BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3 bulan (Shetty, 2012). Otitis media supuratif kronis dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe aman (benigna) dan tipe bahaya (maligna) (Helmi, 2005), tetapi menurut literatur lain OMSK dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu OMSK dengan dan OMSK tanpa dengan jenis penatalaksanaan yang berbeda sesuai dengan tipe OMSK masing-masing (Weber, 2006). Otitis media supuratif kronik sering ditemukan di seluruh dunia terutama di daerah berkembang dengan keadaan sosial-ekonomi yang rendah dengan prevalensi 0,5 sampai 30 % dari komunitas. Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan otorrhoea, 60% diantaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan dan menyebabkan 28000 kematian (Helmi, 2005). Secara umum prevalensi OMSK di Indonesia berkisar 3,9%, data hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksanakan di 7 provinsi di Indonesia menyatakan penyebab terbanyak morbiditas telinga tengah adalah OMSK, terutama OMSK tipe jinak (3%) dari morbiditas telinga 18,5% (Kemenkes, 2006). Menurut catatan medik pasien di Poli Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok RSUP Dr. Sardjito 1
2 dalam kurun waktu Januari 2016 Mei 2017 jumlah penderita pasien OMSK benigna sebanyak 533 pasien. Penurunan pendengaran masih merupakan masalah kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO) mengestimasikan 360 juta penduduk dunia mengalami penurunan pendengaran yakni setara dengan 5,3% penduduk dunia dengan distribusi menurut usia dewasa 91% dan anak-anak 9%. Prevalensi penurunan pendengaran pada dewasa di Asia sebanyak 71 juta penduduk dengan penderita laki-laki lebih banyak 57,75% dibandingkan perempuan 42,25% (WHO, 2012). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013, didapatkan prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,6% dari seluruh total penduduk Indonesia dengan distribusi terbanyak pada usia lebih dari 45 tahun (Kemenkes RI, 2013). Otitis media supuratif kronik menyebabkan kerusakan pada sebagian atau keseluruhan dari membran timpani dan berdampak pada gangguan pendengaran dengan penurunan maksimal 40 db (Slattery, 2003). Pada perforasi membran timpani disertai kerusakan pada tulang-tulang pendengaran dapat berdampak pada penurunan pendengaran tipe tuli konduksi sebesar 60 sampai 70 db (Shrestha, 2008; Ocalan, 2013). Infeksi yang terus menerus pada OMSK dan adanya dapat memperberat gangguan pendengaran dan meningkatkan risiko komplikasi baik intratemporal dan intrakranial. Jenis ketulian yang diakibatkan OMSK berupa tuli konduktif dan tuli campuran dengan derajat ketulian bergantung pada keterlibatan tulang-tulang pendengaran (Slattery, 2003). Banyak faktor prognostik yang mempengaruhi pendengaran pasien dengan otitis media
3 kronis antara lain otorrhoea, perforasi membran timpani,, status tulang pendengaran, granulasi dan efusi pada cavum timpani, teknik operasi dan kemampuan operator (Chrobok dkk, 2009). Penurunan pendengran atau tuli dibagi menjadi 2 jenis yakni tuli konduksi dan tuli neurosensorik/saraf. Tuli dapat disebabkan karena penyakit telinga seperti infeksi pada telinga, otoklerosis, trauma membrana timfani, serumen yang menyumbat, atau kerusakan badan koklea akibat obat-obatan serta kelainan pada nervus vestibulokoklearis. Pada usia dewasa tuli terbanyak disebabkan karena adanya infeksi (Paparella dkk, 1997). Azevedo dkk, 2007 dalam penelitian mereka menemukan bahwa pada OMSK kejadian tuli saraf adalah 13%. yang mana lebih tinggi pada populasi dengan status sosial ekonomi rendah. Hal ini dapat dikuatkan oleh hipotesis bahwa ada kesulitan untuk mengakses pengobatan dengan antibiotik, tindak lanjut yang tidak memadai dan kebersihan dan pendidikan yang buruk di kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chatterji (2012), yang melakukan observasi kelainan ambang dengar pada pasien OMSK dengan dan tanpa didapatkan 32% pasien OMSK dengan koleteatoma dan 68% pasien tanpa. Rerata bone conduction dari hasil audiometri pasien OMSK dengan 16,41 db sedangkan OMSK tanpa 12,65 db. De Azevedo, dkk (2007), melakukan penelitian mengenai tuli saraf pada pasien OMSK dengan dan tanpa didapatkan hasil
4 bahwa pasien tuli saraf pada pasien OMSK didapatkan sebanyak 13% namun tidak berhubungan dengan ada atau tanpa. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan fakta-fakta tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Angka prevalensi gangguan pendengaran di Indonesia akibat OMSK masih cukup tinggi 2. Kejadian OMSK lebih tinggi pada populasi dengan status sosial ekonomi rendah karena kesulitan untuk mengakses pengobatan dengan antibiotik, tindak lanjut yang tidak memadai dan kebersihan serta pendidikan yang buruk 3. Salah satu faktor yang menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien OMSK adalah adanya karena selain menyebabkan tuli konduksi juga dapat menyebabkan tuli saraf. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat diajukan pertanyaan penelitian apakah terdapat perbedaan nilai ambang pendengaran preoperasi antara Otitis Media Supuratif Kronis dengan dibanding tanpa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan nilai ambang pendengaran preoperasi antara Otitis Media Supuratif Kronis dengan dibanding tanpa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
5 E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data gambaran nilai ambang pendengaran pre operasi pada pasien OMSK dengan dan tanpa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai edukasi kepada pasien dengan Otitis Media Supuratif Kronis mengenai prognosis apabila didapatkan pada pemeriksaan. 3. Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan pengembangan penelitian selanjutnya. F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai perbedaan nilai ambang pendengaran preoperasi OMSK dengan dan tanpa di Indonesia masih belum banyak dilakukan, dalam hal ini di RSUP Dr. Sardjito belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan dapat dilihat dalam tabel 1
6 Tabel 1. Penelitian mengenai kelainan ambang dengan pada pasien OMSK dengan dan tanpa Penelitian (tahun) Rancangan Penelitian Tujuan Sampel Hasil De Azevendo et al (2007) Observasi Mengevaluasi onal hubungan antara Retrospekt OMSK dengan if tuli saraf antara dan tanpa 115 pasien Tuli saraf terdapat pada 13% pasien OMSK dan berkorelasi dengan usia namun tidak ditemukan hubungan dengan adanya dan lamanya penyakit Sharma and Sharma (2012) Crosssectional pengaruh terhadap kejadian tuli saraf 121 pasien Tuli saraf banyak terdapat pada pasien OMSK dengan namun secara statistik tidak signifikan Chatterji (2012) Crosssectional prevalensi tuli saraf pada OMSK dengan dan tanpa 80 pasien Pasien dengan tuli saraf banyak didapatkan pada pasien OMSK dengan koleteatoma namun secara statistik tidak signifikan Albera (2015) Wilsen dkk 2014 Cohort retrospekti Cohort prospektif hubungan kerusakan rantai tulang pendengaran dengan gangguan dengar pada pasien OMSK tanpa dan perforasi MT saja gambaran audiologi, anak dg OMSK 250 pasien 40 pasien 10% pasien OMSK kerusakan osikula dengan gangguan konduksi udara dan air bone gab lebih berat pada OMSK tanpa dibanding pada Perforasi MT saja 7,5% anak gangguan dengar derajat ringan, 10% derajat sedang, 25% sedang berat, 20% berat, 37,5% sangat berat. 67,5% tersisa basis stapes dan 77,5% kavum mastoid dan timpani