43 21.7 36.26 Jatiluhur MK 136.85 172.17 27.5 35.32 MH 144.61 177.97 211.33 33.36 Keterangan : MK=musim kemarau (April-September), MH=musim hujan (Oktober-Maret), meanstdev=rerata dikurangi simpangan baku, mean=rerata, mean+stdev=rerata ditambah simpangan baku, stdev=simpangan baku. Selain itu, keragaman DAK harian juga dipengaruhi oleh keputusan manajemen PJT II yang mengelola ketiga waduk, terutama bila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Namun demikian, kecilnya keragaman DAK harian dalam musim mengindikasikan bahwa kebutuhan air untuk pertanian padi di wilayah hilir masih dapat dipasok melalui outlet turbin. Keragaman DAK 3 Waduk di DAS Citarum Wil. Hulu 25 2 mean-stdev mean mean+stdev DAK(m3/dt) 15 1 5 - MK MH MK MH MK MH Saguling Cirata Jatiluhur Gambar 26. Keragaman DAK harian DAS Citarum Wilayah Hulu periode 1993 23. (Keterangan : MK = musim kemarau (April-September), MH = musim hujan (Oktober-Maret), mean-stdev = rerata dikurangi simpangan baku, mean = rerata, mean+stdev = rerata ditambah simpangan baku, stdev = simpangan baku).

116 Tabel 22. Rata-rata VAK tahunan dan perubahannya di 3 PLTA (1993-23). Tahun PLTA (juta m³) Total Saguling Cirata Jatiluhur (juta m³) 1993 33,49 5812,39 7277,2 1612,8 1994 2915,23 5887,35 6523,6 15325,64 1995 257,14 5176,79 615,8 13789,1 1996 247,24 5136,43 5356,9 12899,77 1997 1445,99 3161,2 4285,19 8892,2 1998 3582,2 638,96 5688,37 15579,53 1999 2535,38 4986,86 4824,53 12346,77 2 2446,1 5,55,4 521,81 12522,94 21 3222,18 5771,95 619,51 1513,64 22 2479,8 57,79 5638,28 13125,87 23 1924,5 3711,14 3982,69 9618,33 Rata-rata 259,57 592,34 552,16 1323,7 Persentase 19,62 38,57 41,81 1, Dari Tabel 22 diketahui bahwa VAK yang digunakan untuk memutar turbin pada masing-masing PLTA adalah 259,57 juta m 3 (PLTA Saguling), 592,34 juta m 3 (PLTA Cirata), 552,16 juta m 3 (PLTA Jatiluhur) dan total 3 PLTA 1323,7 juta m 3, dengan laju penurunan VAK berturut-turut 4,27% (11,6 juta m 3 ), 4,13% (21,13 juta m 3 ), 5,97% (329,45 juta m 3 ) dan 4,92% (65,18 juta m 3 ) setiap tahun. Dari hasil sidik ragam (anova) sebagaimana pada Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa VAK di PLTA Jatiluhur berbeda nyata dengan PLTA lainnya. Berdasarkan hasil uji-t (Tabel 23) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara DAK dengan VAK, ditunjukkan dengan angka korelasi sebesar,997 (PLTA Saguling),,997 (PLTA Cirata) dan,997 (PLTA Jatiluhur). Variabel DAK berpengaruh nyata terhadap VAK di semua PLTA. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel (1.96). Pengaruh DAK terhadap VAK adalah sebesar 2.572.66 (PLTA Saguling), 2.581.43 (PLTA Cirata), 2.616.895 (PLTA Jatiluhur) dan 2.584.969 (3 PLTA). Dengan kata lain, setiap peningkatan 1 m³/dt DAK akan menyebabkan peningkatan VAK sebesar 2.572.66 m³ (PLTA Saguling), 2.581.43 m³ (PLTA Cirata), 2.616.895 m³ (PLTA Jatiluhur) dan 2.584.969 m³ (3 PLTA). Grafik hubungan antara CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA disajikan pada Gambar 27, 28 dan 29.

117 Tabel 23. Uji-t pengaruh DAK terhadap VAK 3 PLTA. No Parameter PLTA Saguling Cirata Jatiluhur 3 PLTA 1. Korelasi,997,997,997,996 2. R kuadrat,995,994,994,993 3. Konstanta 4.12.673 6.833.5 1.961.124 2E+7 4. Koefisien 2.572.66 2.581.43 2.616.895 2.584.969 5. Nilai t 156,35* 145,84* 142,972* 13,595* 6. Signifikansi,,,, Keterangan : *berpengaruh nyata pada signifikansi,5. t tabel = 1.96. CH_DAK_VAK PLTA Saguling CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 1 8 5 6 4 1 2 15 2 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 tahun Gambar 27. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Saguling. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan CH, DAK dan VAK di ketiga PLTA memiliki karakteristik yang relatif homogen. Hal ini dapat terjadi disebabkan DAK dan VAK yang keluar dari outlet turbin (yang dipergunakan untuk memutar turbin) diatur dan direncanakan sesuai dengan kapasitas sumberdaya air yang tersedia dalam waduk dan keputusan direksi pengelola (PJT II).

118 CH_DAK_VAK PLTA Cirata CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 tahun Gambar 28. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Cirata. CH_DAK_VAK PLTA Jatiluhur CH (mm/th) DAK (m3/dt/hr) VOL (juta m3/th) 12 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1993 1994 1995 1996 1997 1998 tahun 1999 2 21 22 23 Gambar 29. Grafik curah hujan, debit air keluar (DAK), dan volume air keluar (VAK) PLTA Jatiluhur. b. Tinggi Duga Muka Air Volume air dalam waduk dapat juga dihitung berdasarkan tinggi duga muka air (DMA) dan volume air dipengaruhi oleh dead storage (kapasitas tampungan mati) dan effective atau life storage (kapasitas tampungan efektif). Semakin tinggi DMA semakin besar volume air yang tersimpan di dalam waduk

119 dengan asumsi laju sedimentasi sangat rendah. Pada Tabel 24 disajikan DMA pada ketiga waduk. Tabel 24. Rata-rata tinggi DMA Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Tahun DMA Waduk (m dpl) Saguling Cirata Jatiluhur 1993 637,36 215,64 18,55 1994 636,6 215,91 11,24 1995 634,61 216,65 1,95 1996 631,76 213,81 11,44 1997 63,67 21,67 93,26 1998 635,95 214,6 97,14 1999 636,67 214,61 99,25 2 635,58 213,2 98,28 21 651,56 215,4 12,62 22 635,4 213,65 1,32 23 63,58 29,3 85,82 Rata-Rata 636,35 213,892 98,988 Dari tabel tersebut terlihat bahwa tinggi DMA di ketiga waduk mengalami penurunan per tahun yang bervariasi yaitu Waduk Saguling,678 m, Waduk Cirata,661 m dan Waduk Jatiluhur 2,273 m. Penurunan DMA sebesar itu perlu diwaspadai mengingat perbedaan antara DMA rata-rata dengan DMA batas operasi ketiga waduk tidak besar (7,792 m 23,988 m). Apabila penurunan DMA tersebut terus berlangsung dikhawatirkan DMA batas operasi akan tercapai dan menghentikan fungsi waduk sebagai pembangkit energi listrik. Apabila diasumsikan laju sedimentasi waduk sangat rendah, maka dalam waktu yang singkat DMA batas operasi akan tercapai (Waduk Saguling 14,8 tahun, Waduk Cirata 11,78 tahun dan Waduk Jatiluhur 1,55 tahun) sebagai akibat penurunan volume air dalam waduk yang terus berlangsung, walaupun perencanaan tingkat produksi listrik disesuaikan dengan ketersediaan air dalam waduk dan keputusan manajemen Indonesia Power. Pengaturan tingkat produksi energi listrik tersebut sangat diperlukan mengingat ketiga waduk merupakan waduk seri (cascade) dan banyaknya jenis penggunaan air terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, kebutuhan industri, PDAM dan lain sebagainya di wilayah hilir seperti Kabupaten Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan DKI Jakarta. Keadaan

12 kritis tersebut telah menyebabkan kurang maksimalnya PLTA berproduksi bahkan tidak beroperasi sama sekali, terutama pada musim kemarau. Frekuensi terjadinya DMA kritis di ketiga waduk disajikan pada Tabel 25, dan secara grafis pada Gambar 3. Tabel 25. Frekuensi Terjadinya DMA Kritis No Tahun Produksi Jumlah Hari Frekuensi DMA harian/tahun Saguling Cirata Jatiluhur Kali (%) Kali (%) Kali (%) 1 1993 365 23 6,3,, 2 1994 365 28 7,67 1,27, 3 1995 365 14 3,84,, 4 1996 366 5 1,37,, 5 1997 365 51 13,97 8 2,19, 6 1998 365,,, 7 1999 365,,, 8 2 366 5 1,37,, 9 21 365 4 1,1,, 1 22 365 4 1,96,, 11 23 365 36 9,86,, 26 9 (Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626, m, Waduk Cirata + 26,1 m, dan Waduk Jatiluhur + 75, m di atas permukaan laut). Dari Tabel 25 tersebut, diketahui bahwa selama periode 1993 23, PLTA Saguling mengalami 26 kali (frekuensi) tidak beroperasi maksimal dan pada tahun 1997 dan 22 merupakan kejadian tertinggi (51 dan 4 kali) dalam setahun, disusul oleh PLTA Cirata sebanyak 9 kali ( 8 kali pada tahun 1997). Tingginya frekuensi tidak beroperasinya PLTA secara maksimal pada tahun 1997 disebabkan rendahnya volume air waduk (rendahnya CH pada tahun dimaksud) karena merupakan tahun terjadinya El-Nino. Disisi lain, PLTA Jatiluhur tidak mengalami DMA kritis. Hal ini terjadi dikarenakan pengelolaan 3 waduk merupakan cascade (seri) yang kewenangan pengelolaannya diberikan kepada PJT II dan posisinya berada pada paling bawah. PJT II dapat meminta kepada PLTA Saguling dan PLTA Cirata untuk mengirimkan air baik untuk kebutuhan PLTA Jatiluhur sendiri maupun terutama untuk memenuhi kebutuhan irigasi pertanian di wilayah hilir.

121 (m dpl) 66 65 64 63 62 61 6 DMA Saguling DMA DMA Minimum DMA Efektif Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan DMA Cirata DMA DMA Minimum 225. DMA Efektif 22. 215. 21. 25. 2. 195. 19. Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov (m dpl) Dec Bulan 12 11 DMA Jatiluhur DMA DMA Minimum DMA Efektif 1 9 8 7 6 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug (m dpl) Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 3. Grafik DMA rata-rata bulanan pada musim kemarau (April- September) dan musim hujan (Oktober-Maret) di ketiga waduk pada periode 1993 23. (Keterangan : Batas bawah operasi Waduk Saguling + 626, m, Waduk Cirata + 26,1 m, dan Waduk Jatiluhur + 75, m di atas permukaan laut). Dari Gambar 3 diketahui pula bahwa PLTA Saguling mengalami DMA diatas batas operasi (DMA banjir) yang terjadi pada bulan Maret Mei. Pengelola Waduk Saguling mengeluarkan air dengan membuka saluran pengeluaran

122 (spillway) baik diminta oleh PJT II maupun tidak. Akan tetapi, PLTA Saguling mengalami masalah DMA kritis pada bulan Oktober November setiap tahun selama periode pengamatan (1993 23). Pada pertengahan bulan Juni Agustus merupakan masa DMA kritis bagi PLTA Cirata, karena pada bulan-bulan tersebut PLTA Cirata tidak dapat beroperasi secara maksimal bahkan tidak dapat beroperasi. Naiknya DMA Waduk Cirata pada menjelang September (bulan kemarau) disebabkan adanya kiriman air dari Waduk Saguling. Rendahnya DMA operasi Waduk Jatiluhur pada musim hujan dan musim kemarau lebih disebabkan adanya kebijakan PJT II untuk mengutamakan pemenuhan irigasi pertanian padi sawah di wilayah hilir (musim tanam rendeng dan gadu). Walaupun secara umum ketiga waduk pada periode pengamatan 1993 23 masih berada pada selang batas operasi, namum kecenderungan penurunan tinggi DMA dari waktu ke waktu terus berlangsung. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan keberlanjutan produksi energi listrik di masa-masa yang akan datang. 5.4.3. Pendugaan Perubahan Debit dan Volume Air Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Simulasi GR4J. a. Validasi model GR4J tahun 1993 dan tahun 23 Karakteristik hidrologis dapat dipelajari lebih lanjut dengan prediksi melalui aplikasi model simulasi GR4J. Untuk mendapatkan parameter model dilakukan validasi dengan menggunakan data tahun 1993. Data yang dibutuhkan meliputi data curah hujan, evaporasi (ETP) harian dan debit air masuk lokal (DAML) harian. Data ETP diambil dari hasil pengukuran UBP Saguling terhadap waduk Saguling, curah hujan dan debit diambil dari hasil pengukuran masingmasing Sub DAS (secara rinci dapat dilihat pada Bab 5.3.1). Hasil validasi parameter model tahun 1993 dan 23 Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu memiliki koefisien Nash lebih besar dari 5%. Untuk membandingkan dua DAS (DAS inisial 1993 dengan DAS simulasi 23), koefisien kemiripan (Nash) sering digunakan (Andresian et.al, 23). Menurut Perrin et.al (23), wilayah DAS yang memiliki Koefisien Nash lebih besar dari 5% dapat menggambarkan kemiripan antara data pengukuran dan hasil simulasi.

123 Dengan kata lain, model yang dibangun dapat menjelaskan keadaan nyata (fakta). Parameter model hasil validasi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Parameter model hasil validasi berdasarkan data Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu 1993. DAS Citarum Wilayah No Parameter Satuan Sub DAS Saguling Hulu 1993 23 1993 23 1. X1 Kapasitas maksimum simpanan produksi mm 84,14 227,89 2472,87 285,28 2. X2 Koefisien tukar air mm 7,23 1,15 6,47 1, 3. X3 Kapasitas maksimum simpanan pengalihan mm 256,59 61,71 198,81 48,49 4. X4 Waktu dasar hidrograf satuan hari 1,41 2,13,51 1,17 Dari hasil simulasi GR4J diperoleh informasi bahwa DAML Sub DAS Saguling mengalami penurunan per tahun sebesar 2,62 m 3 /dt, sub DAS Cirata naik,24 m 3 /dt, sub DAS Jatiluhur naik,12 m 3 /dt dan DAS Citarum Wilayah Hulu naik sebesar 1,48 m 3 /dt selama 1 tahun (1993-23), atau -2,62 m 3 /dt (Sub DAS Saguling) dan 1,48 m 3 /dt (DAS Citarum Wilayah Hulu) per tahun. Penurunan DAML tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah yang bersangkutan. Hasil simulasi terhadap DAML di DAS disajikan pada Tabel 27. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi di Sub DAS Saguling. (t-hit < t tab 1,96). Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Demikian pula di DAS Citarum Wilayah Hulu, analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara debit pengukuran dengan debit hasil simulasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hit < t tab (-,72 < 1,96). Dengan kata lain hasil pengukuran debit dengan simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Karakteristik DAML simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu disajikan pada Gambar 31.

124 Tabel 27. Perbandingan antara debit pengukuran dan simulasi Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. NO DP Debit pengukuran dan debit simulasi (m³/dt) Saguling Cirata Jatiluhur DAS Citarum DS DS- DP DP DS 1 11,3 1,2-9,83 97,52 1,18 2,67 84, 86,39 2,39 291,25 295,4 3,78 2 98,19 96,6-1,59 95,75 91,3-4,45 61,63 65,83 4,19 255,37 262,99 7,62 3 93,2 94,24 1,23 91,5 91,15,1 35,36 34,12-1,24 219,31 221,33 2,2 4 95,26 95,38,12 89,25 93,94 4,69 46,64 45,99 -,65 23,99 235,67 4,68 5 53,94 51,56-2,38 57,55 57,71,16 53,8 52,86 -,22 164,39 166,65 2,27 6 127,66 128,58,92 97,29 98,66 1,38 17,97 18,35,38 242,86 239,5-3,36 7 85,67 86,53,87 83,72 83,71 -,1 11,21 11,62,41 18,55 185,36 4,81 8 79,61 81,28 1,66 69,21 69,9 -,11 8,21 7,6 -,61 157, 155,35-1,64 9 11,27 85,58-24,68 1,89 97,75-3,14 15,68 15,35 -,34 226,79 221,27-5,51 1 76,89 78,79 1,9 77,7 78,36 1,29 22,3 2,82-1,22 175,91 173,63-2,28 11 65,13 68,15 3,2 61,78 61,85,7 1,24 8,5-1,74 137,11 14,96 3,84 Ratarata 9,51 87,9-2,62 83,73 83,97,24 33,28 33,4,12 27,41 28,89 1,48 Jumlah QS-QP -31,39 2,88 1,49 17,7 Keterangan : DP=debit pengamatan. DS=debit simulasi DS- DP DP DS DS- DP DP DS DS- DP Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan DAML simulasi 1993 dengan simulasi 23 DAS Citarum Wilayah Hulu. Dari Gambar 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa DAML simulasi tahun 1993 memiliki karakter yang relatif homogen dengan simulasi tahun 23 dan DAML 1993 lebih besar daripada DAML 23. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan DAML selama periode pengamatan (1993-23), yang diduga disebabkan oleh degradasi kualitas lingkungan wilayah hulu DAS Citarum. Sedangkan dari Gambar 32 diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara DAML simulasi tahun 1993 dengan 23 yang dibuktikan dengan nilai korelasi (R²) yang di atas 5% kecuali sub DAS Jatiluhur.

125 Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Saguling Tahun 1993 dan 23 3 DAML 1993 DAML 23 25 2 DAML(mm) 15 1 5 1 117 233 349 465 581 697 813 929 145 1161 1277 1393 159 1625 1741 1857 1973 289 225 2321 2437 2553 2669 2785 291 317 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Cirata Tahun 1993 dan 23 16 14 DAML 1993 DAML 23 12 1 DAML(mm) 8 6 4 2 1 118 235 352 469 586 73 82 937 154 1171 1288 145 1522 1639 1756 1873 199 217 2224 2341 2458 2575 2692 289 2926 343 316 3277 3394 3511 3628 3745 3862 3979 Hari Karakteristik DAML Simulasi Sub DAS Jatiluhur Tahun 1993 dan 23 7 6 DAML 1993 DAML 23 5 DAML(mm) 4 3 2 1 1 117 233 349 465 581 697 813 929 145 1161 1277 1393 159 1625 1741 1857 1973 289 225 2321 2437 2553 2669 2785 291 317 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari Karakteristik DAML Simulasi DAS Citarum Tahun 1993 dan 23 45 4 DAML 1993 DAML 23 35 3 DAML(mm) 25 2 15 1 5 1 117 233 349 465 581 697 813 929 145 1161 1277 1393 159 1625 1741 1857 1973 289 225 2321 2437 2553 2669 2785 291 317 3133 3249 3365 3481 3597 3713 3829 3945 Hari Gambar 31. Karakteristik DAML DAS Citarum Wilayah Hulu pada simulasi GR4J dengan menggunakan parameter model hasil validasi tahun 1993 dan 23.

126 Hubungan DAML Sub DAS Saguling tahun 1993 dan 23 hasil simulasi Hubungan DAML Sub DAS Cirata tahun 1993 dan 23 hasil simulasi 3 25 Series1 Linear (Series1) 14 12 Series1 Linear (Series1) y = 1.4265x - 3.4463 R 2 =.932 1 2 DAML (mm) 15 y =.3574x +.997 R 2 =.737 DAML (mm) 8 6 1 4 5 2 5 1 15 2 25 3 2 4 6 8 1 12 14 Hubungan DAML Sub DAS Jatiluhur tahun 1993 dan 23 hasil simulasi Hubungan DAML DAS Citarum tahun 1993 dan 23 hasil simulasi 7 6 Series1 Linear (Series1) 45 4 Series1 Linear (Series1) 35 5 3 y =.8933x -.6482 R 2 =.8437 DAML (mm) 4 3 y =.4861x - 2.129 R 2 =.368 DAML (mm) 25 2 15 2 1 1 5 1 2 3 4 5 6 7 5 1 15 2 25 3 35 4 45 Gambar 32. Hubungan DAML Simulasi DAS Citarum Wilayah Hulu Tahun 1993 dan 23. b. Neraca Air DAS Citarum Wilayah Hulu Hasil Simulasi Untuk menduga volume air yang terdapat di DAS Citarum Wilayah Hulu, dilakukan simulasi terhadap debit pengukuran maupun debit simulasi dikali luas masing-masing wilayah. VAML hasil simulasi 1993-23 adalah 7,426 milyar m³ atau 658,746 juta m³ (DAS Citarum Wilayah Hulu) dan 3,49 milyar m 3 atau 97,32 juta m 3 (Sub DAS Saguling) per tahun. Jumlah selisih QS-QP Sub DAS Saguling adalah sebesar 97,32 juta m 3 dan DAS Citarum Wilayah Hulu 511,82 juta m 3. Penurunan DAML dan VAML tersebut diduga disebabkan adanya perubahan kondisi penutup lahan (biofisik) di wilayah hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Tabel 28.

127 Tabel 28. Hasil simulasi VAML Sub DAS Saguling dan DAS Citarum Wilayah Hulu. No Tahun Sub DAS Saguling ( juta m³) DAS Citarum Wil. Hulu (juta m³) QP QS QS-QP QP QS QS-QP 1 1993 3.469,75 3.159,79-39,96 9.185, 9.34,3 119,3 2 1994 3.96,55 3.46,31-5,25 8.53,27 8.293,6 24,33 3 1995 2.933,36 2.972,5 38,7 6.916,2 6.979,87 63,86 4 1996 3.4,24 3.8,4 3,8 7.284,64 7.432,18 147,54 5 1997 1.71,11 1.626, -75,11 5.184,14 5.255,62 71,48 6 1998 4.25,86 4.54,83 28,97 7.658,72 7.552,79-15,93 7 1999 2.71,53 2.728,83 27,3 5.693,96 5.845,56 151,6 8 2 2.51,71 2.563,12 52,41 4.951,5 4.899,25-51,8 9 21 3.477,43 2.699, -778,43 7.151,95 6.978,12-173,83 1 22 2.424,69 2.484,59 59,9 5.547,58 5.475,61-71,97 11 23 2.53,9 2.149,25 95,36 4.323,94 4.445,18 121,24 Jumlah 31.399,12 3.491,8-97,32 71.95,25 72.462,7 511,82 Rata-Rata 2.854,47 2.771,98-82,48 6.54,93 6.587,46 46,53 Keterangan : QP = VAML pengukuran, QS = VAML simulasi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di Sub DAS Saguling. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (,3 < 1,96). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung di waduk Saguling. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara volume pengukuran dengan volume hasil simulasi di DAS Citarum Wilayah Hulu. Hal ini dapat dilihat dari nilai t-hitung < t-tabel (-,72 < 1,96). Dengan demikian hasil pengukuran volume dengan volume simulasi menyerupai hasil pengukuran secara langsung. Melalui uji statistik tersebut diketahui bahwa nilai DAML dan VAML pengukuran dan simulasi menyerupai hasil pengukuran langsung di lapangan. Dengan demikian, simulasi yang dibangkitkan berdasarkan validasi parameter model tahun 1993 (inisial) mampu menjelaskan parameter model tahun 23 (simulasi). Perbedaan (selisih) DAML dan VAML antara 23 dan 1993 diduga disebabkan oleh perubahan kondisi penutup lahan di wilayah hulu DAS. Grafik volume air hasil simulasi ditampilkan pada Gambar 33.

128 5, VAML Simulasi (juta m3) 4, 3, 2, 1, QP SGL QS SGL QP CRT QS CRT QP JTL QS JTL - 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 Tahun Gambar 33. Grafik volume air berdasarkan hasil simulasi GR4J (QS93 QP3). 5.4.4. Volume Sedimen a. Berdasarkan hasil pemeruman (pengukuran) Tingkat sedimentasi pada badan air (sungai dan waduk) dapat dijadikan ukuran kondisi biofisik lahan di wilayah hulu terutama penutup lahannya (land coverage). Pengolahan data terhadap laju sedimentasi dari hasil pemeruman di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 34. Sedimentasi merupakan proses alam yang mengendapkan butiran atau partikel tanah atau batuan sebagai akibat terjadinya erosi. Laju sedimentasi dapat diperoleh dengan menghitung total volume sedimen dibagi dengan luas Sub DAS dibagi jumlah tahun. Dari ketiga Tabel tersebut diketahui bahwa laju sedimentasi waduk Saguling sejak tahun 1985 s/d 24 rata-rata sebesar 1,286 mm/th, waduk Cirata sejak tahun 1987 s/d 22 rata-rata sebesar 1,67 mm/th dan waduk Jatiluhur sejak tahun 1987 s/d 2 rata-rata sebesar,361 mm/th.

129 Tabel 29. Perkembangan volume sedimen di tiga waduk. No Tahun Akumulasi volume sedimen waduk (juta m³)* Saguling Selisih Cirata Selisih Jatiluhur Selisih Total Selisih 1 1993 25,57 4,16 21,93 6,39 487,5 12,25 535, 22,8 2 1994 29,73 4,18 28,32, 499,75 12,25 557,8 16,43 3 1995 33,91 4,17 28,32 6,39 512, 2, 574,23 12,56 4 1996 38,8 4,1 34,71 12,78 514, 2, 586,79 18,88 5 1997 42,18 4,14 47,49 5,11 516, 2, 65,67 11,25 6 1998 46,32 4,14 52,6 5,11 518, 2, 616,92 11,25 7 1999 5,45 4,69 57,71 5,11 52, 2, 628,16 11,8 8 2 55,14 4,3 62,82 5,87 522, 2, 639,96 12,17 9 21 59,44 4,19 68,69 3,23 524, 2, 652,13 9,42 1 22 63,63 3,81 71,92 5, 526, 2, 661,55 2, 11 23 67,44-76,92-528, - 663,55 - Rata-rata/th 46.54 4,19 5,13 5,5 515,2 4,5 611,7 12,86 Keterangan : * Pengolahan data sedimen hasil pemeruman (pengukuran). Laju sedimentasi waduk Jatiluhur periode 1964-1987 sangat tinggi (3,811 mm/th) disebabkan belum beroperasinya waduk Saguling dan Cirata (Saguling beroperasi 1987 dan Cirata beroperasi tahun 1988), secara drastis menurun 1987 s/d 1995 menjadi,83 mm/th dan,56 mm/th pada 1995-2 atau,361 mm/th (1987-2). Akumulasi Sedimen 75 Sedimen (juta m3) 625 5 375 25 125 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 Saguling Cirata Jatiluhur Total Tahun Gambar 34. Perkembangan volume sedimen waduk hasil pemeruman tahun 1993-23. Keterangan : Sedimen Citarum Wilayah Hulu = total sedimen di 3 waduk. (data merupakan hasil pengolahan)

13 Tingkat laju sedimentasi yang terjadi di waduk Saguling berada di atas ambang batas perencanaan waduk (1, mm/th), waduk Cirata mendekati ambang batas (1,78 mm/th) dan waduk Jatiluhur di bawah ambang batas (1, mm/th). Tingginya laju sedimentasi pada waduk akan menyebabkan penurunan umur pakai (service life) dari bendungan dan menurunkan produktivitas operasional turbin PLTA. Basiran (199) menyatakan bahwa umur pakai bendungan Jatiluhur bertambah 96 tahun (menjadi 277,5 tahun) dari perencanaan semula, disebabkan telah beroperasinya waduk Saguling dan Cirata. Kedua waduk tersebut telah berfungsi sebagai penangkap sedimen (sedimen trap) sehingga memperpanjang umur pakai waduk. Umur pakai waduk diukur dari lamanya waktu yang diperlukan untuk mengisi zona tampungan mati (dead storage) bendungan. b. Berdasarkan hasil simulasi Sedimen pada sungai (waduk) dapat diduga dengan menggunakan volume air hasil simulasi model GR4J, dengan beberapa asumsi sebagaimana pada Tabel 3. Hasil dugaan sedimen di tiga Sub DAS yang ada di DAS Citarum wilayah hulu dan perkembangannya dari 1993 23 ditampilkan pada Tabel 31. Tabel 3. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam memperkirakan volume sedimen di DAS Citarum Wilayah Hulu. No Penggunaan Lahan Ep EP EP Ep Saguling Cirata Jatiluhur Citarum CP SDR 1 Hutan,13,24,14,17,1,32 2 Sawah Tadah Hujan,33,4 1,45,62,2,32 3 Sawah Irigasi,33,4 1,45,59,2,32 4 Permukiman,3,2,15,5,,32 5 Kebun/Perkebunan 8,4 15,4 36,86 18,66,12,32 6 Tegalan 22,2 61,31 4,5 34,76,23,32 Sumber : 1. Erosi permukaan pada soil pan (Ep) sama dengan erosi permukaan lapang, berdasarkan penelitian Sutono et. al (23) di DAS Citarum. 2. Volume air permukaan satu periode hujan (Ro) sama dengan volume air masuk lokal hasil simulasi model GR4J. 3. Faktor tanaman dan konservasi tanah (CP), berdasarkan hasil penelitian Abdurahman et. al (1984), Ambar dan Syafrudin (1979) serta EXSA dan ECI (1989) dalam Asdak (24) dan Amarjan (23). 4. Luas Sub DAS (A) sama dengan luas masing-masing Sub DAS atau luas per penggunaan lahan sesuai dengan hasil interpretasi peta.