BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Pembentukan Lapisan Film dengan Teknik Batik Penelitian mengenai finishing dengan menggunakan teknik batik ini menerapkan kombinasi beberapa urutan proses pengerjaan. Pada kombinasi pertama tahapan awal yang dilakukan adalah dengan mengaplikasikan wood filler berpelarut oil pada permukaan anyaman bambu sebelum proses pembatikan. Pada proses pembatikan tahapan yang dilakukan adalah pemalaman, pewarnaan dan penglorotan. Hasil yang diperoleh pada kombinasi ini ternyata tidak bagus. Wood filler yang diberikan menutup pori-pori dari anyaman bambu sehingga pewarna napthol tidak dapat menyerap secara sempurna ke dalam pori-pori anyaman yang mengakibatkan tampilan warna yang dihasilkan kurang baik. Kombinasi kedua dicobakan dengan mengaplikasikan wood filler yang berpelarut air dengan harapan pewarna napthol dapat meresap dengan baik kedalam pori-pori anyaman bambu. Proses selanjutnya sama yaitu pemalaman, pewarnaan, dan penglorotan. Hasil yang diperoleh pada kombinasi kedua ternyata tidak berbeda jauh dengan kombinasi pertama. Wood filler yang telah berikatan dengan pewarna napthol sebagian tercuci pada saat penglorotan yaitu perebusan dengan menggunakan air panas pada saat palarutan malam. Hal ini mengakibatkan warna yang dihasilkan tidak terlalu tegas atau pudar. Bahkan pada anyaman bambu yang berbahan campuran daging dan kulit bambu, warna yang menempel dapat terkelupas dari bahan kulit bambu. Hal ini dapat disebabkan karena kulit bambu memiliki lapisan seperti lilin sehingga wood filler sekaligus pewarna napthol tidak dapat menembus dan berikatan dengan baik dengan kulit bambu. Tahapan proses finishing teknik batik kombinasi pertama dan kedua disajikan pada Gambar 4. Penampilan permukaan teknik batik yang dicobakan pada kombinasi pertama dan kedua disajikan pada Gambar 5.
ANYAMAN BAMBU Ampelas dengan kertas ampelas nomer 180 untuk menghilangkan debu, kotoran dan bulubulu pada anyaman FILLING (oil base) Wood filler oil base SH 113 diaplikasikan dengan kuas kemudian diampelas dengan kertas ampelas nomer 240 FILLING (water base) Wood filler water base AWF 911 diaplikasikan dengan kuas kemudian diampelas dengan kertas ampelas nomer 240 Pembuatan motif dengan pensil Pembuatan motif dengan pensil NYANTING Menggunakan alat berupa canting, malam, dan kompor NYANTING Menggunakan alat berupa canting, malam, dan kompor PEWARNAAN Pewarnaan dilakukan 3 tahap: 1. Pewarna napthol ASG, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. 2. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol ASOL, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah GG. 3. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol Soga 91, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. PEWARNAAN Pewarnaan dilakukan 3 tahap: 1. Pewarna napthol ASG, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. 2. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol ASOL, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah GG. 3. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol Soga 91, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. NGLOROT Proses penghilangan malam dengan perebusan dengan air mendidih yang dicampur soda abu NGLOROT Proses penghilangan malam dengan perebusan dengan air mendidih yang dicampur soda abu Gambar 4. Tahapan proses finishing kombinasi pertama dan kedua.
Tampilan anyaman bambu setelah pemberian filler oil base (kiri) dan filler water base (kanan) Tampilan anyaman bambu setelah proses nyanting Tampilan anyaman bambu setelah proses pewarnaan Tampilan anyaman bambu setelah proses nglorot Gambar 5. Penampilan permukaan anyaman bambu hasil proses finishing teknik batik kombinasi pertama dan kedua.
Penampilan penggunaan wood filler pada Gambar 5 mengindikasikan bahwa wood filler pada finishing dengan menggunakan teknik batik tidak dapat diterapkan, hal ini sesuai dengan penelitian Kurniawan 2006. Selanjutnya dicobakan kombinasi tahapan yang tidak diawali dengan pemberian wood filler melainkan langsung dengan pembatikan pada media anyaman bambu, yaitu pemalaman, pewarnaan, dan penglorotan. Hasil yang ditampilkan pada proses ini sangat baik yaitu pewarna napthol dapat meresap secara sempurna ke dalam anyaman bambu dan menghasilkan warna yang tegas. Hasil pewarnaan ini dapat memberi saran bahwa bahan pembatik harus berikatan langsung dengan lapisan bambu dan tidak boleh ada lapisan lain yang menghalanginya. Pada tahapan finishing selanjutnya diaplikasikan 3 jenis bahan finishing yang berbeda, yaitu Melamin, NC (Nitro Cellulose), dan Aqua (Water Based Lacquer). Ketiga jenis bahan ini dipilih karena banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan mebel dan juga untuk mengetahui kualitas tampilan akhir dari ketiga jenis bahan finishing. Berbeda dengan Kurniawan 2006, pada anyaman bambu tidak dibutuhkan pemberian sanding sealer yang banyak dengan pertimbangan pori-pori bambu tidak terlalu besar. Sanding sealer hanya diaplikasikan 1 kali saja dan tidak diperlukan juga pengaplikasian microfiller untuk mengurangi pengaplikasian sanding sealer. Tahapan proses finishing teknik batik kombinasi ketiga, keempat, dan kelima disajikan pada Gambar 6. Penampilan permukaan teknik batik yang dicobakan pada kombinasi ketiga, keempat, dan kelima disajikan pada Gambar 7. Hasil akhir finishing terhadap anyaman bambu disajikan pada Gambar 8.
ANYAMAN BAMBU Ampelas dengan kertas ampelas nomer 180 untuk menghilangkan debu, kotoran dan bulu-bulu pada anyaman Pembuatan motif dengan pensil NYANTING Menggunakan alat berupa canting, malam, dan kompor PEWARNAAN Pewarnaan dilakukan 3 tahap: 1. Pewarna napthol ASG, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. 2. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol ASOL, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah GG. 3. Pencantingan kembali, lalu pewarnaan kedua dengan pewarna napthol Soga 91, soda kostik dan TRO dengan bahan pembangkit merah B. NGLOROT Proses penghilangan malam dengan perebusan dengan air mendidih yang dicampur soda abu SEALING (Melamine) Melamine sanding sealer diaplikasikan menggunakan spray gun SEALING (Nitrocellulose) Nitrocellulose sanding sealer diaplikasikan menggunakan spray gun SEALING (Aqua) Aqua sanding sealer diaplikasikan menggunakan spray gun Pengampelasan dengan kertas ampelas 400 Pengampelasan dengan kertas ampelas 400 Pengampelasan dengan kertas ampelas 400 TOP COATING (Melamine Lacquer) TOP COATING (Nitroselulosa Lacquer) TOP COATING (Aqua Lacquer) Gunakan spray gun untuk aplikasinya, lakukan 1-2 kali untuk hasil akhir yang lebih baik (gunakan ampelas nomer 1000) Gunakan spray gun untuk aplikasinya, lakukan 1-2 kali untuk hasil akhir yang lebih baik (gunakan ampelas nomer 1000) Gunakan spray gun untuk aplikasinya, lakukan 1-2 kali untuk hasil akhir yang lebih baik (gunakan ampelas nomer 1000) Gambar 6. Tahapan proses finishing kombinasi ketiga, keempat, dan kelima.
Tampilan setelah proses nyanting Tampilan setelah proses pewarnaan Tampilan setelah proses nglorot Tampilan setelah pemberian melamine sanding sealer Tampilan setelah pemberian nitrocellulose sanding sealer Tampilan setelah pemberian aqua sanding sealer Tampilan setelah pemberian melamine lacquer Tampilan setelah pemberian nitrocellulose lacquer Tampilan setelah pemberian aqua lacquer Gambar 7. Penampilan permukaan anyaman bambu hasil proses finishing teknik batik kombinasi ketiga, keempat, dan kelima.
A B C D E F G H I J K L Gambar 8. Penampilan anyaman bambu yang telah di finishing. Keterangan: A = Anyaman bambu betung berbahan daging bambu yang diaplikasikan melamin. B = Anyaman bambu betung berbahan daging bambu yang diaplikasikan nitroselulosa. C = Anyaman bambu betung berbahan daging bambu yang diaplikasikan aqua. D = Anyaman bambu betung berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan melamin. E = Anyaman bambu betung berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan nitroselulosa.
F = Anyaman bambu betung berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan aqua. G = Anyaman bambu tali berbahan daging bambu yang diaplikasikan melamin. H = Anyaman bambu tali berbahan daging bambu yang diaplikasikan nitroselulosa. I = Anyaman bambu tali berbahan daging bambu yang diaplikasikan aqua. J = Anyaman bambu tali berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan melamin. K = Anyaman bambu tali berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan nitroselulosa. L = Anyaman bambu tali berbahan campuran daging dan kulit bambu yang diaplikasikan aqua. 4.2. Pengaruh Jenis dan Bahan Bambu Terhadap Penampilan Finishing-nya Jenis bambu yang digunakan pada penelitian ini adalah bambu Betung dan bambu Tali dengan 2 jenis variasi bahan yaitu daging bambu serta campuran daging dan kulit bambu. Dari finishing dengan teknik batik didapatkan hasil bahwa bambu Betung menghasilkan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan bambu Tali (Gambar 9). Hal ini disebabkan karena anyaman bambu Betung memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan bambu Tali sehingga pewarna napthol dapat dengan baik diserap oleh bahan anyman bambu Betung. Dari variasi yang digunakan, kulit bambu menghasilkan warna yang tidak bagus atau warna yang dihasilkan tidak begitu jelas (Gambar 10). Hal ini disebabkan karena kulit bambu memiliki lapisan seperti lilin sehingga cairan tidak dapat menembus kulit termasuk pewarna napthol. A B Gambar 9. Penampilan finishing batik pada anyaman berbahan daging bambu Betung (A) dan bambu Tali (B).
Kulit Daging Gambar 10. Perbedaan penampilan finishing batik antara kulit bambu dan daging bambu. 4.3. Berat Labur Bahan Finishing yang Digunakan Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa wood filler kurang cocok diaplikasikan pada finishing teknik batik karena penggunaan wood filler menghasilkan warna yang kurang tegas pada bahan yang dibatik. Dengan demikian penggunaan wood filler tidak disarankan pada finishing teknik batik. Hal ini berbeda dengan teknik finishing pada umumnya yang mensyaratkan penggunaan wood filler terlebih dahulu untuk mencapai hasil yang baik. Berat labur rata-rata wood filler untuk kedua jenis bambu dan variasinya berkisar antara 0.0058-0.0067 gr/cm 2. Pada penelitian ini digunakan 3 jenis sanding sealer, yaitu impra Melamine Sanding Sealer MSS-123, Sanding Sealer SS-121, dan Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941. Sanding sealer dipilih karena tampilan akhir yang diinginkan adalah flat atau close pore. Sanding sealer memiliki lebih banyak talc dibandingkan dengan sealer. Sanding sealer dipergunakan untuk membantu meratakan permukaan sehingga dapat berfungsi pula sebagai pengganti wood filler. Pada penelitian ini sanding sealer diaplikasikan 1 kali. Berat labur sanding sealer yang digunakan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Berat labur sanding sealer. No. Sampel Berat Labur (gr/cm 2 ) Melamin Nitroselulosa Aqua 1 BD 0.0033 0.0032 0.0024 2 BC 0.0036 0.0022 0.0011 3 TD 0.0026 0.0023 0.0028 4 TC 0.0035 0.0026 0.0020 Keterangan: Bambu Betung (B), bambu Tali (T); bahan daging bambu (D), bahan campuran daging dan kulit bambu (C). Berat labur sanding sealer pada masing-masing aplikasi tidak jauh berbeda, hal ini disebabkan pengaplikasian sanding sealer sama-sama menggunakan spray gun dengan tekanan 4.5 kg/cm 2. Dari hasil tabel di atas didapatkan berat labur rata-rata sanding sealer untuk jenis melamin sebesar 0.0033 gr/cm 2, untuk nitroselulosa sebesar 0.0026 gr/cm 2, dan aqua sebesar 0.0021 gr/cm 2. Pada sistem melamin berat labur yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan kadar padatan melamin cukup tinggi, yaitu 52-58 % untuk komponen A dan ± 29 % untuk komponen B (hardener) dengan jumlah pelarut (thinner) 6/16 dari campuran total. Pada sistem nitoselulosa kadar padatannya sebesar 33-35 % dengan jumlah pelarut (thinner) 1/2 dari campuran total. Pada sistem aqua pelarut yang diberikan berupa air dengan jumlah pelarut sebesar 1/2 dari campuram total, berbeda dengan kedua sistem yang lain pada sistem aqua penguapan pelarut lebih lama karena penguapan air lebih lama bila dibandingkan dengan thinner. Tabel 3. Berat labur top coat. No Sampel Berat Labur (gr/cm 2 ) Melamin Nitroselulosa Aqua 1. BD 0.0046 0.0042 0.0047 2. BC 0.0053 0.0050 0.0026 3. TD 0.0060 0.0053 0.0047 4. TC 0.0073 0.0072 0.0048 Keterangan: Bambu Betung (B), bambu Tali (T); bahan daging bambu (D), bahan campuran daging dan kulit bambu (C).
Hasil pada Tabel 3 menyajikan berat labur rata-rata top coat untuk jenis melamin tidak berbeda jauh dengan nitroselulosa, yaitu 0.0058 gr/cm 2 untuk melamin dan 0.0054 gr/cm 2 untuk nitroselulosa. Sedangkan pada aqua berat labur rata-rata yang didapat adalah sebesar 0.0042 gr/cm 2. Pada produk impra melamine lacquer mempunyai beberapa kelebihan, yaitu lapisan film keras dan tebal hingga dapat menutup serat substrat, tahan solvent dan air, harga relatif murah, namun produk ini juga memiliki kekurangan yaitu bahannya bersifat racun. Pada produk impra nitrocellulose lacquer memiliki beberapa kelebihan, yaitu tidak beracun, terlihat alami, dan mudah di-refinish sedangkan kekurangan pada produk ini adalah daya tahan mekanis dan kimia rendah, sensitif terhadap kelembaban, dan solid content-nya rendah. Impra aqua wood finish merupakan produk dari PT. Propan Raya dengan sistem finishing kayu yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan manusia. Impra aqua wood finish terdiri dari serangkaian produk finishing kayu water based (berpelarut air) yang diformulasikan dari bahan-bahan yang tidak mengandung logam berat (heavy metal) seperti timah hitam (lead, Pb) dan air raksa (mercury, Hg), dan bahan kimia lain yang dapat menyebabkan kanker, gangguan pernapasan, gangguan sistem hormonal, dan gangguan kesehatan lainnya. Produk impra aqua wood finish mengandung kadar VOC (Volatile Organic Compound) yang sangat rendah, disebut Low VOC. VOC yang terlepas ke udara bebas, baik pada saat pengecatan maupun saat pengeringan, akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan manusia. Karena menggunakan air sebagai pelarutnya, produk impra aqua wood finish hanya mengeluarkan emisi pelarut organik yang sangat rendah, di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh peraturan internasional. Selain itu, impra aqua wood finish juga tidak berbau, dan tidak mengandung formaldehida. 4.4. Cacat yang Terjadi Selama Proses Finishing Ada beberapa jenis cacat yang ditemukan setelah proses finishing. Hal ini disebabkan kurangnya penguasaan teknik aplikasi bahan finishing. Beberapa cacat finishing yang terjadi diuraikan pada sub paragrap berikut.
4.4.1. Poor Adhesion Poor Adhesion merupakan cacat finishing yang disebabkan oleh adanya benda-benda asing pada substrat seperti minyak, debu, lilin, dan oli. Ada beberapa contoh uji yang permukaannya kasar, hal ini bisa diakibatkan karena penyemprotan dilakukan pada tempat yang dilalui orang yang dapat menimbulkan penghamburan debu. Cacat ini juga dapat disebabkan oleh pengampelasan yang tidak sempurna, pengaplikasian bahan finishing yang tidak merata dan recoating time yang terlalu cepat. Untuk menghindari timbulnya cacat ini sangat ideal apabila tersedia ruang yang tertutup dan dilengkapi dengan pemanas mencapai suhu ruang 40ºC untuk penyimpanan sementara benda kerja yang baru saja disemprot (Sunaryo 1997). 4.4.2. Orange Peel Orange peel merupakan cacat pada finishing akhir yang memberikan kesan raba yang kasar dengan tampilan seperti kulit jeruk. Orange peel dapat disebabkan oleh 3 aspek utama yaitu suhu dan kelembaban udara, tingkat kekentalan bahan finishing, serta ketebalan lapisan pada saat proses semprot. Salah satu komponen penyusun bahan finishing yaitu material bahan pelarut (solvent). Bahan pelarut tersebut ada yang terbuat dari thinner atau air (waterbased lacquer). Solvent tersebut, karena sifatnya yang mudah menguap, akan menguap ketika bahan finishing disemprotkan pada benda kerja sehingga akan meninggalkan resin atau bahan utama finishing pada permukaan benda kerja. Kecepatan penguapan inilah yang akan mempengaruhi kualitas permukaan finishing. Orange peel disebabkan karena penguapan yang terlalu lambat dan yang mempengaruhi kecepatan penguapan paling besar adalah suhu udara. Oleh karena itu perlu dijaga kelembaban udara di sekitar benda kerja yang sedang dikeringkan. Udara yang terlalu lembab tidak memiliki ruang untuk menampung penguapan. Bahan finishing yang terlalu kental memiliki resiko orange peel walaupun suhu udara cukup panas. Maka sangat penting untuk terlebih dahulu mengatur tingkat kekentalan bahan finishing yang akan digunakan sebelum aplikasi finishing. Toleransi untuk tingkat kekentalan yang paling baik adalah 0%. Hal ini
disebabkan apabila lebih rendah memungkin memiliki resiko cacat finishing yang lain, yaitu bintik gelembung udara. Pengaplikasian bahan finishing dengan beberapa lapisan harus dijaga waktu intervalnya. Permukaan kedua hanya dilakukan pada saat lapisan pertama cukup waktu untuk melepaskan solvent-nya ke udara. Begitu pula proses untuk lapisan berikutnya. Bahan yang telah menumpuk tidak memiliki waktu untuk menyebar ke seluruh permukaan secara merata namun sudah ditutupi dan ditahan gerakannya oleh lapisan berikutnya sehingga terbentuklah orange peel seperti tampak pada Gambar 11. Selain 3 hal utama tersebut di atas ada beberapa hal yang ikut berperan pada proses terbentuknya orange peel, yaitu tekanan udara dari kompresor yang terlalu rendah, pengadukan bahan finishing yang belum benar-benar merata, dan ukuran nozzle pada spray gun yang kurang tepat (terlalu kecil). Tindakan pencegahan dan perbaikan agar tidak terjadi orange peel adalah dengan menelaah proses penyemprotan terlebih dahulu, usahakan jarak ideal kepala spray gun dengan benda kerja adalah antara 18-23 cm dengan kecepatan tertentu. Jaga agar sudut kepala spray gun selalu cenderung tegak lurus dengan permukaan yang disemprot. Coba spray gun pada benda kerja lain untuk mengukur dan melihat hasil awal sehingga apabila terjadi kesalahan atau resiko cacat tidak akan terjadi pada benda kerja utama. Lakukan pengetesan setiap kali mengganti bahan finishing baru atau sebelum menambah bahan baru. Gambar 11. Penampilan cacat orange peel pada aplikasi bahan melamin.
4.5. Daya Tahan Finishing Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga Pada umumnya produk mebel maupun kerajinan akan sering bersinggungan dengan bahan-bahan kimia rumah tangga. Untuk itu perlu dilakukan pengujian mengenai ketahanan lapisan finishing terhadap pengotoran bahan kimia rumah tangga. Pengujian dilakukan dengan melaburkan bahan kimia rumah tangga tersebut ke permukaan contoh uji kemudian ditunggu selama 1 jam. Setelah 1 jam, permukaan contoh uji dilap dan diamati perubahan fisik yang terjadi pada lapisan finishing-nya kemudian diklasifikasikan kedalam kelas finishing-nya. Pengujian juga dilakukan pada interval waktu 24 jam. Adapun bahan kimia rumah tangga yang digunakan adalah minyak sayur, kecap dan saos. Hasil pengamatan pada Gambar 12 memperlihatkan daya tahan lapisan finishing dengan sistem melamin pada anyaman yang direaksikan dengan minyak sayur, kecap, dan saos pada interval waktu 1 jam. Lapisan finishing menunjukkan kelas baik, yaitu kelas finishing 10. Sama halnya dengan lapisan melamin, lapisan nitroselulosa dan lapisan aqua yang dilaburkan dengan ketiga bahan kimia rumah tangga tersebut sama-sama menunjukkan kelas finishing yang baik pula, yaitu kelas finishing 10. Penampilan permukaan anyaman bambu setelah dilakukan uji bahan kimia rumah pada interval 1 jam dapat dilihat pada Lampiran 1. Kelas Finishing 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 minyak sayur kecap saos melamin nitroselulosa aqua Jenis Pereaksi Gambar 12. Diagram kelas finishing rata-rata menurut jenis bahan kimia rumah tangga pada interval waktu 1 jam.
Hasil pengujian daya tahan lapisan finishing setelah bahan kimia rumah tangga dilaburkan dan didiamkan dengan interval waktu 24 jam disajikan pada Gambar 13. Penampilan anyaman bambu setelah dilakukan uji bahan kimia rumah pada interval waktu 24 jam secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Kelas Finishing 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 minyak sayur kecap saos melamin nitroselulosa aqua Jenis Pereaksi Gambar 13. Diagram kelas finishing rata-rata menurut jenis bahan kimia rumah tangga pada interval waktu 24 jam. Hasil pengamatan pada Gambar 13 menunjukan bahwa daya tahan lapisan bahan finishing sistem melamin, nitroselulosa, dan aqua setelah dilaburkan dengan minyak sayur, kecap, dan saos termasuk ke dalam kelas finishing 10 yang merupakan kelas finishing terbaik menurut ASTM D 1654-92. Hal ini diindikasikan dengan tidak adanya reaksi ataupun kerusakan pada lapisan film akibat bahan kimia rumah tangga. Bahan kimia rumah tangga tidak dapat masuk dan merusak struktur lapisan film dari ketiga jenis lapisan tersebut. Cacat pada lapisan finishing akan terjadi apabila suatu zat kimia tertentu bereaksi secara kimiawi yang dapat menyebabkan lapisan film menjadi kasar atau tidak rata dan meninggalkan noda. 4.6. Daya Tahan Lapisan Finishing Terhadap Asap Pada pengujian dengan asap, daya tahan lapisan bahan finishing melamin, nitroselulosa, dan aqua pada anyaman bambu Betung dan bambu Tali baik dari bahan daging bambu maupun campuran daging dan kulit memiliki kelas finishing
10 (Gambar 14). Hal ini diindikasikan dengan tidak adanya kerusakan atau noda yang terjadi pada lapisan finishing akibat bahan penguji asap. Bahan yang terkandung dalam asap tidak dapat merusak struktur lapisan film pada sistem melamin, nitroselulosa, maupun aqua. Penampilan permukaan lapisan finishing anyaman bambu setelah dilakukan uji terhadap asap dapat dilihat pada Lampiran 3. Kelas Finishing 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 melamin nitroselulosa aqua Jenis Perlakuan Gambar 14. Diagram kelas finishing rata-rata menurut jenis perlakuan dengan uji asap. Kelas finishing yang dihasilkan oleh lapisan melamin, nitroselulosa, dan aqua pada anyaman bambu Betung dan bambu Tali baik dari bahan daging bambu maupun campuran daging dan kulit merupakan kelas finishing yang terbaik karena tidak ditemukannya kerusakan atau noda. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengujian yang relatif singkat, yaitu 5-10 menit. Untuk itu dilakukan pengujian tambahan dengan waktu yang lebih lama, yaitu selama 5 jam. Hasil menunjukkan bahwa lapisan melamin tidak menunjukan perubahan yang berarti, lapisan nitroselulosa terlihat agak kusam, dan lapisan aqua terlihat kusam (Gambar 15). Hal ini berkaitan dengan kadar padatan yang terkandung pada masing-masing bahan finishing, dimana kadar padatan melamin lebih tinggi dibandingkan dengan nitroselulosa maupun aqua. Bahan finishing aqua memiliki kadar padatan yang paling rendah sehingga dapat dikatakan bahwa lapisan finising-nya tidak terlalu tebal atau berifat porous sehingga asap dapat masuk kedalam celah-celah lapisan dan menyebabkan lapisan terlihat kusam.
Interval waktu 5 10 menit Interval waktu 5 jam Gambar 15. Pengujian asap pada interval waktu yang berbeda. Keterangan: (A) Melamin, (B) Nitroselulosa, (C) Aqua. 4.7. Daya Tahan Lapisan Finishing Terhadap Uap Air Panas Pada pengujian dengan menggunakan uap air panas lapisan finishing pada anyaman bambu Betung dan bambu Tali baik yang berbahan daging bambu maupun berbahan campuran daging dan kulit bambu dengan sistem melamin, nitroselulosa, dan aqua tidak menunjukan perubahan yang berarti. Ketiga sistem finishing tidak mengalami kerusakan sehingga ketiganya dapat dikategorikan ke dalam kelas finishing 10 seperti yang terlihat pada Gambar 16. Uap air panas yang dihasilkan oleh water bath tidak dapat merusak lapisan film dari ketiga lapisan finishing. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga lapisan ini memiliki ketahanan terhadap panas yang baik. Penampilan anyaman bambu setelah dilakukan uji uap air panas dapat dilihat pada Lampiran 4.
Kelas Finishing 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 melamin nitroselulosa aqua Jenis Perlakuan Gambar 16. Diagram kelas finishing rata-rata menurut jenis perlakuan dengan uji uap air panas. Kelas finishing yang dihasilkan oleh lapisan melamin, nitroselulosa, dan aqua pada anyaman bambu Betung dan bambu Tali baik dari bahan daging bambu maupun campuran daging dan kulit adalah kelas finishing yang terbaik karena tidak ditemukannya kerusakan atau noda. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengujian yang relatif singkat, yaitu 5-10 menit. Untuk itu dilakukan pengujian tambahan dengan wahtu yang lebih lama, yaitu selama 24 jam. Hasil menunjukkan bahwa lapisan melamin dan nitroselulosa tidak mengalami perubahan sedangkan pada lapisan aqua mengalami perubahan, yaitu warna lapisan finishing-nya berubah menjadi putih susu seperti warna asal bahan finishing-nya, namun perubahan ini tidak bersifat permanen karena setelah didiamkan beberapa saat warna kembali lagi seperti awal sebelum diuji (Gambar 17). Hal ini dikarenakan bahan finishing aqua memiliki kadar padatan yang rendah sehingga lapisan finising-nya tidak terlalu tebal atau berifat porous, dengan demikian uap air dapat masuk ke dalam celah-celah lapisan dan menyebabkan perubahan warna, namun ketika air itu menguap warna kembali lagi seperti sebelum diuji.
Interval waktu 5 10 menit Interval waktu 24 jam Gambar 17. Pengujian uap air panas pada interval waktu yang berbeda. Keterangan: (A) Melamin, (B) Nitroselulosa, (C) Aqua.