PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PENDAHULUAN Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan satwa yang memiliki status Resiko rendah (low risk/ least concern) pada tahun 1996 dan meningkat menjadi vurnerable (Rentan) terhadap kepunahan menurut IUCN Red List of Threatened Species pada tahun 2008. Peningkatan status rusa timor ini dikarenakan adanya perburuan illegal pada habitat aslinya sehingga terjadi populasi sekitar 10 % dari rentan kurun waktu 1996-2008 sehingga total populasi rusa timor diperkirakan hanya 10.000 individu dewasa (IUCN 2008). Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan rusa timor baik untuk tujuan konservasi maupun komersial adalah dengan usaha konservasi eksitu, yaitu dengan kegiatan penangkaran. Berdasarkan atas tujuannya, penangkaran dapat dibedakan dua macam, yakni penangkaran yang ditujukan untuk melestarikan jenisjenis satwa yang berada dalam keadaan langka yang akan segera punah apabila perkembangbiakannya tidak dibantu oleh campur tangan manusia dan penangkaran yang ditujukan untuk mengembangbiakan jenis- jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thohari 1987). Kondisi penangkaran diusahakan sesuai dengan habitat aslinya untuk memudahkan adaptasi dan meminimalkan tingkat stres dari satwa yang ditangkarkan. Kegiatan penangkaran tidak hanya untuk tujuan konservasi, tetapi untuk tujuan pemanenan (ekonomi), maka pengelolaan populasi satwa perlu diarahkan untuk memperoleh panenan lestari. Banyaknya jumlah rusa yang dipanen setiap tahun merupakan kuota panenan yang mesti ditetapkan oleh pengelola dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap ketersediaan populasi rusa timor di alam maupun di unit-unit penangkaran. Penetapan jumlah panenan setia tahunnya kebanyakan masih menjadi kendala para pengelola penangkaran. Sehingga dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai penentuan kuota pemanenan yang lestari pada suatu usaha penangkaran.
METODE Waktu dan Lokasi Pembuatan makalah ini dilakukan pada bulan Desember 2015 di Kampus Institut Pertanian Bogor. Alat Peralatan yang digunakan adalah laptop dan literature dari skripsi, tesis, jurnal, buku dan artikel yang berkaitan penentuan kuota panenan lestari rusa timor. Metode Pengumpulan data Data yang dikaji merupakan data sekunder dari hasil penelitian mengenai penentuan kuota panenan lestari rusa timor Analisis data Data yang terkumpul mengenai penentuan kuota panenan lestari rusa timor dianalisis secara deskriptif. TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Rusa Timor Rusa Timor termasuk dalam kategori langka dan dilindungi undangundang. Rusa Timor merupakan salah satu jenis satwa yang masuk kedalam status yang digolongkan IUCN kedalam Vulnerable yaitu dalam kondisi rentan dari kepunahan dan termasuk jenis satwa yang dilindungi UU No. 7 Tahun 1999. Taksonomi Rusa Timor diuraikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Vertebrata Sub filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Cervidae Genus : Rusa Species : Rusa timorensis de Blainvilee 1822 (IUCN 2008)
Rusa Timor merupakan salah satu satwa asli Indonesia. Morfologi Rusa Timor menurut Semiadi (2006) memiliki ciri-ciri rambut berwarna coklat kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna coklat, mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, dan gigi seri relatif besar. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang, dan bercabang. Cabang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang dari cabang depan kedua, cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar. Rusa Timor memiliki habitat asli berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savana (Wiyanto 2011). Selain itu menurut Semiadi (2006) Rusa Timor mempunyai habitat utama berupa savana dan hutan terbuka, savana merupakan tempat mencari makan sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung. Lingkungan yang ternaungi merupakan hal yang penting dan dibutuhkan bagi rusa sebagai tempat bernaung, bersembunyi, dan melindungi dari serangga (pada jantan yang sedang mengelupas velvetnya). Rusa Timor merupakan satwa yang termasuk kedalam grasser (pemakan rerumputan). Dalam hal pemilihan pakan, rusa lebih menyukai hijauan berdaun lunak, basah dan berdaun muda seperti jenis leguminosa atau kacang-kacangan dan rerumputan (Wiyanto 2011). Dalam mencari pakan di habitat aslinya, menurut Semiadi (2006) rusa tropis termasuk kedalam satwa nokturnal (aktif di malam hari), sedangkan rusa yang ditangkarkan cenderung meluangkan waktunya lebih banyak untuk istirahat, ruminansia dan berjalan dibandingkan makan dan minum. Potensi dan Penyebaran Rusa Penyebaran Rusa Timor (C. timorensis) tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Populasi rusa khususnya Rusa Timor di alam pada tahun 1990-an relatif masih banyak, seperti di Taman Nasional (TN) Komodo khususnya Pulau Rinca populasinya mencapai 11.282 individu (Garsetiasih, 1997). Di Pulau Menipo dengan luas 581 ha populasinya 632 individu (Sutrisno, 1993). Di Pulau Rumberpon yang di dalamnya terdapat taman buru dengan luas 420,66 ha terdapat populasi rusa sekitar 662 individu (Febriyanto, 2002). Selanjutnya di Suaka Margasatwa Wasur Merauke Papua populasi rusa diperkirakan mencapai 70.000 individu (Garsetiasih, 2000).
Penangkaran Rusa Sistem penangkaran rusa pada beberapa wilayah di beberapa negara mengacu pada prinsip pengelolaan habitat yaitu secara intensif atau extensif. Pada pengelolaan intensif, campur tangan manusia sangat tinggi, sebaliknya pada pengelolaan ekstensif manusia hanya mengatur beberapa aspek habitat dan kebutuhan hidup satwa. Pengelolaan secara ekstensif berimplikasi terhadap luasnya areal dan umumnya tenaga dan biaya yang dibutuhkan perhektarnya relatif rendah. Sebaliknya pada pengelolaan intensif dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk setiap hektar areal. Beberapa tindakan pengelolaan yang termasuk ke dalam pengelolaan ekstensif diantaranya adalah pembakaran terkendali, pengendalian semak belukar, dan seleksi tumbuhan sumber pakan. Sedangkan pengelolaan intensif diantaranya adalah pemberian pakan oleh pengelola secara cut and carry, membangun kebun pakan, membangun kandang, sumber air, peneduh (cover). Pengelolaan reproduksi secara non alami juga dapat digolongkan pada pengelolaan secara intensif (SRNF 2008). Di beberapa negara, pengelolaan ekstensif lebih penting dan efektif dibandingkan sistem intensif. Namun pada beberapa situasi, pengelolaan secara intensif digabungkan dengan pengelolaan ekstensif untuk mencapai pengelolaan yang lebih efektif dalam mengatasi beberapa faktor pembatas. Konsep pengelolaan intensif dan ekstensif tersebut di Indonesia diadaptasi ke dalam sistem penangkaran secara intensif dan ekstensif. Penggabungan kedua konsep tersebut melahirkan sistem semi intensif yang banyak diterapkan pada berbagai penangkaran di Indonesia. Sistem-sistem penangkaran tersebut diterapkan dalam beberapa bentuk pemeliharaan. Semiadi dan Nugraha (2004) mengelompokkan ke dalam bentuk pemeliharaan, yaitu diikat, dikandangkan, dan dilepas di padang umbaran yang disebut pedok (paddock). Bentuk pemeliharaan diikat dan dikandangkan dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan intensif, sedangkan penggembalaan di padang umbaran dapat tergolong pada sistem ekstensif atau semi intensif tergantung pada tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat, populasi, dan reproduksi satwa.
Pemanenan Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Pengelolaan akan sangat menentukan tujuan dan target yang akan dicapai dalam pemanenan (Evans et al. 1999). Prinsip pemanenan dalam pengelolaan populasi adalah menyediakan panenan lestari, yaitu sejumlah hasil yang dapat diambil dari tahun ketahun tanpa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah panen lestari tertinggi yang mungkin diperoleh disebut sebagai panen lestari maksimum (maximum sustainable yield), sedangkan panen lestari yang dapat diperoleh tanpa menyebabkan kerusakan disebut dengan panen lestari optimum (optimum sustainable yield) (Caughley 1977). Pada pengelolaan Ungulata untuk tujuan pemanenan umumnya digunakan konsep tingkat kepadatan pemanenan maksimum, yaitu jumlah satwaliar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini dapat dicapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraan, dengan demikian, keadaan pemanenan maksimum memerlukan pengelolaan secara intensif. Selain itu, juga diperlukan data dasar untuk menetapkan jumlah satwaliar maksimum yang dapat dipanen, dan memelihara populasi agar mencapai jumlah yang maksimum. Untuk mendapatkan jumlah hasil pemanenan maksimum yang tepat diperlukan berbagai fakta seperti model populasi yang dapat disusun berdasarkan respon pertumbuhan populasi terhadap berbagai macam ukuran populasi dan kondisi produktifitas habitat (Adams 1971, Anderson 1971). HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian penentuan kuota pemanean rusa timor dilakukan oleh (Kwatrina 2009) di penangkara Hutan Penelitian Dramaga. Pada penelitian kali ini kuota pemanenan ditetapkan berdasarkan perhitungan nilai Break Event Point (BEP) yaitu jumlah panenan minimal yang masih layak pada suatu penangkaran rusa. Pendekatan BEP menggambarkan jumlah produksi minimal yang masih memungkinkan kegiatan penangkaran dapat terus diselenggarakan. Penentuan kuota panenan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sistem penangkaran yang
digunakan (sistem ekstensif, sistem semi intensif, dan sistem intensif) dan Jenis produk yang dihasilkan adalah satu jenis produk yaitu bibit rusa. Dasar yang digunakan dalam penghitungan BEP adalah nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi masing-masing penangkaran. Selanjutnya, kuota panenan rusa timor yang dinyatakan sebagai Qt, dihitung dengan menggunakan persamaan (Home et al. 1995): Qt = F (P V) Keterangan: Qt = BEP/kuota panenan (individu/th) F = total biaya tetap (Rp./th) P = harga jual per unit produk (Rp./individu) V = biaya variabel per unit produk) (Rp./individu/th) Setelah mendapakan jumlah individu yang dapat dipanen maka perlu dicari ukuran populasi pada saat pemanenan. Kuota panenan (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat dipanen setiap tahun sehingga populasi tetap lestari dan kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Kuota panenan dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Nt = Qt h Keterangan: H = 1 (e) r Nt = ukuran populasi pada saat pemanenan (individu) Qt = kuota panenan (individu/th) h = laju pemanenan r = laju pertumbuhan eksponensial Kuota Pemanenan Berdasarkan Break Event Point (BEP) Penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga yang dikembangkan dengan tujuan menyediakan bibit rusa timor, memerlukan perencanaan pemanenan seperti target dan kuota panenan. Target pemanenan terkait dengan karakteristik panenan, sedangkan kuota panenan terkait dengan jumlah rusa yang akan dipanen. Kuota panenan dalam
penelitian ini merupakan kuota panenan minimal yang ditetapkan dengan menggunakan analisis Break Event Point (BEP). Prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. Dalam konteks pengelolaan penangkaran rusa, penerimaan yang diperoleh dari penjualan produk harus sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola penangkaran. Kondisi ini tercapai apabila jumlah produksi minimal dapat terjual. Selain itu BEP ditentukan berdasarkan sistem penangkaran rusa yaitu sistem intensif, semi intensif dan ekstensif. Pada penelitian ini sistem ekstensif dan semi intensif diasumsukan bahwa areal yang produktif yang efektif sebagai areal penangkaran rusa di Hutan Penelitian Dramaga seluas ±6,5 ha. Untuk sistem intensif, areal yang digunakan lebih sempit dibandingkan sistem semi intensif dan ekstensif. Hal ini disebabkan oleh karakteristik kandang, berupa bangunan permanen dengan semua fasilitas pendukung di dalamnya, hanya dibangun pada sebagian areal penangkaran saja pada areal kurang dari 0,1ha dengan kebun pakan seluas ± 3 ha. Analisis BEP diperhitungkan berdasarkan harga penjualan rusa per individu; biaya tetap (pemeliharaan bangunan dan alat, biaya operasional perkantoran dan kegiatan penangkaran, serta gaji dan upah karyawan) dan biaya variabel (pembelian pakan tambahan, konsentrat dan vitamin, biaya perawatan kesehatan dan obat-obatan, serta biaya penangkapan dan pengangkutan rusa) yang dikeluarkan setiap tahun. Berikut merupakan tabel 1. Menerangkan jumlah biaya yang dikeluarkan beserta jumlah kuota pemanenan rusa timor hasil perhitungan menggunakan rumus kuota pemanenan dengan metode BEP. Tabel 1. Kuota Panenan Rusa Timor Jenis Biaya Sistem Penangkaran Intensif Semi Intensif Ekstensif Biaya Tetap (Rp/th) 182.238.831 167.123.486 114.302.236 Biaya Variabel (Rp/th) 6.680.100 2.446.500 147.000 Harga Jual Rusa /Individu (Rp) 7.500.000 7.500.000 7.500.000 BEP/ Kuota Pemanenan (Indiv) 226 33 16 Biaya tetap paling tinggi terdapat pada sistem intensif, dan terendah pada sistem ekstensif. Hal ini dapat dipahami karena pengelolaan yang semakin intensif
membutuhkan komponen pengelolaan tertentu yang mengakibatkan tingginya biaya tetap. Biaya variabel dalam perhitungan ini merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan segala keperluan yang dibutuhkan untuk memelihara satu individu rusa, sehingga perbedaan sistem penangkaran menyebabkan perbedaan besarnya biaya variabel pada masing-masing sistem. Biaya variabel pada sistem ekstensif merupakan yang terendah dibandingkan dua sistem lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya komponen biaya penyediaan atau pengolahan pakan pada sistem ekstensif, dimana seluruh kebutuhan pakan rusa diperoleh satwa dari areal penangkaran tanpa campur tangan manusia. Ukuran Populasi Saat Pemanenan Ukuran populasi dalam pengelolaan penangkaran merupakan banyaknya individu yang harus tersedia di penangkaran sehingga populasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, serta kuota panenan yang ditetapkan dapat tercapai. Ukuran populasi dalam pengelolaan dengan tujuan pemanenan ini terdiri dari ukuran populasi pada saat pemanenan dan ukuran populasi awal pada saat penangkaran dimulai. Ukuran populasi pada saat pemanenan atau Nt merupakan banyaknya rusa yang harus tersedia pada saat pemanenan dilakukan, sedangkan ukuran populasi awal atau N0 merupakan banyaknya rusa yang harus disediakan pada awal kegiatan penangkaran agar ukuran populasi pada saat pemanenan tercapai. Menurut Caughley (1977), pemanenan lestari (SY) diperoleh dengan memperhitungkan laju pemanenan (h) dan ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt), dengan menggunakan persamaan Syt = h.nt. Laju pemanenan populasi (h) merupakan fungsi dari 1-e -r. Berdasarkan laju pertumbuhan eksponensial di penangkaran sistem semi intensif sebesar 0,19, pada sistem intensif sebesar 0,25 dan pada sistem ekstensif sebesar 0,13, maka laju pemanenan pada sistem semi intensif sebesar 0,173, pada sistem intensif sebesar 0,221, dan pada sistem ekstensif sebesar 0,122. Apabila kuota panenan (Qt) yang diperoleh dari perhitungan BEP merupakan representasi dari panenan lestari untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga, maka besarnya ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan: Nt = Qt/h. Berdasarkan kuota panenan pada masing-masing sistem penangkaran, maka diperoleh ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt) sebesar 1022 individu pada sistem intensif, 191 individu pada sistem semi intensif, dan 131 individu pada sistem ekstensif. SIMPULAN Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Hasil penelitian yang dilakukan (Kwatrina 2009) di penangkara Hutan Penelitian Dramaga menyatakan bahwa Kuota panenan minimal pertahun sebanyak 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Selain itu untuk mencapai kelestarian perlu diketahui jumlah populasi pada saat pemanenan, yaitu sebanyak 1022 individu pada sistem intensif, 191 individu pada sistem semi intensif, dan 131 individu pada sistem ekstensif. DAFTAR PUSTAKA [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resource. 2008. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org. [25 Desember 2015] [SRNF] Samuel Roberts Noble Foundation. 2008. White-Tailed Deer: Their Foods and Management In the Cross Timbers. http://www.noble.org/ag/ Wildlife/DeerFoods/HabitatMngt.html [25 Desember 2015]. Anderson TE. 1971. Identifying, Evaluating, and Controlling Wildlife Damage. In: HS Alikodra. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. John Wiley & Sons. Adams L. 1971. Using Computers In Wildlife Management. In: HS Alikodra. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Evans JE, WN Grafton and TR McConnell. 1999. Fundamentals of deer harvest management. Publication No. 806. Wildlife Resources Section West
Virginia Division of Natural Resources. West Virginia University. http://www.deer management.pdf. [25 Desember 2015]. Febriyanto. 2002. Pengelolaan penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis, de blainville 1822) di Ranca Upas KPH Bandung Selatan, PT Perhutani Unit III Jawa Barat. [skripsi] Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Garsetiasih, R. 1997. Potensi Satwa Mangsa Komodo di Pulau Rinca TN. Komodo. Data Pribadi. Home JCV and JM Wachowicz. 1995. Fundamentals of Financial Management. 9th Edition. New Jersey:Prentice-Hall Incorporated. Kwatrina R. T., 2009. Penentuan Kuota Panenan Dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga [Thesis]. Fakultas Kehutanan: Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No 7 Tahun 1990 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Semiadi G dan RTP Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Semiadi, G. dan R. T. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Sutrisno, E. 1993. Population Ecology of the Javan Deer in Menipo Island, East Nusa Tenggara, Indonesia. Program S2 University of The Philippines Los Banos. Filiphina. Thohari M. 1987. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi. 1(3):21-26. Wiyanto T. 2011. Habitat alami Rusa Timor (Cervus timorensis). http://www.googlescholar.com. [25 Desember 2015].