I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai jenis unggas, terutama ayam (Tabbu., 2000). Penyakit tersebut dapat menimbulkan kematian yang tinggi pada unggas dengan angka kematian mencapai 100%, juga menyebabkan kerugian ekonomi terutama pada industri perunggasan. Hal ini terjadi karena terjadinya pembatasan perdagangan dan tindakan embargo bagi negara yang terkena wabah ND. Newcastle Disease pertama kali ditemukan di pulau Jawa, pada tahun 1926, dan menyebar hampir ke seluruh dunia terutama di Asia, Amerika, Afrika dan sebagian Eropa. Negaranegara Oceania saja yang relatif bebas dari penyakit ini (Calnek et al., 1991). Newcastle disease disebabkan oleh virus yang tergolong dalam famili Paramyxoviridae, genus Avulavirus, spesies Avian paramyxovirus serogrup Avian paramyxovirus Tipe I (APMV-I). Virus ini bereplikasi di sitoplasma, beramplop, termasuk kelompok virus dengan Ribo Nucleic Acid (RNA) untai tunggal, tidak bersegmen dan berpolarisasi negatif. Avian paramyxovirus tipe I merupakan sinonim dari virus ND yang memiliki grup genetik yang bervariasi (Alexander and Senne., 2008). Secara umum, paramyxovirus merupakan virus yang stabil secara genetik, hal ini dikarenakan paramyxovirus merupakan virus untai tunggal yang tidak bersegmen (Bellini, 1998). Genom virus ND memiliki 6 gen yang 13
mengkode 6 struktur utama protein yaitu nukleoprotein (NP), phospoprotein (P), matrix protein (M), fusion protein (F), haemaglutinin- neuramidase (HN) dan RNA dependent RNA polymerase (L). Gen F dan HN disebut- sebut sebagai gen yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infeksi dan patogenesitas virus ND (Lamb and Kolakofsky., 2001). Berdasarkan keganasannya, virus ND dibedakan menjadi tiga patotipe yaitu velogenik atau virus ND dengan virulensi tinggi, mesogenik atau virulensi sedang dan lentogenik yaitu virus ND dengan virulensi rendah. Walaupun patotipe virus ND dibagi menjadi tiga, namun gejala klinis yang teramati pada hewan yang terinfeksi virus ini sangat mirip sehingga secara kasat mata sulit untuk dibedakan (Tabbu., 2000). Gejala-gejala awal ND yang umum dan sering dijumpai di lapangan seperti gangguan pernafasan, turunnya nafsu makan, penurunan produksi telor, serta gangguan pada fungsi syaraf memiliki kesamaan dengan gejala klinis awal penyakit avian influenza (AI). Ada beberapa cara dapat dilakukan untuk menentukan patogenesitas virus ND diantaranya dengan cara menentukan index cerebral pathogenecity (ICPI) pada day old chick (DOC) dan intravenous pathogenecity index (IVPI) pada ayam berumur 6 minggu (Tabbu., 2000). Namun beberapa ahli berpendapat bahwa kedua cara tersebut di atas dirasa tidak berperi-kehewanan dan membutuhkan waktu yang lama (Seal et al., 1995). Penentuan patotipe virus ND secara konvensional juga dapat dilakukan dengan menghitung waktu yang digunakan virus untuk mematikan embrio, cara ini lebih dikenal dengan istilah perhitungan mean death time (MDT). Virus ND yang virulen akan mematikan 14
embrio kurang dari 60 jam, virus ND mesogenik akan mematikan embrio antara 60 90 jam, dan virus ND lentogenik membutuhkan waktu lebih dari 90 jam untuk mematikan embrio (Beard and Hanson., 1984). Cara yang lebih moderen yang dilakukan untuk membedakan patogenesitas virus ND adalah dengan uji Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction (RT-PCR) dan sekuensing. Cara ini dianggap lebih akurat namun membutuhkan biaya yang relatif besar (Seal et al., 1995, Marin et al., 1996). Uji RT-PCR sendiri dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan menggunakan enzim restriksi (Nanthakumar et al., 2000, Kou et al., 1999, Wehmann et al., 1997). Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates memiliki tugas pokok dan fungsi yang salah satunya adalah melakukan pemantauan (surveillance) untuk mengetahui perkembangan suatu penyakit di wilayah kerjanya, melakukan penanganan terhadap kasus penyakit hewan yang sedang terjadi di suatu daerah yang masuk dalam wilayah kerjanya dan melakukan uji laboratoris untuk mendiagnosa suatu penyakit. Berdasarkan pada tugas pokok dan fungsi tersebut, maka BBVet Wates selalu memiliki sampel dari lapangan dalam jumlah banyak yang selanjutnya dapat digunakan umtuk pengembangan uji diagnosis suatu penyakit. Pengambilan sampel virus ND di wilayah kerja BBVet Wates sudah dimulai sejak tahun 2004. Pengambilan sampel ini bersamaan dengan pengambilan sampel untuk pengujian penyakit avian influenza (AI) mengingat gejala yang diamati antara ND dan AI sangat mirip. Sampel yang diambil berupa usapan kloaka dan darah dari unggas dimana kemudian sampel tersebut diuji 15
dengan melakukan inokulasi dan propagasi pada telor ayam bertunas (TAB). Penghitungan MDT untuk mengetahui patotipe virus ND dilakukan pada sampel usapan kloaka, sedangkan sampel yang diambil dari darah akan dilakukan uji serologis yaitu penghitungan titer antibodi ND dan AI. Virus ND sendiri selain diinokulasi juga dilakukan pengujian dengan metode RT PCR namun hanya bersifat kualitatif dengan hasil akhir berupa hasil positif atau negatif. Sejauh ini patotiping virus ND di BBVet Wates belum pernah dilakukan sehingga patotipe isolat virus ND milik BBVet Wates tersebut belum diketahui. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dan pengembangan metode uji lebih lanjut untuk mengetahui patotipe virus ND yang ada di lapangan di wilayah kerja BBVet Wates. Mengacu pada beberapa sumber dan jurnal ilmiah, pengembangan metode pengujian virus ND secara molekuler sudah banyak dilakukan dengan masing- masing kelebihan dan kekurangannya. Pengembangan metode uji diawali dengan penelitian tentang karakter gen fusion (F) yang merupakan faktor penentu utama patogenesitas virus ND. Selanjutnya dari beberapa metode uji yang dapat dikembangkan, dipilih metode uji yang cepat, akurat dan dengan biaya yang relatif murah, maka dipilihlah metode uji RFLP dengan menggunakan enzim restriksi. Metode lain yang dapat digunakan untuk membedakan patotipe virus ND adalah metode sekuensing, hanya saja dalam metode ini dibutuhkan biaya yang sangat besar baik dari segi alat maupun reagen, selain itu dibutuhkan seorang laboran yang benar- benar terampil melakukan metode ini. 16
Dengan menggunakan primer yang sudah dimiliki dan digunakan oleh BBVet Wates, maka tidak diperlukan lagi proses validasi terhadap primer tersebut dan dengan menggunakan satu macam enzim, maka metode ini dapat dikatakan lebih murah jika dibandingkan dengan metode sekuensing. Dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengujian, metode RFLP membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan uji konvensioanl yang dialkukan di BBVet Wates yaitu penghitungan MDT dan inokulasi dan propagasi virus ND. I.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Apakah metode RFLP dapat digunakan untuk menentukan patotipe virus ND pada unggas? 2. Apakah patotiping virus ND dengan metode RFLP mempunyai kecocokan yang tinggi dengan metode Sekuensing DNA dan uji konvensional yang umum digunakan untuk patotiping virus ND? I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Membedakan patotipe virus ND pada unggas dengan menggunakan metode RFLP. 17
2. Membandingkan hasil patotipe virus ND menggunakan metode RFLP dengan metode Sekuensing DNA dan uji konvensional. I.4. Manfaat Penelitian Jika patotiping virus ND dapat dilakukan dengan metode RFLP, maka penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi yang ilmiah tentang patotipe virus ND isolat lokal yang dimiliki BBVet Wates. Informasi yang didapatkan tersebut akan bermanfaat dalam program pencegahan, pemberantasan, dan pengendalian ND di wilayah kerja BBVet Wates. I.5. Keaslian Penelitian Membedakan virus ND virulen dan avirulen menggunakan metode RT PCR pernah dilakukan oleh Kant et al. (1997). Sampel yang digunakan sebanyak 12 diambil dari organ ayam, yaitu otak, trakea, limpa, dan paru dan 10 sampel lain yang diambil dari organ kalkun yang terinfeksi virus ND. Primer yang digunakan terdiri atas 3 pasang yaitu pasangan pertama adalah primer 5 TTGATGGCAGGCCTCTTGC -3 dan 5 GGAGGATGTTGGCAGCATT 3. Pasangan kedua adalah 5 TTGATGGCAGGCCTCTTGC -3 dan 5 - AGCGT(C/T)TCTGTCTCCT-3. Pasangan primer ketiga adalah 5 TTGATGGCAGGCCTCTTGC- 3 dan 5 - G(A/G)CG(A/T)CCCTGT(C/T)TCCC -3. Pasangan primer yang pertama digunakan untuk mendeteksi seluruh patotipe 18
virus ND, pasangan primer yang kedua untuk mendeteksi patotipe virus ND virulen, dan pasangan ketiga digunakan untuk mendeteksi patotipe virus ND avirulen. Produk PCR yang dihasilkan oleh pasangan primer yang pertama adalah 363 bp, pasangan primer kedua 254 bp dan pasangan primer ketiga 254 bp. Beberapa penelitian yang dilakukan untuk membedakan virulensi virus ND telah dilakukan oleh Mase dan Kanehira. (2012) menggunakan metode restriction endonuklease analysis (REA), yaitu memotong fragmen DNA menggunakan enzim restriksi Hin-1I dan Apa 1 pada virus ND yang diisolasi dari ayam. Penelitian lain pernah dilakukan oleh Olav et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya gen F yang berperan dalam virulensi virus ND, namun protein HN juga berperan dalam virulensi virus tersebut. Penggunaan metode RFLP untuk membedakan strain virus ND pernah dilakukan oleh Kou et al. (1999) dengan menggunakan isolat dari ayam dan burung hantu yang dilakukan di Taiwan. Enzim yang digunakan oleh Kou et al. (1999) adalah Hin-fI, Bst-OI, dan Rsa-I dan hanya enzim Hin-fI yang menghasilkan pola potongan yang tetap pada fragmen DNA. Pengembangan metode uji ND dengan RFLP menggunakan sampel milik BBVet Wates juga pernah dilakukan oleh Purwaningrum (2014). Penelitian tersebut menggunakan pasangan primer yang mengacu pada penelitian Mase and Kanihera (2012) dengan target gen F dari virus ND. Pada penelitian ini besar produk PCR yang didapatkan 767 bp dan enzim yang digunakan adalah Hin 1- I, Apa 1 dan Bam H-1. Sampel ND yang digunakan pada penelitian Purwaningrum. (2014) juga digunakan pada penelitian kali ini, dengan perbedaan primer dan 19
enzim yang digunakan. Primer yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada primer hasil penelitian Kant et al. (1997) dimana primer ini menghasilkan produk PCR sebesar 363 bp, dan pasangan primer tersebut selama ini sudah digunakan di BBVet Wates. Hasil positif ND pada metode RT PCR tersebut kemudian dibedakan patotipenya dengan metode RFLP yang menggunakan enzim Hin-fI yang mengacu pada penelitian dari Kou et al.(1999). Pada penelitian ini virus ND yang digunakan diambil dari cairan allantois isolat ND koleksi BBVet Wates dengan menggunakan pasangan primer pertama dari Kant et al.(1993) dan dilanjutkan dengan metode pemotongan fragmen DNA dengan menggunakan enzim restriksi yaitu Hin-fI dengan menggunakan metode dari Kou et al. (1999). 20