BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

Asas asas perjanjian

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan Terhadap Perjanjian Pada Umumnya. hukum perdata adalah sama penyebutannya secara berturut-turut seperti

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Berbagai kepustakaan Indonesia menggunakan istilah overeenkomst dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN, PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DAN WANPRESTASI. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Lembaga Pembiayaan

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

HUKUM JASA KONSTRUKSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

A. Pengertian Perjanjian. C. Unsur-unsur Perjanjian. B. Dasar Hukum Perjanjian 26/03/2017

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG PERJANJIAN. yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

Transkripsi:

17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan bahwa Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang undang. 9 Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa Tiap tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. 10 Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan melahirkan kewajiban, kepada orang perorangan atau pihak tertentu, yang dapat berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu : 1. Untuk memberikan sesuatu. 2. Untuk melakukan sesuatu. 3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu. Istilah kewajiban itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut dengan kreditur. 11 Sumber perikatan adalah sebagai berikut 12 : 1. Perjanjian 2. Undang undang yang dapat dibedakan 9 Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 313 10 Ibid. 11 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jam inan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12 15 12 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 6

18 a) Undang undang semata b) Undang undang karena perbuatan manusia yang : 1) Halal 2) Melawan hukum 3. Jurisprudensi 4. Hukum tertulis dan tidak tertulis 5. Ilmu pengetahuan hukum Perikatan dapat dibedakan dalam berbagai jenis, yaitu 13 : 1. Dilihat dari objeknya 2. Perikatan untuk memberikan sesuatu 3. Perikatan untuk berbuat sesuatu 4. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif. 5. Perikatan mana suka (alternatif) 6. Perikatan fakultatif 7. Perikatan generik dan spesifik 8. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan ondeerlbaar) 9. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus (voorbijgaande dan voortdurende) 10. Dilihat dari subyeknya maka dapat dibedakan : 1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdlijk atau solidair) 2) Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir) 11. Dilihat dari daya kerjanya 12. Perikatan dengan ketetapan waktu. Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, sejalan dengan sifat dari Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan hukum positif yang tertulis oleh para legislator. 14 Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang undang Hukum Perdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari duatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang 13 Ibid. 14 Ibid.

19 (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 1314 dan 1313 KUHPerdata, bila dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukan kontra prestasi dari lawan pihaknya tersebut atau dengan istilah dengan atau tanpa beban. 15 Kedua rumusan diatas memberikan banyak arti bagi ilmu hukum, yang menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang timbal balik (dengan kedua belah pihak yang berprestasi). 16 Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum mengenal unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah), unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian 15 Ibid. 16 Mariam Darus Badrulzaman, Loc. Cit

20 (unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). 17 Syarat subjektif : 18 1. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian. Syarat ini diatur dalam Pasal 1321 sampai pada Pasal 1328 KUHPerdata, pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan, kekhilafan tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian, kecuali jika kekhilafan tersebut terjadi mengenai hakekat dari kebendaan yang menjadi pokok persetujuan. 2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang berjanji. a. Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan (Pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata) Pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum, kecuali mereka yang masih berada dibawah umur, yang berada dibawah pengampuan, dan mereka yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 KUHPerdata). b. Kecakapan dalam hubungan dengan pemberi kuasa Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak dalam hukum, tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa, melainkan juga dari pihak yang menerima kuasa secara bersama- 17 Wirjono Prodjodikoro, Asas asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 12 18 Ibid., hal 14

21 sama. Khusus untuk orang perorangan, maka berlakulah persyaratan yang ditentukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. c. Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan perwakilan. Dalam hal perwalian maka harus diperhatikan kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum dan peraturan perundangundangan. Syarat Objektif : 19 1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian. Hal ini adalah konsekuensi logis dari perjanjian itu sendiri. Tanpa adanya suatu obyek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam perjanjian, maka perjanjian itu sendiri absurd adanya. 2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, pasal 1337 KUHPerdata memberikan perumusan secara negatif, dengan menyatakan bahwa suatu causa dianggap sebagai terlarang, jika causa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Asas asas umum dalam perjanjian meliputi 20 : 19 Ibid.

1. Asas Kebebasan Berkontrak Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undangundang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) nya yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam halhal dimana oleh undang- undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu. Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai asas kebebasan berkontrak. 2. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas merupakan kesatuan dari sistem terbuka buku III KUHPerdata, hukum perjanjian memberikan kesempatan seluas luasnya pada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang undang, selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai kesepakatan lisan diatur didalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsensualitas dalam hukum perjanjian. 3. Asas Personalia Asas Personalia ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1315 KUHPerdata yang dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata, dari kedua rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian bagi pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian maka perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya akan mengikat para pihak yang membuatnya. 22 B. Asas asas Hukum Perjanjian 20 Ibid.,hal. 18

Menurut Rutten dalam buku Purwahid Patrik menyebutkan asas asas hukum perjanjian yang didalam Pasal 1338 KUHPerdata ada tiga asas yaitu : 21 a. Asas Konsensualisme Bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu ada karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata. b. Asas Kekuatan Mengikat Dari Perjanjian Bahwa pihak pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebut dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku sebagai undang undang bagi para pihak. c. Asas Kebebasan Berkontrak Bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu. Menurut Mariam Darus Badrulzaman di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, sebagai berikut : 22 a. Asas Kebebasan Berkontrak Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum perjanjian dan tidak berdiri sendiri, hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas asas hukum perjanjian yang lain, secara menyeluruh asas asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari hukum perjanjian. 21 Wiryono Prodjodikoro, Loc. Cit., Asas Asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 5 22 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983) hal. 12 23

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian ini diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian, kebebasan adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia. 23 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dengan perkataan lain bahwa di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab, di dalam hukum perjanjian nasional asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak, sehingga sebuah perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak. 24 Asas Kebebasan berkontrak menurut Hartkamp menyebutkan bahwa kita terikat pada perjanjian yang harus dipenuhi secara moral, secara hukum karena kita berada dalam suatu masyarakat yang beradab dan maju. Untuk itu diperlukan suatu prinsip yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari hak hak dan kebebasan manusia. 25 Menurut Bentham dalam buku Johanes Ibrahim menyebutkan ukuran yang menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position atau posisi tawar untuk dapat memperoleh uang untuk 23 Ibid. 24 Ibid., hal 14 25 Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman dan Asas Kebebasan Berkontrak, (Bandung : CV Utama, 2003) hal.27 24

memenuhi kebutuhannya, juga tidak seorangpun sebagai satu pihak dalam suatu perjanjian dapat dihalangi untuk dapat bertindak bebas memenuhi hal tersebut, asal saja pihak yang lain dapat menyetujui syarat syarat perjanjian itu sebagai hal yang patut diterima, secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan seseorang kecuali dirinya sendiri, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam hal yang tidak dipahaminya. 26 Asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa saja asal tidak bertantangan dengan undang undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 27 a. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Kata semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang undang. 28 b. Asas Kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain akan menumbuhkan kepercayaan diantara pihak, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya, tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaanm kedua pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai undang undang. 29 c. Asas Kekuatan Mengikat Para pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjiakan, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga ada beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki yaitu kebiasaan dan kepatutan serta moral yang mengikat para pihak. 30 d. Asas Persamaan Hukum 25 26 Ibid. 27 Ibid., hal 92 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid.

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain lain. Masing masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan. 31 e. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntuk pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 32 f. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang undang para pihak. 33 26 g. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan. 34 h. Asas Kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang undang. C. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut : 35 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 31 Ibid., hal 93 32 Ibid. 33 Ibid., hal 94 34 Ibid., hal. 95 35 Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung : Nuansa Aulia, 2007)

27 c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Dua syarat pertama disebut syarat Subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing masing syarat tersebut: a. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya Menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika didalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 36 b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan. 37 c. Suatu Hal Tertentu Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian. 36 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.Cit. hal 25 37 Ibid.

28 d. Suatu Sebab Yang Halal Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata. 38 D. Pihak Pihak dalam Perjanjian Pihak pihak disini adalah siapa siapa yang terlibat di dalam perjanjian. Berdasarkan pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri. Namun dalam Pasal 1340 KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku diantara pihak yang mengadakannya. 39 Terhadap asas kepribadian tersebut dalam pengecualiannya, yakni apa yang disebut dengan janji pada pihak ketiga. Pasal 1317 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : lagi pula diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang 38 Ibid., hal 26 39 Ibid.

29 dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain memuat satu janji yang seperti itu. Menurut R. Setiawan yang dimaksud dengan janji untuk pihak ketiga adalah janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu persetujuan dimana ditentukan bahwa pihak ketiga akan memperoleh hak atas suatu prestasi. 40 Berdasarkan Pasal 1317 KUHPerdata, maka timbulnya hak bagi pihak ketiga terhadap prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga itu menyatakan kesediannya menerima prestasi tersebut. 41 Selain dari pengaturan hal diatas didalam perjanjian, terutama mengenai pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terlibat atau terkait, misalnya : 42 1) Pihak Surveyor atau pihak pemeriksa dari pihak lessor Tugas utama pihak Surveyor ini adalah memeriksa dan meneliti rentabilitas dan solvabilitas calon leassee tersebut. 2) Pihak Pembuat Akta Perjanjian Pihak ini pada umumnya adalah Pejabat Notaris, tugas utama dari notaris ini adalah membuat akta tentang perjanjian dan segala tindakan dalam perjanjian leasing tersebut. Dalam prakteknya terdapat beberapa pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung di dalam mempersiapkan atau pelaksanaan perjanjian leasing itu, antara lain : 43 40 R. Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta : Binacipta, 1987), hal 54 41 Ibid. 42 Ibid. 43 Wawancara pribadi dengan Ryan Wijayanto,

30 1. Lessor, pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa perusahaan. Lessor disebut juga sebagai investor, equity holder, owner participants atau truster owners. 2. Lessee, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, dimana barang modal tersebut dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee. 3. Kreditur atau lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan. 4. Supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negri ataupun yang berkantor pusat diluar negri. 5. Surveyor, pihak peneliti atau pemeriksa. 6. Pejabat Pembuat Akta Notaris. E. Prestasi, Wanprestasi dan Akibat akibatnya Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk membuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan Dalam tiap tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaksud kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan. Dari pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian memberikan sesuatu mencakup pula kewajiban untuk

31 menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya. Istilah memberikan sesuatu sebagaimana disebutkan dalam pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu : 44 1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek perjanjian. 2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis. Wujud prestasi yang lainnya adalah berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. berbuat sesuatu adalah melakukan sesuatu perbuatan yang telah ditetapkan di dalam perjanjian. Tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan didalam suatu perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hal inilah yang disebut wanprestasi. Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan dilakukan. Menurut R. Subekti melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. 45 Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau 44 Ibid., 45 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa, 1983), Loc. Cit

32 bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi itu sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi. Dalam hal wujudnya prestasinya memberikan sesuatu maka perlu pula dipernyatakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi. 46 Surat peringatan tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya tidak berbuat sesuatu kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi. Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat syarat Cit 46 R. Setiawan, Pokok pokok Hukum Perjanjian, (Bandung : Putra Bordin, 1999),Loc.

diatas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa empat macam, yaitu : 47 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan. b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Permasalahan tentang wanprestasi, terdapat pendapat lain mengenai syarat syarat terjadinya wanprestasi, yaitu : 48 a. Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi. b. Debitur salah berprestasi, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya. c. Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini banyak kasus yang dapat menyamakan bahwa terlambat berprestasi dengan tidak berprestasi sama sekali. Berdasarkan dengan akibat wanprestasi tersebut, Abdul Kadir Muhammad berpendapat akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut : 49 a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata) 47 Ibid. 48 Loc. Cit 49 Abdul Kadir Muhammad, Pemahaman Dasar atas Usaha Leasing, (Jakarta : Integritas Press, 1985), Op. Cit 33

34 b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari suatu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata) c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 (2) KUHPerdata), ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. d. Membayar biaya perkara apabila perkara diperkarakan dimuka hakm (Pasal 181 (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembatalan ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan. Dari beberapa akibat wanprestasi tersebut, kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan sebagai berikut : a. Meminta pelaksanaan perjanjian walaupun pelaksanaan sudah terlambat. b. Meminta penggantian kerugian menurut pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi ini dapat berupa biaya (konsten), rugi (schaden), atau bunga (interessen). c. Meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, bila perlu disertai dengan penggantian kerugian (Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal 1267 KUHPerdata). Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, maka timbul persoalan apakah

35 perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim tersebut bersifat declaratoir atau bersifat constitutive. 50 R. subekti mengemukakan bahwa menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive bukan declaratoir. 51 50 Ibid. 51 R. Subekti, Op. Cit, hal 10