BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres tidak diatur sehingga KPU dikabarkan cemas dan memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena Indonesia merupakan negara hukum 2, maka yang dimaksud dengan negara hukum disini ialah agar jalannya pemerintahan oleh pemegang kekuasaan tidak sewenang-wenang. Pemegang kekuasaan negara ialah pejabat negara yang diberi mandat oleh undang-undang dasar maupun undang-undang. Pejabat yang dimaksud antara lain ialah Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dan Kekuasaan Kehakiman sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif yang dipegang oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Menurut Jimly Ashiddiqqie 3, suatu negara dikatakan menganut sistem presidensil apabila (a) kedudukan kepala negara tidak terpisahkan dari kepala pemerintahan, (b) kepala negara tidak bertanggung jawab ke parlemen, melainkan langsung kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga tidak dapat membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya 1 Mohammad Fajrul Falaakh, 2014, Konsisten Mengawal Konstitusi, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 95. 2 Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Jimly Ashiddiqqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan MK RI, Jakarta, hlm. 60.
bertanggung jawab kepada Presiden sebagai pemegang jabatan administratif tertinggi. Di Indonesia, sistem pemerintahan presidensil dibuktikan dengan masa jabatan (tenure) untuk Presiden dan Wakil Presiden ialah fix terms 5 tahun dan dapat diperpanjang hingga maksimal dua periode. Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia merupakan perwujudan dari pesta demokrasi dimana rakyat memilih langsung calon pemimpin mereka yang nantinya akan memegang kekuasaan Eksekutif maupun Yudikatif dan dilaksanakan secara langsung. Langsung yang dimaksud ialah satu orang yang sudah memiliki hak untuk memberikan suara sesuai aturan yang berlaku mempunyai satu kali kesempatan untuk menggunakan hak suara mereka. Pemilu yang diadakan lima tahun sekali ini memilih calon Presiden dan Wakil Presiden dan calon legislator di DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Beberapa produk hukum berupa peraturan tertulis yang mengatur terkait Pemilu diantaranya ialah Pasal 22E UUD 1945, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Perpu No. 1 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Perpu No. 2 Tahun 2014 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilu merupakan implementasi dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang tegas disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan berarti pemegang supremasi tertinggi dalam suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan
diselenggarakan dan rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. 4 Karena pemegang supremasi tersebut dipegang oleh banyak orang yaitu rakyat, maka rakyat perlu memberikan kekuasaannya kepada satu orang yang bertugas sebagai kepala rakyat, yaitu kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidenil karena tidak mungkin demokrasi dimana pemerintahan oleh seluruh rakyat secara murni dapat dilaksanakan. Dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen. 5 Parlemen di Indonesia terdiri dari DPR, DPD, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Karena Indonesia menganut sistem presidensil, maka perlu diadakan suatu pemilihan umum untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presidennya sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Untuk mekanisme pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia sendiri sudah diatur dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Presiden dan Wakil Presiden mendapatkan legitimasi kekuasaannya apabila unggul dalam perolehan suara melalui mekanisme pemilihan umum tersebut. Secara demokratis, pasal tersebut memang sudah mewakili aspirasi rakyat karena rakyat memilih calon pemimpin dengan keinginan sendiri. Kemudian di ayat (2) disebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta 4 Ibid., hlm. 169. 5 Ibid.
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, hal ini menunjukkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah mempunyai kendaraannya yang dapat membuat dia untuk dapat mempunyai status sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, pasangan tersebut haruslah berasal dari partai politik (parpol) atau gabungan parpol dan dipilih langsung oleh rakyat melalui suatu mekanisme pemilu. Yang menjadi masalah kemudian apabila dikemudian hari hanya terdapat satu pasangan calon saja, bagaimana mekanisme pemilu tersebut. Apabila terdapat hal tersebut dikemudian hari, maka rakyat tidak mempunyai pilihan lain apabila pasangan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya dan mekanisme pemilu hanya akan sebatas formalitas sebelum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dimana rakyat memilih secara langsung. Hingga pemilu terakhir tahun 2014 pun tidak ada pasangan tunggal. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ideologi dan kepentingan daripada partai politik dan adanya sistem koalisi di tubuh DPR menyebabkan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) lebih dari satu pasangan. Namun, di Indonesia belum ada keadaan dimana Pilpres hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja. Dalam pasal 6A ayat (4) UUD 1945 disebutkan Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Disini penulis
menarik analogi bahwa maksud ayat diatas menggambarkan bahwa Pilpres pada waktu amandemen dan seterusnya tidak mungkin hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja dikarenakan adanya perbedaan kepentingan dan ideologi antar parpol dan koalisi di parlemen. Kemudian, Pasal 24 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara tegas tertulis apabila peserta Pilpres kurang dari minimal dua pasang calon, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menunda pelaksanaan pemilu paling lama 30 (tiga puluh) hari sampai ada dua pasang calon. Semenjak pemilu tahun 2004 berlangsung dan terakhir tahun 2014, peserta Pilpres selalu lebih dari satu pasangan calon. Yang menjadi perdebatan mengapa ketika perumusan amandemen ke 4 tidak dimasukan ketentuan mengenai calon tunggal. Indonesia sebagai penganut sistem presidensiil maka jabatan Presiden yang tetap seperti harga mutlak yang apabila dilanggar dapat melanggar prinsip ketatanegaraan Indonesia itu sendiri dan akan menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Artinya mau tidak mau, suka tidak suka jabatan Presiden harus lima tahun terhitung sejak tanggal dilantik hingga tanggal dia turun dari jabatannya. Kemudian, Pasal 24 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden disebutkan apabila belum adanya dua pasangan calon dari tanggal yang sudah ditentukan, maka pemilu akan ditunda hingga 30 hari sampai ada pasangan yang akan menyaingi pasangan calon yang sudah terdaftar. Tetapi ketentuan tersebut seperti tidak solutif karena apabila sampai 30 hari belum ada yang mendaftar kembali, penyelenggaraan pemilu bisa diundur kembali atau dilaksanakan. Masalah lainnya ialah penyelenggara pemilu diburu waktu akan
segera berakhirnya masa jabatan presiden sebelumnya. Dalam konstitusi kita memang tidak diatur mengenai sanksi apabila presiden dan wakil presiden masa jabatannya melebihi lima tahun. Namun, perlu dipahami bahwa konstitusi sebagai fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. 6 Karena, meskipun tidak ada ketentuan sanksi tegas dalam konstitusi tetapi nyata-nyatanya melanggar, maka terhadap perbuatan tersebut tidak mendapatkan legitimasi atas akibat yang ditimbulkannya. Kemudian, calon tunggal membuat masyarakat seperti tidak punya pilihan lain. Maksud dari pemilihan langsung ialah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat maka rakyatlah yang memilih calon pemimpin sesuai dengan keinginan mereka sendiri, tidak hanya di eksekutif tetapi juga di legislatif. Ketika rakyat memilih langsung, maka rakyat akan belajar mengenal calon pemimpin mereka dan negara secara tidak langsung memberikan pelajaran politik terhadap warganya untuk ambil bagian. Ketika satu pasangan calon itu merupakan kehendak rakyat maka tidak ada masalah yang dirasa berarti. Tetapi apabila bukan merupakan pilihan rakyat dan kalah dalam perolehan suara, maka siapa yang akan menjadi persiden dan wapres selanjutnya. Tanpa legitimasi baru, pilpres dengan calon tunggal justru menempatkan negara dalam situasi sangat kritis. 7 Mengenai mekanisme penundaan pemilu tersebut diatur dalam Pasal 24-25 UU Pilpres bahwa KPU akan menerbitkan peraturan mengenai perihal penundaan dan teknis-teknisnya, tetapi hingga sekarang belum ada pengaturan dalam 6 Jimly Ashiddiqqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 33. 7 Mohammad Fajrul Falaakh, Op.Cit., hlm. 96.
peraturan tertulis di Indonesia yang mengatur tentang calon pasangan tunggal. Apabila dikemudian hari hanya ada satu pasangan calon saja dan sejak waktu penundaan pilpres oleh KPU yaitu 30 (tiga puluh) hari tersebut sudah lewat dan tidak ada pasangan calon yang akan menyainginya, lalu bagaimana legitimasi hukum dan politik calon pasangan tunggal dalam pilpres di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka penulis mempunyai 2 rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana legitimasi hukum pilpres dengan calon pasangan tunggal di Indonesia? 2. Bagaimana legitimasi politik pasangan calon pasangan tunggal di Indonesia? C. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulisan Hukum dengan judul Mekanisme Dan Legitimasi Calon Pasangan Tunggal dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden antara lain:
1. Penelitian berjudul Cara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasca Reformasi 8 yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat pasca reformasi. 2. Penelitian berjudul Sistem Pemilihan Presiden 2014 dalam Perspektif Ketatanegaraan Hukum Islam 9 yang bertujuan untuk mendeskripsikan sistem pemilihan Presiden dari perspektif hukum ketatanegaraan Islam. Kedua penelitian tersebut di atas memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Penulis. Kemiripan tersebut terletak pada objek penelitiannya yaitu Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun terdapat perbedaan antara kedua penelitian tersebut diatas, yakni subjek penelitian yang berbeda, yakni: 1. Mekanisme pilpres, yang dilakukan setelah masa reformasi 2. Sistem pemilu yang dikaji menurut perspektif ketatanegaraan hukum islam Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan diatas, maka Penulis menganggap bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah asli dan layak untuk diteliti, bukan merupakan duplikasi dari hasil karya orang lain, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Apabila terdapat penelitian mirip diluar pengetahuan penulis, diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi satu sama lain. 8 Wawan Setiawan, 2011, Cara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasca Reformasi, Penulisan Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 9 Arina Fitria, 2014, Sistem Pemilihan Presiden 2014 dalam Perspektif Ketatanegaraan Hukum Islam, Penulisan Hukum pada Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm. 7
Penulisan hukum ini diakukan dengan niat baik sehingga penulis akan menjunjung tinggi etika penulisan dengan tidak menggunakan plagiarisme. Kutipan maupun pemikiran hasil penelitian sebelumnya akan dicantumkan dengan jelas dalam catatan kaki. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Subjektif Disusun agar mendapatkan nilai mata kuliah Penulisan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui legitimasi hukum pilpres dengan calon pasangan tunggal di Indonesia b. Untuk mengetahui legitimasi politik pilpres dengan calon pasangan tunggal di Indonesia E. Manfaat Penelitian Penulis berharap melalui penelitian ini dapat menjadi sebuah sumbangan pemikiran sebagai karya intelektual dalam pengembangan ilmu hukum, terkhusus Hukum Tata Negara. Penulis juga berharap penelitian ini dapat menambah referensi mengenai permasalahan yang nantinya akan timbul dalam proses pilpres mengenai calon tunggal. Dengan mengetahui legitimasi hukum dan politik dari pilpres dengan calon tunggal tersebut, diharapkan dapat mereduksi permasalahan yang timbul akibat kurangnya dasar hukum tertulis yang dijadikan sumber utama dalam pengambilan keputusan di sistem ketatanegaraan kita.