II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik merupakan gejala yang kerap mengisi setiap kehidupan sosial. Masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan yang senantiasa berlangsung. Elly dan Usman menyebutkan, persamaan dan perbedaan kepentingan sosial di dalam masyarakat medorong munculnya konflik. Dalam kehidupan sosial, tidak ada persamaan yang sama persis, sehingga memunculkan perbedaan. Perbedaan tersebut ada yang dapat diselesaikan, dan ada pula yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan konflik yang bahkan disertai kekerasan (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:347). Weber (via jurnal Retnowati, 2014:192) menyatakan bahwa munculnya konflik tidak hanya disebabkan oleh ketimpangan sumber daya ekonomi atau produksi, walaupun ia mengakui bahwa sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial, tetapi selain itu penyebab konflik dapat jauh lebih luas dari hal tersebut. Weber membedakan dua tipe konflik, yaitu: 1. Konflik dalam arena politik; konflik yang tidak hanya terjadi dalam organisasi politik formal, tetapi juga dapat terjadi dalam setiap tipe kelompok, organisasi keagamaan, dan pendidikan. Salah satu penyebab konflik dikarenakan dorongan oleh nafsu untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan ekonomi oleh individu atau kelompok. 2. Konflik dalam hal gagasan dan cita-cita; konflik biasanya terjadi dikarenakan adanya individu atau kelompok yang tertantang untuk memperoleh dominasi dalam pandangan dunia mereka, baik menyangkut doktrin agama, nilai budaya, filsafat sosial, ataupun konsepsi gaya hidup kultural. Beberapa bentuk konflik sebagai salah satu gejala sosial masyarakat Indonesia (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:349-357) yang diantaranya: 1. Konflik Gender; konflik yang terjadi pada aspek status dan peranan manusia yang dilihat dari jenis kelamin. 2. Konflik Rasial dan Antar-suku; konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan warna kulit dan antar-etnis. 6
3. Konflik Antar-umat Agama; konflik yang terjadi disebabkan perbedaan keyakinan, agama, dan atribut-atribut lainnya. Salah satu penyebab munculnya perbedaan tersebut adalah karena adanya anggapan bahwa agama yang diyakini lebih benar dari pada ajaran agama yang lainnya. 4. Konflik Antar-golongan; konflik tersebut biasanya terjadi di dalam suatu Negara demokrasi. Konflik disebabkan oleh ketidakpuasan suatu golongan atas hasil keputusan Negara, yang berujung pada pertikaian dan kekerasan. Contohnya, konflik antar-golongan yang terjadi antara kelompok penganut agama tertentu dan kelompok Aliansi Kelompok Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang terjadi di Jakarta 5 Juni 2008. Biasanya konflik dipicu karena salah satu golongan tertentu memaksakan kehendaknya terhadap kelompok lain untuk melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh golongan tersebut. 5. Konflik Kepentingan; konflik kepentingan biasanya identik dengan konflik politik, dimana realitas politik selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan. Konflik dipicu oleh salah satu pihak yang ingin merebut kekuasaan dan wewenang yang sudah dimiliki kelompok atau individu lain. 6. Konflik Antar-pribadi; merupakan konflik sosial yang melibatkan individu. Dimana adanya perbedaan atau pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu lain. 7. Konflik Antar kelas Sosial; merupakan konflik yang bersifat vertikal: yaitu konflik antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Biasanya dipicu karena perbedaan pendapatan, dimana majikan yang memiliki modal besar memiliki pendapatan yang besar, sedangkan para buruh yang hanya memiliki tenaga memperoleh pendapatan yang kecil, sehingga menimbulkan perasaan tidak adil bagi para kaum buruh. 8. Konflik Antar-negara/Bangsa; merupakan konflik yang terjadi antara dua Negara atau lebih, yang biasanya dipicu oleh adanya nafsu ekspansi negara-negara (adidaya) kuat ke negara-negara yang lemah. Secara sederhana, akar penyebab konflik dibagi dua (Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011:360-363), yaitu: 1. Kemajemukan horizontal, yang merupakan struktur masyarakat majemuk secara kultural yang memiliki karateristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karateristik budayanya, sehingga dapat menciptakan 7
konflik, perang saudara, maupun gerakan separatisme. Ketika situasi ini terjadi, maka masyarakat akan mengalami disintegrasi. 2. Kemajemukan vertikal, yang merupakan struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal mampu menciptakan konflik sosial dikarenakan ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan, sedangkan sebagian besar masyarakat tidak memilikinya. Dari akar penyebab utama konflik yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik dikarenakan adanya perbedaan dan ketimpangan hubungan dalam masyarakat. Konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan baik tidak jarang menimbulkan kekerasan. Kekerasan selalu diidentikkan dengan kerusuhan, pembunuhan, terorisme, perampokan, dan sebagainya yang terjadi berasal dari suatu konflik. Terdapat dua pengertian kekerasan. Pengertian kekerasan dalam arti sempit merupakan suatu tindakan penghancuran terhadap fisik seseorang yang dilakukan dengan sengaja dan langsung, baik dilakukan oleh personal maupun kelompok. Sedangkan pengertian kekerasan dalam arti luas merupakan tindakan penindasan fisik maupun psikologis, baik dilakukan personal atau struktural, kekerasan tersebut lebih kepada penindasan yang dilakukan oleh Negara otoriter yang membuat ketidakadilan dalam kehidupan sosial. Konflik merupakan salah satu pendukung dalam menciptakan integrasi antar kelompok dalam masyarakat. Ketika konflik terjadi, banyak perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, diantaranya memunculkan hal-hal negatif, memperkuat batasan antara kelompok dalam dan kelompok luar yang menyebabkan kekacauan dalam kehidupan sosial, dan terpecahnya masyarakat yang mengancam kehidupan bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya penyatuan bagi masyarakat yang mengalami kekacauan dan keterpecahan yang diakibatkan konflik yaitu integrasi sosial (Doyle Paul Johnson, 1981:388). B. Integrasi Sosial Dalam KBBI (http://kbbi.web.id/integrasi (Selasa, 04 Agustus 2015, 10.06 WIB)), integrasi merupakan pembauran hingga menjadi suatu kesatuan yang utuh atau bulat. Menurut Baton (Kamanto Sunarto, 1993:141), integrasi merupakan suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Mas oed (via jurnal Retnowati, 2014:193) menjelaskan 8
secara umum, integrasi bisa diberi arti sebagai kondisi atau proses mempersatukan bagianbagian yang sebelumnya saling terpisah dan mempertahankan kelangsungan hidup kelompok. Durkheim (Doyle Paul Johnson, 1988:181-188) menjelaskan bahwa integrasi sosial dapat terjadi ketika telah terwujudnya solidaritas mekanik dan solidaritas organik dalam individu atau kelompok. Dikatakan solidaritas mekanik adalah ketika individu atau kelompok memiliki perbedaan tetapi paling tidak tetap memiliki satu orientasi agama yang sama, sehingga dijadikan dasar pokok integrasi sosial dan ikatan yang mempersatukan individu dalam organisasi tersebut. Sedangkan dikatakan solidaritas organik adalah ketika adanya saling ketergantungan antara bagian yang terspesialisasikan. Ketika telah terjadinya kesamaan dalam hal kepercayaan dan dimilikinya saling ketergantungan secara fungsional dan masyarakat heterogen, maka akan terjadi kesadaran kolektif yang menciptakan suatu kesatuan. Cooley (via jurnal Retnowati, 2014:193) membedakan integrasi menjadi tiga kategori yaitu integrasi normatif, integrasi komunikatif, dan integrasi fungsional. Integrasi normatif merupakan tradisi baku yang dimiliki masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi setiap individu yang mengikatkan diri dalam masyarakat tersebut. Integrasi komunikatif merupakan suatu komunikasi efektif yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok yang memiliki sikap saling bergantung dan ingin diajak bekerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Integrasi fungsional, yang hanya akan dapat terwujud ketika anggota sungguh menyadari fungsi dan perannya dalam kebersamaan atau kesatuan tersebut. Ketika kelompok dalam dan kelompok luar bersatu (Phil Astrid S. Susanto, 1977:122-123), maka semakin besar hubungan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Oleh karena itu, semakin besar konflik atau pertentangan yang terjadi antara kelompok dalam dan kelompok luar, maka semakin besar kemungkinan terjadi integrasi. Konflik mengenal beberapa fase, yaitu fase disorganisasi dan fase disintegrasi. Fase disorganisasi merupakan kehidupan sosial yang mendahului disintegrasi. Fase disorganisasi dikatakan terjadi ketika munculnya perbedaan paham tentang tujuan kelompok sosial, norma sosial, tindakan dalam masyarakat, dan sanksi yang diberlakukan tidak lagi lagi konsekuen dan bertentangan dengan kelompok. Ketika fase disorganisasi telah terjadi, maka dengan sendirinya langkah menuju disintegrasi telah terjadi. Disintegrasi sosial biasanya menjadi ancaman nyata yang dihadapi masyarakat modern, dimana setiap individu memiliki anti sosial, yang mementingkan kepentingannya sendiri, dan kurangnya norma-norma yang mengatur. Hal itu membuat 9
individu yang tergabung dalam masyarakat modern terdorong menjadi individu yang lebih kaku. Masyarakat modern didukung dengan memiliki pembagian kerja yang sangat kompleks, sehingga memiliki banyak cara untuk menjalani hidup dan membuat solidaritas sosial menjadi sukar dicapai. Untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan hidup kelompok dan memperoleh keseragaman diperlukan pembauran individu hingga menjadi satu kesatuan yang utuh, yang tetap mengakui adanya perbedaan tetapi tidak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk terpisah satu dengan yang lain, yang disebut dengan integrasi. Integrasi merupakan salah satu proses dan kehidupan sosial yang bertujuan menciptakan keadaan kebudayaan yang homogen. Integrasi sosial (Doyle Paul Johnson, 1988:165) tidak hanya terjadi di dalam kelompok atau organisasi tertentu, tetapi juga dapat terjadi di dalam masyarakat secara keseluruhan. Integrasi yang merupakan proses mempertahankan kelangsungan hidup kelompok (Phil Astrid S. Susanto, 1977:123-127), dapat tercapai melalui usaha yang melewati beberapa fase, yaitu fase akomodasi, fase koordinasi, dan fase assimilasi. Fase akomodasi merupakan langkah pertama menuju ke integrasi. Dalam fase akomodasi tetap dilakukan kerjasama, walaupun tetap adanya perbedaan paham. Kerjasama tersebut dapat terwujud dikarenakan adanya kepentingan bersama dan tujuan yang sama. Dalam fase akomodasi tersebut tercapailah kompromi dan toleransi, dimana dua lawan atau lebih menjadi sama kuat. Fase koordinasi merupakan kebiasaan bekerjasama yang pada akhirnya mencapai situasi dimana individu atau kelompok mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerjasama. Fase assimilasi merupakan fase dimana terjadinya proses mengakhiri kebiasaan lama atau dilakukannya perubahan dari nilai-nilai dan kebudayaan semula, dan sekaligus mempelajari dan menerima kehidupan yang baru. Dalam fase ini, individu atau kelompok yang mengalami peintegrasian mengalami proses belajar, yaitu belajar peraturan-peraturan formil yang merupakan landasan norma-norma masyarakat yang dimasuki. Fase assimilasi merupakan tahap yang paling mendekati integrasi dalam bentuk idealnya, dimana proses assimilasi terjadi pada kedua bilah pihak, menyangkut pihak yang diintegrasikan dan pihak lain yang mengintegrasikan. Beberapa faktor pendukung terjadinya integrasi sosial (Phil Astrid S. Susanto, 1977: 131-133) di antaranya didukung oleh adanya interaksi sosial dan jarak sosial, yang mendukung dilakukannya komunikasi. Jarak sosial ditentukan oleh faktor subyektif dan obyektif. Di mana faktor subyektif merupakan perasaan dan pikiran individu atau kelompok terhadap kelompok lain yang hendak diajak berkomunikasi. Sedangkan faktor obyektif 10
merupakan jarak yang ditentukan oleh keadaan geografis dan kesukaran transport untuk melakukan komunikasi. Ketika jarak sosial telah mendukung, maka komunikasi akan berjalan lancar, sehingga mampu menciptakan integrasi sosial. Homans (Phil Astrid S. Susanto, 1977: 131) berpendapat bahwa perubahan ekonomi mampu membuat berkurangnya frekuensi interaksi dan intensitas perasaan, sehingga menimbulkan terjadinya disorganisasi bahkan disintegrasi. Dari hal itu dapat dikatakan bahwa integrasi sosial juga ditentukan oleh interaksi sosial. Biasanya, individu ataupun kelompok bersedia untuk berintegrasi ketika ia ingin digolongkan dengan kelompok yang dikehendakinya, dan memiliki harapan agar dapat meningkatkan status sosialnya. Selain itu, norma-norma yang berlaku dalam kelompok yang ingin dimasuki juga menentukan seberapa besar tingkat integrasi yang akan dilakukan. Integrasi sosial (Phil Astrid S. Susanto, 1977:134-135) yang terjadi, yang didukung oleh interaksi sosial dan jarak sosial, menciptakan solidaritas sosial. Menurut Sorokin, Zimmerman, dan Galpin (Phil Astrid S. Susanto, 1977:135), derajat solidaritas ataupun integritas ditentukan oleh serangkaian faktor, dimana semakin banyak faktor yang terkumpul sebagai landasan integrasi maka semakin tinggi solidaritas kelompok. Faktor-faktor pengintegrasian dan solidaritas adalah marga; pernikahan; persamaan agama, magi ataupun upacara-upacara keagamaan; persamaan bahasa dan adat; kesamaan tanah/tempat tinggal; wilayah; tanggungjawab atas pekerjaan yang sama; tanggungjawab dalam mempertahankan ketertiban; ekonomi; atasan yang sama; ikatan kepada lembaga yang sama; pertahanan bersama; bantuan bersama/kerjasama; pengalaman, tindakan, dan kehidupan bersama. 11